Perubahan Iklim Di Indonesia Kompas.docx

  • Uploaded by: dellajuliatum
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Perubahan Iklim Di Indonesia Kompas.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,387
  • Pages: 14
Perubahan Iklim di Indonesia Kompas.com - 01/04/2013, 11:29 WIB Oleh Agus Supangat Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia umumnya ditandai adanya perubahan temperatur rerata harian, pola curah hujan, tinggi muka laut, dan variabilitas iklim (misalnya El Niño dan La Niña, Indian Dipole, dan sebagainya). Perubahan ini memberi dampak serius terhadap berbagai sektor di Indonesia, misalnya kesehatan, pertanian, perekonomian, dan lain-lain. Beberapa studi institusi, baik dari dalam maupun luar negeri menunjukkan bahwa iklim di Indonesia mengalami perubahan sejak tahun 1960, meskipun analisis ilmiah maupun data-datanya masih terbatas. Perubahan temperatur rerata harian merupakan indikator paling umum perubahan iklim. Ke depan, UK Met Office memproyeksikan peningkatan temperatur secara umum di Indonesia berada pada kisaran 20 C – 2,50 C pada tahun 2100 berdasarkan skenario emisi A1B–nya IPCC, yaitu penggunaan energi secara seimbang antara energi non-fosil dan fosil (UK Met Office, 2011). Data historis mengonfirmasi skenario tersebut, misalnya kenaikan temperatur linier berkisar 2,60 C per seratus tahun untuk wilayah Malang (Jawa Timur) berdasarkan analisis data 25 tahun terakhir (KLH, 2012). Peningkatan temperatur rerata harian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap pola curah hujan yang umumnya ditentukan sirkulasi monsun Asia dan Australia. Dengan sirkulasi monsun, Indonesia memiliki dua musim utama yang berubah setiap setengah tahun sekali (musim penghujan dan kemarau). Perubahan temperatur rerata harian juga dapat mempengaruhi terjadinya perubahan pola curah hujan secara ekstrem. UK Met Office lebih lanjut mencatat kekeringan maupun banjir parah sepanjang 1997 hingga 2009. Analisis data satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) dalam ICCSR (Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap; Bappenas, 2010) untuk periode 2003-2008 memperlihatkan peningkatan peluang kejadian curah hujan dengan intensitas ekstrem, terutama di wilayah Indonesia bagian barat (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) serta Papua. Salah satu fenomena yang mengonfirmasi terjadinya peningkatan temperatur di Indonesia adalah melelehnya es di Puncak Jayawijaya, Papua. Di samping mengakibatkan kekeringan atau banjir ekstrem, peningkatan temperatur permukaan atmosfer juga menyebabkan terjadinya peningkatan temperatur air laut yang berujung pada ekspansi volum air laut dan mencairnya glestser serta es pada kutub. Pada tahap selanjutnya, tinggi muka air laut mengalami kenaikan yang berisiko terhadap penurunan kualitas kehidupan di pesisir pantai. Kenaikan rerata tinggi muka laut pada abad ke-20 tercatat sebesar 1,7 mm per tahun secara global, namun kenaikan tersebut tidak terjadi secara seragam. Bagi Indonesia yang diapit oleh Samudera Hindia dan Pasifik, kenaikan tinggi muka laut yang tidak seragam dapat berpengaruh pada pola arus laut. Selain perubahan terhadap pola arus, kenaikan tinggi muka laut yang tidak seragam juga meningkatkan potensi terjadinya erosi, perubahan garis pantai, mereduksi wetland (lahan basah) di sepanjang pantai, dan meningkatkan laju intrusi air laut terhadap aquifer daerah pantai. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Bappenas (ICCSR, 2010) dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pada tahun 2011, gelombang badai (storm surge); pasang surut, serta variabilitas iklim ekstrem seperti La Niña yang termodulasi oleh kenaikan tinggi muka laut juga turut berkontribusi dalam memperparah bahaya penggenangan air laut di pesisir.

