PERILAKU NEGATIF BERUJUNG KONTRAPRODUKTIF
Sikap profesional disepakati sebagai sikap positif dalam perilaku baik birokrat maupun pelaku
bisnis. Kalau diuraikan lebih lanjut apa itu yang disebut sikap profesional maka muncul berbagai definisi yang memerlukan kesepakatan lebih lanjut. Sikap profesional sering diartikan secara sempit sebagai sikap seorang ahli yang dituntut memberikan hasil kerja yang berkualitas sesuai dengan keahliannya. Biasanya istilah professional digunakan secara negatif, yaitu bila seseorang mengeluh atas hasil kerja yang dianggap tidak memuaskan : “Selama ini kamu kerja apa saja kok tidak kunjung selesai, ini namanya tidak profesional”, jarang digunakan untuk ungkapan yang berbau memuji misalnya : “Saya puas dengan kerja anda, ternyata anda memang profesional”. Ungkapan memuji memang jarang terdengar di keseharian kita karena budaya kita memang jarang dan pelit dalam urusan puji memuji, kecuali tentu, untuk memuji dan menyenangkan atasan kita. Sikap profesional tidak hanya diartikan sampai di situ. Seseorang akan dianggap bersikap profesional apabila mampu menjauhkan diri dari kepentingan-kepentingan pribadi yang akan menimbulkan conflict of interest dengan profesinya. Seseorang yang dipercaya sebagai narasumber berpengalaman luas, yang seharusnya bertindak dan bersikap profesional, diharapkan akan memberikan pendapat dan pertimbangan yang bersifat tidak memihak, akan mengutarakan fakta nyata tanpa pengaruh pihak lain, meskipun pihak lain menawarkan hadiah mewah ataupun mengancam dengan kejam. Di sini terlihat betapa berat dan sulitnya mempertahankan reputasi sebagai seorang yang profesional dengan imbalan yang mungkin oleh kebanyakan orang dianggap tidak berarti, karena umumnya hanya bernilai nonmaterial, dikagumi, dihargai, dan dipuji di belakang layar, ibarat harimau yang harus berpuas diri dengan pujian orang atas belang yang ditinggalkannya setelah dia mati. Tidak semua pribadi profesional selalu bernasib malang dan hidup sengsara, banyak juga yang menghasilkan materi secara halal, tapi apabila disuruh memilih antara materi dan harga diri seharusnya seorang profesional akan memilih harga diri. Pilihan terhadap materi akan sangat dekat dengan pilihan terhadap kepentingan pribadi yang terus tumbuh menjauh dari tuntutan profesi yang menjadi ukuran keberhasilan seorang profesional. Tata nilai yang berkembang di masyarakat ikut menentukan sikap seseorang terhadap pilihan yang akan diambilnya. Antara keinginan untuk disebut sebagai orang terhormat melalui kepemilikan materi yang berlimpah dan kemungkinan yang sama melalui reputasi sebagai seorang profesional yang mengagungkan profesi. Masyarakat Jepang dikenal sangat menghargai sikap bertanggung jawab terhadap profesi seperti yang sering kita dengar, yaitu bahwa apabila seorang pejabat Jepang merasa kebijakannya gagal atau menimbulkan kekacauan di masyarakat maka dengan spontan ia akan mengundurkan diri untuk menjaga harga dirinya. Bahkan pada jaman dulu, situasi demikian tidak jarang berakhir dengan “hara-kiri”. Ia ingin dikenang sebagai orang yang bertanggung jawab, sehingga anak cucunya dapat melanjutkan hidup dengan wajar. Masyarakat China sangat menonjol pada nilai budayanya yang menghargai dan hormat terhadap orang tua, guru, dan seniornya. Kalau mengabaikan orang tua maka si anak akan mendapat stigma “anak puthauw”, susah bersosialisasi, dan akan disingkirkan dari pergaulan masyarakatnya. Banyak usaha dilakukan untuk menyenangkan orang tuanya, dan sengaja dipamerkan kepada umum, termasuk membalaskan sakit hati dan dendam orang tuan, memperindah dan memuliakan makam orang tua untuk mendapatkan penghargaan dari masyarakat.
