Perempuan,media Dan Nalar Kapitalisme

  • Uploaded by: Adi Surya (Ucox Unpad)
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Perempuan,media Dan Nalar Kapitalisme as PDF for free.

More details

  • Words: 1,019
  • Pages: 4
PEREMPUAN,MEDIA DAN KAPITALISME Oleh : Adi Surya Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumedang Mahasiswa FISIP Unpad

“ Perempuan perlu belajar menerima ukuran tubuh mereka yang normal untuk melawan citra ideal perempuan langsing yang dipromosikan oleh media dan kebudayaan kita “ Karen Johnson dan Tom Ferguson, 1990

Ketika anda ditanya seperti apakah bentuk penampilan ideal seorang perempuan, mungkin kebanyakan orang akan menjawab perempuan yang cantik adalah berambut lurus, langsing, berkulit putih, lembut, cantik dan

mungkin

hanya beberapa orang saja yang mengatakan cantik itu merupakan hal yang relatif. Lalu apakah bentuk tubuh langsing memang identik dengan salah satu syarat kecantikan ? Persoalan mendefenisikan cantik tentunya tidak terlepas dari ruang dan waktu. Dahulu kala, jauh sebelum laju modernisasi muncul, defenisi cantik mungkin

saja

bertolak belakang dengan apa

yang

kita terima hari

ini.

Pendefenisian cantik juga berkaitan dengan siapa yang mendefenisikan ? Ternyata, cantik berhubungan

dengan konstruksi sosial, gender, budaya patriarki,

hegemoni, dan kapitalisme pasar bebas. Begitu banyak varian-varian yang mempengaruhi defenisi cantik. Siapa yang mendefenisikan ? Perempuan “ demikian ujar Janice Winship dalam bukunya Sexuality for sale (1980)., tidak hanya melihat diri mereka sebagaimana pria melihat mereka, tetapi didorong untuk menikmati seksualitas mereka melalu mata pria. Seolaholah wanita tidak pernah untuk menentukan identitas siapa diri mereka dan

bagaimana mereka semestinya. Bentuk tubuh, rambut , pakaian , kosmetik yang dipilih

,

jarang

digunakan

untuk

diri

mereka

sendiri,

pasti

selalu



dipersembahkan untuk “. Baik itu terhadap pandangan pria ataupun tuntutan budaya dimana mereka tinggal. Lantas , apakah memang seharusnya seperti itu ? Ditilik dari persoalan gender, sepanjang sejarah, perempuan selalu dianggap sebagai subordinasi dari laki-laki. Perempuan ibarat masyarakat kelas dua dalam satu sistem strata sosial. Konsekuensianya, maka laki-laki menjadi berkuasa atas kehidupan perempuan. Mulai dari pembagian kerja, peran dalam rumah tangga sampai urusan bisnis yang cenderung menjadikan perempuan sebagai bisnis yang bernilai untuk diperdagangkan. Kita ambil contoh, ada beberapa iklan yang menggunakan

perempuan

sebagai

model

untuk

menampilan

citra

yang

sesungguhnya tentang produk tersebut, seperti iklan minuman beralkohol, kosmetik dan rokok. Padahal jika dicermati dengan logika, apakah ketika seseorang mengkonsumsi minuman atau rokok, identik dengan pria jantan yang dikerubungi perempuan ? Tentu saja tidak. Dalam hal ini kita bisa melihat campuran antara ideologi patriarki , media dan tujuan kapital untuk merancang defenisi cantik untuk perempuan.

Hegemoni dan konstruksi Seorang pemikir kritis abad ini, Antonio Gramsci banyak membicarakan tentang hegemoni yang membentuk kesadaran kita akan sesuatu. Hegemoni menurut Gramsci ditandai adanya dominasi dari suatu kelompok yang bertujuan membuat kelompok yang ada dibawahnya menerima pandangan-pandangan atau pemikiran dari kelompok elit tersebut. Hegemoni terjadi apabila cara hidup, cara berfikir dan pandangan masyarakat bawah sudah meniru dan menerima cara berfikir dari gaya hidup dari kelompok yang menghegemoni,

mendominasi dan

mengeksploitasi mereka. Dalam hal ini tentunya ada alat atau perangkat hegemoni yang berperan dan juga tujuan yang harus dicapai. Kita bisa perhatikan dengan seksama peran media sebagai suatu alat dalam proses hegemoni. Di zaman informasi sekarang ini, media memainkan peranan dalam mengkonstruksi bangunan pemikiran seseorang, mulai dari menyajikan informasi sampai dengan membentuk gaya hidup.

Saat ini setiap hari kita terus dibombardir oleh citraan perempuan ideal yang

dikonstruksi

melalui

media.

Citra

ideal

seperti

bagaimana

seorang

perempuan harus tetap tampil mempesona di ruang publik adalah tema sentral iklan media populer dan terutama media perempuan akhir-akhir ini. Kita bisa lihat proses hegemoni ini berlangsung di iklan-iklan produk kecantikan seperti shampo, perawatan kulit dan produk perawatan bentuk tubuh. Hampir semua model iklan yang ada di produk tersebut adalah perempuan berambut lurus, berkulit putih dan tentunya langsing. Media melakukan yang disebut yakni pengulangan dan pemunculan suatu hal secara terus menerus seolah-olah itu merupakan sebuah kenyataan. Akhirnya, terjadilah pengendapan kesadaran pada masing-masing orang tentang sebuah makna yang disebut cantik. Karen Johnson dan Tom Ferguson dalam Thrusting Ourselves , dalam dunia budaya pop, tubuh perempuan di setting sebagai tanda dan representasi suatu benda, produk atau komoditi yang dimaksudkan dijual secara massal, tubuh perempuan bahkan dijadikan kepingan-kepingan atau potongan-potongan tanda bergantung produk komoditi apa yang hendak dipasarkan. Citra –citra ideal yang dihembuskan setiap saat oleh media, lama kelamaan membentuk kebudayaan yang mengendap dalam kesadaran tentang standar kecantikan. Industri kosmetik ada dibalik semua skenario ini. Mereka dengan bantuan media mulai menebarkan virus-virus kecemasan pada tubuh ideal. Menurut mereka, tubuh ideal adalah langsing, putih, rambut lurus, merawat diri dengan produk kecantikan, harus 2 kali seminggu manicure dan padicure. Sedangkan tubuh yang kurang lengkap adalah gemuk, berambut keriting, berkulit hitam

,jarang

menggunakan

kosmetik

dan

perawatan

diri

di

salon-salon

kecantikan. Munculah kemudian iklan sabun, shampo, kosmetik yang diperankan oleh artis –artis yang menurut mereka cantik, seraya mencoba menggeneralisasi makna tubuh ideal perempuan adalah langsing. Dalam tulisan Idi Subandi Ibrahim ( Imaji Perempuan di Media ) dikatakan keberhasilan dalam menciptakan standar kecantikan telah membuat banyak wanita melakukan perburuan untuk mencapainya. Tidak sedikit perempuan yang dihinggapi sindrom Anorexia Nervosa, kecemasan akan kegemukan. Tidak sedikit perempuan yang melakukan diet ketat dengan bantuan industri perawatan dan tips-tips agen produk kecantikan untuk mencapai standar ideal.

Dalam kondisi seperti inilah kehidupan sudah terbentuk oleh kungkungan citra-citra. Kita sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang asli dan palsu. Sebenarnya jika kita jeli, kini kita hidup di tengah kepalsuan. Ranah hasrat dan selera pun telah terpengaruh oleh citra yang bergentayangan. Dominasi budaya yang ditawarkan oleh media sebagai penjajahan atas tubuh, juga turut memberikan lahan-lahan ekonomi bagi beberapa pihak, mulai muncul industri mode, spa , salon dengan fasilitas baru, layanan konsultasi seks di media, radio, televisi. Luar biasa. Menurut penulis telah terjadi keterasingan perempuan dari dirinya sendiri, perempuan tidak lagi otentik, melainkan dibentuk oleh selera pria maupun pasar. Seharusnya perempuan bisa memaknai arti manusia yang unik, manusia yang menurut Filsuf Kierkegaard,

manusia yang

mempunya “ eksitensi otentik ”. Manusia yang otentik adalah manusia yang berani menjadi dirinya sendiri dan terlepas dari pendefenisian oleh “ the others “. Perempuan harus disadarkan dari proses hegemoni ini dengan memperbanyak diskursus dan penyadaran akan eksplolitasi yang selama ini menghingapi kaum perempuan. Kita tidak perlu sama dan seragam dengan orang lain, karena dengan itu maka mati sudahlah makna interpretasi keindahan itu sendiri. Menjadi manusia yang asli diantara kerumunan manusia-manusia buatan media yang palsu adalah suatu keindahan yang langka. Sama halnya semakin langka dan semakin berbeda suatu hal , maka harganya akan semakin mahal.

Related Documents


More Documents from ""