Revitalisasi Nilai Luhur Pancasila Dalam Kehidupan Nasional Posted by usibss on 07/06/2012
Oleh: Budi Susilo Soepandji 1. Latar Belakang Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang lahir karena kemajemukan dan perbedaan yang dipersatukan oleh kesadaran kolektif untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Perjuangan panjang bangsa untuk bersatu, diwarnai oleh kepahitan dan perjuangan fisik yang panjang dari generasi pendahulu bangsa untuk merdeka. Bukan merupakan hal yang mudah bagi para pendiri negara (founding fathers) menyepakati Pancasila, yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa, dan menetapkannya sebagai dasar negara. Namun dengan niat luhur dan mengesampingkan kepentingan kelompok, agama maupun golongan, pada tanggal 18 agustus 1945, dalam sidang pertamanya, PPKI telah menghasilkan kesepakatan untuk mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai konstitusi negara. Sebagai Dasar Negara, Pancasila merupakan ideologi, pandangan dan falsafah hidup yang harus dipedomani bangsa indonesia dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya merupakan nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa dan memiliki nilai dasar yang diakui secara universal dan tidak akan berubah oleh perjalanan waktu. Seiring dengan perjalanan waktu dan sejarah bangsa, kini apa yang telah diperjuangkan para pendiri dan pendahulu bangsa tengah menghadapi batu ujian keberlangsungannya. Globalisasi dan euphoria reformasi yang sarat dengan semangat perubahan, telah mempengaruhi pola pikir, pola sikap dan pola tindak generasi penerus bangsa dalam menyikapi berbagai permasalahan kebangsaan. Pemahaman generasi penerus bangsa terkait nilai – nilai yang terkandung dalam empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara (Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Sesanti Bhinneka Tunggal Ika), semakin terdegradasi dan terkikis oleh derasnya nilai – nilai baru yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Ironisnya, sementara nilai – nilai baru ini belum sepenuhnya dipahami dan dimengerti, namun nilai – nilai lama sudah mulai ditinggalkan dan dilupakan. Tanpa disadari, generasi penerus bangsa bergerak semakin menjauh dari Pancasila sebagai jati diri bangsa yang bercirikan semangat gotong royong. 2. Nilai Dasar Pancasila dan Globalisasi. Nilai Dasar Pancasila. Pada dasarnya semua bangsa di dunia, memiliki
latar belakang sejarah, budaya dan peradaban yang dijiwai oleh sistem nilai dan filsafat, baik nilai-nilai moral keagamaan (theisme-religious) maupun nilai nonreligious (sekular, atheisme). Tegasnya, setiap bangsa senantiasa menegakkan nilai-nilai peradabannya dengan dijiwai, dilandasi dan dipandu oleh nilai-nilai religious atau non-religious. Demikian pula halnya dengan bangsa Indonesia yang majemuk dan multikultur, telah hidup dengan hidup keagamaan yang kuat sebagai landasan moral dalam kehidupan ketaanegaraannya. Keberadaan peninggalan candi seperti candi borobudur, prambanan, dan situs peninggalan keagamaan lainnya merupakan bukti tentang kehidupan bangsa Indonesia yang religius sejak dulu. Dan hal ini menjadi pedoman hidup dasar bangsa Indonesia yang berkeTuhanan. Selanjutnya, prinsip yang tertuang dalam sila kedua Pancasila, merupakan bentuk kesadaran bahwa bangsa Indonesia sejak dulu telah menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sesuai budaya bangsa indonesia yang beragam. Dalam budaya bangsa, manusia senantiasa ditempatkan dan diperlakukan sesuai dengan kodrat sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai seni budaya bangsa yang mengagungkan manusia sesuai dengan kultur dan budaya yang beragam. Sementara itu, menyadari keragaman dan pluralitas yang dimiliki bangsa dan belajar dari pengalaman masa penjajahan, maka persatuan bangsa Indonesia menjadi tuntunan hidup bangsa Indonesia yang majemuk. Justru dengan kemajemukan yang dimiliki, bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat heterogen. Prinsip persatuan indonesia bukan berarti menghilangkan eksistensi, ciri dan identitas masing-masing suku bangsa. Eksistensi, ciri dan identitas masing-masing suku bangsa tetap terpelihara dan terjaga keberadaannya. Sila keempat merupakan bentuk kesadaran dan pengejawantahan prinsip-prinsip kehidupan kelembagaan yang didasarkan pada perilaku kehidupan gotong-royong yang telah mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dulu. Sifat kegotongroyongan dan musyawarah mufakat telah menjadi pilar kehidupan dalam kehidupan bermasyarakat secara turun temurun. Globalisasi dan Era Reformasi. Menyadari tantangan sebagai bangsa yang majemuk dan pentingnya persatuan bangsa, maka prinsip-prinsip kelembagaan yang didasarkan pada musyawarah untuk mufakat merupakan tuntunan bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan kelembagaan negara yang menentukan masa depan bangsa yang berkeadilan. Dengan demikian prinsip-prinsip keadilan merupakan kristalisasi keinginan dan cita-cita bangsa untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Bagi generasi penerus bukan suatu hal yang mudah mempertahankan komitmen para pemuda pendahulu dan pendiri bangsa dalam memperjuangkan nilai-nilai luhur pancasila. Dinamika perkembangan lingkungan strategis, baik global, regional maupun nasional setiap jaman dan era kepemimpinan, sangat mempengaruhi tumbuh kembangnya pola pikir, pola sikap dan pola tindak generasi penerus dalam menyikapi berbagai permasalahan mendasar yang dihadapi bangsa. Di satu sisi, trauma generasi muda terhadap sikap politik pemerintahan orde baru, telah melahirkan generasi muda era reformasi yang cenderung apatis dan tidak peduli terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Sementara disisi lain, era globalisasi beserta implikasinya telah merubah persepsi ancaman terhadap eksistensi suatu negara. Ancaman bagi bangsa dan negara, tidak lagi diwujudkan dalam bentuk ancaman secara fisik,
