SDM dan KELEMBAGAAN ( Seri 1) PERUSAHAAN PERKEBUNAN BUMN ,LOKOMOTIF PEMBANGUNAN MAU DIBAWA KEMANA ? OLEH Memet Hakim Emha Training Center & Advisory Services
Pendahuluan Walaupun ada pendapat yang menyatakan perlunya pemasaran dengan konsep 4 P (four Ps) atau 5 Ps yakni Place, Production, Promotion dan Price atau konsep pemasaran modern , namun sampai saat ini kenyataannya produk perkebunan masih merupakan “produk bulk”, barang setengah jadi (raw material) yang belum memerlukan “promosi” karena pembeli dating sendiri serta “harga” yang diluar kendali produsen. Dengan demikian produk hasil perkebunan ternyata masih menggunakan konsep pemasaran yang tradisional yakni Place dan Production ( 2 P). Kenyataan ini memperkuat pendapat bahwa laba dalam perkebunan umumnya hanya diperoleh dari volume produksi. Volume produksi diperoleh dari tingkat produktivitas dan luasan areal. Semakin luas areal perkebunan akan menyebabkan persentase biaya umumnya akan semakin rendah. Demikian juga dengan tingkat produktivitas , semakin tinggi produktivitas akan semakin rendah harga pokoknya. Semakin jauh perbedaan harga pokok dengan harga jual tentu akan semakin besar laba perusahaannya. Produktivitas Kalau kita perhatikan data stasistik produktivitas perkebunan tentu kita akan bertanya mengapa produktivitas tanaman perkebunan umumnya menurun atau rendah. Gula tebu misalnya dari tingkat produktivitas sekitar 10-13 ton/ha saat ini hanya mencapai rata rata 3-5 ton saja, tentu saja perusahaan demikian tidak akan mendapatkan keuntungan yang berarti, atau bahkan mengalami kerugian. Ironisnya perusahaan swasra dapat mencapai produktivitas antara 7.5- 8 ton hablur/ha, dinegara tetangga bahkan sampai diatas 10 ton hablur/hanya. Sama halnya pada komoditas karet, produktivitas tanaman yang beberapa belas tahun yl selalu berkisar diatas 1.6 ton/ha, saat ini hanya sekitar 1.1 – 1.2 ton/ha saja. Produktivitas karet yang tertinggi 1.500 kg karet kering/ha dan yang rendah mencapai dibawah 1.000 kg karet kering/ha. Pada hal potensi rata ratanya dapat mencapai diatas 2 ton/ha/tahun. Pada kelapa sawit tidak berbeda jauh, pada awal penanaman bibit hasil persilangan (DXP) 20 tahunan yl produktivitasnya mencapai diatas 20 ton/ha, Menurut Siswono Yudo Husodo, Media Perkebunan edisi 65, 2008, di Malaysia rata ratanya mencapai 26 ton TBS/ha/tahun, bandingkan dengan di Indonesia saat ini hanya 16 ton/ha, bahkan ada yang hanya 13-14 ton/ha nya. Dibandingkan dengan potensinya sampai 30 ton/ha. Dibeberapa kebun bahkan ada yang mencapai diatas 40 ton/ha. Produktivitas kelapa sawit tertinggi di perusahaan perkebunan BUMN baru mencapai 24 ton/ha atau 6 ton CPO Dirjenbun, dalam media perkebunan edisi 65, 2008 menyatakan lahan perkebunan kelapa sawit mungkin telah mencapai 8 juta ha, bayangkan jika dapat dinaikkan produktivitas kelapa sawitnya sebesar 5 ton tbs/ha/tahun atau sebesar 1.150 kg CPO/ha/tahun akan menambah CPO sebanyak 9.200.000 ton/tahun senilai Rp 82.8 trilyun dari kelapa sawit saja. Perusahaan perkebunan BUMN walaupun tingkat produktivitasnya rendah, tetapi masih
1
dijadikan acuan berbagai pihak, apalagi jika tingkat produktivitasnya membaik. Jika ada niat tentu tidak akan sulit memperbaiki kondisi ini. Banyak kasus yang terjadi pada PBN ini akibat produktivitasnya rendah, misalnya tidak dapat membayar iuran pension pada waktunya, tidak dapat membayar gaji karyawan seutuhnya, mengurangi hak berobat bagi karyawan yang telah pension, tidak mampu meningkatkan kapasitas SDM nya dengan menunda pengiriman ke lembaga pelatihan, tidak mampu untuk mengembangkan perusahaan menjadi lebih besar, dll. Harga Satu satunya hal yang menolong adalah “kondisi luar” yang menguntungkan yakni harga berbagai komoditas tersebut membaik, sehingga walau produktivitasnya rendah BUMN ini masih dapat berdiri. Bayangkan harga karet mencapai diatas USD 3.0 (B.Purusuwarso, mediaperkebunan, edidi 65,2008) merupakan harga terbaik dalam beberapa dekade ini. Pada kelapa sawit juga harga FOB sampai menembus USD 1000, dari yang selama ini hanya