Poligami

  • Uploaded by: Melani H
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Poligami as PDF for free.

More details

  • Words: 2,622
  • Pages: 7
26 Desember 2006 - 06:22 (Diposting oleh: em) Statement Bersama “Poligami Adalah Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak” Statement Bersama “Poligami Adalah Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak” Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember merupakan tonggak sejarah bagi gerakan perempuan. Kongres Perempuan Indonesia I 1928 telah membicarakan dan mendiskusikan tentang masalan dan isu perempuan seperti pendidikan bagi kaum perempuan, nasib yatim piatu dan janda, perkawinan anak-anak, pembaharuan undangundang perkawinan Islam, pentingnya meningkatkan harga diri di kalangan perempuan dan perkawinan paksa, juga tentang anti permaduan (anti poligami) dan nasionalisme. Persoalan poligami dan diskriminasi terhadap kaum perempuan sudah lama menjadi momok bagi kaum perempuan. Penolakan terhadap poligami selalu berbenturan dengan budaya dan politik patriarki yang dijalankan dengan setia oleh pemerintah serta juga organisasi yang mengatasnamakan agama. Sejarah mencatat bahwa kegigihan kaum perempuan menolak poligami tidak bisa dibendung, November 1952 sembilan belas organisasi perempuan menyatakan menentang pemborosan uang negara untuk membayar poligami . Puncak penolakan terjadi 17 Desember 1953 saat berbagai organisasi perempuan menggelar aksi demonstrasi. Saat ini 78 tahun sejak Kongres Perempuan Indonesia I 1928 kaum perempuan Indonesia masih berhadapan dengan persoalan sama yaitu poligami, yang disahkan dalam Undangundang Perkawinan tahun 1974. UU tersebut menjustifikasi poligami meski dengan izin pengadilan, dan khususnya bagi PNS dengan izin pejabat. (PP 10/1983 dan PP 45/1990) Sebagai masalah yang bukan baru, poligami dipraktekan di Indonesia sejak beratus-ratus tahun lamanya mengakibatkan penderitaan pada kaum perempuan dan anak-anak. Karena itulah kami nyatakan bahwa: Poligami Mendiskriminasikan Kaum Perempuan, dan manifestasi Kekerasan Pada Perempuan dan Anak Budaya patriarki yang kuat membuat poligami tetap eksis. Sistem hukum dan politik yang didominasi laki-laki semakin memberi peluang poligami merajalela. Atas nama apapun poligami tak lebih legalisasi Penyaluran Nafsu. Semua adalah pengentalan dan pemapanan superioritas laki-laki, dan bahwa laki-laki adalah pemilik perempuan. Undang-undang Perkawinan yang saat ini diterapkan oleh Pemerintah Indonesia secara nyata dan tegas mendiskriminasikan perempuan, salah satu pasalnya membolehkan suami untuk beristri lebih dari satu dengan syarat tertentu. Pasal tersebut merupakan pasal terfokus pada suami/laki-laki. Pasal ini jelas berkacamata patriarki, macho dan maskulin, sama sekali tak peduli pada istri, pada anak apalagi melindungi perempuan dan menjamin hak-hak istri/perempuan. Poligami tak hanya terjadi di kalangan pejabat tetapi di semua lapisan masyarakat dalam segala macam strata sosial. Karena poligami merupakan keputusan sepihak dari suami ketika istri tidak mempunyai keberanian untuk menolak (dan tak punya kekuatan untuk melawan)– disebabkan: budaya patriarki, agama, ketergantungan ekonomi – maka kebanyakan poligami menyebabkan kekerasan pada perempuan dan anak baik fisik maupun psikis. Fakta di seputar poligami menunjukkan banyaknya penderitaan yang timbul akibat poligami. Penderitaan tersebut dialami baik terhadap istri pertama juga istri yang lainnya serta anak-anak mereka. Dari 106 kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama kurun 2001 sampai 2005 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri-istri dan anakanak mereka, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-

