Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat). Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi. Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita.
Hindu Baik poligini maupun poliandri dilakukan oleh sekalangan masyarakat Hindu pada zaman dulu. Hinduisme tidak melarang maupun menyarankan poligami. Pada prakteknya dalam sejarah, hanya raja dan kasta tertentu yang melakukan poligami.
[sunting] Buddhisme [sunting] Yudaisme Walaupun kitab-kitab kuna agama Yahudi menandakan bahwa poligami diizinkan, berbagai kalangan Yahudi kini melarang poligami.
[sunting] Kristen Gereja-gereja Kristen umumnya, (Protestan, Katolik, Ortodoks, dan lain-lain) menentang praktek poligami. Namun beberapa gereja memperbolehkan poligami berdasarkan kitabkitab kuna agama Yahudi.Gereja Katolik merevisi pandangannya sejak masa Paus Leo XIII pada tahun 1866 yakni dengan melarang poligami yang berlaku hingga sekarang. [sunting] Mormonisme Penganut Mormonisme pimpinan Joseph Smith di Amerika Serikat sejak tahun 1840-an hingga sekarang mempraktikkan, bahkan hampir mewajibkan poligami. Tahun 1882 penganut Mormon memprotes keras undang-undang anti-poligami yang dibuat pemerintah Amerika Serikat.Namun praktik ini resmi dihapuskan ketika Utah memilih untuk bergabung dengan Amerika Serikat. Sejumlah gerakan sempalan Mormon sampai kini masih mempraktekkan poligini.
[sunting] Islam
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Poligami dalam Islam Islam pada dasarnya 'memperbolehkan' seorang pria beristri lebih dari satu (poligami). Islam 'memperbolehkan' seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat 'adil' terhadap seluruh istrinya (Surat an-Nisa ayat 3 4:3). Poligini dalam Islam baik dalam hukum maupun praktiknya, diterapkan secara bervariasi di tiap-tiap negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Di Indonesia sendiri terdapat hukum yang memperketat aturan poligini untuk pegawai negeri, dan sedang dalam wacana untuk diberlakukan kepada publik secara umum. Tunisia adalah contoh negara arab dimana poligami tidak diperbolehkan. Sebagian orang berbicara lantang tentang poligami, seakan-akan islam merupakan yang pertama mensyariatkan perkawinan dengan banyak istri itu. Orang-orang ini sesungguhnya bodoh atau pura-pura tidak tahu sejarah. Sesungguhnya banyak dari bangsa, umat dan agama-agama sebelum islam (dan berlangsung hingga detik ini) yang memperbolehkan menikah dengan lebih dari satu perempuan, bahkan berpuluh-puluh perempuan, tak ada persyaratan dan tanpa ikatan apapun. Baru ketika islam datang, maka islam meletakan sebuah sistem berpoligami yang berkeadilan, bermoral dan manusiawi. Bagaimana membangun kehidupan dengan banyak istri yang berkeadilan, bermoral dan manusiawi, maka pendidikan berpoligami harus ditempuh. Media yang sedang anda hadapi ini adalah salah satu wadah pendidikan berpoligami itu. Website ini juga bisa menjadi sarana mencari jodoh. Bagi pria sholeh yang ingin memperluas tanggung jawab, membagi kesuksesan dan kebahagiaan, maka bolehlah mencari istri kedua, ketiga atau keempat di sini. Begitu pula dengan para wanita sholehah yang ingin mempertebal kualitas keimanannya, bolehlah menemukan jodoh di sini. Tentu masih banyak kekurangan di sini. Karena itu kami memerlukan masukan-masukan dari Anda. Hanya Allah swt-lah yang Maha sempurna, kepadaNya-lah kita berserah dan kepadaNya-lah kita akan kembali.
Bila suami anda melakukan Poligami Suatu saat, tanpa diduga suami Anda menyatakan bahwa dia akan menikahi perempuan lain. Atau bisa juga suami Anda telah menikah secara diam-diam dengan perempuan lain. Artinya, ada istri lain selain Anda dalam kehidupan suami Anda. Banyak perempuan tidak siap menghadapi hal ini. "Siapa sih yang mau dimadu?", demikian pameo yang seringkali terdengar menanggapi poligami ini. Beberapa istri memang kemudian lebih memilih bercerai ketimbang dimadu. Tetapi bagaimana dengan istri yang ‘tidak mampu’ bercerai (misalnya karena ketergantungan ekonomi pada suaminya). Bagaimana cara yang tepat bila Anda mengalami hal itu 1. PEMBENARAN POLIGAMI Beberapa agama membenarkan dilakukannya poligami. Hal itu dikuatkan pula dengan ketentuan yang kemudian dijadikan dasar pembenaran (legitimasi) bagi laki-laki untuk melakukan poligami dan bahkan dijadikan penguatan bagi perempuan untuk menerima suaminya berpoligami. Ketentuan tersebut adalah UU No. 7 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 3 ayat 2 yang menyatakan: Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Artinya seorang suami boleh memiliki istri lebih dari seorang. Tetapi bila kita lihat ayat sebelumnya (pasal 3 ayat 1), —yang pada pokoknya menyatakan bahwa seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri, demikian pula seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami—, maka terlihat ada ketidakkonsistenan antara keduanya. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam sebuah institusi perkawinan, posisi tawar perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. 2. POLIGAMI SEBAGAI BENTUK PENGUNGGULAN LAKI-LAKI TERHADAP PEREMPUAN Poligami pada hakekatnya merupakan bentuk pengunggulan kaum laki-laki dan penegasan bahwa fungsi istri dalam perkawinan adalah hanya untuk melayani suami. Ini bisa terlihat dari alasan yang dapat dipakai oleh Pengadilan Agama untuk memberi izin suami melakukan poligami (karena istri cacat badan, tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dan tidak dapat melahirkan keturunan). 3. DAMPAK POLIGAMI TERHADAP PEREMPUAN Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami: a. Timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya. b. Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari. c. Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. d. Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya. e. Yang paling mengerikan, kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS. 4. SYARAT POLIGAMI (Pasal 5 UU Perkawinan) Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu:
a. adanya persetujuan dari istri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material); c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial). Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan 5. YANG BISA ANDA LAKUKAN Mungkin sangat sulit mengharapkan keadilan, apalagi yang sifatnya immaterial dari suami yang menikah lagi dengan perempuan lain. Ada beberapa hal yang harus Anda perhatikan: * Persiapkan diri Anda Menghadapi suami yang berniat poligami adalah sangat berat. Mental Anda harus siap menghadapi kemungkinan suami tidak lagi memberikan perhatian dan kasih sayang yang penuh terhadap Anda. Belum lagi menghadapi berondongan pertanyaan dari berbagai pihak, baik itu dari keluarga, masyarakat sekitar, teman dan pihak lainnya. * Kewajiban Suami Sebagai konsekwensi dari pembakuan peran dalam UU Perkawinan (suami adalah kepala keluarga dan istri pengurus rumahtangga) maka menjadi kewajiban suami untuk memenuhi nafkah bagi istri dan anaknya, juga memberikan biaya perawatan dan pendidikan anak. Begitupun ketika suami memutuskan menikah dengan perempuan lain, kewajiban itu tetap masih ada. » Pasal 5 ayat 1 (point b) UU no.1/1974 menyebutkan: salah satu syarat yang harus dipenuhi suami agar permohonan poligaminya disetujui Pengadilan adalah adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. » Pasal 41 (poin c dan d) Peraturan Pemerintah RI No. 