Penyakit Jantung Koroner Kelompok 5.docx

  • Uploaded by: Advina Mega Yohana
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Penyakit Jantung Koroner Kelompok 5.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,129
  • Pages: 25
PENYAKIT JANTUNG KORONER

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular Dosen Pengampu : dr. Arulita Ika Fibriana, M.Kes (Epid) Disusun oleh Nurul Maulidiyah (6411417081) Gladisya Ima Riadiyuana Aliyyu (6411417082) Advina Mega Yohana Simamora (6411417083) Fajar Abi Rafdi (6411417084) Kelompok 5 Rombel 3 Kesehatan Masyarakat

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2018

1. Pengertian Penyakit Jantung Koroner Menurut WHO, penyakit jantung koroner ( Coronary Heart Diseasee) adalah ketidaksanggupan jantung akut maupun kronik, yang timbul karena kekurangan suplai darah pada miokardium sehubungan dengan proses penyakit pada sistem nadi koroner. Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung dan pembuluh darah yang disebabkan karena penyempitan arteri koroner. Penyempitan pembuluh darah terjadi karena proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya. Aterosklerosis yang terjadi karena timbunan kolesterol dan jaringan ikat pada dinding pembuluh darah secara perlahanlahan, hal ini sering ditandai dengan keluhan nyeri pada dada (Davidson, 2003). Penyakit jantung koroner adalah penyakit pada pembuluh darah arteri koroner yang terdapat di jantung, yaitu terjadinya penyempitan dan penyumbatan pada pembuluh darah tersebut. Hal itu terjadi karena adanya atheroma atau atherosclerosis (pengerasan pembuluh darah), sehingga suplai darah ke otot jantung menjadi berkurang (Maulana,2008). 2. Etiologi Penyakit Jantung Koroner disebabkan oleh penumpukan lemak pada dinding dalam pembuluh darah jantung (pembuluh koroner), dan hal ini lama kelamaan diikuti oleh berbagai proses seperti penimbunan jaringan ikat, perkapuran, pembekuan darah yang semuanya akan mempersempit atau menyumbat pembuluh darah tersebut. Hal ini akan mengakibatkan otot jantung di daerah tersebut mengalami kekurangan aliran darah dan dapat menimbulkan berbagai akibat yang cukup serius dari Angina Pectoris (nyeri dada) sampai Infark Jantung, yang dalam masyarakat di kenal dengan serangan jantung yang dapat menyebabkan kematian mendadak. Pembuluh arteri ini akan menyempit dan bila parah terjadi penghentian darah. Setelah itu terjadi proses penggumpalan dari berbagai substansi dalam darah sehingga menghalangi aliran darah dan terjadi

atherosklerosis. Manifestasi klinik dari penyakit jantung koroner adalah: Tanpa gejala, Angina pectoris, Infark miokard akut, Aritmia, Payah jantung, Kematian mendadak (Soeharto, 2004). 3. Epidemiologi PJK tidak hanya menyerang laki-laki saja, wanita juga berisiko terkena PJK meskipun kasusnya tidak sebesar pada laki-laki. Pada orang yang berumur 65 tahun ke atas, ditemukan 20 % PJK pada laki-laki dan 12 % pada wanita. Pada tahun 2002, WHO memperkirakan bahwa sekitar 17 juta orang meninggal tiap akibat penyakit kardiovaskuler, terutama PJK (7,2 juta) dan stroke (5,5 juta). (WHO, 2002) Secara umum angka kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah (PJPD) di Indonesia belum diteliti secara akurat. Di Amerika Serikat pada tahun 1996 dilaporkan kematian akibat PJPD mencapai 959.277 penderita, yakni 41,4 % dari seluruh kematian. Setiap hari 2600 penduduk meninggal akibat penyakit ini. Meskipun berbagai pertolongan mutakhir telah diupayakan, namun setiap 33 detik tetap saja seorang warga Amerika meninggal akibat penyakit ini. Dari jumlah tersebut 476.124 kematian disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner. Huon, keith D, john M, lain A (2002) dalam ( Supriyono, 2008)