Masyarakat kita, yang terdiri atas banyak kelompok etnis, masing-masing mempunyai tata nilai sendiri sendiri. Umumnya tata nilai tersebut mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat. Kelompok etnis Jawa menekankan paham senioritas, mereka yang lebih tua pantas untuk diturut dan dihormati, bawahan patuh dan loyal terhadap atasan, mengusahakan kehidupan antar anggota masyarakat yang selaras dan seimbang. Kemajuan zaman membawa nilai nilai baru yang tidak ada pedomannya pada kehidupan masa lalu. Kehidupan agraris yang akrab dengan irama alam secara bertahap digantikan dengan kehidupan industrialis yang penuh kehebohan dalam mengejar efisiensi dan efektivitas. Kehidupan yang penuh damai tanpa godaan materi sekarang bergerak mengarah ke materialisme yang berlebihan, ditengarai dari banyaknya motivasi berupa hadiah-hadiah yang bersifat materi (rumah, mobil, uang) untuk melakukan sesuatu, bahkan untuk berjudi dengan nasib, sebagian lain mulai menginginkan ketenaran atau popularitas sebagai arah yang akan dituju (keinginan menjadi selebritas, masuk infotainment, dikenal oleh masyarakat) Apabila tata nilai masyarakat yang mengarah ke kekaguman terhadap kebendaan ini berlanjut, harta benda dan kemewahan menjadi bukti kesuksesan seseorang dalam upaya kencapaian tujuan hidupnya, maka akan semakin jauh sikap profesional dapat terwujud sebagai panduan sikap positif bagi anggota masyarakat. Ketenaran dan sikap kekaguman masyarakat terhadap seseorang atau tokoh-tokoh tertentu sebetulnya dapat menjadi awal tumbuhnya keinginan untuk menjaga harga diri dan mencapai sukses, namun kalau yang dijadikan idola adalah kaum selebritas maka sangat diragukan kebehasilannya karena kaum selebritas yang ada di kita saat ini, umumnya mencapai jenjang karier secara instant terutama mereka mereka yang dikaruniai wajah cantik atau bentuk tubuh indah dan nasib baik, belum merupakan ajang pergulatan profesi sebagaimana sudah dituntut oleh masyarakat di Negara-negara yang sudah lebih maju. Berseberangan dengan hal itu, seorang profesional meniti karirnya dengan cara penuh ketekunan dan kesungguhan dalam menghayati dan menyerap pengetahuan, meningkatkan kecepatan kerja, ketelitian dan ketrampilan, menjaga dan menumpuk sikap positif sebagai pribadi yang bersih dan patut diteladani di sepanjang jejak kehidupannya. Pada dasarnya, masyarakat menerima sikap profesional sebagai sikap positif karena sikap profesional menjamin atau menjanjikan hasil kerja yang akan memuaskan kebutuhannya (kualitas, kuantitas, dan kecepatan pemenuhannya), dan kepercayaan bahwa seorang yang bersikap profesional tidak akan merugikan masyarakat (menipu, memanfaatkan, merugikan, lari dari tanggung jawab) karena sanggup mengesampingkan kebutuhan pribadinya (serakah, ingin menang sendiri, mengabaikan kepentingan orang lain). Orientasi kebutuhan masyarakat tersebut dapat disarikan menjadi tuntutan atas kualitas, produktivitas, dan rasa aman. Logika selanjutnya dapat diarahkan kepada definisi sikap atau perilaku negatif, yaitu sikap yang dapat menghalangi tercapainya tuntutan masyarakat tersebut, dan yang cenderung akan mengarah ke hal-hal kontraproduktif, seperti antara lain : 1. Mendahulukan kepentingan pribadi
Mendahulukan kepentingan pribadi akan menyebabkan terancamnya pelaksanaan tugas profesi akibat terjadinya conflict of interest dari bentuk ringan sampai ke berat, yang akan mengurangi kualitas hasil kerja, kecepatan pelaksanaan, serta kepercayaan pemberi tugas untuk memberikan tugas selanjutnya. Tata nilai masyarakat bisa saja menjadi bagian dari kepentingan pribadi seseorang yang tidak ingin disingkirkan dari pergaulan masyarakatnya, misalnya pada lingkungan masyarakat yang adatnya sangat kuat yang mengharuskan kehadiran sang profesional pada upacara tertentu, padahal yang bersangkutan sedang dalam penugasan profesi yang sangat kritis mengejar jadwal kerja, yang tidak memungkinkan kehadirannya. Pada kondisi lain, kepentingan pribadi itu bisa sangat mencolok bertentangan dengan kepentingan profesi seperti misalnya seorang petugas yang tidak perduli dengan waktu yang terbuang sia-sia hanya karena tuntutan pribadinya belum dilayani. Sering dirupakan dalam bentuk ungkapan-ungkapan yang menyakitkan hati, seperti: “Kalau bisa diperlambat kenapa harus dipercepat ?” , “Kerja keras mau mengejar apa, memang bisa jadi Dirjen?” 