Analisis awal terhadap data-data simulasi gelombang menunjukkan bahwa rerata tinggi gelombang maksimum di perairan Indonesia pada periode monsun Asia berkisar antara 1 m hingga 6 m. Untuk Laut Jawa, tinggi gelombang maksimum, terutama Januari dan Februari mencapai 3,5 m. Hal ini menambah risiko banjir di daerah Pantai Utara Jawa (Pantura) karena bertepatan dengan puncak musim penghujan di Indonesia. Selain risiko banjir di pantai, gelombang ekstrem juga berdampak buruk terhadap distribusi barang antar pulau yang banyak menggunakan transportasi laut. Di sisi lain, analisis yang dilakukan terhadap fenomena El Niño dan La Niña (Sofian, 2010) menunjukkan bahwa kedua fenomena tersebut akan lebih banyak berpeluang terjadi di masa mendatang dengan periode dua hingga tiga tahun sekali yang diduga disebabkan perubahan iklim. Perubahan iklim di Indonesia berdampak cukup besar terhadap produksi bahan pangan, seperti jagung dan padi. Produksi bahan pangan dari sektor kelautan (ikan maupun hasil laut lainnya) diperkirakan akan mengalami penurunan yang sangat besar dengan adanya perubahan pada pola arus, temperatur, tinggi muka laut, umbalan, dan sebagainya. Indonesia bahkan berada pada peringkat 9 dari 10 negara paling rentan dari ancaman terhadap keamanan pangan akibat dampak perubahan iklim pada sektor perikanan (Huelsenbeck, Oceana, 2012). Akibat dampak perubahan iklim dan pengasaman laut (ocean acidification) pada ketersediaan makanan hasil laut, Indonesia berada pada peringkat 23 dari 50 negara paling rentan berdasarkan kajian yang sama. Kajian mengenai kekeringan di Indonesia akibat perubahan iklim, terutama pada skala nasional masih kurang. Namun peluang banjir di Indonesia akan meningkat seiring peningkatan tinggi muka laut, intensitas gelombang ekstrem, curah hujan yang sangat tinggi dan kejadian La Niña. Bencana banjir ekstrem terutama terjadi pada daerah pesisir yang merupakan lokasi kota-kota strategis seperti DKI Jakarta. Bencana ini berdampak buruk bagi perekonomian serta mengancam kesehatan masyarakat. Dari beberapa kajian, beberapa indikator menunjukkan bahwa perubahan iklim sudah berlangsung di Indonesia. Perubahan tersebut diketahui memberi dampak terhadap multisektor meskipun kajian maupun data yang tersedia masih terbatas. Di samping itu, proyeksi iklim selalu mengandung ketidakpastian. Tantangan terbesar adalah melakukan kuantifikasi terhadap ketidakpastian tersebut untuk meningkatkan kedayagunaannya dalam pengambilan keputusan. Dalam hal proyeksi iklim berdasarkan Global Climate Model (GCM), setidaknya terdapat tiga sumber ketidakpastian yang harus diperhitungkan yaitu skenario emisi gas rumah kaca, sensitivitas iklim global terhadap emisi gas rumah kaca (pemilihan model GCM), dan respon sistem iklim regional terhadap pemanasan global (model downscalling). Langkah penyempurnaan perlu terus dilakukan untuk mengatasi segala keterbatasan data yang tersedia maupun metodologi yang telah digunakan dalam kajian perubahan iklim di Indonesia, guna memenuhi kebutuhan nasional akan informasi mengenai perubahan iklim yang lebih akurat. Untuk masa mendatang, perlu suatu program yang disusun untuk memperkuat basis ilmiah (scientific basis) perubahan iklim secara lebih terkoordinasi. Program ini perlu disusun melalui pemberdayaan berbagai lembaga yang relevan secara optimal, khususnya lembaga penelitian dan pengembangan serta perguruan tinggi. Dengan demikian, roadmap dapat digunakan bukan hanya untuk memberi panduan

