PERUBAHAN IKLIM DENGAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU
Perubahan iklim saat ini, menjadi isu utama dunia yang telah mengglobal dan menjadi permasalahan dari berbagai negara, terutama negara-negara industri maju yang memiliki tingkat pencemaran dan penyumbang polusi terbesar di dunia. Salah satu fokus utama yang menjadi perhatian dunia dalam masalah perubahan iklim adalah perubahan pada lapisan atmosfir bumi, yang semakin menipis sebagai akibat dari pemanasan gobal dari efek rumah kaca. Efek rumah kaca mengakibatkan atmosfir bumi menerima panas yang sangat tinggi sebagai akibat dari peningkatan aktifitas manusia dalam menggunakan gasgas yang mengandung senyawa kimia yang merupaka merupakan senyawa aktif yang mengurangi penyerapan panas oleh atmisfir bumi. Pengggunaan senyawasenyawa
kimia
seperti
karbondioksida
(CO2),
nitro-oksida
(N2O),
chloroflourpcarbons/freon (CFC) dan metana (CH4), merupakan bagian dari proses efek rumah kaca yang berpengaruh besar dalam perubahan pada lapisan atmosfir bumi yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim secara global. Barnabé and Barnabé-Quet (2000) menyatakan bahwa, hubungan antara konsentrasi CO2 di udara dan rata-rata suhu atmosfir telah ada selama 1.600.000 tahun dan memiliki hubungan yang saling terkait dalam jangka waktu lama. Para ilmuan menyatakan bahwa peningkatan suhu dan gangguan pada iklim yang disebabkan oleh efek rumah kaca, disebabkan oleh meningkatnya kandungan CO2 dan gas-gas lainnya di atmosfir (Gambar 1). Kjerfve (1991) diacu dalam Barnabé and Barnabé-Quet (2000) mengemukakan 1
bahwa, peningkatan relatif permukan laut akan memberikan sejumlah konsekuensi bagi wilayah pesisir, seperti : tergenanganya daerah litoral (naiknya 1 cm permukaan laut berakibat pada berkurangnya 1 cm wilayah pantai); semakin banyak terjadi erosi pantai; meningkatnya kadar garam pada air tanah sehingga tidak lagi sesuai untu konsumsi manusia; meningkatnya air laut di daerah estuari; dan terjadinya kerusakan pada vegetasi daratan dan tergantikan oleh jenis-jenis halophilic. Para ilmuan meyakini bahwa dengan pemanasan global (global warming), maka akan
berpengaruh
besar
terhadap
naiknya
permukaan
laut,
ketersediaan
sumberdaya air di daratan, kegiatan pertanian dan kehutan. Hal ini dibuktikan dengan serangkaian penelitian ilmiah terhadap berbagai perubahan-perubahan yang terjadi di berbagai wilayah di bumi, yang mengalami dampak baik lansung maupun tidak langsung dari akibat pemansan global yang terjadi saat ini. Hasil yang dieroleh menunjukkan bahwa, akibat langsung dari pemanasan global terhadap perubahan iklim antara lain munculnya bencana badai siklon, banjir bandang, erosi pantai, hilangnya lahan-lahan basah terutama di wilayah pesisir, intrusi air laut, serta hancurnya ekosistem pesisir. Perubahan iklim ini dapat mengarah langsung pada wilayah pesisir dimana hampir sebagian besar popuasi manusia di bumi menempati wilayah ini, terutama di negara-negara berkembang,dimana manusia merupakan salah satu penyumbang dalam terjadinya perubahan iklim dunia saat ini, hingga pada akhirnya akan mempercepat tingkat kerusakan pada sumberdaya di wilayah pesisir.
2
Gambar 1. Siklis Karbon (C) secara global.Sumber: BOFS diacu dalam Barnabé and Barnabé-Quet (2000)
Para ilmuan telah melakukan terobosan-terobosan dalam memahami proses3
proses yang terjadi di wilayah pesisir, dan mereka menawarkan berbagai solusiteknologi dan penggunaan data yang akurat, misalnya pemodelan dengan computer, yang dapat digunakan dalam meneliti potensi perubahan iklim dan pengaruhnya yang mungkin dapat terjadi pada masa-masa selanjutnya. Informasiinformasi yang akurat seperti ini akan sangat dibutuhkan oleh negara-negara kepulauan
dalam
menentukan
strategi
pembangunannya,
dalam
rangka
meminimalisasi dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim dunia serta pertumbuhan penduduk dan ekonominya. Panel antar pemerintah dalam perubahan iklim (Intergovernmental Panel on Climate
Change/IPCC)
merekomendasikan
bagi
semua
negara
untuk
mengembangkan dan menerapkan rencama pengelolaan wilayah pesisir yang menggunakan pengetahuan dan teknologi terbaru dalam mengurangi kerentanan akibat perubahan iklim dunia, dan menyesuaikan kondisinya untuk mengantisipasi akibat yang ditimbulkan dari perubahan iklim dunia (IPCC CZMS, 1990; 1991; 1992). IPCC juga telah menyimpulkan bahwa rata-rata peningkatan suhu global dunia berkisar antara 0.6 ± 0,2 ºC sejak akhir abad 19 dan rata-rata kenaikan permukaan laut berkisar antara 10 dan 20 cm selama abad 20. Diprediksikan bahwa rata-rata permukaan laut akan meningkat antara 9 dan 88 cm akan terjadi antara tahun 1990 hingga tahun 2100, sejalan dengan peningkatan suhu bumi dengan kisaran antara 1,4 hingga 5,8 ºC (IPCC, 2001). Konferensi Wilayah Pesisir Dunia tahun 1993 (The 1993 World Coastal Conference) menegaskan kembali bahwa “Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu” (Integrated Coastal Zone Management) merupakan sebuah proses yang sesuai dalam menangani masalah-masalah pengelolaan wilayah pesisir untuk jangka 4
waktu yang lama dan singkat, termasuk didalamnya proses hilangnya habitat, degradasi kualitas air, perubahan pada siklus hidrologi, berkurangnya sumberdaya pesisir, adaptasi terhadap naiknya permukaan laut dan akibat dari perubahan iklim lainnya.
Banyak
negara
kepulauan
yang
menyatakan
akan
menggunakan
pengelolaan pesisir terpadu (ICM) dalam konfrensi PBB tentang Pembangunan dan Lingkungan pada tahun 1992, Rancangan Konfensi PBB tentang Perubahan Iklim, dan pertemuan lainnya yang berkaitan dengan strategi pengelolaan lingkungan secara nasional. Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago) yang terdiri dari ± 17.508 pulau dengan luasan daratan yang mencapai ± 2,9 juta km2, dimana sekitar 992 yang berpenghuni dan kurang lebih 5.700 buah atau 33 % yang telah diberi nama. Pulau-pulau ini pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu pulau besar, pulau sedang, pulau kecil, dan pulau sangat kecil (Mulyanto, 1998). Naryanto (1998) mengemukakan bahwa, ditinjau dari segi geologis dan geografis yang terdapat di Indonesia, pulau-pulau kecil seringkali mempunyai potensi bencana alam yang sangat merugikan penghuninya. Bencana alam tersubut antara lain adalah gempa bumi, tsunami, tanah longsor, abrasi pantai, angin ribut, kekurangan air bersih dan sebagainya. Bencana alam merupakan fenomena alam yang sifatnya adalah merusak terhadap kehidupan manusia. Upaya peramalan semaksimal mungkin terhadap bencana alam tersebut perlu dilakukan, tetapi yang lebih penting adalah upaya mitigasi bencana yang mungkin timbul. Perubahan iklim global yang tejadi saat ini, akan mempengaruhi sebagian besar kondisi lingkungan di wilayah kepulauan Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada kondisi 5
yang terjadi saat ini dimana beberapa wilayah kepulauan di Indonesia telah terpengaruh oleh dampak dari perubahan iklim global yang terjadi saat ini. Pengaruh yang paling nampak dijumpai pada wilayah-wilayah kepulauan di Indonesia adalah pengaruh
dari
meningkatnya
permukaan
laut
yang
mengakibatkan
proses
perendaman pulau-pulau (terutama pulau-pulau kecil) semakin besar, sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan pada garis pantai dan luasan wilayah pulau menjadi semakin kecil. Faktor ini juga berpengaruh pada intrusi air laut yang semakin besar, sehingga berakibat pada berkurangnya pasokan air tawar yang dimiliki oleh pulau-pulau menerima pengaruh tersebut. Kondisi ini belm agi diperparah dengan adanya badai-badai tropis yang sering menerjang wilayah pesisir Indonesia saat ini, dan dampaknya sangat terasa besar pada wilayah kepulauan, terutama pulau-pulau yang berukuran lebih kecil. Keterkaitan yang begitu besar antara setiap kondisi yang terjadi akibat perubahan iklim global saat ini, mengindikasikan perlu adanya penangan yang serius, terpadu dan berkelanjutan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki oleh pulau-pulau yang ada di Indonesia, sehingga dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim global saat ini dapat diminimalisir tingkat kerusakannya, selain dalam rangka mempertahankan keberlanjutan dari pulau-pulau itu sendiri. Konsep dan perencanaan terpadu melibatkan seluruh stakeholder yang berkepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah kepulauan, akan menjadi salah satu bagian yang sangat penting dalam menghadapi dampak dari perubahan iklim global yang terjadi saat ini. Konsep keterpaduan sebagaimana yang telah dijabarkan dari pendapat beberapa ahli di atas, menggambarkan bahwa keterpaduan pembangunan dalam 6
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, merupakan hal pokok yang harus diperhatikan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, dalam perencanaan dan penanganan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara menyeluruh. Konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu, bisanya didasarkan pada pengalaman negara-negar berkembang. Dimana keberimbangan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah juga ditetapkan dengan baik. Pengalaman tersebut mungkin tidak akan dijumpai di negara kepulauan yang kecil dimana kultur tradisionalnya sangat kental. Untuk negara kepulauan yang kecil, wilayah pesisir merupakan bagian utama dari keseluruhan pulau. Menurut Dahuri et al. (2004), pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi, yakni sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis. Konsep pengelolaan wilayah secara berkelanjutan merujuk pada perencanaan wilayah yang membutuhkan keterpaduan antara perencanaan ekonomi, perencanaan fisik dan dan perencanaan lingkungan. Konsep pengelolaan wilayah ini akan menjelaskan bagaimana konsep keterpaduan wilayah dalam aktifitas pembangunan yang dilaksanakan. Konsep pengelolaan berkelanjutan wilayah ini dibentuk dari empat konsep dasar yang saling berkaitan satu dengan lainnya, yakni : (1) Wilayah merupakan suatu kesatuan sistem yang terdiri dari berbagai kepentingan yang kompleks terhadap pemanfaatan wilayah, (2) Sebuah wilayah dapat dikarakteristikkan berdasarkan pada struktur dan fungsinya, 7
(3) Struktur dan fungsi wilayah memiliki pengaruh bagi keuntungan ekonomi dan pembiayanya, dan (4) Bentuk keberhasilan dari suatu wilayah, dapat dinilai dari kegunaanya dalam memenuhi kebutuhan manusia, melalui pengukuran rasio keuntungan ekonomi yang dihasilkan oleh wilayah tersebut dan biaya ekonomi yang digunakan dalam pengelolaan wilayah tersebut (Laak, 1992; Dahuri et al. 2004; Darmawan, 2000). Secara mendasar, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah sebuah proses perubahan dalam eksploitasi sumberdaya, pengarahan terhadap investasi, orientasi penggunaan teknologi pembangunan, dan perubahan institusional yang berlangsung secara harmonis. Keberlanjutan, sebagaimana yang didefinisikan, merupakan tujuan baru dalam pengelolaan wilayah. Karena adanya keterkaitan yang erat antara pembangunan sosial dan ekonomi dengan keberadaan sumberdaya, terkadang tujuan dari keberlanjutan pembangunan wilayah tersebut disusun sebagai, pembangunan lingkungan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan (Lier, 1992).
Pengelolaan berbasis sumberdaya alam dan berbasis masyarakat, merupakan bagian dari konsep pengelolaan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap konsep pembangunan dan pengelolaan wilayah kepulauan Indonesia. Konsep keterpaduan pembangunan dari sisi sumberdaya alam akan memberikan dampak pada peningkatan potensi sumberdaya alam dengan tetap memperhatikan kemampuan daya dukung (carrying capacity) yang dimiliki oleh sumberdaya alam tersebut, hingga pada akhirnya kelestarian sumberdaya alam juga dapat terjaga dengan baik. Sementara itu, keterpaduan pembanguan dari sisi 8
masyarakat, akan memberikan implikasi yang positif dalam rangka memanfaatkan berbagai potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat bagi pengelolaan dan pengembangan pembangunan terhadap sumberdaya alam yang dimiliki. Selain itu keterkaitan erat yang dimiliki oleh masyarakat yang mendiami suatu wilayah pesisir, terutama di wilayah kepulauan, akan memberikan pengaruh yang sangat besar dalam partisipasi mereka untuk menjaga dan mengelola potensi yang dimiliki oleh wilayah kepulauan tersebut dengan tetap memperhatikan padakaidahkaidah pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Bagi negara-negara kepulauan, program pengelolaan wilayah pesisir terpadu harus menggambarkan keadaan tertentu dan tujuan dari prakarsa pembangunan itu sendiri, dimana permasalah kepulauan yang kecil membutuhkan pemecahan bagi pulau kecil bukan pemecahan bagi pulau yang besar atau daratan benua. Diperlukan suatu terobosan yang memiliki orientasi kerja yang besar dan memadukan perhitungan yang lebih baik dan moderen serta dikelola dengan senuah sistem yang sederhana. Sistem pengelolaan yang sederhana dapat melibatkan berbagai mekanisme untuk mengontrol penggunaan sumberdaya. Kebanyakan negara kepulauan memiliki musim penangkapan dan batasan penangkapan ikan, usaha-usaha dari kepulauan dan perguliran ekonomi di kepulauan, serta musim penutupan wilayah terumbu karang untuk mengatur sumberdayanya. Pengelolaan secara tradisional juga memiliki kelemahan. Beberapa kekuasaan dan tradisi, walaupun memiliki maksud dan tujuan yang baik, umumnya didasarkan pada pemahaman yang tidak ilmiah dan hanya didasarkan pada adat dan kebiasaan kultural yang turun temurun diwarisi dari leluhurnya. Akibatnya, banyak wilayah kepulauan yang tidak memiliki kesiapan dan strategi yang memadai dalam 9
menanggulangi berbagai bencana dan perubahan alam yang ditimbulkan oleh berbagai sebab termasuk didalamnya oleh perubahan iklim global. Pengelolaan berbasis masyarakat (Community-based management) merupakan suatu pendekatan yang cukup berhasil dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di daerah kepulauan. Pengelolaan ini merupakan kebalikan dari pengelolaan dengan pendekatan ‘top-down’ menjadi pendekatan ‘bottom-up’ yang melibatkan kearifan lokal daerah dan pengalaman-pengalaman yang pernah dimiliki. Masyarakat pada konsep ini dengan kapasitasnya sebagai penguna sumberdaya, juga dilibatkan dalam kegiatan pengembangan dan pelaksanaan program pengelolaan yang dilaksanakan. Keterlibatan masyarakat ini dimulai sejak proses perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan pengelolaannya. Berbagai
metode
dihadirkan
dalam
pelaksanaan
pengelolaan
berbasis
masyarakat menjadi suatu program pengelolaan. Dalam penilaian pengenalan secara cepat dengan metode partisipatif seperti metode PRA (Participatory Rural Appraisals), sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu bertugas mengumpulkan informasi secara kualitatif dalam bekerjasama dengan anggota masyarakat, dimana aksesnya bukan hanya pada kelompok masyaakat tertentu, tetapi seluruh masyarakat
dilibatkan
dalam
setiap
tahapan
kegiatan
yang
dilaksanakan.
Masyarakat diberikan kesempatan untuk mengenali betul kebutuhann, kemampuan dan sumberdayanya pada saat pengumpulan data dan memberikan masukan serta pendapat mereka yang berkaitan dengan program pengelolaan pada setiap pertemuan yang dilaksanakan. Setelah masyarakat mengidentifikasi kebutuhan dan kepentingan sosial, ekonomi dan kepeduliannya terhadap lingkungan, maka dikembangkan sebuah rencana kerja/rencana aksi untuk menindaklanjuti respons 10
dari hasil pertemuan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Mereka juga menyusun sebuah struktu organisasi dalam mengelola sumberdaya yang ada. Selanjutnya pengguna sumberdaya akan membuat panduan dalam pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. Huang (1998) menjelaskan bahwa, pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Management) bukanlah sebuah panduan kerja, tetap lebih
merupakan
sebuah
kumpulan
pokok-pokok
kerja
yang
menawarkan
pendekatan yang logis dan berimbang dalam mengelola sumberdaya pesisir dan mempertahankan pengelolaan yang berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutanakan
memberikan
masukan
yang
positif
dan
dinamis
dalam
pengambilan sebuah keputusan untuk pemanfaatan, pengelolaan dan perlindungan terhadap wilayah pesisir dan sumberdaya alam yang berada di wilayah tersebut bagi pencapaian tujuan pembangunan, yang didasarkan pada kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah beserta dengan masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya alam di wilayah pesisir. Selanjunya ia juga mengemikakan bahwa, program pengelolaan pesisir secara terpadu haruslah berkaitan dengan hal-hal berikut : 1. Suatu proses berkelanjutan untuk pengumpulan dan penyebaran data secara ilmiah
bagi
perhitungan
pengaruh
yang
ditimbulkan
pada
sumberdaya,persoalan pesisir, manfaat pengunaan dan pembangunan, dan kebutuhan serta kebutuhan populasi. 2. Suatu proses partisipasi publik untuk memformulasikan kebijakan nasional dan pengembangan sistem kebijakn pengelolaan pesisir yang terpadu dan menerapkan kebijakan-kebijakan tersebut. 11
3. Suatu proses untuk pembangunan, pelibatan dan penguatan hokum, kelembagaan, aspekteknis, keuangan dan sumberdaya manusia bagi programnya. Gambar 2 berikut menunjukkan model umum untuk program pengelolaan pesisir terpadu (ICM program). Bagan ini menggambarkan proses bagi pengambil keputusan untuk menggunakannya dalam memadukan kebutuhan berbagai sektor di wilayah pesisir. Prinsip-prinsip dasar tersebut umumnya diambil dari pengalaman yang dilakukan di wilayah daratan benua atau negara-negara kepulauan yang besar dimana ICM pernah dilaksanakan. Akan tetapi, terdapat beberapa perbedaan mendasar dalam pelaksanaan ICM di daratan benua dan negara kepulauan yang besar serta negara kepulauan yang kecil dalam permasalahan umum pengelolaan pesisirnya. Daratan benua dan negara kepulauan yang besar mengelompokkan wilayah pesisirnya sebagai kawasan dengan sumberdaya yang mebutuhkan perhatian khusus. Walaupun demikian, beberapa kemudahan dan keikutsertaan yang partisipatif dikembangkan dalam konsep ICM di wilayah daratan benua, diamana program yang dikembangkan didasarkan pada pengetahuan moderen dan penggunaan perangkat teknologi yang canggih, yang sejalan dengan kebijakan legislasi dan komponen kekuasaan (pemerintah, baik pusat maupun daerah) dalam memutuskan dan menimplementasikan jalannya program yang direncanakan, dimana umunya kebijakan ini merupakan kebijakan yang bersifat top-down.
12
Gambar 2. Model umum bagi program pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu yang menunjukkan kebutuhan sektoral dan keterkaitannya. Sumber: Huang (1998).
Hal ini akan sedikit berbeda jika diterapkan di negara kepulauan yang lebih kecil, dimana kebijakannnya akan dipengaruhi oleh kultur dan kebudayaan serta kebiasaan keseharian masyarakatnya, dimana umumnya kebijakan adat cukup berpengaruh dalam pengambilan kebijakan pemerintahnya baik pada tingat pusat maupun daerah. Legislasi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir di negara kepulauan yang kecil lebih banyak mempertimbangkan keterkaitannya dengan adat dan kebiasaan yang dimiliki oleh wilayah kepulauan tersebut, dimana kondisi 13
kepulauannya yang memiliki ukuran yang lebih kecil sehingga hampir sebagian besar wilayahnya merupakan bagian yang terintegrasikan dalam pengelolaan dan pengembangan wilayah pesisir. Contoh dari konsep ICM pada negara kepulauan yang kecil dapat dijumpai pada negara-negara kepulauan yang terletak di wilayah Pasifik. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang banyak mengalami kerusakan akibat dampak dari bencana alam, seperti badai siklon (topan dan badai) termasuk didalamanya badai gelombang laut, dan meningkatnya air pasang laut yang tidak normal (misalnya pasang Rob yang akhir-akhir ini sering terjadi di wilayah pesisir Indonesia). Wilayah kepulauan yang berada pada dataran rendah dan memiliki daerah pesisir yang sangat terbatas memiliki peluang yang sangat besar untuk terkena dampak dari bencana-bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim global tersebut. Perubahan iklim global yang terjadi akan meingkatkan intensitas perubahan yang terjadi pada siklus naiknya permukaan laut, badai dan angin topan yang semakin besar, selain mengakibatkan perubahan lainnya pada kondisi oseanografi dan atmosfir bumi. Permasalahan-permasalahan pesisir tersebut memerlukan
pengelolaan
pesisir
yang
terpadu,
sehingga
penangan
dan
penanggulangannya dapat terencana dan terarah dengan mempertimbangkan segala aspek yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir, terutama pada negara kepulauan seperti Indonesia. Pengelolaan pesisir bagi suatu wilayah kepulauan dengan konsep yang besar dari pembangunan berkelanjutan membutuhkan komitmen dan partisipasi aktif dari masyarakatnya. Komitmen dan partisipasi aktif dari masyarakat akan berpengaruh besar terhadap proses pengelolaan pesisir secara terpadu, dimana pelibatan 14
masyarakat secara aktif dalam setiap tahapan proses pengelolaan mulai dari awal penyusunan konsp hingga implementasi program pengelolaan, akan memberikan rasa tangung jawab yang besar bagi masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam yang berada di wilayah ini, terutama bagi masyarakat yang berada di daerah kepulauan. Jika telah terbentuk komitmen dan rasa kepedulian yang besar dari masyarakat terhadap arti penting dari keberadaan sumberdaya alam tersebut, maka usaha-usaha untuk pencegahan terhadap bahaya yang ditimbulkan akibat perubahan iklim global pada wilayah pesisir, akan mudah untuk dilaksanakan. Selain itu, kesiapan sumberdaya manusia, teknologi dan informasi yang memadai, perangka peraturan da perundang-undangan yang berpihak pada pelestarian sumberdaya alam, penyiapan dana pengelolaan, serta kelembagaan pengelola yang professional, akan turut menentukan dan menunjang keberhasilan pelaksanaan program pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, dengan melihat kepada urgensi dari setiap sektor yang berkepentingan dalam program ini. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa sudah sewajarnyalah jika pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan memerlukan suatu sistem pengelolaan yang terpadu, sehingga berbagai pengaruh yang ditimbulkan akibat perubahan iklim secara global yang terjadi saat ini akan dapat diminimalisir dampaknya, terutama bagi wilayah kepulauan yang memiliki kerentanan yang sangat besar terhadap dampak bencana yang mungkin teradi di wilayah ini. Pengambilan keputusan dan pelakasanaan kebijakan pembangunan bagi suatu wilayah kepulauan haruslah benar-benar memperhitungkan berbagai aspek yang terkait baik secara langung maupun tidak langsung , sehingga komitmen dan tujuan dari pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dapat tercapai 15
secara maksimal. Hal yang penting juga untuk diperhatikan bagi pengelolaan pesisir di wilayah kepulauan adalah kearifan lokal dan nilai-nilai budaya yang dimiliki disetiap wilayah kepulauan guna menunjang terlaksananya setiap pelaksanaan kegiatan pengelolaan yang dikembangkan pada wilayah kepulauan tersebut.
PUSTAKA
Barnabé, G. and Barnabé-Quet, R., 2000. Ecology and Management of Coastal Water: The Aquatic Environment. Springer Praxis Publishing Ltd, Chichester, United Kingdom. p.35. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu., 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan Ketiga, Edisi Revisi. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Darmawan, 2000. Siklus Penyusunan Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Proyek Pesisir PKSPL – IPB, Bogor. Huang, J. C. K., 1998. Climate Change and Integrated Coastal Management: A Challenge for Small Island Nations. Ocean and Coastal Management, Vol. 37, No. 1, pp. 95 – 107, 1997. Elsevier Science Limited. Northern Ireland. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 2001. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the 16
Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press: Cambridge and New York, NY. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)–CZMS, 1992. Global Climate Change and the Rising Challenge of the Sea. Intergovernmental Panel on Climate Change.Response Strategies Working Group, Coastal Zone Management Subgroup, eds Bijlsma, L. et al., Ministry of Transport and Public Works, The Hague, the Netherlands. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)–CZMS, 1991. Assessment of Vulnerability
of
Coastal
Areas
to
Sea
Level
Rise:
A
Common
Methodology.Rev.1.Intergovernmental Panel on Climate Change. Response Strategies Working Group, Coastal Zone Management Subgroup. Ministry of Transport and Public Works, The Hague, the Netherlands. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)–CZMS, 1990. Strategies for Adaptation to Sea Level Rise. Intergovernmental Panel on Climate Change. Response
Strategies
Working
Group,
Coastal
Zone
Management
Subgroup, eds Misdorp, R., Dronkers, J. and Spradley, J. R., Ministry of Transport and Public Works, The Hague, the Netherlands. Laak, P.J.A. van de, 1992. A Framework for Sustainable Regional Planning. Edited by H. N. van Lier et al.(1994). Proceedings Paper, perform in International Workshop on Sustainable Land Use Planning, held on 2 – 4 September 1992, Wageningen, The Netherlands. Elsevier. Amsterdam-London-New York-Tokyo. Lier, H. N. van, 1992. Land Use Planning In Perspective of Sustainability: An Introduction. Edited by H. N. van Lier et al.(1994). Proceedings Paper, 17
perform in International Workshop on Sustainable Land Use Planning, held on 2 – 4 September 1992, Wageningen, The Netherlands. Elsevier. Amsterdam-London-New York-Tokyo. Mulyanto, D., 1998. Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Melalui Progam Transmigrasi Berbasis Pertanian. Makalah Prosiding, disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil (eds. Edyanto, et al.), Jakarta 7 – 10 Desember 1998. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT, dan Coastal Resources Management Project (CRMP) USAID. Naryanto, H. S., 1998. Mitigasi Bencana Alam Pada Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia. Makalah
Prosiding,
disampaikan
dalam
Seminar
dan
Lokakarya
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil (eds. Edyanto, et al.), Jakarta 7 – 10 Desember 1998. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT, dan Coastal Resources Management Project (CRMP) USAID.
18