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974 juga menyebutkan bahwa Pengadilan dapat memeriksa ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan: a. surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda- tangani oleh bendahara tempat suami anda bekerja ; atau b. surat keterangan pajak penghasilan, atau; c. surat keterangan lain yang dapat diterima Pengadilan. Ingat, Anda harus hadir dalam proses pemeriksaan atas penghasilan suami ini (pasal 42 ayat 1 PP No.9/1975). » Pasal 34 (ayat 1) UU No.1/1974 yang mengatur masalah hak dan kewajiban suami istri menyebutkan: Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya. * Surat Perjanjian Kepastian dari suami untuk menjamin kebutuhan hidup Anda dan anak-anak Anda seringkali tidak dilaksanakan. Atau bisa juga, dana untuk kebutuhan itu harus didapatkan dengan susah payah, bahkan terkadang seperti ‘mengemis-ngemis’. Bila keadaan itu menimpa Anda, maka menurut PP No. 9/1974 pasal 41 poin d yang pada intinya menyatakan bahwa Anda dapat meminta agar Pengadilan juga memeriksa ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil memenuhi kewajibannya dengan memerintahkan suami membuat surat pernyataan atau janji secara tertulis. Jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dapat ditunjukkan dengan membuat surat pernyataan atau janji dari suami (pasal 41 poin d, PP No. 9/1975). 6. Bantuan Hukum
Seringkali terjadi, para istri yang menerima suaminya berpoligami, akhirnya enggan untuk mengurus segala sesuatu, misalnya tentang nafkah. Hal ini diakibatkan karena istri sudah merasa kehilangan harapan. Atau bisa juga karena istri tidak mengetahui hak-haknya secara jelas. Bila ini terjadi pada Anda, Anda bisa meminta bantuan kepada beberapa lembaga terdekat yang peduli pada persoalan seperti itu. Diantaranya: » Lembaga Bantuan Hukum (terutama untuk perempuan) » Lembaga lain yang konsern pada persoalan perempuan » Lembaga-lembaga Konsultasi Perkawinan » Pengadilan yang memberikan ijin suami Anda berpoligami
Tolerir poligami dan ijinkan selingkuh merugikan peran wanita AREA Magazine 10 January 2007 STAND BY YOUR MAN ...but not if he's a creep oleh Wimar Witoelar Dua cerita heboh menguasai layar televisi dan halaman tabloid. Satu adalah cerita tentang orang yang dianggap suci dan banyak memberikan ceramah mengenai budi pekerti halus serta kehidupan keluarga yang harmonis. Ternyata dia melakukan poligami (setelah mundur maju selama lima tahun dengan tiga calon obyek yang berbeda) karena katanya poligami masih lebih bagus daripada TTM. Satu lagi adalah cerita tentang anggota DPR dan pimpinan partai besar, bidang keagamaan. Dia tidak melakukan poligami tapi tyerekspose dalam rekaman video melakukan adegan seks. Tokoh pria yang ini tidak banyak bicara, tapi rupanya dia menganggap seks bebas masih lebh bagus dari poligami. Orang yang tidak melakukan poligami dan tidak merekam seks bebas di video tidak masuk berita. Jadi sampai sekarang, perhatian masyarakat terpusat pada dua kejadian ini dan dua orang ini. Berarti perhatian teralih dari soal lain yang sedang melanda kehidupan orang. Satu hal yang menarik adalah, pada awalnya orang sibuk memberitakan dua kejadian itu. Tapi lama-lama orang lebih banyak memperhatikan orangnya yang terlibat. Muncul selebriti baru di acara infotainment, atau selebriti lama dengan peran baru. Penceramah agama yang kondang dan kaya, istrinya yang setia dan pasrah bersama tujuh anaknya, istri muda yang sekarang hidup enak, bekas model dan masih cantik. Dalam cerita yang satu lagi, fokus terpusat pada anggota DPR yang kemudian diberhentikan, istrinya yang juga setia dan sabar. Semua membuat kita prihatin terhadap para korban, kaum perempuan yang disia-siakan oleh lelaki yang menyalahgunakan kepercayaan mereka. Dalam cerita ini ada juga pemeran lain yaitu partner adegan video "DPR-RI" yang sangat rajin menyambut publisitas, dalam semangatnya untuk - yes! - menjadi selebriti instan.
Yang tersisa bukan wawasan yang lebih maju mengenai dua gejala pelanggaran sosial. Tapi justru yang mencuat adalah cerita kelahiran beberapa superstar media. Betul juga kata orang bahwa gosip lebih mengasyikkan daripada mikir. Lebih asyik bicara tentang orang-orang yang mendadak terkenal ini daripada membahas gejala poligami dan gejala tokoh politik yang tidak bermutu. Semula dua laki-laki bernafsu itu boleh dikatakan berjasa sebab mengangkat dua masalah kepermukaan, masalah poligami dan masalah politikus asalan. Kebetulan dua masalah itu masalah sosial. Artinya, merugikan orang yang memberikan kepercayaan. Tapi apakah wacana mengenai pelanggaran sosial akanb berlanjut? Waktu kecil, kakak saya pernah menerangkan: "Great minds discuss issues, average minds discuss events, small minds discuss people." Kalau Orang Biasa sih, kadangkadang punya small mind, kadang-kadang punya great mind. Kemarin ada teman kerja saya mengutip ilmiawan sinar radioaktif Marie Curie: "Be less curious about people and more curious about issues." Iya lah, memang betul, tapi mana bisa? Kalaupun banyak yang senang nonton bola, masih banyak lagi yang senang gosip pertengkaran pemain dan pelatih, atau gaji dan gaya hidup, kehidupan pribadi bintang sepakbola. Banyak orang mengikuti politik, tapi lebih banyak yang megikuti gosip tentang orang politik. Di negara maju semacam Amerika Serikat sekalipun, pemenang pemilihan umum banyak ditentukan oleh profil pribadi sang calon, ketimbang sikap calon dalam berbagai issue. Jadi walaupun Madame Curie dan orang pandai mengingatkan kita dari dulu, tetap saja orang lebih ingin tahu gosip pribadi seseorang daripada permasalahan yang membuat orang itu terkenal. O.J. Simpson bisa populer lagi walaupun ia diduga melakukan pembunuhan, Soeharto tetap dikagumi walaupun melakukan kejahatan negara. Pembunuh lebih terkenal daripada orang yang dibunuhnya. Seorang webmaster memberikan komentar pada konten blog dimana orang menanggapi dua peristiwa pelecerhan perempuan yang kita bahas disini, khususnya soal poligami dan soal pengkhianatan: "Di luar masalah pribadi, di luar masalah agama, ada krisis besar untuk kaum perempuan Indonesia. Daripada kasihan sama dua perempuan yang tidak ada harga diri dan mencari kenyamanan finansial (hello, golddiggers! we love for money!) , kasihanlah sama citra perempuan lain yang berjuang terus, punya harga diri, dan berani tegas pada orang sekitarnya yg melakukan kejahatan atau sekedar malu2in. Shame on perempuan yang pakai istilah "Berbakti pada suami " (walaupun dia kotor?) dan "Stand
by your man " (even if he's a creep?) seakan-akan itu kegunaan wanita di dunia. Padahal wanita itu mulia. Kebanyakan wanita diluar dua contoh ini sangat tegar dan tidak murahan. Hidup perjuangan peran perempuan! Jangan mau diinjak-injak lelaki, jangan mau disamakan dengan yang murahan. Siapa yang menulis kata-kata keras itu? Tidak penting siapa, yang penting sikapnya terhadap masalah, dan masalah itu sendiri. We deal with issues.