USD 350. Tidak heran walaupun harga kelapa sawit agak turun sedikit investor dikomoditas ini tetap banyak. Harga teh masih lumayan untuk rata rata Indonesia USD 1.2 padahal rata rata dunia USD 1.95 (A.Halik, media perkebunan, edisi 65, 2008), sebelumnya bahkan dibawah USD 1.0 Permasalahan Dari uraian diatas fokus permasalahan ada pada bidang produksi, namun sayang sekali persoalan yang sangat mendasar ini tidak mendapat perhatian yang cukup.Untuk mencapai kinerja perusahaan yang baik, tentu produktivitas harus menjadi perhatian utama. Sebaik apapun bidang lain dalam perusahaan perkebunan, jika tingkat produktivitas rendah tentu laba yang diperoleh tidak akan optimal. Pemilihan CEO Untuk itulah diperlukan CEO yang cocok. CEO yang handal adalah CEO yang dapat menggali produksi secara optimal, karena itu seorang CEO perannya sangat dominan dalam mewarnai baik tidaknya kinerja perusahaan. CEO yang baik dapat mewarnai minimal 80 % dari seluruh kegiatan dengan menggerakkan seluruh potensi SDM yang ada untuk bergerak meningkatkan produktivitas. Karena itu CEO harus tahu secara detail proses produksi walaupun sebagai pemegang kebijakan. Dengan demikian rendahnya keuntungan atau lemahnya kepemimpinan BUMN perkebunan tidak lepas dari kebijakan dalam pemilihan direksinya. Pemilihan direksi yang terakhir semakin memperlihatkan ketidak jelasan arah yang dituju atau dapat dikatakan kebijakan tersebut semakin jauh dari upaya optimalisasi usaha perkebunan. Rekruitmen pimpinan perusahaan perkebunan dari luar bidang perkebunan tentu sangat tidak menguntungkan, disamping dapat membuat demotivasi, secara teknis tidak membantu. Peran dewan direksi dalam mengusulkan kadernya juga sering “dirusak” oleh sistem yang tidak jelas. Idealnya yang terbaik dan yang mengusai permasalahan perkebunan yang dipilih, hal tersebut dengan mudah dapat dilihat dari track record ybs selama ditugaskan diberbagai kebun. Penambahan pimpinan dari “luar” telah melahirkan kebijakan baru yang tidak diperlukan misalnya “bagian manajemen resiko” yang biasa ada di perusahaan perbankan, karena selama ini telah dikerjakan dan diurus oleh bagian produksi secara “built in”. Sifat usaha diperkebunan tentu berbeda dengan perbankan misalnya. Tidak dipungkiri memang ada personil dari luar perusahaan perkebunan yang dapat cepat memahami budaya perusahaan perkebunan dan memang ada juga personil yang latar
2
belakangnya teknis lemah dalam berbagai hal, namun yang terbaik adalah mereka yang kompeten yang harus memegang kendali usaha karena ditangan merekalah kemajuan perusahaan BUMN dititipkan. Saya menyaksikan ada beberapa mantan Direktur Utama perusahaan Perkebunan yang non teknis namun sangat berhasil, karena ybs menyelami dan memahami budaya perkebunan dengan sangat baik. Namun lebih banyak lagi mantan Direktur Utama yang berhasil karena mereka lebih memahami bagaimana caranya menggali produksi dan sangat memahami budaya perkebunan. Pengkaderan Pengkaderan sebelum ini tidak ada yang keluar pagar dan tidak tercium adanya praktek2 yang menyangkut materialistis, pemilihan lebih fokus pada kompetensinya dibidang produksi, sehingga banyak sekali CEO dijabat oleh direktur produksi yang berhasil. Namun saat ini “orientasi produksi” telah ditinggalkan akibatnya negara banyak dirugikan, kesejahteraan karyawannya banyak yang terganggu. Organisasi di Perusahaan Perkebunan mempunyai kemiripan dengan organisasi di ABRI, ada garis komando yang tegas misalnya antara Direksi dan Unit Kerja/Unit Usaha dan Staf yang membantu Direksi di kantor pusat. Dapatlah kita bayangkan jika seorang panglima daerah militer pada Angkatan darat diisi oleh seorang perwira tinggi dari Angkatan Udara, Panglima Armada diisi oleh seorang perwira tinggi dari Angkatan Darat atau bahkan dari kepolisian. Perumpamaan ini analog yang terjadi di BUMN perkebunan saat ini. Tentu hasilnya tidak akan optimal. Seleksi calon direksi Di Angkatan Darat misalnya seorang calon perwira tinggi harus disaring melalui Dewan Jabatan dan Karir perwira Tingggi (Wanjakti), setelah melalui