Pkmi (isi)

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pkmi (isi) as PDF for free.

More details

  • Words: 3,876
  • Pages: 13
1

OPTIMALISASI POTENSI KELAPA DALAM MENINGKATKAN TARAF EKONOMI MASYARAKAT DESA PUDONGGALA, SULAWESI TENGGARA

Farhan Ramdhani Istianandar, Fitri Lapau, Agung Julianto, Novi Iradamayanti Ringkasan Indonesia adalah salah satu pusat penghasil kelapa. Desa Pudonggala di Sulawesi Tenggara merupakan subpusat produksi kelapa Indonesia dengan jumlah produksi kopra 16 ton setiap bulan atau kisaran produksi 900 1.200 kg/ha setiap 3 bulan. Kelapa merupakan golongan buah sejati berdaging dengan intensitas panen empat kali dalam satu tahun. Beragam produk dapat diproduksi berbahan baku kelapa, seperti: VCO (Virgin Coconut Oil), arang aktif, asap cair, nata de coco, dan lain sebagainya. Potensi kelapa yang dimiliki Desa Pudonggala belum dapat teroptimalkan dalam pengolahan produksi lanjutan. Diversifikasi produk dilakukan sebatas pembuatan kopra dan minyak kelapa, pemasaran dan proses produksinya pun masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan terkendala teknologi, permodalan, daya serap pasar yang belum merata, serta kurangnya sosialisasi produk olahan lanjutan berbahan baku kelapa. Beberapa poin yang kami sarankan sebagai upaya meningkatkan nilai ekonomi komoditi kelapa, yaitu: Diversifikasi Produk Komoditi Kelapa, Optimalisasi Produksi dan Proses Pengolahan Lanjutan, Perintisan Asosiasi Cabang, dan Bantuan Permodalan. Kata kunci: kelapa, produksi kelapa, diversifikasi produk

Abstract Indonesia is either production coconut center. Pudonggala Village at Southeast Sulawesi is constitute subcentre with rate of production 16 ton/month or 900-1.200 kg/ha every 3 months. Coconut is real fruit with intencity crop 4 sessions in one year. Some diversification products are made from coconut material, for example: VCO (Virgin Coconut Oil), active slag, liquid smoke, nata de coco, and etc. Coconut of capability at Pudonggala Village doesn t optimum in manufacturing to product the others product. Diversification product has made only copra and coconut oil its marketing and manufacturing was limited. This situation was caused by technology constraint, marketing wasn t smooth, and minimum socialization about manufacturing product with coconut material. Some points we suggest as step to increase economy value of coconut commodity, namely: Diversification Product of Coconut Comodity, Production and Manufacturing Optimalization, Association Pioneering Branch, and Financial Loan. Key words: coconut, coconut production, diversification product

2

PENDAHULUAN Potensi Kelapa Dalam tahun 2005 lahan perkebunan kelapa diseluruh dunia mencapai 12,5 juta hektar, dengan tingkat produksi 11,72 juta ton. Jumlah tersebut mengalami peningkatan 2,47% dibandingkan tahun 2004. Dari jumlah areal perkebunan 12,5 juta hektar, sebanyak 87,9% atau sebanyak 10,78 juta hektar dikuasai negara-negara yang tergabung dalam APCC (Asian and Pacific Coconut Community). Salah satu negara yang menjadi anggota APCC adalah Indonesia. Saat ini Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki luas perkebunan kelapa terbesar di dunia, yakni 3,712 juta hektar. Sebagian besar perkebunan yang ada merupakan perkebunan rakyat (96,6%), sedangkan sisanya dimiliki oleh negara (0,7%) dan swasta (2,7%). Dari potensi produksi sebesar 15 milyar butir pertahun, yang dimanfaatkan hanya sebesar 7,5 milyar butir pertahun atau sekitar 50% dari potensi produksi. (www.kapanlagi.com) 24.634 ton produksi kelapa Indonesia atau (1,64%) disumbang oleh Sulawesi Tenggara, dengan luas lahan 65.085 hektar atau (1,7%) dari luas lahan keseluruhan (Tabel 1.1). (www.bkpm.go.id) No. 1 2 3 4 5 6 7