Bahagia Dengan Poligami Kaifa Ihtada 28/8/2007 | 15 Sya'ban 1428 H | Hits: 9.478 Oleh: Tim dakwatuna.com ”Penyebab timbulnya image negatif terhadap praktek poligami yang dibolehkan dalam Islam sebenarnya adalah kaum Muslimin yang tidak komitmen dengan petunjuk agama dalam menjalankan tanggung jawab. Penolakan para muslimah di seperempat bagian masyarakat Muslim lebih disebabkan karena kaum laki-laki Muslim sendiri jatuh dan tidak bisa memenuhi fungsi keagamaan dan kehilangan karakter kelaki-lakian dan patriarkinya.” Inilah kritikan seorang Muslimah dari keluarga Yahudi Amerika yang dengan ridha menjalani praktek poligami, menjadi istri kedua dari seorang muslim yang shalih dan taat kepada tanggung jawab agamanya. “Islam menjawab dan menjelaskan segala-galanya. Dalam Islam kutemukan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bukan saja membawa dan memandu seseorang menjalani kehidupan di dunia ini tetapi juga kehidupan selepas kematian nanti.” tegas Maryam dalam pernyataannya di The Islamic Bulletin, San Francisco, California, Amerika Serikat. Menurut Maryam, persepsi pertamanya ketika membaca Al-Qur’an, Islam adalah satusatunya agama kebenaran, kejujuran, keikhlasan dan tidak membenarkan kompromi murahan atau hipokrasi. Setelah Maryam Jameelah memeluk Islam, secara otomatis mengalami suatu transformasi total yang dia istilahkan dengan transformation from a kafir mind into a muslim mind (transformasi dari pikiran kafir ke pikiran muslim). Maryam melihat bahwa perubahan pola pikir yang mempengaruhi perilaku, tutur kata seseorang dalam kehidupan sehari-hari mesti terjadi apabila seseorang memasuki ruang keislaman. Ada perbedaan yang mendasar antara pemikiran yang keluar dari kepala seorang muslim dan yang keluar dari kepala seorang kafir. Keyakinan yang paling esensial dalam Islam, menurut Maryam adalah konsep man as the slave of God (manusia sebagai hamba Tuhan). Konsep ini sejalan dengan makna terminologi Islam itu sendiri, yakni submission to the will of Allah (penyerahan diri kepada kehendak Allah) dan siapa saja yang memilih melakukan itu bisa dikatakan muslim. Menerima ini, bagi Maryam, konsekuensinya sangat luas dan mendalam. Manusia dengan demikian tidak memiliki hak untuk membuat aturan hukum sendiri, mempolarisasikan antara kekuasaan Tuhan dan kekuasaan manusia. Segala sesuatu harus tunduk kepada kehendak Tuhan yang telah diartikulasikan dalam wahyu lewat para nabi dan rasul.
Maryam Jameelah, seorang intelektual, penulis di bidang agama, filsafat, sejarah dan peradaban. Ia meyakini teks-teks Al-Qur’an dengan keimanan yang dalam. Pemikiran Barat pun mendapat pukulan balik darinya. Lahir di New York, Amerika Serikat, 3 Mei 1934. Sebelum masuk Islam, ia bernama Margaret Marcus. Dia seorang pemikir dari keluarga Yahudi yang dibesarkan dalam masyarakat multinasional, New York City. “Seandainya ada pertanyaan kepadaku bagaimana mengetahui perihal Islam? Aku hanya mampu menjawab, pengalaman pribadikulah yang mengantarkan pada keyakinanku. Keteguhanku akan aqidah Islam datang secara perlahan dan tenang namun penuh keyakinan.” Lewat bacaannya terhadap literatur sejarah bangsa Arab, dia menemukan bahwa Islam besar dan agung bukan karena bangsa Arab, tapi justru orang Arab menjadi beradab karena Islam. Pemikiran Maryam dipengaruhi oleh Abul A’la Al-Maududi. Beliau telah membimbing Maryam memahami Islam lewat korespondensi sejak Desember 1960 sebelum dia masuk Islam hingga Mei 1962 dan akhirnya hijrah ke Pakistan. Maryam Jameelah tidak pernah kendur menghadapi para penghujat Islam. Sikap kritisnya terhadap paham sekularisme dan materialisme dari dulu hingga kini demikian gigihnya. Itu ditunjukkan dengan usaha yang tidak mengenal penat dan lelah terhadap cita-cita luhur dan agung ini. Tokoh mujahidah ini mengangkat Islam sebagai satu jawaban paling tepat dan merupakan satu-satunya kebenaran yang dapat memberi petunjuk, tujuan serta nilai pada persoalan hidup dan mati. Sampai hari ini tudingan miring itu masih nyaring terdengar, ungkapan bahwa Rasulullah saw. dan para sahabatnya yang hampir semuanya memiliki lebih dari satu istri dianggap kriminal dalam perundang-undangan modern. Hukum Islam yang membenarkan menerima perceraian juga dikecam dengan keras, seperti halnya poligami. Izin yang diberikan syariat kepada laki-laki untuk menceraikan istrinya secara diam-diam ditetapkan sebagai bukti inferioritas status perempuan dalam hukum Islam. Hijab atau pemisahan yang ketat antara dua jenis kelamin mendapatkan hantaman yang tidak kurang beratnya dari para modernis kita yang terdidik yang menuntut penghapusan hijab. Dalam peradaban modern, seorang perempuan hanya dihargai sebatas kemampuan mereka berhasil menjalankan fungsi laki-laki, dan pada saat yang sama memperlihatkan kecantikan dan keanggunannya secara maksimal kepada publik. Walhasil, peran kedua jenis dalam masyarakat modern sangat membingungkan. Ajaran Islam tidak bisa mentolerir nilai budaya yang menyeleweng seperti itu. Dalam Islam, peran wanita bukan sebagai ballot-box, melainkan pemelihara rumah dan keluarga. Hal ini dipaparkan Maryam Jameelah dalam bukunya, Islam and the Muslim Woman Today. Mirisnya lagi desain penghujatan Islam ini berimbas juga di kalangan para muslimah. Padahal jauh sebelum Maryam Jameelah memeluk Islam, dia sudah membahas dan
melakukan pembelaan akan kebenaran Islam dan syariatnya. Hal ini diungkapkan Maryam dalam korespondensinya kepada Abul A’la Al-Maududi. ”Ambillah contoh masalah poligami. Orang-orang Islam seperti Dr. Hoballah, pemimpin Islamic Centre di Washington, mengatakan kepada saya bahwa Islam hanya memperkenankan poligami dalam sedikit peristiwa-peristiwa pengecualian tertentu. Golongan modernis malahan telah lebih jauh menafsirkan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa “kamu tidak akan bisa berbuat adil terhadap lebih dari satu istri, betapapun kamu menginginkannya”, sebagai larangan mutlak terhadap poligami. Berikut ini, pandangan apologetik serupa dikutip dari tafsir Muhammad Ali Lahori dalam terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris (hal. 187-188). “Surat An-Nisa ayat 3 membolehkan poligami hanya dalam keadaan tertentu. Dengan demikian, akan jelaslah bahwa izin untuk mempunyai istri lebih dari satu itu diberikan untuk keadaan khas umat Islam yang ada pada saat itu. Dapat ditambahkan di sini bahwa poligami dalam Islam, teori maupun praktek, adalah suatu perkecualian, bukan aturan.” ”Dalih yang paling kuat untuk menentang cara berpikir yang sesat seperti itu adalah kenyataan bahwa tak ada satu pun ulama tafsir Al-Qur’an yang dikenal nama baiknya sepanjang sejarah Islam pernah menafsirkan ayat tersebut seperti demikian, hingga dunia Islam jatuh ke dalam kekuasaan imperialis Eropa. Aku tidak bisa menemukan pernyataan dalam kepustakaan Al-Qur’an maupun Hadits yang mengatakan bahwa poligami dikutuk sebagai suatu kejahatan, tidak pula suatu masalah pernah timbul mengenai perlunya untuk membatasinya hanya bagi keadaan-keadaan pengecualian tertentu. Persisnya bunyi ayat yang menjadi pembicaraan adalah ”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara diri dari kejahatan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (AnNisa:129)” ”Dengan kata lain, karena tidak ada dua manusia yang sama, maka tentunya seorang suami tidak mungkin dapat memperlakukan istri-istrinya dengan rasa cinta-kasih yang sama. Tetapi ayat ini tidaklah melarang untuk melakukan poligami hanya karena ia tidak dapat mencintai mereka dengan kadar yang sama. Tidak! Al-Qur’an hanyalah memerintahkan untuk berlaku baik serta mempergauli mereka dengan seadil-adilnya…” demikian pembelaannya tentang poligami. Prinsip-prinsip yang mendasari semua pemikiran Maryam dalam melihat teks-teks agama adalah prinsip penyerahan diri, sehingga dalam semua karyanya dia tidak pernah mengkritisi teks agama yang kelihatan bertentangan dengan mainstream peradaban sekarang yang jelas-jelas didominasi nilai-nilai Barat, seperti kepemimpinan laki-laki, praktek poligami dan pergaulan terbuka antara kedua jenis kelamin. Dia justru mengkritisi ide-ide Barat atau Muslim modernis dengan argumentasi teks-teks agama. Tidak jarang dia mengkritisi kekerdilan mental seorang muslim untuk komitmen