Penyebab

Utama Jenis Penyakit

Kejadian

Kematian di Amerika

Kematian

Serikat, Tahun 1996. No 1

Penyakit

Jantung 476.124

Koroner 2

Penyakit jantung dan 483.103 pembuluh darah lain

3

Carsinoma

539.533

4

Kecelakaan

94.948

5

AIDS

31.130

Jumlah

1.624.838

Jumlah

4. Patofisiologi Penyakit jantung koroner terjadi apabila pembuluh darah yang mengandung lipoprotein, kolesterol, sisa –sisa jaringan dan terbentuknya kalsium pada pembuluh darah. Hal ini akan terjadi kekurangan supply oksigen dan nutrisi sehingga menimbulkan infark myocard. Kolesterol dibawa oleh beberapa lipoprotein antara lain VLDL (Very Low Density Lipoprotein) sebagai pengangkut dan salah satu penumpangnya yaitu trigliserida, LDL (Low Density Lipoprotein) dan HDL (High Density Lipoprotein) membawa hampir semua kolesterol. HDL akan menurunkan resiko penyakit jantung. Kadar kolesterol total dan kadar kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) akan mempengaruhi resiko penyakit jantung koroner ( Maulana, 2008). Penyakit

jantung

koroner

(PJK)

terjadi

akibat

adanya

ketidakseimbangan antara aliran darah arteri koroner dengan kebutuhan otot jantung (miokardium). PJK turut dipengaruhi oleh kepekaan miokardium terhadap keadaan iskemi. Dinding pembuluh koroner menjalankan fungsi

struktural,

metabolik dan signaling untuk menjaga keadaan homeostasis pada keadaan sehat. Arteri terdiri dari tiga lapisan. Lapisan terluar disebut tunika adventitia. Lapisan tengah yang tebal disebut tunika media terdiri dari jaringan ikat elastis dan otot polos. Tunika intima sebagai lapisan terdalam lebih dikenal dengan istilah endotel dan bersifat impermeabel terhadap molekul besar sehingga mencegah molekul tersebut masuk ke lapisan sub endotel. Endotel memiliki fungsiantiinflamasi, mencegah adesi leukosit serta trombosis. Fungsi proteksi tersebut turut dibantu oleh beberapa fungsi tunika media, yaitu fungsi kontraktil, menjaga matriks ekstraselular, serta menjaga agar komponen strukturnya tetap di dalam tunika media.

Gambar 1. Diagram Skematik Dinding Arteri

Proses inflamasi teraktivasi ketika terjadi stimulasi patologis. Proses tersebut terdiri atas peningkatan permeabilitas, sitokin inflamasi, dan adesi molekul leukosit, serta penurunan kemampuan vasodilatasi dan aktivitas antitrombotik. Proses inflamasi tidak hanya mengganggu fungsi endotel melainkan juga berpengaruh terhadap tunika media dengan meningkatkan matriks ekstraselular dan sitokin inflamasi serta mengakibatkan proliferasi dan migrasi.

Gambar 2. Aktivasi Endotel dan Otot Polos oleh Inflamasi

Disfungsi endotel disertai gangguan fisik dan kimia menjadi jalan pembuka bagi lipid terutama low density lipoprotein (LDL) untuk masuk ke lapisan sub intima. Masuknya lipid ke dalam pembuluh darah memicu pengeluaran sel mediator inflamasi, membentuk foam cells. Foam cell akan berubah menjadi fatty streak, atheroma, hingga kemudian menjadi plak fibroateromatus yang melibatkan proses migrasi otot polos ke endotel sehingga menyebabkan penebalan tunika intima. Penebalan ini menyebabkan penyempitan sehingga aliran suplai koroner terganggu. Pada tahap lanjut, plak bisa menyebabkan obstruksi penuh, trombosis, bahkan mengalami ruptur.

Gambar 3. Disfungsi Endotel Sebagai Kejadian Primer Pembentukan Plak30

Miokardium akan mengalami iskemi ketika aliran suplai oksigen dan nutrisi terganggu. Bila iskemi terjadi sementara, perubahan yang bersifat reversibel akan terjadi sebatas di tingkat sel dan lokal jaringan. Namun apabila berlangsung lebih dari 30-45 menit, akan terjadi kerusakan yang bersifat ireversibel hingga nekrosis atau kematian miokardium atherosklerosis. Manifestasi klinik dari penyakit jantung koroner adalah: Tanpa gejala, Angina pectoris, Infark miokard akut, Aritmia, Payah jantung, Kematian mendadak (Soeharto, 2004).

5. Penyebab Penyakit Jantung Koroner Penyebab jantung koroner ada 2 hal yaitu proses atherosclerosis dan proses trombosis. a. Proses atherosclerosis Terbentuknya plak di dalam arteri pembuluh darah jantung. Plak terdiri atas kolesterol yang berlebihan, kalsium dan bahan lain di dalam pembuluh darah yang lama kelamaan menumpuk di dalam dinding pembuluh darah jantung (arteri koronaria). b. Proses trombosis Timbunan lemak dalam pembuluh darah bukan hanya berisi lemak, namun juga jaringan bekas luka akibat adanya kolesterol. Ini akan membentuk fibrous cap (tutup fibrosa) diatas timbunan yang lebih keras daripada dinding pembuluh darah itu sendiri. Bila ada tekanan dapat mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah. Akibatnya, timbul bekuan darah yang lebih besar yang bisa menyumbat pembuluh darah sehingga darah tidak bisa mencapai otot jantung dan mengakibatkan kematian pada sebagian otot jantung (Maulana,2008). 6. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner 6.1Faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan a. Jenis Kelamin Dari sisi jenis kelamin, pria lebih sering terkena serangan jantung dibanding perempuan. Tetapi setelah menopause, frekuensinya sama antara pria dan wanita. Tomaszewski (2008) dari University of Leicester, meneliti sebanyak 933 laki-laki dengan usia rata-rata 19 tahun yang berpartisipasi dalam studi Young Men Cardiovascular Association. Tomaszewski menyelediki adanya interaksi antara kadar hormon hormon seksual estradiol, estron, testosteron, dan androstenedion, dengan 3 faktor risiko mayor penyakit jantung (kolesterol, tekanan darah dan berat badan). Dalam studi ini diteliti hubungan antara estrogen dalam darah (estradiol dan estron) maupun androgen (testosteron dan androstenedion) dengan faktor risiko mayor kardiovaskular (kadar lipid,

tekanan darah, dan indeks massa tubuh) pada 933 laki-laki muda sehat dengan median usia 19 tahun (Tomaszewski, 2008) Dari hasil penelitian ditemukan bahwa 2 jenis hormon seksual (yaitu estradiol dan estron, yang secara bersama disebut estrogen) berhubungan dengan meningkatnya kadar kolesterol-LDL dan menurunnya kadar koleterol-HDL pada laki-laki (Tomaszewski, 2008). Studi ini memperlihatkan bahwa salah satu hormon seksual yaitu estradiol mempunyai korelasi positif dengan kolesterol total dan mempunyai korelasi negatif dengan kolesterol HDL. Kadar hormon seks lain yaitu estron, menunjukkan korelasi positif kuat dengan kolesterol total maupun kolesterol HDL (Tomaszewski, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa hormon seksual mungkin merupakan faktor risiko yang penting untuk timbulnya penyakit jantung pada laki-laki, dan hal ini sudah terjadi sebelum adanya gejala penyakit arteri koroner atau stroke (Sumiati, 2010;Karson, 2012). Tim peneliti ini menyatakan bahwa kadar hormon seksual dalam sirkulasi darah berhubungan dengan faktor risiko penyakit kardiovaskular pada lakilaki, jauh sebelum timbulnya manifestasi penyakit kardiovaskular seperti stroke dan infark miokard. Jadi, laki-laki yang mempunyai kadar estron dan estradiol tertinggi, mempunyai risiko kardiovaskuler tertinggi juga, karena kadar kolesterol LDLnya tinggi sedangkan kadar kolesterol HDLnya yang bersifat protektif justru berkadar rendah (Tomaszewski, 2008). b. Umur Budhi Setianto, seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dari Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI dalam penjelasannya di sebuah seminar 2012 mengatakan makin bertambah usia, makin mudah kena serangan jantung. Jumlah penderita PJK pria masih dapat dikatakan lebih besar dibandingkan perempuan (Arif, 2008 : Wahyuningsih, 2011). Faktor hormonal yang menyebabkan hal tersebut. “Seperti yang sudah disebutkan, perempuan baru akan mengidap PJK di usia 55 tahun ke atas,