melainkan ancaman tampil dalam wujud dan bentuk ancaman yang lebih kompleks dan mencakup seluruh dimensi kehidupan nasional. Potensi Ancaman dan Bela Negara. Globalisasi yang didominasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, telah merubah pola hubungan antar bangsa dalam berbagai .aspek. Negara seolah tanpabatas (borderless), saling tergantung (interdependency) dan saling terhubung (interconected) antara satu negara dengan negara lainnya. Saat ini, tidak ada satupun negara di dunia yang mampu berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan warganya. Dominasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang semakin menguat melalui konsep pasar bebas dalam lingkup global maupun regional. Tantangan terbesar generasi penerus saat ini adalah kemajuan teknologi informasi yang sangat cepat. Kemajuan teknologi informasi telah merubah hubungan antar negara dan pola hubungan antar manusia. Kehadiran internet dan teknologi komunikasi ikutan lainnya, memungkinkan manusia berhubungan dan berkomunikasi setiap saat dan tanpa batas. Di satu sisi, hal ini dapat memberikan kontribusi positif bagi proses pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Namun disisi lain, teknologi informasi dapat digunakan sebagai sarana melemahkan ketahanan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan suatu negara. Hal ini telah dibuktikan dengan munculnya berbagai ketidakstabilan beberapa negara yang diakibatkan oleh pembentukan opini publik dan penyebaran dokumendokumen rahasia melalui situs-situs yang memanfaatkan jaringan internet. Pada era reformasi perkembangan situasi nasional cukup memprihatinkan dengan banyaknya permasalahan yang muncul secara bergantian di seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam kehidupan bermasyarakat, terjadinya perubahan emosi, sikap, tingkah laku, opini, dan motivasi masyarakat, merupakan cerminan merupisnya secara signifikan terhadap pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Dampak demokratisasi yang tidak terkendali dan tidak didasari dengan pemahaman nilai-nilai Pancasila telah memunculkan sikap individualistis yang sangat jauh berbeda dengan nilainilai Pancasila yang lebih mementingkan keseimbangan, kerjasama, saling menghormati, kesamaan, dan kesederajatan dalam hubungan manusia dengan manusia. Hal ini juga dirasakan dan diungkapkan oleh mantan Presiden BJ Habibie dan Ibu Megawati dalam sambutannya di depan sidang MPR RI pada tanggal 1 Juni 2011 dalam rangka memperingati Pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Dalam sambutannya Bapak BJ Habibie manyampaikan ” …....sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitlk “, Ibu Megawati juga menyampaikan bahwa “…………….dalam kurun 13 tahun reformasi, menunjukkan kealpaan kita semua terhadap dokumen penting sebagai rujukan Pancasila dalam proses ketatanegaraan kita”. Ekspresi dan kegundahan kedua tokoh nasional tersebut, tentu merupakan bentuk kegelisahan yang harus dijadikan tolok ukur memudarnya pemahaman masyarakat terhadap nilai – nilai luhur Pancasila. Hingga saat ini, Pancasila masih tampak kokoh berdiri mempersatukan berbagai komponen bangsa, suku bangsa, golongan dan etnik di bawah NKRI. Namun,
bangsa ini harus berani jujur untuk mengakui bahwa Pancasila sebagai dasar negara mulai kehilangan roh dan jiwa anak bangsanya. Di tengah semakin kaburnya wujud dan bentuk ancaman yang berkembang dewasa ini, kerapuhan jiwa dan semangat kebangsaan sesungguhnya merupakan potensi ancaman terbesar bagi keberlangsungan dan keutuhan bangsa. Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa pemahaman empat pilar wawasan kebangsaan akan membangkitkan semangat dan kesadaran bela negara seluruh warga negaranya dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman. Empat pilar wawasan kebangsaan dan kesadaran bela negara merupakan unsur soft power dalam spektrum bela negara. Lebih jauh lagi, dalam konteks sistem pertahanan negara, pemahaman empat pilar wawasan kebangsaan merupakan kekuatan moral pertahanan nir militer setiap warganegara dengan berbagai profesinya untuk berpartisipasi aktif dalam mempertahankan negara. 3. Revitalisasi Nilai – Nilai Empat Pilar Wawasan Kebangsaan. Semua dampak euphoria reformasi yang kita hadapi saat ini, perlu disikapi oleh segenap komponen bangsa melalui pemahaman yang benar, utuh dan menyeluruh dalam konteks semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Semangat tersebut merupakan kata kunci dari aktualisasi dan implementasi nilai-nilai luhur Pancasila yang harus terus ditumbuh kembangkan oleh generasi penerus. Seluruh komponen bangsa harus mampu menyikapi berbagai permasalahan, perbedaan dan kemajemukan dengan berpedoman pada empat pilar wawasan kebangsaan yang dibangun oleh para pendiri bangsa. Seluruh anak bangsa harus proaktif untuk menciptakan, membina, mengembangkan dan memantapkan persatuan dankesatuan bangsa yang kerap menghadapi potensi perpecahan. Generasi penerus harus mampu menghidupkan kembali sikap dan budaya gotong royong, silahturahmi dan musyawarah untuk mufakat yang hakikinya merupakan ciri bangsa Indonesia sejak dulu. Primodialisme, masalah SARA, masalah ketidakadilan, masalah korupsi dan kesenjangan sosial ekonomi secara bertahap harus dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan. Hal ini perlu ditegaskan mengingat, hal tersebut dapat menjadi titik retak rasa persatuan dan kesatuan bangsa bila tidak dapat ditemukan solusi pemecahan masalahnya. Oleh karena itu, pemuda harus mampu mempelopori untuk memahami, menghayati dan mengmplementasikan nilai – nilai empat pilar Kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai daya tangkal terhadap berbagai potensi yang mengancam keutuhan NKRI. Upaya politis sanqat diperlukan mengingat Pancasila dan tiga pilar kebangsaan