kepada ajaran agamanya. Dia tidak menerima kalau idealisme Islam tentang hubungan laki-laki dan perempuan dalam dinamika sosial, baik secara mikro maupun makro harus diotak-atik hanya karena orang-orang Barat mengatakan lain atau hanya karena masyarakat muslim tidak mampu menjalankannya. Dalam keadaan seperti itu, justru komitmen kepada pembentukan masyarakat muslim yang kaffah harus dikembangkan. “Apa yang Anda tulis tentang poligami mutlak benar. Hanya ingin saya tambahkan bahwa surat An-Nisa ayat 3 diwahyukan tidak untuk mengesahkan poligami. Poligami tidak pernah diharamkan oleh Allah. Ia dibolehkan oleh syariat seluruh nabi. Sebagian besar para nabi beristri lebih dari satu. Sebelum ayat ini diturunkan kepada Nabi saw., beliau telah beristri tiga (Saudah, Aisyah dan Ummu Salamah ra). Sebagian besar sahabat juga berpoligami. Jadi tidak diperlukan lagi pengesahan atas suatu praktek yang halal dan telah dikenal. Ayat tersebut di atas diturunkan ketika banyak wanita Madinah ditinggal mati suami mereka yang gugur di medan perang Uhud dan banyak pula anak-anak yang sudah tidak berbapak lagi. Dihadapkan pada masalah ini, orang Islam diarahkan untuk memecahkannya dengan memanfaatkan lembaga yang telah ada dan lazim, yakni dengan mengawini dua, tiga atau empat wanita di antara janda-janda tersebut.” “Sebagai akibatnya, janda-janda dan anak-anak yatim tidak terlantar, melainkan terserap ke dalam berbagai keluarga. Kalaupun petunjuk Tuhan ini menyiratkan suatu pembentukan hukum baru, hal itu bukanlah pemberian izin berpoligami, melainkan merupakan pembatasan jumlah istri sampai empat dan penetapan syarat lebih jauh, yakni bila suami tidak bisa bertindak adil terhadap seluruh istrinya, maka ia harus mempergauli mereka dengan baik atau beristri satu saja. Dua buah perintah di atas tidak pernah diketahui dan dikenal oleh orang Arab penyembah berhala, dan Bible yang sekarang pun tidak menyebutkannya.” Abul A’la Al-Maududi membenarkan semua deskripsi Maryam tentang ayat Allah yang satu ini. “Cara berpikir dan berbuat seseorang, tidak bisa dipisahkan dari kesadaran ‘cognitisi’nya. Masalah yang paling serius dalam semua ajaran agama adalah bagaimana mendekatkan antara teori dan praktek, bagaimana menyelaraskan antara ajaran dan pelaksanaan. Di samping itu, ada masalah yang tidak kalah peliknya, bagaimana memahami kerangka teori yang ada, sehingga memudahkan praktek, tanpa meninggalkan esensi ajaran.” Maryam Jameelah memaparkan dalam bukunya, Islam in Theory and Practice Maryam berpandangan bahwa ciri utama ideologi-ideologi modern adalah anggapan bahwa prinsip ‘perubahan untuk perubahan’ merupakan nilai yang tertinggi. Segala komitmen pada suatu nilai dasar yang absolut adalah sikap zaman pertengahan yang harus ditinggalkan. Manusia harus menemukan nilai-nilai yang cocok untuk situasi mereka yang berubah setiap saat. Ini, menurut Maryam, yang mengantarkan dunia modern kepada kekacauan. Maryam mengkritisi interpretasi apologetik para modernis yang tidak memiliki dasar apapun, baik dalam Al-Qur`an maupun dalam Sunnah, tapi semuanya hanya merupakan hasil perbudakan mental terhadap nilai-nilai peradaban Barat. Individualisme ekstrim
Barat yang mendominasi masyarakat modern telah sampai pada tingkat menganggap poligami jauh lebih buruk daripada perzinahan. Ini sejalan dengan tokoh Barat yang mengatakan bahwa subyek modern bercirikan kemampuan menerima dan ‘merayakan’ kealpaan keamanan dan karakteristik keteraturan eksistensi sosial kontemporer sekarang. Barat menempatkan feminisme dalam kerangka mordenisme seperti ini. Barat mengajak kaum perempuan menolak tradisi dalam bentuk peranan ibu rumah tangga yang mengikat mereka kepada dunia domestik. Maryam tidak pernah mempertanyakan isu keadilan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Tapi ini tidak berarti bahwa dia tidak menjunjung tinggi keadilan. Hanya saja, keadilan yang diinginkannya adalah keadilan dalam definisi yang digariskan Allah dalam wahyu-Nya. Ini sangat berbeda dari orang lain yang berbicara tentang gender dalam Islam. Hampir semuanya berangkat dari tuntutan keadilan untuk memenuhi tuntutan keadilan yang didasarkan pada ide-ide Barat sebab mereka menyangsikan keadilan yang ada dalam formulasi Islam terhadap hubungan laki-laki dan perempuan. Keadilan bagi mereka adalah persamaan, bukan kerjasama atau dalam redaksi lain, mereka tidak melihat kemungkinan adanya kerjasama kecuali dalam persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek. Maryam menuliskan bahwa: Dari sudut pandang Islam, mempertanyakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah seperti mendiskusikan kesetaraan antara bunga mawar dan yasmin. Masingmasing memiliki aroma, warna, bentuk dan keindahan. Laki-laki dan wanita tidak sama. Masing-masing memiliki ciri dan karakteristik tersendiri. Laki-laki memiliki keistimewaan seperti kewenangan sosial dan gerak sebab dia harus menjalankan banyak tugas berat. Pertama, dia memikul tanggung jawab ekonomi. Kedua, wanita tidak harus mencari suami sendiri. Di rumah, perempuan berkuasa seperti ratu dan laki-laki Muslim layaknya seperti tamu di rumah sang istri. Ketiga, perempuan Muslim dibebaskan dari tanggung jawab politik dan militer. Dengan demikian, syariat menempatkan laki-laki dan perempuan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Maryam Jameelah tidak pernah mempermasalahkan konsep-konsep gender dalam AlQur`an maupun hadits. Tampaknya, bagi dia, masalahnya terletak pada ada atau tidaknya komitmen Muslim terhadap konsep-konsep tersebut. Gugatan kaum modernis Muslim terhadap konsep-konsep gender Al-Qur`an hanya merupakan sikap mendua (ambivalence) atau anti terhadap ajaran Islam. Sehingga dia lebih banyak mengkritisi dan membandingkan konsekuensi praktis antara pandangan Islam dan liberal Barat terhadap stabilitas sosial. Maryam Jameelah meninggalkan New York dan hijrah ke Pakistan, tinggal sebagai salah satu anggota keluarga Abul A’la Al-Maududi di Lahore. Maryam Jameelah menikah dengan Mohammad Yusuf Khan, seorang yang tafarrugh (full timer) untuk Jamaat Islami
yang kemudian menjadi penerbit utama semua buku-buku karangan istrinya. Maryam Jameelah kemudian menjadi ibu dari empat orang anak, hidup bersama madunya serta anak-anaknya di sebuah rumah besar bersama ipar-iparnya. Suatu hal yang luar biasa bagi seorang wanita yang berlatar belakang Barat. Maryam Jameelah terus menulis melanjutkan minat intelektualnya. Sebuah fakta yang menakjubkan, karya-karyanya yang terpenting telah ditulis saat tengah mengandung anak-anaknya.