anak, ancaman dan teror serta pengabaian hak seksual istri. Sementara banyak poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas. Sedangkan dari pemberitaan yang ada, poligami mendorong tingginya tingkat perceraian yang diajukan istri (gugat cerai) (Warta Kota, 12/4/03). (Selengkapnya lihat tabel Kasus Poligami LBH-APIK Jakarta). Poligami Semakin Memiskinkan dan Merendahkan Martabat Perempuan Banyak alasan dikemukakan untuk membenarkan praktek poligami, salah satunya untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan khususnya perempuan miskin. Pernyataan tersebut justru semakin merendahkan martabat perempuan, karena berarti kaum perempuan tidak mempunyai mampu secara ekonomi, tidak mandiri sehingga perlu ditolong dengan cara dikawinkan. Harkat perempuan tidak perlu diangkat. Apabila Negara dan Masyarakat telah memastikan bahwa tak ada yang lebih rendah dan lebih tinggi di antara perempuan dan laki-laki, melainkan setara. Dan sudah menjadi tanggung jawab dan tugas pemerintah untuk mendorong dan memberikan kesempatan bagi kaum perempuan, menyediakan dan memberikan fasilitas-fasilitas penunjang kemajuan kaum perempuan seperti: kesempatan pendidikan yang setara, menyediakan klinik kesehatan gratis, layak dan mudah terjangkau bagi ibu dan anak, merevisi semua undang-undang yang mendiskriminasikan kaum perempuan dan masih banyak lagi. Revisi UU Perkawinan Merupakan Salah Satu Upaya untuk Menghapuskan Poligami Sebagai negara yang telah melakukan ratifikasi CEDAW (The Convention on The Elimination of Discrimination Againts Women), Pemerintah Indonesia wajib memberikan perlindungan bagi perempuan dari berbagai bentuk diskriminasi, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun negara. Pemerintah juga wajib membuat aturan-aturan yang menghapus diskriminasi dan kekerasan terhadap peremuan (Pasal 2 CEDAW). Oleh sebab itu revisi UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dengan menghapus lembaga poligami yang disahkan selama ini, merupakan hal yang mutlak harus dilakukan segera. Berdasarkan itu semua, kami menyerukan kepada semua pihak, khususnya pada pembuat kebijakan: 1. Agar segera membuat langkah-langkah kongkret untuk menghapuskan setiap bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya di bidang perkawinan dengan mengurangi praktek poligami di masyarakat. 2. Mempercepat amandemen Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 3. Mengkritisi setiap tafsir ajaran agama yang diskriminatif terhadap perempuan dan sebaliknya perlu segera di sebarkan penafsiran ajaran agama yang lebih setara dan adil gender. 4. Menjadikan UU No. 7 Tahun 1984 sebagai acuan dalam penyusunan setiap kebijakan maupun dalam menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan, khususnya yang mengenai perempuan. 5. Menciptakan masyarakat yang bebas poligami dan bentuk-bentuk diskriminasi dan kekerasan lainnya terhadap perempuan dan anak. ________________________________________ Jakarta, 22 Desember 2006