bagi aksi adaptasi dan mitigasi tiap sektor, tapi juga untuk memperkuat basis ilmiah mengenai perubahan iklim di masa mendatang. Pada dasarnya, perubahan iklim bukan merupakan penyebab tunggal dari bencana alam yang saat ini semakin sering terjadi. Namun perubahan iklim berkontribusi dalam membuat fenomena atau bencana alam hidro-meteorologi ini menjadi ekstrem atau luar biasa. Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa kajian tentang perubahan iklim yang – meskipun masih terbatas dan belum akurat – dapat menjadi titik awal dari suatu program yang bermanfaat bagi penguatan basis ilmiah perubahan iklim yang terkoordinasi bagi sektor-sektor yang ada di Indonesia. Pada akhirnya, kapasitas masing-masing sektor dapat meningkat untuk mengatasi berbagai persoalan akibat perubahan iklim di Indonesia. *Agus Supangat adalah Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas Penelitian dan Pengembangan di Sekretariat DNPI

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perubahan Iklim di Indonesia", https://sains.kompas.com/read/2013/04/01/11290330/Perubahan.Iklim.di.Indonesia. Krakatau (bahasa Inggris: Krakatoa) adalah kepulauan vulkanik yang masih aktif dan berada di Selat Sunda antara pulau Jawadan Sumatra yang termasuk dalam kawasan cagar alam. Nama ini pernah disematkan pada satu puncak gunung berapi di sana (Gunung Krakatau) yang sirna karena letusannya sendiri pada tanggal 26-27 Agustus 1883. Letusan itu sangat dahsyat; awan panas dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai sebelum tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat di kawasan Samudera Hindia. Suara letusan itu terdengar sampai di Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshimadan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.

Selat Sunda

Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York. Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung Toba dan Gunung Tambora di Indonesia, Gunung Tanpo di Selandia Baru dan Gunung Katmal di Alaska. Namun gunung-gunung tersebut meletus jauh pada masa ketika populasi manusia masih sangat sedikit. Sementara ketika Gunung Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saat itu teknologi informasi sedang tumbuh dan berkembang pesat. Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf bawah laut. Kemajuan tersebut, sayangnya belum diimbangi dengan kemajuan di bidang geologi. Para ahli geologi saat itu bahkan belum mampu memberikan penjelasan mengenai letusan tersebut. Gunung Krakatau yang meletus, getarannya terasa sampai Eropa. Daftar isi [sembunyikan]





  

1Perkembangan Gunung Krakatau o 1.1Gunung Krakatau Purba o 1.2Munculnya Gunung Krakatau o 1.3Erupsi 1883 o 1.4Anak Krakatau 2Krakatau dalam karya seni o 2.1Film o 2.2Sastera 3Lihat pula 4Referensi 5Pranala luar

Perkembangan Gunung Krakatau[sunting | sunting sumber] Gunung Krakatau Purba[sunting | sunting sumber] Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, para ahli memperkirakan bahwa pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda yang akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba, yang merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883. Gunung ini disusun dari bebatuan andesitik. Catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi. Isinya antara lain menyatakan:



Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula.... Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua,



menciptakan pulau Sumatera

Pakar geologi Berend George Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks tersebut disebut Gunung Batuwara. Menurut buku Pustaka Raja Parwa tersebut, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer. Akibat ledakan yang hebat itu, tiga perempat tubuh Krakatau Purba hancur menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang dan Pulau Sertung, dalam catatan lain disebut sebagai Pulau Rakata, Pulau Rakata Kecil dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini disinyalir bertanggung jawab atas terjadinya abad kegelapan di muka bumi. Penyakit sampar bubonic terjadi karena temperatur mendingin. Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi. Letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arabia Selatan, punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.