lainnya lahir melalui proses politik yang melibatkan seluruh kelompok dan golongan. Teladan yang ditunjukkan pendahulu bangsa, harus dapat dijadikan contoh untuk menyusun rencana aksi guna melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila. Proses politik harus didasarkan pada komitmen yang mengacu pada kepentingan bangsa dan negara dengan melibatkan Supra struktur politik, Infra struktur politik dan Sub struktur politik sesuai sistem politik yang berlaku. Oleh karena itu, soliditas dan kohesivitas sistem politik Indonesia akan sangat menentukan keberhasilan revitalisasi nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan. Supra Struktur, Infra Struktur dan Sub Struktur harus mampu menciptakan suasana dan iklim politik yang kondusif bagi terjalinnya komunikasi politik dan sosialisasi politik yang sehat. Komunikasi politik dan interaksi di antara ketiganya, harus dibangun berdasarkan keinginan untuk membangun kembali kesadaran kolektif bangsa terkait konsensus empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Komunikasi politik yang sudah ditunjukkan para tokoh
politik dan pendiri bangsa, harus menjadi inspirasi dan teladan bagi para tokoh di era saat ini. Walaupun hal ini terlihat sang at normatif, namun fakta sejarah tidak dapat dipungkiri oleh segenap elemen penerus bangsa. Di tengah kehidupan demokratis yang berkembang, Partai politik sebagai salah satu unsur Supra struktur politik memegang peran dominan dan menentukan berhasil tidaknya revitalisasi nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan. Hal ini mengingat bahwa partai politik merupakan salah satu pilar utama demokrasi. Sebagai pilar utama demokrasi, partai politik mengemban fungsi sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, sarana rekruitmen kader – kader pemimpin dan pengelola konflik (conflict meneqement) diantara berbagai elemen masyarakat. Oleh karena itu, tata laku partai politik akan mempengaruhi tata laku masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara kelembagaan, revitalisasi nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan menjadi tanggung jawab penyelenggara negara sesuai dengan stratifikasi dan tataran kewenangan yang dimiliki. Mengingat empat pilar wawasan kebangsaan merupakan hasil keputusan politik, maka lembaga negara seperti MPR – RI, DPR – RI dan Presiden RI selaku kepala pemerintahan rerupakan tiga lembaga negara yang menentukan arah keputusan politik yang akan disepakati. Penting untuk dicatat, bahwa sinkronisasi dan sinergitas diantara ketiga lembaga negara tersebut akan tergantung dari keinginan untuk menyatukan berbagai perbedaan pandangan dan kepentingan politik masing – masing. Diharapkan, keterlibatan lembaga-lembaga tersebut mampu menghasilkan peraturan perundangan yang memperkuat upaya-upaya revitalisasi Pancasila secara demokratis dan bermartabat. Dalam tataran regulasi dan kebijakan yang merupakan penjabaran dari keputusan politik, keberadaan para pemangku kepentingan terkait lainnya seperti : Kementerian koordinator politik dan keamanan, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Keuangan, Lemhannas RI, Mahkamah Konstitusi, Dewan Pertahanan Nasional dan Bappenas RI, memiliki peran sentral dalam peng-implementasian keputusan politik terkait revitalisasi nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan. Regulasi dan kebijakan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang – undangan, merupakan sarana yang mengatur terselenggaranya upaya revitalisasi nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan secara komprehensif dan terpadu. Oleh karena itu, sinkronisasi kebijakan, program, mekanisme, metode dan pengawasan merupakan prasyarat keberhasilan upaya revitalisasi. Pada tataran operasional, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, organisasi politik, organisasi masyarakat, dosen dan guru merupakan pelaksana – pelaksana upaya revitalisasi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dengan pembekalan yang memadai terkait nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan, komponen bangsa tersebut memainkan peran sebagai agen perubahan (agent of change) mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan pemukiman hingga lingkungan kerja. Pendidikan formal, informal maupun non formal yang dimulai dari lingkungan keluarga hingga lingkungan pendidikan, merupakan sarana yang efektif untuk menanamkan pemahaman atas nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan. Sebagai rangkaian upaya yang terstruktur, upaya pada tataran operasional akan bersifat praktis implementatif. Pelibatan lembaga-Iembaga tersebut untuk menghasilkan peraturan perundangan yang memperkuat upaya-upaya revitalisasi Pancasila secara demokratis dan bermartabat. Upaya yang bersifat praktis ditujukan untuk mendukung upaya-upaya politis
melalui kegiatan-kegiatan seperti pendidikan, penyuluhan dan training of trainer (tot) tenaga penyuluh dengan melibatkan peran aktif para pemangku kepentingan. Sedangkan upaya yang bersifat operasional dilakukan oleh lembagalembaga pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Hal ini dilakukan mengingat lembaga pendidikan merupakan ujung tombak pembentukan watak dan karakter bangsa, khususnya generasi muda yang efektif. Dalam tataran operasional, satu hal penting dan mendasar yang perlu dikembangkan adalah teladan secara nyata. Tteladan merupakan kata kunci dan kekuatan moral yang akan menentukan berhasil tidaknya upaya revitalisasi nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan yang dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari pola dan budaya bangsa Indonesia yang bersifat patriarchy dan paternalistik, sehingga teladan para pemimpin merupakan sarana efektif untuk membangun watak dan karakter bangsa, khususnya di kalangan generasi muda bangsa. 4. Konsep dan Pemikiran Lemhannas RI. Mengacu Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2006 tentang Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI), salah satu tugas dan fungsi Lemhannas RI adalah memantapkan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam UUD NRI Tahun 1945 dan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa. Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya, Lemhannas RI telah melaksanakan berbagai kegiatan diskusi dan kajian serta survei sosial ke seluruh pelosok tanah air, dengan melibatkan instansi pemerintah dan komponen bangsa lainnya, (akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM dan lain-lain) serta masyarakat. Menyadari arti pentingnya pemahaman nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan bagi keutuhan NKRI dan semakin beratnya tantangan yang dihadapi, Lemhannas RI telah mengembangkan konsep pemikiran dan upaya – upaya terobosan yang memanfaatkan keberadaan dan jaringan para alumninya yang tersebar luas di seluruh wilayah nusantara. Keberadaan para alumni yang bersumber dari berbagai komponen bangsa ini sebagai agen perubahan, tentu merupakan kekuatan potensial dalam rangka revitalisasi nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan. Memanfaatkan keberadaan para alumni dan bekerjasarna secara sinergis dengan para pemangku kepentingan terkait lainnya, Lemhannas RI yang telah memiliki program pendidikan dan pemantapan nilai kebangsaan terprogram, saat ini sedang mengembangkan program kegiatan pemantapan nilai kebangsaan maupun Training of Trainers (ToT) yang ditujukan kepada : Dosen dan Guru, Politisi, Media Massa dan Pengusaha. Dosen dan Guru. Berdasarkan laporan hasil survei BPS RI tentang Survei Kehidupan Bernegara (SKB) yang dilakukan tanggal 27 Mei 2011 hingga 29 Mei 2011, tampak dengan jelas kepercayaan dan harapan masyarakat yang begitu besar (43,4%) kepada tenaga pendidik (Guru dan Dosen) untuk memberikan edukasi dan sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Kepercayaan yang begitu besar dari masyarakat ini, harus direspon dengan tanggung jawab tenaga pendidik untuk selalu meningkatkan kemampuan profesi, dan memberikan keteladanan dalam tingkah laku di kehidupan inasyarakat sehari-hari. Profesi tenaga pendidik (guru dan dosen) yang tersebar merata di seluruh tanah air dan selalu ada dalam setiap jenjang pendidikan mulai dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga pendidikan tingkat Pasca Sarjana, mempunyai nilai yang sangat strategis dalam
pembentukan karakter bangsa melalui sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Dengan pertimbangan itu, Lemhannas RI menempatkan Dosen dan Guru sebagai prioritas untuk diberi pembekalan sebagai agen sosialisasi nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan. Politisi. Sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya sebagai pimpinan maupun anggota partai politik, para politisi sangat berperan dalam perumusan peraturan perundangan maupun kebijakan publik. Pemahaman yang komprehensif terhadap nilai – nllai empat pilar wawasan kebangsaan sangat dibutuhkan agar para politisi dapat memberikan sumbangsih pemikiran konstruktif dalam peraturan perundangan maupun kebijakan publik yang mengedepankan kepentingan bangsa mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Media Massa. Di era demokrasi, media massa dapat dipandang sebagai salah satu pilar yang mengawal terselenggaranya kehidupan demokrasi yang sehat, beretika dan bermartabat. Disamping itu, di tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, peran media massa menjadi sangat penting dan strategis dalam membentuk watak dan karakter bangsa. Dengan demikian, kalangan media massa perlu diberi pembekalan dan perluasan cakrawala pandang terkait arti pentingnya pemahaman nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan. Hal ini dimaksudkan agar kapasitas dan kemampuan yang dimiliki dapat mempercepat proses pembangunan watak dan karakter bangsa yang menjunjung tinggi Pancasila sebagai jati diri bangsanya. Pengusaha. Pengusaha merupakan salah satu motor penggerak perekonomian bangsa. Dalam menjalankan perannya, para pengusaha senantiasa dihadapkan pada pillhan dilematis antara kepentingan usaha dan kepentingan bangsa. Di era globalisasi dan perdagangan bebas, para pengusaha dituntut untuk memiliki kemampuan rnemilih dan memilah agar perekonomian bangsa dapat memajukan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara signifikan. Dengan pemahaman terhadap nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan, diharapkan para pengusaha mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan kemajuan rakyat. 5. Penutup. Harus diakui secara jujur, era reformasi yang membawa semangat perubahan dan keterbukaan telah membawa banyak perubahan positif maupun negatif bagi kehidupan nasional. Keterbukaan dan kebebasan individu yang merupakan ciri demokrasi barat semakin mendominasi pola pikir, pola sikap dan pola tindak generasi penerus bangsa. Semangat gotong royong yang merupakan jiwa dan semangat yang terkandung dalam Pancasila, mulai dikesampingkan dan diabaikan. Tata nilai baru yang belum sepenuhnya dipahami dan diterima oleh bangsa Indonesia telah mengakibatkan disharmonisasi hubungan vertikal maupun horisontal di antara masyarakat Indonesia yang majemuk. Berbagai permasalahan bangsa yang terjadi akhir – akhir ini, disebabkan semakin lunturnya toleransi atas perbedaan dan kemajemukan di antara komponen bangsa. Permasalahan ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena akan melemahkan sendi – sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, seluruh komponen bangsa dalam susunan Supra struktur, Infra struktur dan Sub struktur politik harus mampu membangun kembali komunikasi politik yang didasarkan atas kesadaran kolektif bangsa untuk mempertahankan nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan.