Bahagia Dengan Poligami Kaifa Ihtada 28/8/2007 | 15 Sya'ban 1428 H | Hits: 9.478 Oleh: Tim dakwatuna.com ”Penyebab timbulnya image negatif terhadap praktek poligami yang dibolehkan dalam Islam sebenarnya adalah kaum Muslimin yang tidak komitmen dengan petunjuk agama dalam menjalankan tanggung jawab. Penolakan para muslimah di seperempat bagian masyarakat Muslim lebih disebabkan karena kaum laki-laki Muslim sendiri jatuh dan tidak bisa memenuhi fungsi keagamaan dan kehilangan karakter kelaki-lakian dan patriarkinya.” Inilah kritikan seorang Muslimah dari keluarga Yahudi Amerika yang dengan ridha menjalani praktek poligami, menjadi istri kedua dari seorang muslim yang shalih dan taat kepada tanggung jawab agamanya. “Islam menjawab dan menjelaskan segala-galanya. Dalam Islam kutemukan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bukan saja membawa dan memandu seseorang menjalani kehidupan di dunia ini tetapi juga kehidupan selepas kematian nanti.” tegas Maryam dalam pernyataannya di The Islamic Bulletin, San Francisco, California, Amerika Serikat. Menurut Maryam, persepsi pertamanya ketika membaca Al-Qur’an, Islam adalah satusatunya agama kebenaran, kejujuran, keikhlasan dan tidak membenarkan kompromi murahan atau hipokrasi. Setelah Maryam Jameelah memeluk Islam, secara otomatis mengalami suatu transformasi total yang dia istilahkan dengan transformation from a kafir mind into a muslim mind (transformasi dari pikiran kafir ke pikiran muslim). Maryam melihat bahwa perubahan pola pikir yang mempengaruhi perilaku, tutur kata seseorang dalam kehidupan sehari-hari mesti terjadi apabila seseorang memasuki ruang keislaman. Ada perbedaan yang mendasar antara pemikiran yang keluar dari kepala seorang muslim dan yang keluar dari kepala seorang kafir. Keyakinan yang paling esensial dalam Islam, menurut Maryam adalah konsep man as the slave of God (manusia sebagai hamba Tuhan). Konsep ini sejalan dengan makna terminologi Islam itu sendiri, yakni submission to the will of Allah (penyerahan diri kepada kehendak Allah) dan siapa saja yang memilih melakukan itu bisa dikatakan muslim. Menerima ini, bagi Maryam, konsekuensinya sangat luas dan mendalam.
Manusia dengan demikian tidak memiliki hak untuk membuat aturan hukum sendiri, mempolarisasikan antara kekuasaan Tuhan dan kekuasaan manusia. Segala sesuatu harus tunduk kepada kehendak Tuhan yang telah diartikulasikan dalam wahyu lewat para nabi dan rasul. Maryam Jameelah, seorang intelektual, penulis di bidang agama, filsafat, sejarah dan peradaban. Ia meyakini teks-teks Al-Qur’an dengan keimanan yang dalam. Pemikiran Barat pun mendapat pukulan balik darinya. Lahir di New York, Amerika Serikat, 3 Mei 1934. Sebelum masuk Islam, ia bernama Margaret Marcus. Dia seorang pemikir dari keluarga Yahudi yang dibesarkan dalam masyarakat multinasional, New York City. “Seandainya ada pertanyaan kepadaku bagaimana mengetahui perihal Islam? Aku hanya mampu menjawab, pengalaman pribadikulah yang mengantarkan pada keyakinanku. Keteguhanku akan aqidah Islam datang secara perlahan dan tenang namun penuh keyakinan.” Lewat bacaannya terhadap literatur sejarah bangsa Arab, dia menemukan bahwa Islam besar dan agung bukan karena bangsa Arab, tapi justru orang Arab menjadi beradab karena Islam. Pemikiran Maryam dipengaruhi oleh Abul A’la Al-Maududi. Beliau telah membimbing Maryam memahami Islam lewat korespondensi sejak Desember 1960 sebelum dia masuk Islam hingga Mei 1962 dan akhirnya hijrah ke Pakistan. Maryam Jameelah tidak pernah kendur menghadapi para penghujat Islam. Sikap kritisnya terhadap paham sekularisme dan materialisme dari dulu hingga kini demikian gigihnya. Itu ditunjukkan dengan usaha yang tidak mengenal penat dan lelah terhadap cita-cita luhur dan agung ini. Tokoh mujahidah ini mengangkat Islam sebagai satu jawaban paling tepat dan merupakan satu-satunya kebenaran yang dapat memberi petunjuk, tujuan serta nilai pada persoalan hidup dan mati. Sampai hari ini tudingan miring itu masih nyaring terdengar, ungkapan bahwa Rasulullah saw. dan para sahabatnya yang hampir semuanya memiliki lebih dari satu istri dianggap kriminal dalam perundang-undangan modern. Hukum Islam yang membenarkan menerima perceraian juga dikecam dengan keras, seperti halnya poligami. Izin yang diberikan syariat kepada laki-laki untuk menceraikan istrinya secara diam-diam ditetapkan sebagai bukti inferioritas status perempuan dalam hukum Islam. Hijab atau pemisahan yang ketat antara dua jenis kelamin mendapatkan hantaman yang tidak kurang beratnya dari para modernis kita yang terdidik yang menuntut penghapusan hijab. Dalam peradaban modern, seorang perempuan hanya dihargai sebatas kemampuan mereka berhasil menjalankan fungsi laki-laki, dan pada saat yang sama memperlihatkan kecantikan dan keanggunannya secara maksimal kepada publik. Walhasil, peran kedua jenis dalam masyarakat modern sangat membingungkan. Ajaran Islam tidak bisa mentolerir nilai budaya yang menyeleweng seperti itu. Dalam Islam, peran wanita bukan