Munculnya Gunung Krakatau[sunting | sunting sumber]

Perkembangan Gunung Krakatau

Pulau Rakata, yang merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba kemudian tumbuh sesuai dengan dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang dikenal sebagai Gunung Krakatau (atau Gunung Rakata) yang terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunung api muncul dari tengah kawah, bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan yang kemudian menyatu dengan Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang disebut Gunung Krakatau. Gunung Krakatau pernah meletus pada tahun 1680 menghasilkan lava andesitik asam. Lalu pada tahun 1880, Gunung Perbuwatan aktif mengeluarkan lava meskipun tidak meletus. Setelah masa itu, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di Krakatau hingga 20 Mei 1883. Pada hari itu, setelah 200 tahun tertidur, terjadi ledakan kecil pada Gunung Krakatau. Itulah tanda-tanda awal bakal terjadinya letusan dahsyat di Selat Sunda. Ledakan kecil ini kemudian disusul dengan letusan-letusan kecil yang puncaknya terjadi pada 26-27 Agustus 1883.

Erupsi 1883[sunting | sunting sumber] Artikel utama untuk bagian ini adalah: Letusan Krakatau 1883 Pada hari Senin, 27 Agustus 1883, tepat jam 10.20, terjadi ledakan pada gunung tersebut. Menurut Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris yang juga penulis National Geographic mengatakan bahwa ledakan itu adalah yang paling besar, suara paling keras dan peristiwa vulkanik yang paling meluluhlantakkan dalam sejarah manusia modern. Suara letusannya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu. Menurut para peneliti di University of North Dakota, ledakan Krakatau bersama ledakan Tambora (1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam sejarah modern. The Guiness Book of Records mencatat ledakan Krakatau sebagai ledakan yang paling hebat yang terekam dalam sejarah. Ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencapai 80 km. Benda-benda keras yang

berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatera bahkan sampai ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru. Letusan itu menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan serta sebagian Gunung Rakata di mana setengah kerucutnya hilang, membuat cekungan selebar 7 km dan sedalam 250 meter. Tsunami (gelombang laut) naik setinggi 40 meter menghancurkan desa-desa dan apa saja yang berada di pesisir pantai. Tsunami ini timbul bukan hanya karena letusan tetapi juga longsoran bawah laut. Tercatat jumlah korban yang tewas mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung kawasan pantai mulai dari Merak di Kota Cilegon hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan (Ujung Kulon serta Sumatera Bagian selatan. Di Ujungkulon, air bah masuk sampai 15 km ke arah barat. Keesokan harinya sampai beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat matahari. Gelombang Tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu kilometer.

Anak Krakatau[sunting | sunting sumber]

Anak Krakatau, dua tahun sejak awal terbentuknya. Foto diambil 12 atau 13 Mei 1929, koleksi Tropenmuseum.

Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba tersebut yang masih aktif dan tetap bertambah tingginya. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 0.5 meter (20 inci) per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 6 meter (20 kaki) dan lebih lebar 12 meter (40 kaki). Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitung, maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak Rakata mencapai 190 meter (7.500 inci atau 500 kaki) lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung itu disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu. Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut. Menurut Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau yang dulu sangat menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan Sumatera yang aneh akan memastikan bahwa apa yang dulu terjadi pada suatu ketika akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus. Beberapa ahli geologi memprediksi letusan ini akan terjadi antara 2015-2083. Namun pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga tidak bisa diabaikan.

Anak Krakatau, Februari 2008

Menurut Profesor Ueda Nakayama salah seorang ahli gunung api berkebangsaan Jepang, Anak Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering ada letusan kecil, hanya ada saat-saat tertentu para turis dilarang mendekati kawasan ini karena bahaya lava pijar yang dimuntahkan gunung api ini. Para pakar lain menyatakan tidak ada teori yang masuk akal tentang Anak Krakatau yang akan kembali meletus. Kalaupun ada minimal 3 abad lagi atau sesudah 2325 M. Namun yang jelas, angka korban yang ditimbulkan lebih dahsyat dari letusan sebelumnya. Anak Krakatau saat ini secara umum oleh masyarakat lebih dikenal dengan sebutan "Gunung Krakatau" juga, meskipun sesungguhnya adalah gunung baru yang tumbuh pasca letusan sebelumnya.

Krakatau dalam karya seni Bencana....Hmm, pastinya kata ini sangat familiar di telinga masyarakat Indonesia. Indonesia merupakan negara yang memiliki kerentanan bencana yang cukup tinggi di dunia karena berbagai faktor. Sebelum membahas tentnag faktor-faktor yang memengaruhi kerentanan bencana, saya akan jelaskan dulu tentang definisi dan jenis bencana itu sendiri. Menurut UU No 24 tahun 2007, Bencana dapat didefiniskan sebagai suatu peristiwa yang mengancam dan menggangu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, manusia dan non alam sehingga menimbulkan korban jiwa dan dampak negatif lainnya seperti kerusakan lingkungan, psikologis dan kerugian harta benda. Menurut BNPB bencana dibagi tiga yaitu bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial. Bencana alam adalah bencana yang murni diakibatkan oleh faktor alam seperti tsunami, erupsi, longsor dan angin topan. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan faktor non alam seperti gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa yang berkaitan dengan aktivitas manusia seperti konflik suku dan terorisme. Faktor-faktor kerentanan bencana di Indonesia: 1. Bermukim di lokasi berbahaya Indonesia adalah negara dengan struktur geomorfologi yang beranekaragam seperti dataran tinggi, dataran rendah, lembah, pegunungan dan lainnya. Setiap karakteristik morfologi memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing sehingga harus diantisipasi oleh masyarakat. Misalnya daerah pantai yang menghadap ke Samudera lepas memang menyimpan banyak potensi hayati namun masyarakat juga dihadapkan dengan ancaman

tsunami suatu saat. Masyarakat yang bermukim dekat bibir pantai harus siap siaga menghadapi ancaman ini. 2. Kemiskinan Kondisi ekonomi masyarkat Indonesia yang masih banyak di bawah rata-rata berdampak pada mentalitas dan pola pikir manusia itu sendiri. Banyak contoh kasus di bantaran sungai di Jakarta timbul pemukiman kumuh dan jelas itu sangat berbahaya dan menyimpan potensi bencana banjir besar dan kesehatan tentunya. 3. Urbanisasi Urbanisasi yang pesat dipicu adanya ketimpangan pembangunan di desa dan kota. Urbanisasi mengakibatkan ove capacity di kota sehingga timbullah masalah baru di kota seperti kemacetan, slum area, kriminalitas dan lainnya. Urbanisasi juga mengakibatkan lonjakan sampah yang tinggi di kota sehingga menimbulkan dampak lingkungan. 4. Kerusakan Lingkungan Degradasi lingkungan seringkali mengawali sebuah bencana di suatu daerah. Contohnya kegiatan pembalakan liar di hutan, penambangan ilegal dan pembakaran lahan. Daerah resapan di hulu sungai yang dibabat habis oleh oknum penguasa akan berdampak ekologis seperti banjir bandang ketika musim hujan tiba. 5. Perubahan Budaya Budaya adalah suatu hal yang melekat dan menjadi identitas sebuah masyarakat. Ambil contoh sederhana adalah tentang budaya membuang sampah. Masyarakat Indonesia kini sudah tidak memiliki budaya yang baik dalam membuang sampah. Di kota besar atau bahan kota kecil atua desa, sampah sering ditemukan di mana-mana. Sampah yang menumpuk kan menimbulkan bencana seperti bau, penyakit dan bahkan banjir jika di sungai. Contohnya lagi Sungai Citarum di Jawa Barat kini menjadi sungai tercemar dan menjadi lautan sampah. Bencana sebenarnya bisa diminimalisir jika manusia mampu mengolah akal dan pikiran dengan sejernih mungkin dan tidak semena-mena mengeksploitasi ruang di permukaan bumi.

Jumlah Kejadian 1 Rejowinangun 2 Kejadian 2 Kapiteran 2 Kejadian 3 Purbayan 17 Kejadian 4 Kedung Pomahan Kulon 19 Kejadian 5 Gunungteges 8 Kejadian 6 Girijoyo 4 kejadian

7 Wanurojo 4 Kejadian 8 Kedunglo 1 Kejadian 9 Kedung Pomahan Wetan 7 Kejadian 10 Sukogelap 1 Kejadian 11 Karangluas 3 Kejadian 12 Kaliurip 1 Kejadian Yogyakarta - Sebanyak 47 orang tewas saat bencana tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Purworejo pada hari Sabtu (18/6/2016) malam. Sebanyak 27 orang korban ditemukan tewas dalam proses evakuasi hingga hari Minggu (19/6/2016). Sebanyak 20 orang korban saat ini masih dalam proses pencarian. "Pencarian akan dilanjutkan hari Senin (20/6/2016) pagi," ungkap Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Purworejo, Budi Hardjono kepada detik.com, Minggu (19/6/2016) malam.

Budi mengatakan proses pencarian untuk hari ini sudah dihentikan sejak pukul 17.00 WIB karena cuaca mendung dan sulitnya medan di lokasi tanah longsor. Pihak Jawa Tengah menyebut jumlah korban tewas bencana alam tanah longsor dan banjir mencapai 46 orang. "Evakuasi hari ini, tim SAR sudah berhasil mengevakuasi sebanyak 27 orang. Semua ditemukan dalam kondisi meninggal dunia," katanya. Menurut dia, lokasi longsor berada di empat kecamatan dan 9 desa/dusun. Di Kecamatan Loano terjadi di Desa Karangrejo. Selanjutnya di Kecamatan Purworejo, Kali Gesing dan Bagelen. Budi mengatakan tim SAR gabungan dari Basarnas Kantor SAR Semarang, Yogyakarta, TNI/Polri dan berbagai komunitas relawan akan melanjutkan pencarian di semua lokasi yang belum ditemukan korban seperti di Dusun Caok, Desa Karangrejo dan Donorati. "Posko utama kita di Caok Karangrejo. Saat tercatat ada sekitar 250 relawan yang turun melakukan pencarian," katanya. Dia menambahkan pencarian di Dusun Caok diperkirakan masih ada sekitar 9 korban. Di Donorati sebanyak 11 orang korban. Sementara itu berdasarkan data di BPBD Purworejo, jumlah korban yang berhasil ditemukan di Dusun Caok, Desa Karangrejo, Kecamatan Loano sebanyak 9 korban. Di

Desa Donorati, Kecamatan Purworejo ditemukan sebanyak tiga orang. Di Desa Sidomulyo, Kecamatan Purworejo sebanyak lima orang, di Desa Mranti dua orang, Desa Pacekelan sebanyak dua orang. Desa Jelok, Kecamatan Kaligesing sebanyak tiga korban. Sedangkan di Desa Tangkisan, Berjan dan Desa Bagelen ditemukan satu orang korban meninggal. (bgs/dnu)

Sumber : http://purworejo.sorot.co/berita-5334-segudang-bencana-landa-purworejo-tanah-longsormendominasi.html

Sumber : https://news.detik.com/berita/3237048/47-orang-tewas-akibat-bencana-longsor-di-purworejo Petugas berusaha mencari korban longsor yang masih tertimbun di dusun Caok Kulon, Desa Karangrejo, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Senin (20/06/2016). Sebanyak 25 orang diduga masih terimbun material longsor, dan 9 orang dinyatakan tewas. TRIBUN JATENG/GALIH PERMADI

http://www.tribunnews.com/regional/2016/06/21/cerita-warga-yang-selamat-dari-musibah-longsor-dipurworejo-saya-mimpi-lihat-karyono-tidur-di-tanah. Editor: Malvyandie Haryadi

Related Documents


More Documents from "Ahmad Syarifudin"