Poligami Dalam Sistim Hukum di Indonesia oleh : Herri Permana* Secara umum poligami secara luas biasanya dipraktekkan oleh bangsa/suku-suku nomaden yang hidup di alam yang keras dan gemar berperang.Di kalangan seperti ini poligami adalah sebuah kebutuhan karena kuat atau tidaknya suku mereka ditentukan oleh berapa banyak keturunan yang bisa dihasilkan terutama anak laki-laki karena laki-laki dalam komunitas ini dianggap sebagai komunitas militer.Sementara perempuan dianggap hanya sebagai asset untuk memproduksi keturunan yang bahkan juga dijadikan sebagai salah satu harta pampasan perang bila suku itu kalah atau juga dijadikan alat pertukaran demi perdamaian antar suku. Di kalangan bangsa/suku-suku yang menetap serta tidak banyak mengalami ancaman militer , poligami umumnya hanya dilakukan oleh kalangan tertentu saja yang biasanya kalangan elite dan berkuasa dimana praktek ini djadikan sebagai salah satu simbol demi meningkatkan status dan sarana memamerkan kekayaan dan kekuasaannya.Sementara poligami di kalangan rakyat kebanyakan biasanya sangat jarang dilakukan.Hal ini juga terjadi di Indonesia dimana praktek poligami di kalangan rakyat kebanyakan tidak umum dilakukan. Pada masa pra kemerdekaan sampai masa-masa awal kemerdekaan praktek poligami di Indonesia umumnya hanya dilakukan oleh kalangan elite masyarakat saja diantaranya kaum priyayi dan elite agama seperti para kyai .Menurut pengamatan Koentjaraningrat ada perbedaan antara praktek poligami yang dilakukan kalangan priyayi dengan kalangan kyai yaitu kalangan priyayi yang umumnya berasal dari golongan Islam abangan biasanya menyatukan istri-istrinya dalam satu rumah sementara kalangan kyai/santri sebagian besarnya membuatkan rumah yang terpisah-pisah bagi istri-istrinya (Jurnal Perempuan no 31, 2003 :75) , sebagai bagian dari aturan fiqh. Memasuki era Indonesia modern praktek poligami semakin ditinggalkan oleh masyarakat, bahkan akhirnya menjadi sebuah praktek yang tidak lazim.Hal ini mengakibatkan pelaku poligami umumnya tidak melakukan praktek ini secara demonstratif seperti pada masa lalu.Praktek poligami dianggap sebagai praktek yang memalukan dan dapat merusak nama baik pelakunya. Itulah sebanya sebagian besar perkawinan poligami di Indonesia di era ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi/sirri terutama di kalangan menengah. Di kalangan santri tradisionalis terutama di pedesaan praktek poligami masih marak dilakukan tapi jumlahnya jauh lebih menurun daripada pada era sebelumnya. Munculnya gerakan garis keras Islam yang berkembang di Indonesia sejak era 70-80 an dan mempunyai hubungan dengan kelompok serupa di Timur Tengah menimbulkan sebuah fenomena baru dimana kelompok ini memiliki kecenderungan untuk mempropagandakan poligami bahkan menganggapnya sebagai salah satu solusi untuk mengatasi persoalan bangsa dan masyarakat. Dalam propagandanya kelompok ini kerap melempar tuduhan bahwa kalangan yang menolak wacana poligami sebagai kalangan yang pro pelacuran atau perzinahan bahkan secara lebih jauh lagi menuduh mereka sebagai penentang

hukum agama. Jadi secara umum mereka menyederhanakan wacana poligami sebagai bentuk pertarungan antara "orang baik" v.s "orang jahat" dimana pendukung poligami diposisikan sebagai "orang baik" sementara penentangnya "orang jahat". Akan tetapi karena secara umum pengikut gerakan ini utamanya kalangan menengah di perkotaan praktek poligami hanya dilakukan oleh sebagian kecil saja dari mereka. Tapi tidak seperti yang dilakukan kalangan Islam tradisonalis, praktek poligami yang dilakukan kalangan ini condong meniru pola yang dilakukan kaum priyayi/golongan Islam abangan pada masa lalu yaitu menyatukan istri-istri mereka dalam satu rumah Selain golongan diatas, poligami ditemukan dalam jumlah kecil di kalangan masyarakat bawah , pekerja keras , atau mata pencariannya mengharuskan mereka sering berpindah tempat seperti pelaut , sopir bus antar kota dll. Pelaku poligami dari kalangan ini kebanyakan bukan dari kalangan agamis bahkan jauh dari nilai-nilai agama seperti suka mabuk-mabukkan, judi, pergi ke pelacuran dll Tapi yang menarik adalah ketika mereka melakukan praktek poligami mereka selalu mengangkat isu agama sebagai alasan pembenarannya. Perkembangan Hukum masalah Poligami di Indonesia Di dalam Undang-undang Perkawinan pada masa penjajahan Hindia-Belanda masalah poligami sama sekali tidak diatur. Demikian pula pada masa awal kemerdekaan dimana masalah Perkawinan diatur dalam UU no 22/1946 yang kemudian disempurnakan dalam UU no 32 tahun 1954 yang hanya mengatur masalah pencatatan nikah, talak dan rujuk. Isu pengaturan masalah poligami dalam sistim hukum dan perundangan di Indonesia pertama kali mengemuka pada Kongres Wanita Indonesia pertama yang diadakan pada bulan Desember 1928 yang diprakasai oleh Aisyiyah sayap perempuan dari pergerakan Muhammadiyah dan diikuti oleh sekitar 30-an organisasi perempuan. Selain isu poligami, isu perkawinan di bawah umur dan kawin paksa juga menjadi perhatian anggota kongres. Istri Sedar sebuah organisasi perempuan berhaluan kiri yang kemudian menjadi cikal bakal GERWANI menolak ikut dalam Kongres ini sebagai bentuk penentangannya dan penolakannya untuk berkompromi dalam isu poligami (Saskia Wieringa, 1998) Memasuki era kemerdekaan , wacana anti poligami mendapat batu sandungan yang serius ketika Soekarno Presiden Indonesia saat itu melakukan praktek polgaminya yang pertama dengan Hartini pada tahun 1954. Organisasi perempuan sayap kiri Gerwani yang sebelumnya sangat menentang hal ini bahkan menolak segala bentuk kompromi dalam isu poligami, ketika dihadapkan pada kasus ini condong bersikap agak lunak akibat pilihan politik para pemimpinnya kepada sosok Soekarno, bahkan tuntutan Gerwani tentang masalah poligami dalam isu pembuatan RUU Perkawinan akhirnya semakin melemah, bahkan di tahun 1964 isu ini kemudian dihilangkan (Saskia Wieringa, 1998 : 28)