Nama Daerah Luas Lahan Ha) Produksi (Ton) Kabupaten Bombana 14.086 8.753 Kabupaten Kolaka 4.777 2.126 Kabupaten Kolaka Utara 33.423 4.465 Kabupaten Muna 8.486 6.304 Kabupaten Wakatobi 3.429 2.428 Kota Bau-Bau 267 83 Kota Kendari 617 475 Jumlah 65.085 24.634 Tabel 1.1 Persebaran lahan kelapa serta jumlah produksi yang dihasilkan Selain tujuh daerah diatas, daerah lain yang ikut berkontribusi terhadap jumlah produksi kelapa Sulawesi Tenggara diantaranya, Kabupaten Konawe Utara. Sebagai salah satu sentra kelapa, dengan luas areal sebesar 1.814 hektar, yang tersebar di 7 kecamatan wilayah dan jumlah produksi kelapa dalam dengan cerminan produksi kopra yakni sebesar 1.340,6 ton pada tahun 2007. Dari 7 kecamatan, Kecamatan Lasolo dan Kecamatan Sawa memiliki luas areal dan produksi kelapa terbesar dengan luas areal di Kecamatan Lasolo 627 hektar dengan jumlah produksi kopra sebesar 348 ton pada tahun 2007 dan luas areal di Kecamatan Sawa sebesar 475 hektar dengan produksi kopra sebesar 365 ton pada tahun 2007. (Data Dinas Pertanian Kabupaten Konawe Utara). Pada kesempatan saat ini, kami membatasi pembahasan pada Desa Pudonggala, Kecamatan Sawa.

3

Klasifikasi Biologis

Kelapa merupakan buah yang muncul atau tumbuh dari bakal buah itu sendiri, karena itu kelapa dimasukan ke dalam golongan buah sejati yang berdaging. Di dalam penggolongan buah sejati ini, kelapa (Cocos nucifera) memiliki beberapa lapisan inti yakni: 1. Kulit luar (exocarpium), berciri tipis, menjagat, licin, dan berupa sisik 2. Kulit tengah (mesocarpium), yakni lapisan tebal berambut (sabut kelapa) 3. Kulit dalam (endocarpium), inilah yang disebut dengan tempurung kelapa. Selain lapisan tersebut, terdapat pula bagian yang disebut embrio, dimana embrio ini merupakan calon individu baru dari tumbuhan induk. Adanya sisik pada exocarpium ini memungkinkan embrio terlindungi saat terbawa arus. Hal ini dikarenakan air tidak dapat masuk ke dalam lapisan berikutnya. Kelapa diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Regnum (dunia) : plantae (tumbuhan) 2. Divisio (bagian) : spermatophyta (tumbuhan berbiji) 3. Clasis (kelas) : monocotyledon (berdaun lembaga Satu 4. Ordo (bangsa) : palmales (bangsa palem) 5. Family (suku) : araceae 6. Genus (marga) : cocos 7. Species (jenis) : Cocos nucifera

BAHAN dan METODE

Penulisan ini kami lakukan berdasar kegiatan survey lapangan yang kami lakukan di Desa Pudonggala, Kecamatan Sawa, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Survey lapangan dimaksudkan untuk mengetahui kondisi objektif yang lebih akurat tentang potensi komoditi kelapa. Selain hasil penelitian di lapangan, bahan tulisan di dapat dari referensi, data yang relevan dari pihak terkait yang sifatnya sekunder. Kegiatan ini kurang lebih dilakukan selama 3 bulan.

HASIL PENELITIAN Letak Strategis Desa Pudonggala terletak di Kecamatan Sawa, dengan luas 722 hektar, dengan penduduk berjumlah 92 kk (372 Jiwa). Mata pencaharian utama masyarakat

4

adalah petani perkebunan (kelapa, jambu mete, kakao). Areal tanaman kelapa di Desa Pudonggala ± 40 hektar, dengan jumlah produksi kopra 16 ton setiap bulan atau kisaran produksi 900 1.200 kg/ha setiap 3 bulan.