Sebagai salah satu pemangku kepentingan terkait sosialisasi empat pilar wawasan kebangsaan, Lemhannas RI bersama-sama dengan para pemangku kepentingan terkait lainnya, telah dan sedang menyusun upaya revitalisasi nilai luhur Pancasila dalam rangka memelihara jati diri ke-Indonesia-an di kalangan generasi penerus. Mengingat empat pilar wawasan kebangsaan merupakan keputusan yang dihasilkan melalui proses politik, maka upaya revitalisasi yang akan dilakukan harus melalui proses politik yang melibatkan setiap elemen yang ada dalam sistem politik Indonesia. 4 PILAR KEBANGSAAN
A. Pengertian Pilar Kebangsaan Berbicara tentang pancasila mungkin dianggap sudah begitu klasik dan membosankan bagi sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia. Sejak runtuhnya kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru oleh gerakan Reformasi yan memuncak dipertengahan Mei 1998 lalu, Pancasila memang nyaris dilakukan dan secara sadar mulai dikubur dalam-dalam dari ingatan kita sendiri. Termasuk pada peringatan kelahirannya yang ke-68 tahun ini, pun terasa begitu siasia saja, seakan tidak ada urgensinya sama sekali untuk dirayakan atau sekedar direfleksikan dan menjadi perhatian bersama. Bila dicermati, kini muncul pula permasalahan baru tentang pengukuhan pancasila sebagai falsafah dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Maret 2013 lalu, Ketua MPR RI Taufiq Kiemas mewakili lembaga negara yang dipimpin, memperoleh gelar kehormatan doctor honoris causa (H.C) dari Universitas Trisakti atas jasanya telah melahirkan gagasan sosialisasi 4 pilar kebangsaan Indonesia, yakni : 1. 2. 3. 4.
Pancasila Bhineka Tunggal Ika Undang Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Terlebih dahulu kita mulai dari mengenal kata “Pilar”, Pilar adalah tiang penguat atau penyangga. Pilar memiliki peran yang sangat sentral dan menentukan, karena bila pilar ini tidak kokoh atau rapuh akan berakibat robohnya bangunan yang disanggannya. Dalam bahasa Jawa tiang penyangga bangunan atau rumah ini disebut ”soko”, bahkan bagi rumah jenis joglo, yakni rumah yang atapnya menjulang tinggi terdapat empat soko di tengah bangunan yang disebut soko guru. Soko guru ini sangat menentukan kokoh dan kuatnya bangunan, terdiri atas batang kayu yang besar dan dari jenis kayu yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian orang yang bertempat di rumah tersebut akan merasa nyaman, aman dan selamat dari berbagai bencana dan gangguan. Demikian pula halnya dengan bangunan negara-bangsa, membutuhkan pilar atau soko guru yang merupakan tiang penyangga yang kokoh agar rakyat yang mendiami akan merasa nyaman, aman, tenteram dan sejahtera, terhindar dari segala macam gangguan dan bencana. Selanjutnya bila dihubungkan dengan 4 Pilar Kebangsaan, artinya ada 4 tiang penguat atau penyangga yang sama-sama kuat, untuk menjaga keutuhan berkehidupan kebangsaan Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa 4 Pilar Kebangsaan adalah 4 penyangga yang menjadi panutan dalam keutuhan bangsa Indonesia.
Gagasan yang gencar disosialisasikan sejak 3 tahunan lalu oleh lembaga MPR RI tersebut dinilai sangat efektif guna menanamkan kembali nilai-nilai luhur yang perlu dijadikan acuan dan pedoman bagi setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Pak Taufiq Kiemas, 4 pilar bangsa harus dijabarkan dan menjiwai semua peraturan perundangan, institusi pendidikan, pertahanan serta semua sendi kehidupan bernegara.
B. Isi 4 Pilar Kebangsaan
A. PILAR PANCASILA Pilar pertama bagi tegak kokoh berdirinya negara-bangsa Indonesia adalah Pancasila. Timbul pertanyaan, mengapa Pancasila diangkat sebagai pilar bangsa Indonesia. Perlu dasar pemikiran yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat diterima oleh seluruh warga bangsa, mengapa bangsa Indonesia menetapkan Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut alasannya. Pilar atau tiang penyangga suatu bangunan harus memenuhi syarat, yakni disamping kokoh dan kuat, juga harus sesuai dengan bangunan yang disangganya. Misal bangunan rumah, tiang yang diperlukan disesuaikan dengan jenis dan kondisi bangunan. Kalau bangunan tersebut sederhana tidak memerlukan tiang yang terlalu kuat, tetapi bila bangunan tersebut merupakan bangunan permanen, konkrit, yang menggunakan bahan-bahan yang berat, maka tiang penyangga harus disesuaikan dengan kondisi bangunan dimaksud. Demikian pula halnya dengan pilar atau tiang penyangga suatu negara-bangsa, harus sesuai dengan kondisi negara-bangsa yang disangganya. Kita menyadari bahwa negara-bangsa Indonesia adalah negara yang besar, wilayahnya cukup luas seluas daratan Eropah yang terdiri atas berpuluh negara, membentang dari barat ke timur dari Sabang sampai Merauke, dari utara ke selatan dari pulau Miangas sampai pulau Rote, meliputi ribuan kilometer. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17 000 pulau lebih, terdiri atas berbagai suku bangsa yang memiliki beraneka adat dan budaya, serta memeluk berbagai agama dan keyakinan, maka belief system yang dijadikan pilar harus sesuai dengan kondisi negara bangsa tersebut. Pancasila dinilai memenuhi syarat sebagai pilar bagi negara-bangsa Indonesia yang pluralistik dan cukup luas dan besar ini. Pancasila mampu mengakomodasi keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung konsep dasar yang terdapat pada segala agama dan keyakinan yang dipeluk atau dianut oleh rakyat Indonesia, merupakan common denominator dari berbagai agama, sehingga dapat diterima semua agama dan keyakinan. Demikian juga dengan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Manusia didudukkan sesuai dengan harkat dan martabatnya, tidak hanya setara, tetapi juga secara adil dan beradab. Pancasila menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, namun dalam implementasinya dilaksanakan dengan bersendi pada hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan Sedang kehidupan berbangsa dan bernegara ini adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk kesejahteraan
perorangan atau golongan. Nampak bahwa Pancasila sangat tepat sebagai pilar bagi negarabangsa yang pluralistik. Pancasila sebagai salah satu pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki konsep, prinsip dan nilai yang merupakan kristalisasi dari belief system yang terdapat di seantero wilayah Indonesia, sehingga memberikan jaminan kokoh kuatnya Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara Indonesia adalah negara hukum, yang bermakna bahwa hukum harus dijunjung tinggi dan ditegakkan. Setiap kegiatan dalam negara harus berdasar pada hukum, dan setiap warganegara harus tunduk dan taat pada hukum. Perlu kita sadari bahwa satu-satunya norma kehidupan yang diakui sah untuk memaksa warganya adalah norma hukum, hal ini berarti bahwa aparat pemerintah memiliki hak untuk memaksa, dan apabila perlu dengan kekerasan, terhadap warganegara yang tidak mau tunduk dan tidak mematuhi hukum. Memaksa adalah hak asasi aparat penyelenggara pemerintahan dalam menegakkan hukum. Suatu negara yang tidak mampu menegakkan hukum akan mengundang terjadinya situasi yang disebut anarkhi. Sebagai akibat warganegara berbuat dan bertindak bebas sesuka hati, tanpa kendali, dengan berdalih menerapkan hak asasi, sehingga yang terjadi adalah kekacauan demi kekacauan. Dewasa ini berkembang pendapat dalam masyarakat, aparat yang dengan tegas menindak perbuatan warganegara yang mengacau dinilai sebagai melanggar hak asasi manusia, bahkan sering diberi predikat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kita perlu sadar bahwa negara-bangsa Indonesia dewasa ini sedang dijadikan bulan-bulanan dalam penerapan dan pembelaan hak asasi manusia. Negara-bangsa Indonesia dibuat lemah tidak berdaya, sehingga kekuatan luar akan dengan gampang untuk menghancurkannya. Untuk menangkal pengaruh tersebut negara-bangsa Indonesia harus menjadi negara yang kokoh, berpribadi, memiliki karakter dan jatidiri handal sehingga mampu untuk menangkal segala gangguan. Agar dalam penegakan hukum ini tidak dituduh sebagai tindak sewenang-wenang, sesuka hati penguasa, melanggar hak asasi manusia, diperlukan landasan yang dapat dipertanggung jawabkan dan dapat diterima oleh rakyat. Landasan tersebut berupa cita hukum atau rechtsidee yang merupakan dasar filsafati yang menjadi kesepakatan rakyat Indonesia. Pancasila sebagai cita hukum mengejawantah dalam dasar negara, yang dijadikan acuan dalam menyusun segala peraturan perundang-undangan. Pancasila merupakan common denominator bangsa, kesepakatan bangsa, terbukti sejak tahun 1945 Pancasila selalu dicantumkan sebagai dasar negara. Pancasila dipandang cocok dan mampu dijadikan landasan yang kokoh untuk berkiprahnya bangsa Indonesia dalam menegakkan hukum, dalam menjamin terwujudnya keadilan.
B. PILAR UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Pilar kedua kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia adalah UndangUndang Dasar 1945. Dalam rangka memahami dan mendalami UUD 1945, diperlukan memahami lebih dahulu makna undang-undang dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Tanpa memahami prinsip yang terkandung dalam Pembukaan tersebut tidak mungkin mengadakan
evaluasi terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuhnya dan barbagai undangundang yang menjadi derivatnya. Makna Undang Undang Beberapa pihak membedakan antara pengertian konstitusi dan undang-undang dasar. Misal dalam kepustakaan Belanda, di antaranya yang disampaikan oleh L.J. van Apeldoorn, bahwa konstitusi berisi seluruh peraturan-peraturan dasar, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang berisi prinsip-prinsiup dan norma-norma hukum yang mendasari kehidupan kenegaraan, sedang undang-undang dasar hanya memuat bagian yang tertulis saja. Istilah undang-undang dasar sangat mungkin terjemahan dari grondwet (bahasa Belanda), yang berasal dari kata grond yang bermakna dasar dan wet yang berarti hukum, sehingga grondwet bermakna hukum dasar. Atau mungkin juga dari istilah Grundgesetz yang terdiri dari kata Grund yang bermakna dasar dan Gesetz yang bermakna hukum. Sangat mungkin para founding fathers dalam menyusun rancangan UUD mengikuti pola pikir ini.
C. PILAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Sebelum kita bahas mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia ada baiknya bila kita fahami lebih dahulu berbagai bentuk Negara yang ada di dunia, apa kelebihan dan kekurangannya, untuk selanjutnya kita fahami mengapa para founding fathers negara ini memilih negara kesatuan. Bentuk Negara seperti konfederasi, federasi dan kesatuan, menurut Carl J. Friedrich, merupakan bentuk pembagian kekuasaan secara teritorial atau territorial division oif power. Berikut penjelasan mengenai bentuk-mentuk Negara tersebut. 1. Konfederasi Menurut pendapat L. Oppenheim dalam bukunya Edward M. Sait menjelaskan bawa :”A confederacy consists of a number of full sovereign states linked together for the maintenance of their external and internal independence by a recognized international treaty into a union with organs of its own, which are vested with a certain power over the members-states, but not over the citizens of these states.” Oleh Prof. Miriam Budiardjo diterjemahkan sebagai berikut :”Konfederasi terdiri dari beberapa negarza yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern, bersatu atas perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap Negara anggota konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara negara-negara itu.Contoh konfederasi adalah Negara Amerika Serikat yang terdiri atas 13 negara bekas koloni jajahan Inggris. selama 8 tahun yang berakhir pada tahun 1789, karena dipandang merupakan bentuk negara yang kurang kokoh, karena tidak jelas bentuk kepalan negaranya 2. Negara Federal Ada berbagai pendapat mengenai negara federal, karena negara federal yang satu berbeda dengan negara yang lain dalam menerapkan division of power. Menurut pendapat K.C. Wheare dalam bukunya Federal Government, dijelaskan bahwa prinsip federal ialah bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam bidang-bidang tertentu adalah bebas satu sama lain. Misalnya dalam soal hubungan luar negeri dan soal mencetak uang, pemerintah federal sama sekali bebas dari campur tangan dari
pemerintah negara bagian, sedangkan dalam soal kebudayaan, kesehatan dan sebagainya, pemerintah negara bagian biasanya bebas dengan tidak ada campur tangan dari pemerintah federal 3. Negara Kesatuan Menurut C.F. Strong negara kesatuan ialah bentuk negara di mana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian sepenuhnya terletak pada pemerin-tah pusat. Dengan demikian maka kedaulatannya tidak terbagi. Marilah kita mencoba menelaah, sejauh mana Pembukaan UUD 1945 memberikan akomodasi terhadap bentuk negara tertentu, federasi atau kesatuan. Pada alinea kedua disebutkan :” . . . dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Kata atau istilah bersatu tidak dapat dimaknai bahwa kedaulatan negara terpusat atau terdistribusi pada pemerintah pusat dan negara bagian, sehingga tidak dapat dijadikan landasan untuk menentukan apakah Negara Republik Indonesia berbentuk federal atau kesatuan. Mungkin salah satu landasan argument bagi bentuk negara adalah rumusan sila ketiga yakni “persatuan Indonesia.” Landasan inipun dipandang tidak kuat sebagai argument ditentukannya bentuk negara kesatuan. Untuk itu perlu dicarikan landasan pemikiran mengapa bangsa Indonesia menentukan bentuk Negara Kesatuan, bahkan telah dinyatakan oleh berbagai pihak sebagai ketentuan final. Bentuk Negara Kesatuan adalah ketentuan yang diambil oleh para founding fathers pada tahun 1945 berdasarkan berbagai pertimbangan dan hasil pembahasan yang cukup mendalam. Namun dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia pernah juga menerapkan bentuk negara federal sebagai akibat atau konsekuensi hasil konferensi meja bundar di Negeri Belanda pada tahun 1949. Namun penerapan pemerintah federal ini hanya berlangsung sekitar 7 bulan untuk kemudian kembali menjadi bentuk Negara kesatuan. Sejak itu Negara Replublik Indonesia berbentuk kesatuan sampai dewasa ini, meskipun wacana mengenai negara federal masih sering timbul pada permukaan, utamanya setelah Negara-bangsa Indonesia memasuki era reformasi. Namun nampaknya telah disepakati oleh segala pihak bahwa bentuk negara kesatuan merupakan pilihan final bangsa. Untuk dapat memahami bagaimana pendapat para founding fathers tentang negara kesatuan ini ada baiknya kita sampaikan beberapa pendapat anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, di antaranya mengusulkan sebagai dasar negara yang akan segera dibentuk adalah faham kebangsaan, sebagai landasan berdirinya negara kebangsaan atau nationale staat. Berikut kutipan beberapa bagian dari pidato tersebut. “Di antara bangsa Indonesia, yang paling ada le desir d’etre ensemble, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 ½ milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan suatu kesatuan, melainkan hanya satu bagian daripada satu kesatuan. Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d’etre ensemble, tetapi Yogya pun hanya sebagian kecil daripada satu kesatuan. Di Jawa Barat Rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d’etre ensemble, tetapi Sunda pun satu bagian kecil daripada kesatuan.
Dari kutipan pidato tersebut tidak dapat dijadikan landasan argumentasi bagi terbentuknya negara kesatuan. Apalagi kalau kita ikuti lebih lanjut pidato Bung Karno yang justru memberikan gambaran negara kebangsaan pada negara-negara federal seperti Jermania Raya, India dan sebagainya. Dengan demikian sila ketiga Pancasila “persatuan Indonesia,” tidak menjamin terwujudnya negara berbentuk kesatuan, tetapi lebih ke arah landasan bagi terbentuknya negara kebangsaan atau nation-state. Untuk mencari landasan bagi Negara kesatuan para founding fathers lebih mendasarkan diri pada pengalaman sejarah bangsa sejak zaman penjajahan, waktu perjuangan kemerdekaan sampai persiapan kemerdekaan bangsa Indonesia. Penjajah menerapkan pendekatan devide et impera, atau pecah dan kuasai. Pendekatan tersebut hanya mungkin dapat diatasi oleh persatuan dan kesatuan. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan melawan penjajah selalu dapat dipatahkan oleh penjajah dengan memecah dan mengadu domba. Hal ini yang dipergunakan sebagai alasan dan dasar dalam menentukan bentuk negara kesatuan.
D. PILAR BHINNEKA TUNGGAL IKA Sesanti atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh mPu Tantular, pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, “ yang artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.” Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian. Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diungkap oleh mPu Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam Lambang Negara Republik Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”. Pada perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan resmi yang terdapat dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36 A UUD 1945. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mengacu pada bahasa Sanskrit, hampir sama dengan semboyan “e Pluribus Unum”, Semboyan Bangsa Amerika Serikat yang maknanya diversity in unity, perbedaan dalam kesatuan. Semboyan tersebut terungkap di abad ke XVIII, sekitar empat abad setelah mpu Tantular mengemukakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sangat mungkin tidak ada hubungannya, namun yang jelas konsep keanekaragaman dalam kesatuan telah diungkap oleh mPu Tantular lebih dahulu. Kutipan tersebut berasal dari pupuh biat, kekawin Sutasoma yang lengkapnya sebagai berikut: Jawa Kuna ~Alih bahasa Indonesia~ Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Sasanti yang merupakan karya mPu Tantular, yang diharapkan dijadikan acuan bagi rakyat Majapahit dalam berdharma, oleh bangsa Indonesia setelah menyatakan kemerdekaannya, dijadikan semboyan dan pegangan bangsa dalam membawa diri dalam hidup berbangsa dan bernegara. Seperti halnya Pancasila, istilah Bhinneka Tunggal Ika juga tidak tertera dalam UUD 1945 (asli), namun esensinya terdapat didalamnya , seperti yang dinyatakan :” Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, terdiri atas anggotaanggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.” Selanjutnya dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan :”Di daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan voksgemeenschappen. Daerah daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.” Maknanya bahwa dalam menyelenggarakan kehidupan kenegaraan perlu ditampung keanekaragaman atau kemajemukan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dan Undang-Undang Dasar Sementera tahun 1950, pasal 3 ayat (3) menentukan perlunya ditetapkan lambang negara oleh Pemerintah. Sebagai tindak lanjut dari pasal tersebut terbit Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951 tentang Lambang Negara. Baru setelah diadakan perubahan UUD 1945, dalam pasal 36A menyebutkan :”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.” Dengan demikian Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang merupakan kesepakatan bangsa, yang ditetapkan dalam UUDnya. Oleh karena itu untuk dapat dijadikan acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka Tunggal Ika perlu difahami secara tepat dan benar untuk selanjutnya difahami bagaimana cara untuk mengimplementasikan secara tepat dan benar pula. Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat dipisahkan dari Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia, dan Dasar Negara Pancasila. Hal ini sesuai dengan komponen yang terdapat dalam Lambang Negara Indonesia. Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951 disebutkan bahwa : Lambang Negara terdiri atas tiga bagian, yaitu: 1. Burung Garuda yang menengok dengan kepalanya lurus ke sebelah kanannya; 2. Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan 3. Semboyan yang ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Di atas pita tertulis dengan huruf Latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa Kuno yang berbunyi : BHINNEKA TUNGGAL IKA.
C.
OPINI PARA AHLI TERHADAP PANCASILA DALAM 4 PILAR
Namun belakangan ini, gagasan 4 Pilar Kebangsaan ini dihuhat oleh sejumlah kalangan yang tidak setuju penempatan Pancasila sebagai Pilar Kebangsaan. Menurut mereka, Pancasila sebagai pondasi dasar, bukan salah satu pilar dalam kehidupan kebangsaan.
Selain itu, beberapa kalangan menganggap 4 Pilar Kebangsaan itu menjadi sebuah doktrin baru yg sesungguhnya tidak perlu, yang akan mengakibatkan para pelajar hanya akan hafal 4 Pilar Kebangsaan secara mendetail, sementara Pancasila hanya menjadi salah satu pilar saja di antara 4 Pilar Kebangsaan itu. Jadi secara psikologis doktrin 4 Pilar Kebangsaan itu sangat berbahaya bagi kelestarian Pancasila
D.
CARA MENJAGA 4 PILAR KEBANGSAAN
Ada empat pendekatan untuk menjaga empat pilar kebangsaan yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat pendekatan tersebut yaitu pendekatan kultural, edukatif, hukum, dan struktural, dibutuhkan karena saat ini pemahaman generasi muda terhadap 4 pilar kebangsaan menipis. 1. Pendekatan kultural adalah dengan memperkenalkan lebih mendalam tentang budaya dan kearifan lokal kepada generasi muda. Hal ini dibutuhkan agar pembangunan oleh generasi muda di masa depan tetap mengedepankan norma dan budaya bangsa. Pembangunan yang tepat, harus memperhatikan potensi dan kekayaan budaya suatu daerah tanpa menghilangkan adat istiadat yang berlaku. Generasi muda saat ini adalah calon pemimpin bangsa, harus paham norma dan budaya leluhurnya. Sehingga di masa depan tidak hanya asal membangun infrasturktur modern, tetapi juga menyejahterakan masyarakat. 2. Pendekatan edukatif perlu karena saat ini sangat marak aksi kriminal yang dilakukan generasi muda, seperti tawuran, pencurian, bahkan pembunuhan. Kebanyakan aksi tersebut terjadi saat remaja berada di luar sekolah maupun di luar rumah. Oleh sebab itu perlu ada pendidikan di antara kedua lembaga ini. Di rumah kelakuannya baik, di sekolah juga baik. Namun ketika di antara dua tempat tersebut, kadang remaja berbuat hal negatif. Ini yang sangat disayangkan. Orangtua harus mencarikan wadah yang tepat bagi anaknya untuk memaknai empat pilar kebangsaan semisal lewat kegiatan di Pramuka. 3. Pendekatan hukum adalah segala tindakan kekerasan dalam bentuk apapun harus ditindak dengan tegas, termasuk aksi tawuran remaja yang terjadi belakangan. Norma hukum harus ditegakkan agar berfungsi secara efektif sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku kriminal sekaligus menjadi pelajaran bagi orang lain. 4. Pendekatan yang terakhir adalah pendekatan struktural. Keempat pilar ini perlu terus diingatkan oleh pejabat di seluruh tingkat. Mulai dari Ketua Rukun Tetangga, Rukun Warga, kepala desa, camat, lurah sampai bupati/wali kota hingga gubernur.Bangsa kita sedang terkoyak, dari luar kita dijadikan sasaran penghisapan oleh kepentingan asing, sementara di dalam, kita masih terpuruk dengan benang kusut budaya korupsi anggaran negara, kerusuhan sosial dan konflik horizontal, lemahnya taraf hidup masyarakat, minimnya akses pendidikan dan kesehatan, juga belitan persoalan lainnya. Pancasila sebagai gagasan pencerah semestinya dapatlah kembali menginsprasi jiwa kita secara utuh sebagai Bangsa merdeka yang punya kemampuan untuk mewujudkan
cita-cita nasional tentang Bangsa Indonesia yang berdaulat, mandiri, berkepriadian, adil dan makmur.