sementara pria di usia 45 tahun ke atas. Ada jarak 10 tahun antara usia pria dan perempuan, yang artinya, perempuan memiliki 10 tahun waktu lebih lama terlindungi dari PJK dibandingkan pria (Tomaszewski, 2008 : Wahyuningsih, 2011). Alasannya, karena perempuan mengalami menstruasi dengan siklus yang cenderung teratur setiap bulannya. Dengan menstruasi wanita mengeluarkan zat feritin (semacam protein) yang diduga merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner. Feritin ini, secara teratur dikeluarkan bersama menstruasi yang dialami perempuan. Sementara, feritin di dalam tubuh pria tak bisa mengalami proses pengeluaran, sehingga tetap mendekam di dalam tubuh. (Sumiati, 2010;Karson, 2012 ). Hormon estrogen mampu melindungi kaum hawa dari penyakit degeneratif, salah satunya PJK. Hormon estrogen inilah yang dapat memberikan efek proteksi terhadap mekanisme aliran darah dari dan ke dalam jantung. Hormon estrogen ini mampu meningkatkan high density lipoprotein (HDL) atau kolesterol baik, serta menurunkan low density lipoprotein (LDL) atau kolesterol jahat yang dapat menimbulkan proses pengapuran di pembuluh darah yang kemudian akan menyumbat aliran darah saat memasuki pembuluhpembuluh darah menuju jantung (Sumiati, 2010;Karson, 2012 ). Dengan meningkatnya HDL di dalam darah oleh hormon estrogen, sumbatan di pembuluh darah yang disebabkan oleh LDL ini dapat dihancurkan. Selain itu, estrogen pun dapat memperlebar pembuluh darah agar aliran darahnya menjadi lancar. Dengan demikian, perempuan yang sudah mengalami menopause, otomatis produksi hormon estrogen akan jauh berkurang. Saat inilah perempuan mulai dapat dikatakan rentan terkena PJK. (Sumiati, 2010;Karson, 2012 ) c. Riwayat Keluarga Yang menderita PJK Faktor keluarga dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis PJK. Pada penelitian Fazida, dkk 2009 menyimpulkan bahwa terdapat 35,7% penderita PJK mempunyai riwayat keluarga menderita penyakit jantung serta hipertensi dan resiko terkena PJK pada orang yang

mempunyai riwayat keluarga 3,8 kali dibanding yang tidak mempunyai riwayat keluarga. 5.2. Faktor resiko yang dapat dikendalikan Faktor risiko yang dapat diubah dengan cara berperilaku sehat sehari-hari, antara lain merokok, hipertensi, kolesterol tinggi, kelebihan berat badan, DM, dan aktivitas fisik yang kurang.

Faktor Resiko mayor Faktor Resiko Minor dan Minor PJK Faktor Resiko Mayor

- Merokok

- Lemak jenuh

- Diabetes Melitus

- Garam dan kolesterol

- Hipertensi

-

- Diet tinggi kalori

inaktifitas

- Hiperlipidemia

- Obesitas

Tidak

berolahraga/

a. Merokok Merokok merupakan salah satu faktor risiko utama PJK di samping hipetensi dan hiperkolesterolemia. Orang yang merokok lebih 20 batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dua faktor utama resiko lainnya. Penelitian Sanders, mendapatkan kematian mendadak akibat PJK pada laki-laki perokok 10 kali lebih besar daripada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4 kali lebih besar daripada bukan perokok. Rokok dapat menyebabkan 25 % kematian PJK pada laki-laki dan perempuan umur di bawah 65 tahun atau 80 % kematian PJK pada laki-laki umur di bawah 45 tahun. (Karson, 2012 ). Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi CO. Akibat selanjutnya adalah takikardi, vasokonstruksi pembuluh darah,

perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan perubahan 5-10 % Hb menjadi carboksi-Hb. Nikotin akan menyebabkan debaran yang lebih cepat dan gas CO akan mengikat butir darah merah (hemoglobin) lebih kuat dibanding oksigen sehingga oksigenisasi jantung relatif berkurang (Karson, 2012 ). Kenfield, 2008 dari Harvard School of Public Health di Boston dan para koleganya dalam laporan yang berjudul Smoking and Smoking Cessation in Relation to Mortality yang diterbitkan dalam Journal of the American Medical Association menunjukkan bahwa terdapat 64% kematian pada perokok serta 28% kematian pada mantan perokok. Apabila berhenti merokok, maka penurunan resiko PJK akan mencapai 50 % pada akhir tahun pertama setelah berhenti merokok dan kembali seperti yang tidak merokok setelah berhenti merokok 10 tahun. Harus diupayakan seseorang berhenti merokok untuk selama-lamanya. Menghentikan merokok secara total memungkinkan tapi dapat juga sedikit demi sedikit mengurangi jumlah rokok yang dihisap sampai akhirnya berhenti total (Karson, 2012

b. Hipertensi Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama untuk terjadinya PJK. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan, sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis. Hal ini terlihat dari hasil pengukuran tekanan darah pada usia 18 tahun ke atas ditemukan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7%. Sebesar 7,2% penduduk yang sudah mengetahui memiliki hipertensi dan hanya 0,4% kasus yang minum obat hipertensi. Penyebab kematian akibat hipertensi di Amerika adalah kegagalan jantung 45 %, miokard infark 35 %, cerebrovascular accident 15 % dan gagal ginjal 5 %. Komplikasi yang terjadi pada hipertensi esensial biasanya akibat perubahan struktur arteri dan arterial sistemik, terutama terjadi pada kasus-kasus yang tidak diobati. Mula-mula akan terjadi hipertrofi dari tunika media diikuti dengan hialinisasi setempat dan penebalan fibrosis dari tunika intima dan akhirnya akan terjadi penyempitan pernbuluh darah. Tempat yang paling berbahaya adalah bila

mengenai miokardium, arteri dan arterial sistemik arteri koroner dan serebral serta pembuluh darah ginjal. Komplikasi terhadap jantung akibat hipertensi yang paling sering terjadi adalah kegagalan ventrikel kiri, PJK seperti angina pektoris dan miokard infark. Dari beberapa penelitian Framingham 1965 didapatkan ± 50 % penderita miokard infark menderita hipertensi dan 75 % kegagalan ventrikel kiri penyebabnya adalah hipertensi. (Supriyono, 2008) Klasifikasi hipertensi khususnya pada jantung disebabkan karena : Meningkatnya tekanan darah Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung, sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi. Mempercepat timbulnya aterosklerosis Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria dan memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini memunculkan gejala angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang normal.Tekanan darah sistolik diduga mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pada tekanan diastolik. Kejadiannya PJK pada hipertensi sering ditemukan dan secara langsung berhubungan dengan tingginya tekanan darah sistolik. Penelitian Framingham selama 18 tahun terhadap penderita berusia 45-75 tahun mendapatkan hipertensi sistolik merupakan faktor pencetus terjadinya angina pektoris dan miokard infark. Penelitian tersebut juga mendapatkan penderita hipertensi yang mengalami miokard infark mortalitasnya 3 kali lebih besar daripada penderita yang normotensi dengan miokard infark. Tekanan darah yang normal merupakan penunjang kesehatan yang utama dalam kehidupan dan ada hubungannya dengan faktor keturunan, perilaku dan cara kehidupan, kebiasaan merokok dan alkoholisme, diet serta pemasukan natrium & kalium yang seluruhnya adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan pola kehidupan seseorang. Kesegaran jasmani juga berhubungan dengan tekanan

darah sistolik, seperti yang didapatkan pada penelitian Fraser dkk, orang-orang dengan kesegaran jasmani yang optimal tekanan darahnya cenderung lebih rendah. Penelitian di Amerika Serikat melaporkan pada dekade terakhir ini telah terjadi penurunan angka kematian PJK sebanyak 25 %. Keadaan ini mungkin akibat hasil dari deteksi dini dan pengobatan hipertensi pemakaian beta-bloker dan bedah koroner serta perubahan kebiasaan merokok.

c. Diabetes Melitus Diabetes Melitus (DM) terbukti merupakan faktor risiko yang kuat untuk semua penyakit aterosklerotik. Mortalitas dan morbiditas PJK pada penderita DM 2-3 kali lipat dibandingkan dengan yang non DM. Pada penderita DM dewasa 75-80 % akan meninggal karena komplikasi PJK. Berdasarkan Standards of Medical Care in Diabetes 2013, beberapa kriteria dan monitoring untuk DM tersebut yakni, A1C > 6,5 % atau Fasting plasma glucose (FPG) > 126 mg/dL (7 mmol/L), puasa didefinisikan tidak adanya ambilan kalori sedikitnya selama 8 jam, 2 jam glukosa plasma > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) selama oral glucose tolerance test (OGTT) dengan asupan glukosa sebanding dengan 75 glukosa anhydrous yang dilarutkan. Pasien dengan keluhan klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia dengan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) atau dengan riwayat konsumsi obat DM secara teratur. Intoleransi terhadap glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit pembuluh darah. Penelitian Hong Wang dan kolegannya 2011 menunjukkan laki-laki yang menderita DM resiko PJK 50 % lebih tinggi daripada orang normal, sedangkan pada perempuan resikonya menjadi 2 kali lipat. Mekanismenya belum jelas, akan tetapi terjadi peningkatan tipe IV hiperlipidemidan hipertrigliserid, pembentukan platelet yang abnormal dan DM yang disertai obesitas dan hipertensi. Mungkin juga banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Diusahakan berolahraga 3-5 kali seminggu, dengan durasi 30-60 menit setiap berolahraga. Untuk kelebihan berat badan, agar dikendalikan dengan kisaran indeks massa tubuh 21-25 kilogram/meter persegi.

d. Dislipidemia Penelitian Balitbang Kesehatan tahun 2000, menghasilkan persentasi tertinggi dibanding faktor risiko yang lain seperti hipertensi, DM, merokok, dan kepribadian Tipe A, yaitu 70,4 %. Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi utama dari lipid adalah kenaikan kadar kolesterol total, Low Density lipoprotein (LDL) dan trigliserida serta penurunan High Density lipoprotein (HDL). Adult Treatment Panel (ATP) III memberi batasan dislipidemia aterogenik adalah peningkatan trigliserida, small dense LDL dan penurunan HDL. Kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) yang dikenal sebagai kolesterol jahat dan kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) yang dikenal sebagai kolesterol baik. LDL membawa kolesterol dari hati ke sel, dan HDL berperan membawa kolesterol dari sel ke hati. Kadar kolesterol LDL yang tinggi akan memicu penimbunan kolesterol di sel, yang menyebabkan munculnya atherosclerosis (pengerasan dinding pembuluh darah arteri) dan penimbunan plak di dinding pembuluh darah. Lipoprotein-a diperkirakan berperan pada atherogenesis dengan mentranspor molekul LDL dan mempengaruhi proliferasi sel otot polos vaskular, menghambat fibrinolisis, dan mempengaruhi fungsi platelet. Hal ini dihubungkan dengan peningkatan risiko penyakit akibat gangguan pembuluh darah seperti penyakit jantung koroner. Sedangkan HDL dapat mengangkut kolesterol dari jaringan tepi, termasuk plak atherosklerotik, untuk dibawa ke hati atau dibuang dalam bentuk asam empedu. Proses tersebut disebut reverse cholesterol transport. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan plak atherosklerosis tidak hanya berkaitan dengan peningkatan kadar LDL, namun juga rendahnya HDL dan hipertrigliseridemia.

e. Obesitas Obesitas adalah status gizi dimana indeks massa tubuh ≥ 25 kg/m2. Obesitas juga dapat diartikan sebagai kelebihan jumlah lemak tubuh > 19 % pada

laki-laki dan > 21 % pada perempuan. Berdasarkan data dari WHO tahun 2008, prevalensi obesitas pada usia dewasa di Indonesia sebesar 9,4% dengan pembagian pada pria mencapai 2,5% dan pada wanita 6,9% Obesitas sering didapatkan bersama-sama dengan hipertensi, DM dan hipertrigliserdemia. Obesitas juga dapat meningkatkan kadar kolesterol total dan LDL kolesterol. Resiko PJK akan jelas meningkat bila berat badan mulai melebihi 20 % dari berat badan ideal. Obesitas akan mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah sekitar 10 -30 %. (Sumiati, 2010) Hal ini tentu merupakan beban tambahan bagi jantung, otot jantung akan mengalami perubahan struktur berupa hipertropi atau hiperplasi yang keduanya dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pompa jantung atau lazim disebut sebagai gagal jantung atau lemah jantung. Pada gagal jantung penderita akan merasakan lekas capek, sesak napas bila melakukan aktifitas ringan, sedang, ataupun berat (tergantung dari derajat lemah jantung). (Sumiati, 2010;Karson, 2012 ) Obesitas dapat mempercepat terjadinya penyakit jantung koroner melalui: Obesitas mengakibatkan terjadinya perubahan lipid darah, yaitu peninggian kadar kolesterol darah, kadar LDL-kolesterol meningkat, penurunan kadar HDLkolesterol. Obesitas mengakibatkan terjadinya hipertensi, akibat penambahan volume darah, peningkatan kadar renin, peningkatan kadar aldosteron dan insulin, meningkatnya tahanan pembuluh darah sistemik, serta terdapatnya penekanan mekanis oleh lemak pada dinding pembuluh darah tepi.

Obesitas akan mengakibatkan terjadinya peningkatan faktor-faktor pembekuan darah, sebagaimana diketahui bahwa faktor pembekuan darah merupakan faktor resiko untuk terjadinya serangan jantung dan stroke. Obesitas akan meningkatkan resiko stroke 20 % dan resiko serangan jantung sebesar 8 kali lipat dibanding mereka yang bukan obesitas. Jika berat badan naik 20 % maka angka kematian meningkat 20 % pada pria dan 10 % pada wanita. Seperti

penelitian yang dilakukan Wira, dkk 2006 di denpasar dari hasil penelitiannya terdapat 51,1% penderita PJK dengan obesitas dari total keseluruhan sampel.

f. Inaktivitas fisik Pada latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada sistem kardiovaskuler, yaitu peningkatan curah jantung dan redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ yang aktif. Aktivitas aerobik secara teratur menurunkan risiko PJK, meskipun hanya 11 % laki-laki dan 4 % perempuan memenuhi target pemerintah untuk berolah raga. Disimpulkan juga bahwa olah raga secara teratur akan menurunkan tekanan darah sistolik, menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadar kolesterol dan lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein, memperbaiki sirkulasi koroner dan meningkatkan percaya diri. Diperkirakan sepertiga laki-laki dan dua per tiga perempuan tidak dapat mempertahankan irama langkah yang normal pada kemiringan gradual (3 mph pada gradient 5 %). Olah raga yang teratur berkaitan dengan penurunan insiden PJK sebesar 20 – 40 %. (31) Dengan berolah raga secara teratur sangat bermanfaat untuk menurunkan faktor risiko seperti kenaikan HDL-kolesterol dan sensitivitas insulin serta menurunkan berat badan dan kadar LDL-kolesterol. (Sumiati, 2010)

7. Gejala Penyakit Jantung Koroner Penyakit jantug koroner terbentuk secara perlahan-lahan dan dalam waktu yang lama, kebanyakan orang tidak tahu bahwa mereka sudah memiliki penyakit yang parah ini. Biasanya gejala yang paling awal adalah nyeri dada atau angina serta sesak napas. Tidak semua nyeri dada disebabkan oleh penyakit jantung koroner. Angina atau nyeri dada karena penyakit jantung koroner timbul setelah melakukan aktifitas dan hilang ketika beristirahat. Rasa nyeri timbul karena otot jantung tidak mendapat oksigen cukup. Angina biasanya berlangsung selama 2-3 menit dan tidak lebih dari 10 menit. Tiga cara mengenali nyeri dada karena penyakit jantung koroner adalah:

a. Rasa nyeri yang tidak bertambah parah saat menarik napas b. Biasanya terasa di tengah dada, bisa menyebar kesisi kiri, kedua lengan, atau ke leher dan rahang c.

Dada

terasa

seperti

sesak,

terbakar,

tertusuk-tusuk,

atau

tertekan

(Maulana,2008). Gejala lain: Nafas pendek, Berkeringat dingin, Terasa kelemahan yang menyeluruh atau kelelahan (Soeharto, 2004).

8. Diagnosis Langkah penting pertama dalam pengelolaan PJK adalah diagnosis yang tepat. Diagnosis yang salah dapat mengarahkan pada kondisi yang lebih buruk. Selain anamnesis, dokter juga harus menentukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang tambahan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat dengan risiko serta biaya seminimal mungkin. Pemeriksaan penunjang ada yang bersifat invasif maupun non invasif. Beberapa pilihan penunjang diantaranya adalah elektrokardiografi (EKG), X-ray, angiografi koroner, CT Scan, MRI, echocardiography, dan nuclear imaging. Elektrokardiografi (EKG), biomarker jantung, dan angiografi koroner adalah rangkaian pemeriksaan yang paling sering dilakukan. 1. Anamnesis Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan dokter melalui proses wawancara kepada pasien maupun keluarga pasien. Dokter harus melakukan anamnesis pada setiap pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada secara teliti berupa letak, kualitas, hubungan dengan aktivitas, lama serangan, dan keluhan penyerta serta menggali segala faktor risiko dan riwayat terdahulu. Canadian Cardiovascular Society menggolongkan derajat angina berdasarkan hasil anamnesis: Tabel 3. Derajat Angina38 Kelas

Derajat Gejala

Kelas I

‘Aktivitas biasa tidak menyebabkan angina’

Angina

apabila

mengalami

kelelahan Kelas II

‘Aktivitas biasa sedikit terbatas’ Angina bila berjalan atau naik tangga dengan cepat, tenaga terkuras setelah makan , dalam cuaca dingin , ketika berada di bawah stres emosional , atau hanya selama beberapa jam pertama setelah bangun

Kelas III

‘Ditandai pembatasan aktivitas fisik biasa ' Angina saat berjalan satu atau dua blok pada tingkatan tangga atau pada tangga utuh dengan kecepatan

normal

di

bawah

kondisi yang normal Kelas IV

Ketidakmampuan

untuk

melakukan aktivitas fisik tanpa perasaan tidak nyaman ' atau ' angina saat istirahat’

2. Pemeriksaan Fisik Terdiri atas pengukuran tanda vital, inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Tujuannya adalah untuk mengeksklusi penyebab nyeri dada noncardiac dan non-ischemic seperti penyakit paru dan lambung.38 Pemeriksaan fisik mungkin dapat tidak menunjukkan kelainan apapun pada saat angina. Pada pemeriksaan auskultasi dapat terdengar suara atrial atau ventrikel dan murmur sistolik daerah apeks jantung. Frekuensi jantung dapat menurun, menetap, ataupun meningkat. Saat melakukan perkusi batas jantung bisa dirasakan melebar.39 3. Elektrokardiografi (EKG)

Elektrokardiografi (EKG) adalah salah satu pemeriksaan utama yang dapat membedakan ACS STEMI/ NSTEMI dengan UAP. Gambaran pada STEMI yang khas adalah adanya gelombang ST elevasi persisten. Gelombang non spesifik, T terbalik, atau ST depresi bisa mengarahkan pada NSTEMI atau UAP yang selanjutnya dapat dibedakan melalui pemeriksaan laboratorium.

Gambar 4. Perbedaan Khas Gelombang EKG Infark Miokardium PJK41 4. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan dalam waktu 24 jam evaluasi bagi seluruh pasien dengan nyeri dada adalah sebagai berikut:34 a. Profil lipid puasa

Terdiri atas TC, LDL, HDL, dan trigliserida. b. Glukosa puasa c. Complete Blood Count dan Hb d. Biomarker jantung

Banyak macam biomarker yang dapat dipakai, diantaranya troponin,

mioglobin, dan creatine kinase myocardial band (CKMB). Biomarker tersebut secara lebih spesifik dapat membedakan UAP dengan NSTEMI. Troponin cTnT dan cTnI adalah protein spesifik yang mengatur hubungan aktin miosin dalam proses kontraksi miokardium melaui perantara kalsium. Apabila terjadi cedera, protein ini dapat menjadi pertanda diagnosis. Troponin meningkat dalam 4 jam setelah onset dan menetap selama hingga 2 minggu.40 Troponin bersifat lebih spesifik dan sensitif dibandingkan marker lain sperti CK-MB dan myoglobin. Peningkatan/ penurunan marker jantung tersebut mengarahkan pada diagnosis NSTEMI, sedangkan apabila kadarnya normal menandakan UA.

Gambar 5. Spektrum ACS Berdasarkan EKG dan Biomarker Jantung40 5. Angiografi Koroner Pemeriksaan ini merupakan gold standard diagnosis PJK. Hasil pemeriksaan dapat digunakan untuk mengetahui gambaran detail pembuluh darah jantung, pilihan tatalaksana, dan perkiraan prognosis.

9. Pencegahan

Related Documents


More Documents from "Meita Kusumo"