sebagai ballot-box, melainkan pemelihara rumah dan keluarga. Hal ini dipaparkan Maryam Jameelah dalam bukunya, Islam and the Muslim Woman Today. Mirisnya lagi desain penghujatan Islam ini berimbas juga di kalangan para muslimah. Padahal jauh sebelum Maryam Jameelah memeluk Islam, dia sudah membahas dan melakukan pembelaan akan kebenaran Islam dan syariatnya. Hal ini diungkapkan Maryam dalam korespondensinya kepada Abul A’la Al-Maududi. ”Ambillah contoh masalah poligami. Orang-orang Islam seperti Dr. Hoballah, pemimpin Islamic Centre di Washington, mengatakan kepada saya bahwa Islam hanya memperkenankan poligami dalam sedikit peristiwa-peristiwa pengecualian tertentu. Golongan modernis malahan telah lebih jauh menafsirkan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa “kamu tidak akan bisa berbuat adil terhadap lebih dari satu istri, betapapun kamu menginginkannya”, sebagai larangan mutlak terhadap poligami. Berikut ini, pandangan apologetik serupa dikutip dari tafsir Muhammad Ali Lahori dalam terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris (hal. 187-188). “Surat An-Nisa ayat 3 membolehkan poligami hanya dalam keadaan tertentu. Dengan demikian, akan jelaslah bahwa izin untuk mempunyai istri lebih dari satu itu diberikan untuk keadaan khas umat Islam yang ada pada saat itu. Dapat ditambahkan di sini bahwa poligami dalam Islam, teori maupun praktek, adalah suatu perkecualian, bukan aturan.” ”Dalih yang paling kuat untuk menentang cara berpikir yang sesat seperti itu adalah kenyataan bahwa tak ada satu pun ulama tafsir Al-Qur’an yang dikenal nama baiknya sepanjang sejarah Islam pernah menafsirkan ayat tersebut seperti demikian, hingga dunia Islam jatuh ke dalam kekuasaan imperialis Eropa. Aku tidak bisa menemukan pernyataan dalam kepustakaan Al-Qur’an maupun Hadits yang mengatakan bahwa poligami dikutuk sebagai suatu kejahatan, tidak pula suatu masalah pernah timbul mengenai perlunya untuk membatasinya hanya bagi keadaan-keadaan pengecualian tertentu. Persisnya bunyi ayat yang menjadi pembicaraan adalah ”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara diri dari kejahatan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (AnNisa:129)” ”Dengan kata lain, karena tidak ada dua manusia yang sama, maka tentunya seorang suami tidak mungkin dapat memperlakukan istri-istrinya dengan rasa cinta-kasih yang sama. Tetapi ayat ini tidaklah melarang untuk melakukan poligami hanya karena ia tidak dapat mencintai mereka dengan kadar yang sama. Tidak! Al-Qur’an hanyalah memerintahkan untuk berlaku baik serta mempergauli mereka dengan seadil-adilnya…” demikian pembelaannya tentang poligami. Prinsip-prinsip yang mendasari semua pemikiran Maryam dalam melihat teks-teks agama adalah prinsip penyerahan diri, sehingga dalam semua karyanya dia tidak pernah mengkritisi teks agama yang kelihatan bertentangan dengan mainstream peradaban
sekarang yang jelas-jelas didominasi nilai-nilai Barat, seperti kepemimpinan laki-laki, praktek poligami dan pergaulan terbuka antara kedua jenis kelamin. Dia justru mengkritisi ide-ide Barat atau Muslim modernis dengan argumentasi teks-teks agama. Tidak jarang dia mengkritisi kekerdilan mental seorang muslim untuk komitmen kepada ajaran agamanya. Dia tidak menerima kalau idealisme Islam tentang hubungan laki-laki dan perempuan dalam dinamika sosial, baik secara mikro maupun makro harus diotak-atik hanya karena orang-orang Barat mengatakan lain atau hanya karena masyarakat muslim tidak mampu menjalankannya. Dalam keadaan seperti itu, justru komitmen kepada pembentukan masyarakat muslim yang kaffah harus dikembangkan. “Apa yang Anda tulis tentang poligami mutlak benar. Hanya ingin saya tambahkan bahwa surat An-Nisa ayat 3 diwahyukan tidak untuk mengesahkan poligami. Poligami tidak pernah diharamkan oleh Allah. Ia dibolehkan oleh syariat seluruh nabi. Sebagian besar para nabi beristri lebih dari satu. Sebelum ayat ini diturunkan kepada Nabi saw., beliau telah beristri tiga (Saudah, Aisyah dan Ummu Salamah ra). Sebagian besar sahabat juga berpoligami. Jadi tidak diperlukan lagi pengesahan atas suatu praktek yang halal dan telah dikenal. Ayat tersebut di atas diturunkan ketika banyak wanita Madinah ditinggal mati suami mereka yang gugur di medan perang Uhud dan banyak pula anak-anak yang sudah tidak berbapak lagi. Dihadapkan pada masalah ini, orang Islam diarahkan untuk memecahkannya dengan memanfaatkan lembaga yang telah ada dan lazim, yakni dengan mengawini dua, tiga atau empat wanita di antara janda-janda tersebut.” “Sebagai akibatnya, janda-janda dan anak-anak yatim tidak terlantar, melainkan terserap ke dalam berbagai keluarga. Kalaupun petunjuk Tuhan ini menyiratkan suatu pembentukan hukum baru, hal itu bukanlah pemberian izin berpoligami, melainkan merupakan pembatasan jumlah istri sampai empat dan penetapan syarat lebih jauh, yakni bila suami tidak bisa bertindak adil terhadap seluruh istrinya, maka ia harus mempergauli mereka dengan baik atau beristri satu saja. Dua buah perintah di atas tidak pernah diketahui dan dikenal oleh orang Arab penyembah berhala, dan Bible yang sekarang pun tidak menyebutkannya.” Abul A’la Al-Maududi membenarkan semua deskripsi Maryam tentang ayat Allah yang satu ini. “Cara berpikir dan berbuat seseorang, tidak bisa dipisahkan dari kesadaran ‘cognitisi’nya. Masalah yang paling serius dalam semua ajaran agama adalah bagaimana mendekatkan antara teori dan praktek, bagaimana menyelaraskan antara ajaran dan pelaksanaan. Di samping itu, ada masalah yang tidak kalah peliknya, bagaimana memahami kerangka teori yang ada, sehingga memudahkan praktek, tanpa meninggalkan esensi ajaran.” Maryam Jameelah memaparkan dalam bukunya, Islam in Theory and Practice Maryam berpandangan bahwa ciri utama ideologi-ideologi modern adalah anggapan bahwa prinsip ‘perubahan untuk perubahan’ merupakan nilai yang tertinggi. Segala komitmen pada suatu nilai dasar yang absolut adalah sikap zaman pertengahan yang harus ditinggalkan. Manusia harus menemukan nilai-nilai yang cocok untuk situasi mereka yang berubah setiap saat. Ini, menurut Maryam, yang mengantarkan dunia modern kepada kekacauan.
Maryam mengkritisi interpretasi apologetik para modernis yang tidak memiliki dasar apapun, baik dalam Al-Qur`an maupun dalam Sunnah, tapi semuanya hanya merupakan hasil perbudakan mental terhadap nilai-nilai peradaban Barat. Individualisme ekstrim Barat yang mendominasi masyarakat modern telah sampai pada tingkat menganggap poligami jauh lebih buruk daripada perzinahan. Ini sejalan dengan tokoh Barat yang mengatakan bahwa subyek modern bercirikan kemampuan menerima dan ‘merayakan’ kealpaan keamanan dan karakteristik keteraturan eksistensi sosial kontemporer sekarang. Barat menempatkan feminisme dalam kerangka mordenisme seperti ini. Barat mengajak kaum perempuan menolak tradisi dalam bentuk peranan ibu rumah tangga yang mengikat mereka kepada dunia domestik. Maryam tidak pernah mempertanyakan isu keadilan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Tapi ini tidak berarti bahwa dia tidak menjunjung tinggi keadilan. Hanya saja, keadilan yang diinginkannya adalah keadilan dalam definisi yang digariskan Allah dalam wahyu-Nya. Ini sangat berbeda dari orang lain yang berbicara tentang gender dalam Islam. Hampir semuanya berangkat dari tuntutan keadilan untuk memenuhi tuntutan keadilan yang didasarkan pada ide-ide Barat sebab mereka menyangsikan keadilan yang ada dalam formulasi Islam terhadap hubungan laki-laki dan perempuan. Keadilan bagi mereka adalah persamaan, bukan kerjasama atau dalam redaksi lain, mereka tidak melihat kemungkinan adanya kerjasama kecuali dalam persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek. Maryam menuliskan bahwa: Dari sudut pandang Islam, mempertanyakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah seperti mendiskusikan kesetaraan antara bunga mawar dan yasmin. Masingmasing memiliki aroma, warna, bentuk dan keindahan. Laki-laki dan wanita tidak sama. Masing-masing memiliki ciri dan karakteristik tersendiri. Laki-laki memiliki keistimewaan seperti kewenangan sosial dan gerak sebab dia harus menjalankan banyak tugas berat. Pertama, dia memikul tanggung jawab ekonomi. Kedua, wanita tidak harus mencari suami sendiri. Di rumah, perempuan berkuasa seperti ratu dan laki-laki Muslim layaknya seperti tamu di rumah sang istri. Ketiga, perempuan Muslim dibebaskan dari tanggung jawab politik dan militer. Dengan demikian, syariat menempatkan laki-laki dan perempuan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Maryam Jameelah tidak pernah mempermasalahkan konsep-konsep gender dalam AlQur`an maupun hadits. Tampaknya, bagi dia, masalahnya terletak pada ada atau tidaknya komitmen Muslim terhadap konsep-konsep tersebut. Gugatan kaum modernis Muslim terhadap konsep-konsep gender Al-Qur`an hanya merupakan sikap mendua (ambivalence) atau anti terhadap ajaran Islam. Sehingga dia lebih banyak mengkritisi dan membandingkan konsekuensi praktis antara pandangan Islam dan liberal Barat terhadap stabilitas sosial.
Maryam Jameelah meninggalkan New York dan hijrah ke Pakistan, tinggal sebagai salah satu anggota keluarga Abul A’la Al-Maududi di Lahore. Maryam Jameelah menikah dengan Mohammad Yusuf Khan, seorang yang tafarrugh (full timer) untuk Jamaat Islami yang kemudian menjadi penerbit utama semua buku-buku karangan istrinya. Maryam Jameelah kemudian menjadi ibu dari empat orang anak, hidup bersama madunya serta anak-anaknya di sebuah rumah besar bersama ipar-iparnya. Suatu hal yang luar biasa bagi seorang wanita yang berlatar belakang Barat. Maryam Jameelah terus menulis melanjutkan minat intelektualnya. Sebuah fakta yang menakjubkan, karya-karyanya yang terpenting telah ditulis saat tengah mengandung anak-anaknya.
Benarkah Poligami Sunah...? oleh Faqihuddin Abdul Kodir
Indeks Islam | Indeks Artikel ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Selasa, 13 Mei 2003, 6:16 WIB Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah". UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129). DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang. Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan --ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-- lebih memilih memperketat. Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287). Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi
keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah," atau "poligami itu indah," dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah." Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga? Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah". Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi'i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami' al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi. Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teksteks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA. Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan "poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma'âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.
Nabi dan larangan poligami Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab
pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami. Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali. Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barangsiapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri. Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah. Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026). Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya. Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.
Poligami tak butuh dukungan teks Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki. Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami selfdepreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri. Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini). Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai. Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).
Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat. Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimana disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami. Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain." (Jâmi'a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah". Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah (Sumber Asli)
Poligami oh Poligami By admin
Perihal Poligami Pada umumnya para wanita sangat alergi apabila mendengar istilah Poligami. Tapi ada pula sebagian kecil yang menerima apa yang telah dilandasi atau sudah menjadi ketetapan Allah itu. Yang menerima (berpihak) kepada Poligami itu belum tentu didasari oleh rasa keimanan. Kalau kaum pria memang sebagian besar berpihak kepada Poligami. Akan tetapi sekali lagi keberpihakannya itu belum tentu didasari oleh rasa keimanan kepada ketentuan Allah Swt. Bahkan keberpihakannya itu mungkin sebagian besar didorong oleh ketidakpahaman atau kepentingan hawa nafsu (syahwat)nya. Jika ada kaum pria yang menentang Poligami mungkin hal itu didasari oleh ketidaktahuan, ketidakmampuan, kecemburuan, dsb. Pada dasarnya Poligami itu telah dijelaskan dalam firman Allah, (pertama) berupa perintah dan (kedua) berupa larangan berpoligami. Di satu sisi ayat itu memerintah, dan di satu sisi ayat itu melarangnya. Tidak mutlak bahwa setiap laki-laki itu harus berpoligami. Jadi, para ibu-ibu jangan alergi jika mendengar pembahasan perihal Poligami. Pembahasan ini tidak ditujukan kepada orang yang sedang dalam posisi berpoligami atau sedang memposisikan dirinya ke arah itu. Akan tetapi sifat dari firman
Allah (yang nanti akan disebutkan) adalah bersifat perintah dan sekaligus larangan berpoligami. Perihal Poligami saat ini mencuat ke permukaan, sampai-sampai Presiden SBY, Menteri Pemberdayaan Perempuan terpancing untuk menanggapi problematika yang sedang hangat di masyarakat ini. Sampai-sampai ada ungkapan ‘…Kalau perlu tidak hanya larangan Poligami itu dilarang kepada PNS (Pegawai Negeri Sipil) tetapi juga kepada seluruh lapisan masyarakat terkecil!’ Pernyataan ini membahayakan sekali apabila tidak disampaikan hukum yang sebenarnya. Dikatakan bahaya, karena mengabaikan ayat-ayat Allah. Akhirnya beberapa surat telah Bapak kirimkan kepada mereka yang terkait dalam masalah ini, seperti Presiden Menteri Pemberdayaan Perempuan, Depag, MUI. Inti surat itu hanya sekedar menyampaikan bahwa Poligami itu pada prinsipnya oleh Allah ‘diperintah’ dan ‘dilarang’. Diperintah (untuk berpoligami) bagi yang mampu berlaku adil dan dilarang bagi mereka yang tidak mampu berlaku adil. Prinsip Adil Konsep arti itu relatif. Bukanlah adil itu menurut timbangan (mizan) yang terbuat dari besi. Arti keadilan itu bukan mengandung arti ‘sama’ (pembagiannya harus sama), tetapi mengandung arti sesuai (seimbang). Sebagaimana apabila seorang ayah memberikan uang jajan kepada anak-anaknya. Jatah pemberian uang jajan kepada anaknya yang masih TK akan berbeda dengan jatah uang jajan kepada anaknya yang sudah mahasiswa. Berbeda pembagiannya, namun perlakuannya sama, yakni melayani anaknya. Gaji seorang pengatur (manager) perusahaan dengan pegawai jelaslah berbeda. Jika ditetapkan adil berdasarkan timbangan berarti keduanya harus mendapatkan gaji yang berbeda, meskipun masing-masing mengabdi kepada perusahaan itu. Pemberian yang berbeda itulah yang dimaksud dengan disesuaikan. Memang dalam Al-Quran itu menyampaikan bahwa Laki-laki yang bertaqwa dan Wanita yang bertaqwa itu diterima dan mendapatkan pelayanan yang sama dari Allah. Tapi bukan berarti Taqwa laki-laki dan perempuan itu sama. Adalah ketaqwaannya itu berdasarkan status dirinya, sesuai dengan kondisi lahir dan batin sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Adil bukan berarti sama, akan tetapi adil adalah bisa menyesuaikan atau menempatkan sesuatu hal (perkara) pada tempat yang semestinya. Inilah pengertian adil dan persamaan hak yang belum dipahami benar oleh sebagian besar umat manusia. “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: masing-masing dua, dan masing-masing tiga dan masing-masing empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa[4]: 3) Ayat tersebut mengisyaratkan perintah poligami sekaligus monogami. Artinya tidak hanya menekankan poligami, tapi juga menekankan monogami. Yang kamu senangi di sini (Maa thooba lakum) bersifat relatif. Ada yang lebih menyukai yang pesek dari pada yang mancung. Ada yang lebih senang kepada yang hitam daripada yang putih, dan sebagainya. Kata penghubung (matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’) pada bilangan di atas juga menunjukkan ‘dan’ bukan atau. Sedangkan kalimat berikutnya (aw maa malakat aymaanukum) menunjukkan arti makna ‘atau’ (lihat yang bergaris tebal). Yang juga menjadi perhatian adalah penggunaan kata matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’, bukan menggunakan isim (nama) bilangan itsnain wa tsalaatsah wa arba’ah. Isim tersebut menunjukkan nama yang berbilang-bilang (berlipat), yaitu: dua-dua dan tiga-tiga dan empat-empat. Maksudnya adalah masing-masing dua, masing-masing tiga, dan masing-masing empat. Dilihat dari susunan kalimat, kelihatannya penegasan bilangan tersebut bermakna ‘atau’. Karena dalam ilmu tata bahasa Arab kata penghubung Aw dapat bermakna ‘atau’ (selain bermakna ‘dan’). Jika Allah bermaksud mendefinisikan pengungkapan bilangan dalam matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’ itu dengan makna ‘atau’, maka Allah untuk menyelaraskan kesinambungan ayat tidak menggunakan kata ‘aw’ dalam perkataan selanjutnya. Atau untuk menunjukkan makna ‘atau’ dalam keseluruhan ayat seharusnya berbunyi matsnaa aw tsulaatsa aw rubaa’. Berarti jika diakumulasikan menjadi 2 + 3 + 4 = 9 orang. Siapakah yang mampu berpoligami dengan 9 orang istri? Jarang sekali. Apabila terjadi bisa dikarenakan untuk memberikan teladan (uswatun hasanah) atau sebagai solusi bagi suatu kehidupan. Yang Bapak tahu dalam sejarah, Nabi Muhammad Saw beristerikan 14 orang. Beliau tidak memilih yang cantik-cantik, yang bahenol-bahenol, atau yang kaya-kaya tapi kebanyakan adalah para janda. Kriteria mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai perlindungan seorang laki-laki. Kebetulan situasi pada masa lalu adalah situasi peperangan di mana para sahabat banyak yang gugur. Dan tidak hanya itu, banyak orang-orang kafir yang gugur sehingga isteri-isterinya tidak mempunyai perlindungan lalu ada yang dinikahi oleh Rasulullah Saw. Semata-mata Rasulullah Saw melaksanakan poligami karena ketentuan Allah, bukan karena hawa nafsu. Meskipun ada, namun bersifat nafsu syahwat yang terkendali. Jika kita mengetahui intisari ayat itu sebagai perintah dan sekaligus larangan berpoligami, maka kita tidak perlu meributkannya. Penyampaian ayat ini juga menekankan jangan sampai ada larangan mutlak berpoligami, termasuk bagi kalangan PNS. Memang PNS mendapatkan gaji yang tidak mencukupi untuk melakukan poligami. Namun kita tidak
tahu di antara mereka adalah yang berpenghasilan lebih dikarenakan kreativitas atau keuletan mereka mendapatkan rizki dari sektor lainnya. (Bukan kreatif yang negative, tapi yang dimaksud adalah kreatif yang positif / halal). Atau isterinya yang kreatif, misalnya berdagang atau menjadi pengusaha. Adil tidak cukup diukur melalui materi atau finansial, tetapi juga dibangun oleh nilainilai batin (keimanan). Jika ada unsur kerelaan maka terwujudlah nilai keadilan itu. Dasar Penerimaan dan Penolakan Poligami Apakah orang yang melarang atau menerima poligami itu berdasarkan keinginan manusia atau keinginan Allah? Jika kita mencari keridhaan manusia, seorang yang diidolakan akan ditinggalkan oleh yang mengidolakannya. Mari kita tunjukkan bahwa kita menginginkan keridhaan Allah, bukan keridhaan dunia. Pasti akan lemah Iman-Islam-nya jika seseorang menuntut keridhaan manusia. Jika lemah Iman-Islamnya akan lemah ketaatannya kepada Allah. Jika sudah lemah ketaatannya berarti lemah ketaqwaannya kepada Allah. Esensi taqwa kepada Alah itu adalah: Ittabi’uu maa anzalallaah“, Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah (yakni FirmanNya)”. Taqwa kepada Allah bukanlah mengikuti kemampuan / keinginan pribadi atau kultur (budaya) suatu komunitas suatu suku bangsa. Di antara kita masih ingin yang mengikuti apa yang telah diturunkan oleh Allah, namun di satu sisi lain masih condong ingin mengikuti hawa nafsunya, tradisi yang ada di masyarakatnya. Sehingga ketika kita mendengar ajakan atau perintah yang datangnya dari Allah akhirnya ada yang lemah dan ada yang kuat. Ada yang istiqamah ada yang bunglon (berubah-ubah), ada yang ingat dan ada yang lupa, ada yang teguh dan ada yang lemah. Kalaupun kita berada pada posisi yang lebih baik (Iman-Islamnya), hal itu masih dalam proses ujian / cobaan. Misalnya, meski ada di antara ibu-ibu yang sudah menerima suaminya berpoligami, belum tentu ia sudah lulus dalam hal poligami. Yang tidak (berpoligami), bukan berarti ia dalam posisi yang lemah Iman-Islamnya. Sebab untuk mencapai keridhaan / ketaqwaan kepada Allah itu adalah proses. Bisa jadi orang sudah pada posisi yang lebih baik akan mengalami kemunduran (jatuh lagi) karena tahan teruji. Bagi isteri yang suaminya belum melaksanakan poligami jangan merasa lemah imannya dalam meraih keridhaan Allah. Dan bagi yang sudah diberi kemampuan untuk melaksanakannya, janganlah merasa besar kepala, merasa sudah benar, atau merasa bahwa dirinya sudah dimuliakan oleh Allah. Kalaupun ia sudah melaksanakan, ia masih dalam proses cobaan. Baik yang kuat atau yang lemah, semuanya dicoba oleh Allah. Yang belum, jangan putus harapan sehingga menghentikan perjuangannya untuk selalu mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Dan yang sudah meningkat lebih baik, janganlah merasa bangga diri (puas). Karena belum tentu kita sampai kepada tahap yang benar-benar diinginkan Allah. Jangan berburuk sangka kepada orang lain dan jangan
berbaik sangka kepada diri sendiri. Berburuk sangka pada diri sendiri yang dianjurkan itu misalnya kita selalu merasa bersalah di hadapan Allah, merasa kurang dalam hal ibadah, merasa jauh dari Allah. Hal itu lebih baik daripada merasa benar, sehingga sikapnya angkuh (sombong). Jangankan berbicaranya, berdirinya, duduknya dan berjalannya saja sudah menampakkan keangkuhan. Lebih baik kita senantiasa mengevaluasi, berbuat yang lebih baik, memperbaiki diri kita terus menerus. Kalau kita sedang dalam posisi benar artinya kita ‘dibenarkan’ (oleh Allah). Gagahnya kita ’digagahkan’ sehingga sikapnya tidak merasa sombong, sebab Yang Gagah adalah Allah Swt. Ini adalah Aqidah.