Produksi Kelapa

Berdasarkan data potensi desa, diketahui bahwa kepemilikan lahan areal kelapa dalam di Desa Pudonggala umumnya berstatus sertifikat. Lahan diperoleh dari hasil mengolah sendiri maupun dari warisan orang tua, dengan perincian tanah bersertifikat sebanyak 40 hektar dan tanah warisan sebanyak ± 10 hektar. Sekitar 70% dari luas areal tanaman kelapa di Desa Pudonggala dilakukan dengan sistem monokultur dan sekitar 30% diantaranya dilakukan dengan cara tumpang sari antara tanaman kelapa dengan tanaman lain seperti kakao, pisang, dan jambu mete. Umumnya tanaman kelapa yang ada terpelihara dengan cukup baik. Hal ini terlihat dari kurangnya rumput dan daun kering di bawah pohon kelapa. Pemeliharaan areal lahan dilakukan dengan cara pembersihan daun kering dan bekas tandan kering pada saat panen (pemetikan buah) sedangkan kegiatan pemupukan tidak dilakukan. Produksi buah kelapa dipanen dengan jalan dipanjat dengan durasi waktu setiap 3 bulan. Hasil buah kelapa biasanya diolah menjadi kopra atau minyak kelapa. Jumlah produksi kopra setiap kali panen sekitar 900 1.200 kg/ha, dimana setiap kilogramnya membutuhkan kelapa sekitar 5 - 7 buah. Minyak kelapa yang dihasilkan sebagian besar tidak untuk dijual, namun digunakan untuk konsumsi sendiri atau pesta pernikahan. Pemasaran hasil produksi kelapa dilakukan dengan menjual dalam bentuk kopra atau kelapa biji. Proses penjualan produksi kelapa ini tidak sulit karena umumnya pembeli datang membeli secara langsung ke petani, dengan harga jual kopra sebesar Rp310.000/kwintal, sedangkan kelapa biji dijual seharga Rp600-800/biji. Hasil produksi kopra umumnya dibeli oleh pedagang dari Kendari, sedangkan hasil produksi kelapa biji dibeli oleh pengumpul dari Kendari maupun pengumpul dari masyarakat Desa Kokapi. Bagi pengumpul lokal biasanya kelapa biji yang dibeli diolah menjadi kopra, atau dijual dalam bentuk biji ke pengumpul dari Kendari.

Sarana Transportasi

Jenis angkutan umum yang dapat diakses oleh masyarakat berupa ojek dan mobil angkutan rute Kendari Kecamatan Asera, Kendari Kecamatan Lasolo, Kendari Kecamatan Sawa dengan jumlah rit 1 kali/hari. Sarana transportasi ini

5

digunakan masyarakat jika ingin melakukan perjalanan baik dalam maupun keluar desa (Tabel 1.2). Daerah tujuan Jarak (km) Jenis angkutan Jumlah Rit/hari Dalam Desa 5 Ojek/jalan kaki Sesuai kebutuhan Ibukota Kecamatan 3 Ojek Sesuai kebutuhan Ibukota Kabupaten 49 Mobil Penumpang dan Ojek 1 Rit/hari Ibukota Propinsi 57 Mobil Penumpang dan Ojek 1 Rit/hari Tabel 1.2 Sarana tansportasi dalam dan keluar Desa Pudonggala Faktor Penghambat

Secara umum faktor penghambat yang dihadapi oleh petani kelapa yaitu: 1. Pengembangan areal penanaman kelapa a. Terbatasnya luas areal yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengembangkan tanaman kelapa. Hal ini dikarenakan terbatasnya kepemilikan lahan yang dimiliki, kalaupun ada tetapi kondisinya berjarak cukup jauh dari pemukiman dan tanah tidak cocok untuk penanaman kelapa. b. Umur produksi kelapa dirasa cukup lama (6 7 tahun baru mulai berproduksi) c. Hama seperti babi, khususnya pada saat tanaman kelapa baru ditanam (umur 0-1 tahun) 2. Pengolahan Petani belum memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam pengolahan kelapa selain kopra dan minyak kelapa. 3. Pemasaran. Tingkat harga kopra saat ini cukup rendah dan berfluktuatif.