2. Personalisasi jabatan Terlibatnya perasaan pribadi ke dalam jabatan yang sedang diembannya sering merupakan sumber kesulitan dalam komunikasi, koordinasi, dan pengambilan keputusan keputusan penting yang dapat menghambat proses pelaksanaan tugas. Seseorang yang sedang memegang jabatan tertentu kadang secara tidak terelakkan merasa bahwa jabatan tersebut merupakan miliknya, haknya, dan kedudukan yang selayaknya akan dipertahankan habis-habisan. Tentu akan muncul pertimbangan untuk menggunakan sebagian (besar ?) tenaga dan pikirannya dalam rangka mempertahankan jabatan dibandingkan dengan penggunaan tenaga dan pikiran untuk melaksanakan penugasan sebaik- baiknya. Kritik terhadap jabatannya dianggap kritik yang langsung menyerang pribadinya. Bekerjasama dengan orang yang tidak cocok dengan pribadinya akan terhambat, bahkan sulit dilakukan, meskipun penugasan mengharuskan untuk bekerja saling terkait 3. Berorientasi kepada kemapanan Salah satu yang sering mengemuka dalam kultur Jawa adalah bahwa orang bercita-cita untuk menduduki jabatan tinggi dan hidup “mukti wibowo”, yang diartikan bahwa perlu perjuangan, keprihatinan dan doa berat untuk mencapai kedudukan setinggitingginya yang setelah tercapai perlu dinikmati selama mungkin. Profesionalisme mengajarkan pelaksanaan tugas dengan sebaik- baiknya, dan tidak pernah menyebut “menikmati pencapaiannya”, sehingga bila tahap tertentu telah tercapai disarankan untuk menggapai tahap yang lebih tinggi lagi karena penghargaan masyarakat tertuju kepada kerasnya usaha seorang profesional dalam mengejar pencapaian. 4. Percaya kepada supranatural Banyak orang (terutama dari kelompok etnis Jawa) berpendapat bahwa kedudukan, jabatan, dan perjalanan karir seseorang itu ditentukan oleh kekuatan supranatural, bukan oleh usaha manusia betapapun keras dan rajinnya orang mengejarnya. Jadi bekerjalah “sak madyo” (wajar-wajar saja) tidak usah terlalu dikejar nanti akan kecewa, jatah masing-masing sudah ditentukan oleh yang Maha kuasa. Sebaliknya, mereka yang mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan tinggi merasa itu adalah garis hidupnya, sehingga tanpa terasa mengabaikan kemampuan bawahannya yang dianggapnya tidak punya garis mujur dan tetap akan menjadi orang bawahan. Jalur komunikasi menjadi terhambat karena didasari anggapan bahwa kedudukan atasan dan
bawahan ditentukan oleh nasib bukan oleh kemampuan, pengalaman, dan keterampilan. Kepercayaan kepada bawahan tidak tumbuh karena atasan menganggap dia paling tahu, sehingga seluruh kinerja kantor atau unit kerja tersebut sangat tergantung pada tinggi rendahnya kemampuan yang dimiliki oleh atasan tadi, bahkan dalam kasus yang sangat ekstrim, atasan menganggap bahwa bawahan yang pandai merupakan ancaman terhadap kedudukannya. 5. Keengganan untuk mengakui kebenaran Mungkin bersumber dari kepercayaan terhadap unsure supranatural juga, yang kadang kadang pengaruhnya sangat mengejutkan, banyak yang bertindak overacting. Seseorang yang sehari sebelum mendapat surat keputusan, dikenal sebagai pribadi yang biasa-biasa saja, setelah mendapat surat keputusan mendadak sontak berubah merasa menjadi sangat bijaksana, sangat tajam, dan bisa bertindak sangat kejam. Ada kepercayaan Jawa yang meneguhkan hal ini seperti “ idu geni” ( meludah api) yang adalah ungkapan bahwa apa yang dikatakan oleh “raja” (di sini diartikan sebagai atasan) harus terwujud, karena itu adalah bagian dari “sabda pendita ratu” yang tidak terbantahkan, karena sabda tersebut berawal dari wahyu yang masuk melalui meditasi. Saat ini, yang dinamakan wahyu tadi barangkali masukan berupa informasi (yang juga sebagian lewat media wireless) yang perlu ditimbang dari beberapa segi dan akan melahirkan kebenaran yang mungkin bertentangan dengan pemikiran pribadi atasan. Sikap menolak kebenaran karena mempertahankan intuisi ini sering membingungkan bawahan dan berakibat kontraproduktif. Mengakui kesalahan, masih banyak yang menganggapnya tabu karena hal itu dikuatirkan mengurangi kewibawaan seseorang, apalagi yang berkedudukan sebagai pimpinan. 