A. Peristilahan Hukum Internasional Istilah yang sering digunakan untuk hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antar bangsa, dan hukum antar Negara. Istilah-istilah itu dalam batas-batas tertentu juga menggambarkan isi dan ruang lingkup dari hukum internasional tersebut maupun era berlakunya. Misalnya istilah hukum bangsa-bangsa , mulai digunakan ketika dikenal Negaranegara kebangsaan, dimana Negara dan bangsa dipandang identik dan dalam prakteknya digunakan secara silih berganti. Jadi prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum yang timbul dari hubungan hukum antar bangsa-bangsa atau Negara-negara yang berasaskan kebangsaan tersebut disebut dengan sebutan hukum bangsa-bangsa atau hukum antar bangsa. Semakin bertambah luas, kompleks, dan canggih hubungan internasional , mengakibatkan pula semakin kaburnya batas-batas hukum internasional pada satu pihak dengan hukum perdata internasional pada lain pihak. Kedua bidang hukum pada jaman dahulu dipisahkan secara tegas, kini semakin sulit ditarik garis pemisah dan pembedanya. Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional semakin banyak terlibat dalam hubungan-hubungan hukum yang semula dipandang bersifat perdata. Demikian pula individu-individu maupun badan-badan nasional dan multinasional, semakin banyak terlibat didalam hubungan-hubungan hukum yang bersifat dan bercorak publik. Mereka mengadakan ikatan dan hubungan hukum secara langsung dengan Negara-negara maupun dengan organisasi internasional. Meskipun istilah hukum internasional itu dipandang lebih memadai dibandingkan dengan istilah-istilah lainnya, para sarjana sampai kini masih ada yang mengggunakan istilah lama seperti istilah hukum bangsa-bangsa, maupun huku anta Negara. Namun, yang mereka maksudkan sebenarnya adalah hukum internasional dalam pengertian modern. Yang penting adalah adanya kesamaan pandangan tentang isi dan ruang lingkup hukum internasional itu yang tidak lagi hanya terbatas pada hubungan antar Negara saja, melainkan sudah jauh lebih luas kompleks, sedangkan mengenai istilah yang digunakan, sepenuhnya terserah kepada masing-masing pihak yang bersangkutan. B. Masyarakat Internasional dan Stukturnya Dalam hal ini yang dimaksud dengan masyarakat internasional itu adalah subjek-subjek hukum internasional itu sendiri yang saling mengadakan hubungan satu dengan lainnya. Bedanya dengan stuktur masyarakat internasional yang tunduk pada satu badan yang jenjangnya lebih tinggi dari masyarakat, masyarakat internasional tidak mengenal lembaga diatasnya yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada masyarakat internasional itu sendiri. Masyarakat internasional yang tidak tunduk pada badan yang kedudukannya lebih tinggi daripada masyarakat nasional itu, menunjukan bahwa masyarakat nasional hidup dalam suasana subordinasi. Sedangkan masyarakat internasional tidak mengenal badan sentral atau badan supra nasional yang berkedudukan lebih tinggi daripada masyarakat internasional. Stuktur masyarakat internasional adalah terdiri dari subjek-subjek hukum internasional yang berkedudukan sama derajat antara satu dengan lainnya. Stuktur masyarakat yang demikian itulah yang disebut masyarakat koordinasi hukum internasional juga berstuktur sesuai dengan masyarakat internasional itu yaitu sebab hukum koordinasi. C. Daya mengikat hukum Internasional Tentang daya mengikat hukum internasional itu sendiri, persoalannya adalah mengapa hukum internasional mengikat masyarakat internasional pada umumnya dengan Negara-negara pada
khususnya. Yang pertama adlah hukum aliran alam yang berasal dari alam dan diturunkan oleh alam kepada manusia melalui akal atau rasional, hukum dipandangnya memiliki sifat abadi yang abadi dan universal tidak berubah-ubah dan terdapat dimana-mana. Aliran ini memandang hukum demikian abstrak dan tinggi. Kelemahan ajaran hukum alam ini adalah bhwa ide maupun konsepsi tentang apa yang disebut hukum alam itu ternyata sangat abstrak, samar-samar serta mengawang-awang, maka penafsiran tentang isi yang sebenarnya atas hukum alam itu menjadi tidak jelas, sehingga pada akhirnya akan sangat tergantung pada pendapat dan penafsiran subjektif dari para pengikutnya masing-masing. Hal ini menunjukan bahwa para pengikut aliran hukum alam ini tidak berpijak pada dasar yang riil yakni masyarakat tempat hukun itu berlaku. Orang-orang tidak lagi berorintasi pada hal-hal yang ideal dan abstrak dalam memecahkan masalah-masalah hukum dan kemasyarakatan.Sekaligus sebagai reaksi atas atas ajaran hukum alam yang tidak jelas, samar-samar dan abstrak itu . perubahan orintasi berfikir dan memandang masalah hukum dan kemasyarakatan seperti ini, melahirkan aliran baru yang disebut aliran hukum positif. Hukum positif ini tidak memandang hukum itu berasal dari Tuhan, melainkan hukum itu dibuat manusia, tumbuh, hidup dan berlaku serta berkembangke dalam masyarakat itu sendiri. Menurut alira hukum positif, huku itu mengikat masyarakat disebabakan oleh Karena memeng masyarakat yang membuat hukum itu sendirilah yang menghendakinya. Hakikat dan daya mengikat hukum internasional tidak berdasarkan pada kehendak sepihak Negara-negara melainkan pada kehendak bersama Negara-negara D. KEBIASAAN INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL. Pasal 38 ayat 1 Statua Mahkamah Internasional yang dipandang sebagai pasal yang mencerminkan empat sumber hukum internasional, yang salah satunya adalah kebiasaan internasional. Atau rumusan lengkap tercantum dalam pasal 38 ayat 1 tersebut sebagai berikut : International costum as evidence of a general practice accepted as law. Unsure-unsur yang harus dipenuhi supaya kebiasaan hukum internasional dapat menjadi hukum kebiasaan internasional. Para sarjana hukum memandang anak kalimat as evidence of a general practice accepted as law, sebagai unsure yang harus dipenuhi agar kebiasaan internasional dapat dipandang sebagai hukum internasional. Anak kalimat ini dapat dipecah menjadi dua yaitu :