Faktor Pendukung

1. Pengembangan areal penanaman kelapa a. Bibit kelapa mudah diperoleh, terutama bibit lokal b.Keterampilan budidaya kelapa telah diketahui karena umumnya masyarakat berprofesi sebagai petani kelapa. c. Pemeliharaan tanaman mudah, dan jika tanaman kelapa telah berusia diatas 3 tahun, maka hama atau penyakit sudah kurang dijumpai. 2. Pengolahan Masyarakat petani kelapa umumnya telah memiliki keterampilan dalam pengolahan kelapa menjadi kopra dan minyak kelapa, walaupun terkadang masih kurang memperhatikan aspek kualitas. 3. Pemasaran

6

Pemasaran kopra dan kelapa biji cukup mudah karena pembeli umumnya datang secara langsung ke petani (kopra, kelapa biji)

PEMBAHASAN Prospek Ekonomi Komoditi Kelapa Optimalisasi potensi kelapa seringkali terkendala teknologi, permodalan, dan daya serap pasar yang belum merata. Padahal, selain sebagai salah satu sumber minyak nabati, tanaman kelapa menjadi sumber pendapatan bagi keluarga petani, sumber devisa negara, dan penyedia lapangan kerja. Karena itu muncul istilah di kalangan masyarakat yang menyebutkan bahwa pohon kelapa adalah pohonnya industri. Beberapa produk yang telah dikembangkan dengan bahan baku kelapa diantaranya: Virgin Coconut Oil (VCO), minyak goreng sehat, biodiesel pengganti solar, bioethanol pengganti bensin, briket arang, asap cair sebagai bahan pengawet alami, natadecoco, aneka produk kerajinan dari sabut kelapa, dan aneka produk kosmetik. Proyeksi perputaran uang tahunan di Desa Pudonggala yang kurang lebih mencapai Rp.93.000.000 terasa masih kecil jika hasil panen komoditi kelapa yang ada kemudian dilakukan diversifikasi produk, tidak hanya dibuat kopra. Kopra yang dihargai Rp. 3.100 per kg, sabut kelapa Rp. 1.000 per karung, buah kelapa gelondongan yang dihargai Rp. 600-800 per biji, tempurung kelapa yang dibakar atau dibiarkan begitu saja tidak akan menjadi nilai tambah, seandainya menjadi nilai tambah pun, akan menjadi nilai tambah yang lemah untuk mendongkrak taraf ekonomi masyarakat, ditambah dengan cara pengolahan yang terbilang tradisional.

Gambar 2.1 (Kiri) Salah satu gudang kopra di Kecamatan Sawa, (Kanan) Sabut kelapa dengan harga jual Rp. 1.000 per karung. Di pasar luar, kelapa yang kemudian diolah menjadi produk VCO dihargai Rp. 100.000 sampai Rp. 300.000 per liter, sementara untuk pasar ekspor berkisar US$

7

10-US$ 12 per liter. Belum lagi bila produsen luar negeri kemudian mengemas VCO menjadi obat, harganya bisa US$ 18 per 16 ml (US$ 1.125 per liter). Kemudian, serat sabut kelapa yang sebetulnya dapat menjadi bahan baku kerajinan tangan juga bahan baku springbed di pasar dunia dihargai Rp. 2.000 per kg, sehingga untuk pengiriman minimal 1 kontainer setara 22 ton, beromzet Rp. 44.000.000. Dan tentunya tempurung yang sampai saat ini kita manfaatkan menjadi arang alakadarnya, sebetulnya bisa dimanfaatkan sebagai bahan pengawet, dengan diversifikasi produk asap cair (bioshell) dan nilai ekonomi cukup tinggi, Rp. 20.000 per liter. (www.blognyaKAGE.wordpress.com) Berasumsikan harga pasar olahan komoditi kelapa diatas, juga di luar kendalakendala yang dihadapi oleh masyarakat Desa Pudonggala dalam melakukan pengolahan lanjutan, diversifikasi produk akan mendongkrak nilai ekonomi kelapa secara signifikan, misal: pembuatan VCO. Rata-rata produksi tiap hektar diasumsikan 1 ton setiap satu kali panen. Satu liter VCO memerlukan 10 buah kelapa, atau dari satu ton kelapa maka didapatkan 100 liter. Harga rata-rata VCO diasumsikan Rp. 200.000 per liter, maka jika dikalikan, untuk pembuatan VCO saja tiap hektarnya menghasilkan Rp. 20.000.000. Dikurangi biaya bahan baku, biaya operasional, dan biaya lainnya, laba bersih kurang lebih dapat mencapai Rp. 10.000.000. Dapat dibayangkan seberapa besarnya perputaran uang di Desa Pudonggala jika semua hasil panen dari 40 ha luas area perkebunan kelapa yang ada dibuat VCO.