6. Merampas kebanggaan orang lain (Credit grabber) Setiap makhluk Tuhan secara naluri memerlukan pemacu gerak atau motivasi atau iming-iming hadiah tertentu untuk berbuat sesuatu. Kucingpun memerlukan pujian atau sikap tuannya yang seharusnya menghargai usahanya berhasil menangkap tikus, ungkapan rasa senang atau elusan di punggungnya. Seorang profesional, meskipun terbiasa mengabaikan kepentingan pribadinya untuk mendapat pujian langsung, akan mencatat bahwa pujian atas keberhasilan pelaksanaan tugas yang diberikan kepadanya adalah haknya. Ketidakmampuan atau ketidakmauan atasan untuk memberikan apresiasi atas hasil kerja seseorang akan menurunkan martabat atasan itu di mata anak buah, salah-salah ini diartikan sebagai perilaku atasan yang punya sifat tukang merampas hak penghargaan seseorang untuk keuntungan pribadinya. Memberi penghargaan atas penyelesaian tugas yang telah dikerjakan dengan hasil baik adalah tugas pimpinan yang penting dan perlu sebagai pengakuan atas prestasi seseorang, meluruskan jalur keteladanan bagi yang lain. Kejujuran dalam memberikan penilaian akan meningkatkan semangat jiwa korsa (esprit de corps) dan mendorong semakin terjalinnya synergy dalam teamwork. 7. Lari dari tanggung jawab Lari dari tanggung jawab adalah sikap yang sangat tidak terhormat, namun pada saat seseorang mengalami tekanan tanggung jawab yang begitu besar tanpa terasa naluri untuk menyelamatkan diri menyembul ke atas dan melupakan kehormatan diri yang mungkin akan membebaninya seumur hidup. Ajaran pewayangan Jawa justru menilai sifat berani bertanggung jawab ini merupakan sifat kesatria utama yang mengharuskan sang ksatria maju ke depan bila anak buah sudah tidak mampu mengatasi persoalan (Perang Bharatayuda), bukan sebaliknya, kesatria lari menyelamatkan diri karena tekanan musuh terlalu kuat. Pelarian sang pemimpin akan memerosotkan moral anak
buah dan menghancurkan jiwa korsa dan pasti akan menghambat pelaksanaan tugas Banyak pengaruh budaya yang tidak terasa memberikan warna kepada kepribadian kita dalam melaksanakan penugasan, tidak terasa bersikap dan bertindak negatif. Seorang pemimpin yang mengabaikan pengaruh budaya dan sikap dan perilaku pribadi yang negatif akan menghadapi kejutan dan mungkin pertanyaan yang tidak pernah terjawab, kenapa pelaksanaan tugas terasa lamban, orang tidak terpacu dalam bekerja, bahkan sering bersifat kontra produktif. Semoga Anda tidak akan pernah mengalaminya.
Korupsi Korupsi menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus| politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut: •
perbuatan melawan hukum;
•
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
•
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
•
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya: •
memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
•
penggelapan dalam jabatan;
•
pemerasan dalam jabatan;
•
ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
•
menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan
narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Nepotisme Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara. Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti "keponakan" atau "cucu". Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup- yang telah mengambil janji "chastity" , sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung - memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri[1]. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan "dinasti" kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI[2]. Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III[3]. Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692[1]. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal. Di Indonesia, tuduhan adanya nepotisme bersama dengan korupsi dan kolusi (ketiganya disingkat menjadi KKN) dalam pemerintahan Orde Baru, dijadikan sebagai salah satu pemicu gerakan reformasi yang mengakhiri kekuasaan presiden Soeharto di tahun 1998.
Kolusi Di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industri disaat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama. Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi. kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar