Persainganku dengan Bae Young Jun Tak pernah kusangka jika aktor Korea Bae Youn Jun itu akan menjadi pengacau rumah tanggaku. Tiba-tiba ia melesak terlalu jauh ke anak-anak dan terutama istriku. Semua tabloid yang bergambar aktor ini mereka beli. Semua DVD yang dibintangi aktor ini mereka koleksi. Semua berita menyangkut aktor ini mereka baca tak tersisa hingga titik komanya. Semula aku menyangka, istriku tak mudah jauh cinta kepada lain pria selain diriku. Tetapi kedatangan Bae Young Jun telah merubah segalanya. Aktor itu benar-benar membuka mataku bahwa lelaki pujaan istriku ternyata tidak cuma aku. Aku malah tergoda untuk bertanya lebih jauh, janganjangan aslinya, istriku sebenarnya membayangkan bersuamikan pria serupa Bae Young Jun, tetapi karena penantinnya sia-sia, cukuplah aku sebagai gantinya. Jika mereka sedang menonton filmnya, maka perhatian mereka benar-benar tersita sedemikian rupa. Jika aku cemburu dan hendak merusak kesenanggan mereka, ibu dan anak-anak itu berkomplot memusuhiku. Ketika aku memprovokasi bahwa tampangku tidak terlalu jelek dibandingkan Bae Young Jun, mereka malah menyebutku sebagai Bae Young Jun palsu. Ketika mereka menemukan istilah ini, kegembiraan langsung pecah sedemikian rupa. Bae Young Jun Palsu segera menjadi sebutan baruku. Jika aku meminta sesuatu kepada anak-anakku, mereka gembira memenuhinya bukan karena sebuah kepatuhan, melainkan itulah saatnya mereka menemukan kesempatan untuk menyalurkan kegembiraan. ��Bae Young Jun palsu minta diambilkan sepatu!�� teriak anak yang satu, dan seluruh anggota kelurga menyambutnya dengan gelak tawa, kecuali diriku tentu. Kini Bae Yong Jun benar-benar memenuhi rumahku. Terakhir ia malah menjarah komputer pribadiku. Scren saver yang semulah berisi gambarku, kini diganti sepihak oleh anak-anakku dengan taburan wajah Bae Young Jun di sekujur layar. Kecil-kecil, banyak sekali, dalam berbagai pose, di berbagai lagak dan usia. Celakanya, menyangkut dunia komputer ketrampilan terbaikku cuma mengetik. Untuk mengganti ulang tampilan ini dengan fotoku seperti yang dulu, bagaimana caranya sudah lama aku lupa. Maka jadilah setiap aku hendak mengetik, lebih dulu aku harus menatap wajah rival terberatku itu. Kuakui, wajah aktor ini memang murni seperti bayi. Kulitnya putih bersih, senyumnya lembut serupa senyum orang-orang suci. Walau pada kenyatannya, ia adalah manusia rawans stres karena pemujaan penggemarnya yang menggila (astaga, termasuk istriku!). Maka dengan rendah hati, dengan sakit hati malah, aku terpaksa mengakui kekalahanku ini. Tidak mudah mengakui kekalahan secara terbuka. Tetapi juga tidak rela aku jika di depan keluarga aku dikecam sebagai kepala keluarga yang kurang bermutu, yang suka marah lantaran kalah. Sebagai gantinya, aku membuat kalkulasi penentramnya. Pertama, betapapun cinta istri saya pada Bae Young Jun, toh orang itu tidak berada di sebelah rumah saya. Ia ada di Korea sana. Dan meskipun, katakanlah ia juga naksir istri saya, mustahil ia mau pindah ke Indonesia. Dari CNN ia pasti tahu, negeriku ini cuma ditampilkan melulu keributannya. Kalah pilkada, marah. Partai-parta pecah. Minyak tanah langka. Tabung gas tak ada. Negeri ini pasti dianggap tidak menarik bagi aktor kaya itu untuk pindah warga negara. Kedua, dan ini yang terpenting: saya bukanlah suami yang memiliki segala-gelanaya untuk istri dan anak-anak. Bagi anak-anak, bapaknya diangap kurang gagah. Bagi istri, saya dianggap kurang tinggi. Belum kebrengsekan waktakku yang lain yang pasti tidak memuaskan hati keluarga, walau apa boleh buat, aku telah kepalang jadi suami bagi istriku, dan bapak bagi anak-anakku. Kenyataan ini mustahil diingkari, meksipun mungkin mereka tak puas hati. Tapi itulah, betapapun istriku mencintaiku, pasti ada ruang kosong di hatinya karena ketidak puasan ini. Ia butuh diisi secukupnya. Saya relakan saja demi menggenapi kebahagiaannya. Untuk itulah
biarlah Bae Young Jun ada di hatinya, toh sekali lagi ia bukan tetangga sebelah rumah saya. Prie GS