Salah satu organisasi perempuan yang secara keras menentang perilaku presiden Soekarno adalah Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang notabene adalah sebuah organisasi perempuan pro pemerintah yang anggotanya kebanyakan adalah istri-istri para pejabat sipil dan militer dimana mereka juga mendukung Fatmawati untuk bercerai dengan Soekarno. Beberapa organisasi perempuan terutama yang berhaluan nasionalis dan sosialis seperti Gerakan Wanita Marhaenis juga ikut menggugat praktek poligami yang dilakukan Soekarno.Dan sikap Perwari dan beberapa organisasi perempuan ini dibayar dengan dicabutnya berbagai fasilitas yang sebelumnya dinikmati mereka dari pemerintah. Bahkan lebih jauh lagi gerakan penentangan terhadap praktek poligami yang dilakukan Soekarno kemudian diposisikan sebagai gerakan Kontra-Revolusioner. Ketua umum Gerwani pada pidatonya di tahun 1964 mengecam sikap Perwari itu sebagai sebuah sikap yang hanya memperjuangkan kepentingan nyonya nyonya pejabat tinggi dan merupakan serangan terhadap pribadi Sokarno dan serangan itu harus di jawab karena merupakan bentuk upaya kontra-revolusioner (Saskia Wieringa , 1998 : 29). Sementara itu gerakan-gerakan perempuan Islam condong mendiamkan praktek poligami yang dilakukan Soekarno tersebut. Perkawinan Soekarno ini adalah tamparan kedua bagi kelompok perempuan kontra poligami setelah pada tahun 1952 pemerintah mengeluarkan keputusan no 19 tahun 1952 yang memberi gaji dua kali lipat bagi pegawai yang berpoligami selain juga tunjangan pensiun bagi janda poligami juga diberikan dua kali lipat yang dibagikan secara merata kepada masing-masing janda. Keputusan ini menjadi tamparan keras bagi kelompok perempuan di Komisi Perkawinan yang dibentuk tahun 1950 dan sedang menyusun draft RUU Perkawinan yang menyatakan poligami hanya diizinkan dengan persyaratan-persyaratan yang keras. Keputusan pemerintah itu mendapat dukungan di kalangan Islam yang diwakili oleh Masyumi dan Partai NU. Organisasi perempuan Islam seperti Fatayat NU juga secara tegas menyatakan dukungannya. Memasuki era pemerintahan Presiden Soeharto, pembahasan RUU Perkawinan yang tertunda akibat gejolak politik pada pemerintahan sebelumnya akhirnya diteruskan. Pembahasan RUU ini memanas ketika fraksi Islam PPP walk out dari sidang menolak RUU versi kaum nasionalis yang didukung oleh Fraksi Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia. Inti penolakan mereka adalah pasal 11 ayat (2) RUU itu yang mengadopsi pasal 7 GHR yang membolehkan perkawinan antar agama. Puncak krisis terjadi ketika massa pemuda Islam menduduki gedung Parlemen ketika sidang akan mengesahkan RUU tersebut. Jend Soemitro pada saat itu langsung turun tangan dan menemui Presiden Soeharto dengan membawa draft RUU versi PPP yang kemudian ditandatangai dan disyahkan menjadi UU no 1/1974 seperti yang berlaku sekarang. Yang menarik adalah dalam UU tersebut masalah poligami diatur lebih ketat dari RUU versi kelompok Islam pada masa era Soekarno. Salah satunya adalah mensyaratkan adanya izin dari istri sebelumnya.

Menanggapi kontroversi dalam masalah ini K.H Ibrahim Hosen menyatakan bahwa masalah izin itu tidak diatur dalam hukum agama jadi hukumnya mubah tapi penguasa sebagai pihak yang memiliki peranan untuk membentuk hukum Islam bisa merubahnya menjadi wajib atau haram (Tempo ,14 Mei 1983). Pemberlakuan aturan yang lebih ketat terhadap praktek poligami ini merupakan solusi atau jalan tengah yang ditawarkan kelompok Islam terhadap tekanan sejumlah fihak yang menghendaki dihapuskannya pasal poligami dalam RUU Perkawinan. Akan tetapi karena tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggaran aturan dalam UU Perkawinan pasal 3 dan 4 yang mengatur masalah poligami ini maka aturan itu seringkali diabaikan.Bahkan dari 4500 kasus poligami yang ditangani Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga 50 % nya dilakukan oleh kalangan pejabat dan pegawai negri sipil (Fokus , 12 Mei 1983) Hal inilah yang kemudian mendorong sejumlah ibu-ibu pejabat mendesak diterbitkannya PP no 10/1983 yang mengatur masalah Izin Perkawinan dan Perceraian bagi pegawai negri sipil dimana pengaturan praktek poligami bagi kalangan pejabat dan pegawai negri sipil semakin diperketat.Dengan diterbitkannya PP no 10/1083 ini maka menurut Ny Suprapti Soeprapto payung pelindung bagi istri pegawai negri makin kokoh (Tempo 14 Mei 1983) Akan tetapi masalah izin istri ini kemudian dilemahkan dengan terbitnya Kompilasi Hukum Islam Indonesia melalui Inpres no 1 tahun 1991 dimana dalam pasal 59 KHII yang menyatakan "Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi" Pasal ini memberi otoritas bagi Pengadilan agama untuk memberi izin berpoligami bagi seorang suami walaupun istri tidak mengizinkannya. Tapi kelemahan utama dari UU maupun peraturan yang mengatur masalah perkawinan adalah tidak adanya tindakan hukum yang tegas yang mengatur masalah sanksi bagi pelaku perkawinan bawah tangan.Padahal pelaku poligami di Indonesia sebagian besarnya melakukannya secara bawah tangan / sirri dan ini juga menyebabkan mereka secara legal formal lepas dari kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana yang diatur UU. Fatwa MUI beberapa waktu lalu yang mensahkan kawin sirri semakin memperburuk masalah ini. Jadi kampanye perombakan UU Perkawinan juga KHII untuk memperketat syarat-syarat poligami bahkan menghapuskan poligami sama sekali tidak akan memiliki kekuatan bila praktek perkawinan bawah tangan tidak dianggap sebagai tindak pelanggaran hukum di negri ini. Padahal perkawinan bawah tangan baik monogami maupun poligami mengakibatkan hak hak istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi terabaikan. Selain itu tanpa adanya sanksi terhadap

pelanggaran pasal-pasal dalam UU Perkawinan membuat UU ini seperti macan kertas saja.Padahal keberadaan UU ini mutlak diperlukan untuk menjamin hak-hak warga negara. * Penulis adalah moderator milis [email protected] dan mantan Sekretaris Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Keluarga Sakinah-Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (LPPKS-BKPRMI) Wilayah Jawa Barat 1997-2000 Referensi : -Mulia , Siti Musdah , Muslimah Reformis : Perempuan Pembaharu Keagamaan, Mizan , Bandung , 2005 - Abdurrahman S.H , Himpunan Perundang-undangan tentang Perkawinan , CV Akamedika Pressindo , Jakarta , 1986 - Umar , Nasaruddin , Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif Al Qur'an , Paramadina , Jakarta 2001 - Wieringa , Saskia , Kuntilanak Wangi : Organisasi-organisasi Perempuan di Indonesia Sesudah 1950 , Kalyamitra , Jakarta , 1998 - Wieringa , Saskia , Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia , Garba Budaya , Jakarta , 1999 - Modul Pelatihan Bagi Pengurus , Hukum Keluarga , LPPKS-BKPRMI Jawa Barat , Bandung , 1998 - Jurnal Perempuan no 31 , Menimbang Poligami , Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta , 2003

Related Documents

Poligami
April 2020 19
Poligami
June 2020 20
Poligami
June 2020 25
Poligami
May 2020 25
Poligami
June 2020 23
[cerpen] Poligami
November 2019 20

More Documents from ""