sekolah komando terlebih dahulu, apabila ada yang diluar pagar tsb sudah dapat dipastikan tidak akan jadi, apalagi yang disponsori oleh partai. Dalam komunitas perkebunan ada budaya semacam itu, setiap pejabat teras yang akan dicalonkan harus lulus KMPL (Kursus Manajemen Perkebunan Lanjutan) terlebih dahulu, untuk dapat mengikuti kursus KMPL harus lulus KMP (Kursus Manajemen Perkebunan) dengan nilai A. Untuk mengikuti KMP harus mengikuti KMPM (Kursus Manajemen Perkebunan Madya) dan KMPD (Kursus Manajemen Perkebunan Dasar). Kursus-kursus lainnya merupakan nilai tambah. Bobot terberat adalah prestasi ybs dilapangan. Beberapa pejabat teras terbaiklah yang diseleksi dan dicalonkan oleh Direksi (bandingkan dengan cara saat ini, semua pejabat teras diusulkan tanpa penyaringan ) dan yang jadi seringkali bukan yang terbaik bahkan yang tidak dicalonkan bisa jadi. Direktur bidang yang akan menjadi direktur utama umumnya diusulkan oleh Direktur utamanya dan didukung oleh beberapa Direktur Utama lainnya setelah minimal menjabat 2 tahun lamanya dengan prestasi yang baik. . Namun budaya yang sangat baik ini sekarang tidak berbekas lagi, siapapun dan dari manapun bisa jadi direksi BUMN ini tergantung pengambil keputusan di kementrian Negara BUMN. Dalam suatu diskusi diantara tokoh tokoh perkebunan di Bandung Desember 2007 yl, pemilihan personil ini sempat juga dibahas yang pada dasarnya mengapa personil yang mampu dan kompeten tidak diberikan kepercayaan, sedang yang tidak kompeten justru diberi kepercayaan. Disadari atau tidak pola pemilihan seperti ini akan membuat perusahaan perkebunan BUMN semakin tidak kompetitif. Kembali pada topik bahasan semula, mau dibawa kemana BUMN perkebunan kita ini ? Jika ingin diperbaiki, kembalikanlah budaya pemilihan direksi yang sudah teruji baik ini ke
3
asalnya, bagaimanapun pemilihan yang berjenjang tentu akan lebih baik dari pada “mencangkok” dari perusahaan yang dan Pberbeda. Seleksi melalui pendidikan jangka panjang tentu sangat mempengaruhi kwalitas calon direksi. Apabila materi pendidikan dirasakan kurang tajam, tentu tinggal memoles LPP menjadi satu2nya lembaga pendidikan formal jabatan untuk perkebunan, sehingga LPP juga tidak asyik mencari dana sendiri untuk mencukupi kesejahteraan karyawannya. Selain itu perlu dihidupkan kembali Balai Riset komoditi yang tidak produktif lagi untuk menopang peningkatan produktivitas, Dari beberapa Pusat Penelitian komoditi yang masih aktif hanya PPKS (Kelapa Sawit) dan Sungai Putih/Sembawa (Karet), jangan biarkan pusat penelitian tadi mencari dana sendiri, karena akan mengorbankan kegiatan riset dalam jangka pangjang yang kelak akan merugiankan kita, bangsa Indonesia. Kesimpulan Untuk memperbaiki kondisi perusahaan perkebunan BUMN (Perkebunan Besar Negara) perlu beberapa langkah yang sifatnya back to basic ,a.l : 1. Jauhkan pemilihan pimpinan PBN ini dari masalah politik 2. Kembalikan system seleksi dan penyaringan ke system yang seharusnya, yakni seleksi dan penyaringan berjenjang, melalui pendidikan manajemen perkebunan yang selama ini dipegang dengan baik dan track record calon direksi selama dilapangan, prestasi terhadap core bussiness (tanaman dan produksi). 3. Jauhkan pemilihan calon direksi dari pengaruh atau kepentingan politik , karena PBN seharusnya netral dan mengabdi pada Negara siapun pemimpinnya. 4. Kembalikan LPP ke tugas yang seharusnya, menyiapkan SDM calon pemimpin perusahaan perkebunan yang trampil, kompeten dan handal. 5. Jangan biarkan LPP dan Pusat Pusat Penelitian komoditi mencari uang sendiri untuk biaya operasional, karena ternyata tidak semua puslit dapat mencari dana sendiri. Kembalikan instansi tersebut ke tugas pokoknya. 6. Perkuat posisi BOD (Board of Director) untuk menjadi semacam Wanjakti di ABRI. BOD harus bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan seseorang yang diusulkan menjadi dewan direksi perusahaan perkebunan BUMN. 7. Fokuskan upaya untuk meningkatkan produktivitas, agar pada saat harga “jatuh” PBN telah siap menghadapi kondisi yang terburuk sekalipun.
4