Optimalisasi Potensi Kelapa Dalam Meningkatkan Taraf Ekonomi Masyarakat

Beberapa langkah yang dapat dilakukan sebagai upaya meningkatkan taraf ekonomi masyarakat Desa Pudonggala, melalui peningkatkan nilai ekonomi komoditi kelapa, yaitu: 1. DiversifikasiProduk Komoditi Kelapa 2. Optimalisasi Produksi dan Proses Pengolahan Lanjutan 3. Perintisan Asosiasi Cabang 4. Bantuan Permodalan

Diversifikasi Produk Komoditi Kelapa Patut disayangkan potensi dan hasil olahan komoditi kelapa yang dilakukan masyarakat Desa Pudonggala sampai saat ini baru sampai pada pembuatan kopra, walaupun tentunya ini bukan kesalahan mutlak masyarakat desa tersebut, karena temuan kami di lapangan bahwa masyarakat dan perangkat desa menyatakan bahwa belum pernah ada sosialisasi tentang bagaimana mengoptimalkan potensi kelapa, baik prapanen ataupun pasca panen, seperti apa pemasaran yang efektif dan efisien, divesifikasi produk seperti apa yang dapat meningkatkan nilai ekonomi komoditi kelapa, sehingga metode produksi, diversifikasi produk, dan sasaran pemasaran tidak dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan.

8

Sampai saat ini, melihat kondisi sosial-ekonomi masyarakat Desa Pudonggala, beberapa diversifikasi produk yang memungkinkan untuk dilakukan diantaranya: pengolahan sabut kelapa, tempurung kelapa, dan pembuatan nata de coco. Sabut kelapa merupakan bagian terbesar dari buah kelapa (35% dari bobot buah kelapa) hanya dihargai Rp. 1.000 per karung, padahal jika diolah dengan baik akan menghasilkan serat sabut kelapa dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Karena sifat fisika dan kimia serat yang dimiliki oleh sabut kelapa ini, sehingga membuat bahan baku alamiah ini mulai dimanfaatkan sebagai bahan baku industri karpet, jok, dashboard kendaraan, kasur, bantal, dan hardboard. Pemanfaatan sabut kelapa lain yang tidak kalah menarik adalah sebagai coco peat yaitu sabut kelapa yang diolah menjadi butiran-butiran gabus sabut kelapa. Coco peat dapat menahan kandungan air dan unsur kimia pupuk, serta dapat menetralkan keasaman tanah. Karena sifat tersebut, sehingga coco peat dapat digunakan sebagai media yang baik untuk pertumbuhan tanaman hortikultura dan media tanaman rumah kaca. Berdasarkan studi yang dilakukan Bank Indonesia, harga serat sabut kelapa ditingkat produsen berkisar antara Rp. 500 - Rp. 600 per kg, sedangkan harga di tingkat pembeli (Jakarta) berkisar anatara Rp. 900 Rp. 1.200 per kg, tergantung kualitas sabut yang dihasilkan, dan harga serat sabut kelapa di pasaran ekspor berkisar US $ 210 per ton.(Data Pola Pembiayaan Usaha Kecil Bank Indonesia) Kemudian tempurung kelapa, selain dapat digunakan sebagai bahan kerajinan tangan, perabot rumah tangga, tempurung kelapa juga dapat digunakan sebagai bahan pembuat pengawet alami, yaitu asap cair (bioshell). Selain tiga bentuk olahan yang berasal dari tempurung kelapa, satu lagi bentuk olahan yang dapat dilakukan, yaitu pembuatan briket arang. Briket yang terbuat dari tempurung kelapa memiliki keunggulan tersendiri, diantaranya tidak membuat pedih pada mata, dan tidak membuat kotor lingkungan sekitar. Bahkan, di Negara Filiphina olahan kelapa menjadi briket arang dapat menembus harga Rp. 400.000 per kilogram. Beragam produk olahan yang masih dapat dimanfaatkan, misalnya pembuatan nata de coco, pembuatan kecap dari air kelapa, bahkan batangan pohon kelapa yang sering digunakan sebagai jembatan dapat disulap menjadi suatu rumah pasang yang menarik. Tiga bentuk diversifikasi ini akan dapat dikembangkan dalam bentuk produk lain, dioptimalkan dengan adanya kerjasama pihak terkait, baik untuk permodalan, ataupun mekanisasi produksi, sehingga efisiensi dan efektifitas dapat tercapai.

Optimalisasi Produksi dan Proses Pengolahan Lanjutan Diversifikasi produk yang dilakukan tidak akan efektif dan efisien jika tidak didukung oleh suplai bahan baku, karena proses pengolahan yang tidak ditunjang dengan suplai bahan baku akan berbalik menjadi biaya tambah yang harus dikeluarkan. Poin yang ingin kami tekankan disini adalah pola penanaman kelapa yang sifatnya lebih aplikatif, serta dapat langsung diterapkan oleh masyarakat sebagai langkah prapanen, dimana untuk pascapanen dalam pengolahan lanjutan dapat ditindaklanjuti ke depan. Karena itu dibutuhkan bagaimana cara untuk memperoleh

9

keterampilan pengolahan baik itu untuk pembuatan VCO, pengolahan sabut kelapa, pembuatan asap cair, dan lain sebagainya yang dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan secara intens, apalagi dengan hadirnya Asosiasi, lembaga studi yang berkonsentrasi terhadap kelapa akan mempermudah kebutuhan dalam memenuhi keterampilan yang dibutuhkan. Pengusahaan tanaman sela di antara kelapa sudah tidak diragukan lagi manfaatnya bagi peningkatan pendapatan petani dan belum ada bukti adanya pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa. Bahkan sebaliknya, dapat meningkatkan produksi kelapa. Meskipun demikian, pemanfaatan sumbedaya lahan tersebut belum mencapai tingkat optimal. Upaya peningkatan optimalisasi sumberdaya lahan tersebut berkaitan dengan dua aspek yaitu (a) aspek spatial (ruang) dan (b) aspek temporal (waktu). Aspek spatial berkaitan dengan maksimum areal yang dapat digunakan untuk tanaman lain pada tingkat populasi atau produksi kelapa yang relatif sama. Sementara aspek temporal berkaitan dengan kontinuitas dan jangka waktu pemanfaatan lahan di antara kelapa yang berhubungan dengan tersedianya iklim mikro yang sesuai sepanjang usaha tani polikultur yang akan diterapkan. Kedua aspek ini menentukan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya lahan di antara kelapa secara berkelanjutan. Hingga saat ini di tingkat petani maupun perkebunan besar, jarak dan sistem tanam kelapa konvensional adalah 8.5x8.5 m, 9x9 m atau 10x10 m dengan sistem tanam segitiga atau segiempat. Pada jarak dan sistem tanam ini usahatani polikultur mengalami kendala yang cukup berarti baik dari aspek spatial maupun temporal. Untuk itu dikembangkan konsep pengaturan jarak dan sistem tanam baru tanpa mengurangi secara drastis populasi tanaman kelapa per satuan luas dan menyediakan potensi lahan dan iklim mikro yang besar untuk usahatani polikultur. Sebagai perbandingan, maka dalam Tabel. 1.3 disajikan jumlah populasi dan luas lahan di antara kelapa yang dapat dimanfaatkan. Jarak tanam

Sistem tanam

Populasi

Jumlah jalur/ha

9x9m

Segi empat

(pohon/ha) 121

11

Luas lahan dalam jalur (m2) 5.500

9x9m

Segi tiga

143

12

4.560

5 x 16 m

Empat persegi

140

6

7.200

5 x 12 m

Empat persegi

189

8

6.400

6 x 16 m

Empat persegi

119

6

7.200

6 x 12 m

Empat persegi

153

8

6.400

Tabel. 1.3 Populasi tanaman dan luas areal di antara kelapa yang dapat dimanfaatkan pada berbagai jarak dan sistem tanam

10

Berdasar tabel diatas bahwa dengan jarak tanam konvensional 9 x 9 m sistem segi tiga dan segi empat menyediakan lahan untuk tanaman lain lebih sedikit dibanding jarak dan sistem tanam lainnya. Dengan demikian, perubahan jarak dan sistem tanam yang dianjurkan dapat meningkatkan luas areal efektif di antara kelapa. Contohnya pada jarak 5 x 16 sistem empat persegi (sistem pagar) dengan populasi relatif sama dengan jarak tanam 9 x 9 m sistem segi tiga, dapat meningkatkan areal efektif di antara kelapa dari 4.560 m2 menjadi 7.200 m2 artinya luas lahan yang dapat dimanfaatkan bertambah 57.8%. Menurut Nelliat, Bavappa and Nair (1974) radiasi surya pada pertanaman kelapa jarak 9 x 9 m sistem segi tiga berkurang secara nyata dan mencapai titik terendah sekitar 20% pada umur tanaman 10 20 tahun. Pada umur kelapa 7 40 tahun radiasi surya hanya sekitar 50% dan pada kondisi ini hanya beberapa komoditas yang dapat diusahakan di antara penanaman kelapa, padahal permintaan pasar mungkin tidak sesuai dengan apa yang diusahakan. Umumnya pada kisaran umur kelapa tersebut di atas, praktis hampir semua komoditi pangan atau cash crops tidak dapat diusahakan, padahal jenis tanaman inilah yang diharapkan dapat menopang pendapatan petani sebagai konsekuensi mengusahakan tanaman kelapa yang harga produknya dipasaran sangat fluktuatif dan bermain pada kisaran harga yang tidak ekonomis. Dengan mengatur jarak dan sistem pagar, areal di antara barisan tanaman dapat memperoleh cahaya yang cukup sepanjang umur kelapa. Selanjutnya, agar intensitas radiasi surya maksimal, maka sejauh mungkin diatur arah barisan tanaman Timur-Barat dan dapat dikombinasikan dengan melakukan pemangkasan daun yang menjuntai ke arah areal di antara barisan. Pemangkasan daun dimungkinkan hingga 30% dari total biomass tajuk (Kaat, Maliangkay dan Tumewu, 1996; Mashud. dkk., 1996). Dengan demikian, dapat diusahakan penanaman berbagai jenis tanaman sela yang membutuhkan intensitas radiasi surya yang tinggi sepanjang waktu, mulai dari tanaman pangan, hortikultura hingga tanaman perkebunan. Jika tanaman yang diusahakan memerlukan tingkat radiasi surya rendah, maka bisa diadakan penanaman tanaman pelindung sementara.

Perintisan Asosiasi Cabang Salah satu hambatan yang dihadapi oleh masyarakat Desa Pudonggala adalah tidak adanya wadah yang dapat mengakomodir para produsen kelapa. selain peran sebagai wadah yang dapat mengakomodir para produsen, peran lain yang diharapkan oleh masyarakat adalah sosialisasi, pelatihan keterampilan pengolahan kelapa, juga sebagai pihak yang dapat menjembatani para produsen yang terkendala permodalan dalam proses pengolahan yang mereka lakukan. Diversifikasi yang dilakukan masyarakat seperti pembuatan minyak kelapa masih akan sulit untuk dapat menjadi nilai ekonomi yang signifikan, mengapa? Karena tidak adanya wadah atau Asosiasi. Hasil olahan yang telah dihasilkan tidak dapat menembus pasar luar, hanya berputar di sekitar desa, itu pun jika ada konsumene yang membutuhkan. Padahal jika ada yang dapat mengakomodir atau

11

menjembatani hasil olahan yang ada untuk dipasarkan ke luar desa, apalagi dapat memberikan peatihan, perantara permodalah dari pihak terkait, memperluas jalur pemasaran, sumbangsih pemikiran lain untuk mengoptimalkan potensi kelapa yang ada, hal tersebut akan menjadi entry point tersendiri bagi masyarakat sekitar. Apalagi di Provinsi Sulawesi Tenggara sendiri telah terbentuk kelompok yang tergabung dalam sebuah Asosiasi kelapa olahan yang diberi nama Asosiasi Pengusaha Kelapa Olahan (APKO) diketuai seorang anggota DPRD Sulawesi Tenggara bernama Baso Suamir. Karena itu dengan adanya Asosiasi ini, diharapkan akan menjadi embrio Asosiasi lain di daerah (Desa / Kecamatan) yang menjadi sentra komoditi-komoditi agribisnis, dalam hal ini kelapa. (www.kapanlagi.com)

Bantuan Permodalan Beberapa agenda baik daerah ataupun pusat, bahkan internasional dalam ikut serta mendongkrak nilai komoditi agribisnis baik pasar nasional ataupun internasional dengan memberikan atau mempermudah permodalan bagi para produsen yang terhmabat oleh pendanaan, misal: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan Program Micro Housing Loan. Menyinggung poin sebelumnya terkait Perintisan Asosiasi Cabang, peranan Asosiasi disini dapat menjadi media perantara pengucuran permodalan dari pihak bersangkutan kepada para debitor yang memang benar-benar tepat untuk mendapatkannya. Setidaknya dengan pengucuran pendanaan melalui Asosiasi, kemungkinan ketidaktepatan pengucuran dana dapat diminimalisir, mengapa? Karena Asosiasi ini akan lebih mengetahui kapabilitas para anggotanya, baik dari segi produksi, pengolahan, pemasaran, ataupun pengembalian dana jika diberikan pinjaman. Malah nantinya peranan Asosiasi dapat menjadi pemilik otoritas penuh atas komoditi yang dibawahinya, sehingga petani ataupun kelompok usaha tani yang tidak terdaftar dalam Asosiasi tidak diperbolehkan untuk menerima bantuan permodalan dari manapun. Pengucuran dana lewat Asosiasi bukan dimaksudkan sebagai sebuah bentuk pengekangan, melainkan untuk efisiensi dan efektifitas pemberian bantuan itu sendiri. Selain itu, dari hasil identifikasi sementara ASPPUK terhadap dampingan LSM anggota yang tersebar di 22 propinsi, terungkap bahwa kendala paling utama yang dihadapi oleh usaha kecil-mikro adalah permodalan, hal ini dikarenakan tidak adanya atau tidak terakomodirnya industri-industri yang skalanya masih kecil. Hal ini diperkuat dengan hasil survey tentang usaha kecil (industri skala kecil dan industri rumah tangga) menunjukkan bahwa secara terinci kendala tersebut adalah sbb: 1. 2. 3. 4. 5.

Kesulitan modal Kesulitan pemasaran Kesulitan persaingan Kesulitan keahlian dalam tehnik produksi Kurang keahlian dalam pengelolaan

35,1% 25,9% 16,1% 3,4% 3,4%

12

KESIMPULAN

1. Indonesia merupakan salah satu subsentra produksi kelapa dunia, dengan luas lahan 3,712 juta ha dan jumlah produksi 15 milyar butir per tahun 2. Sulawesi Tenggara adalah anak subsentra golongan buah sejati berdaging (kelapa), dengan luas lahan 65.085 ha dan jumlah produksi 24.634 ton per tahun, yang berasal dari beberapa kabupaten dan kota, salah satunya berasal dari Desa Pudonggala, Kabupaten Konawe Utara 3. Optimalisasi potensi kelapa seringkali terkendala teknologi, permodalan, dan daya serap pasar yang belum merata 4. Pengolahan kelapa di Desa Pudonggala baru sampai pada pembuatan kopra dan minyak kelapa yang pembuatan dan pemasarannya pun masih terbatas 5. Beberapa langkah yang dapat dilakukan sebagai upaya meningkatkan taraf ekonomi, melalui peningkatkan nilai ekonomi komoditi kelapa: a. DiversifikasiProduk Komoditi Kelapa b. Optimalisasi Produksi dan Proses Pengolahan Lanjutan c. Perintisan Asosiasi Cabang d. Bantuan Permodalan

DAFTAR PUSTAKA 1) 2) 3) 4) 5)

(www.kapanlagi.com, diakses tanggal 9 Januari 2009) (www.bkpm.go.id, diakses tanggal 12 Januari 2009) (www.blognyaKAGE.wordpress.com, diakses tanggal 25 Januari 2009) (www.kapanlagi.com, diakses tanggal 9 Januari 2009) (Tim Penelitian dan Pengembangan-Biro Kredit BANK INDONESIA, Pola Pembiayaan Usaha Kecil Pembuatan Serat Sabut Kelapa (Coco Fiber), Oktober 2001)

This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Related Documents

Pkmi (isi)
May 2020 0
Pkmi Sipermetrin-2
June 2020 2
Isi
October 2019 65
Isi
November 2019 55
Isi
July 2020 29
Isi
May 2020 40