Penilaian Kualitatif

  • Uploaded by: purwono nugroho adhi
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Penilaian Kualitatif as PDF for free.

More details

  • Words: 6,308
  • Pages: 18
DASAR-DASAR PENILAIAN KUALITATIF PENDIDIKAN RELIGIOSITAS Sebuah pembaharuan pendidikan yang bersifat lebih partisipatif dan lebih mengembangkan citra pendidikan agama sebagai salah satu pendidikan nilai kehidupan, dan bukanlah pendidikan agama yang sarat dengan beban antara penilaian dan nilai norma sosial yang membingungkan memang dewasa ini sangat diperlukan. Pendidikan agama pun haruslah menanggung sebuah formasi kepribadian yang berat, namun dengan Pendidikan Religiositas diharapkan sebuah citra tentang keutuhan pendidikan akan nilai kehidupan yang tidak terukur secara kuantitatif, melainkan menjadi medan atau wahana subyek didik untuk memperkembangkan rasa kepedulian dan refleksi terhadap kehidupan dicoba diupayakan. Pengembangan rasa kepedulian dan refleksi atas nilai-nilai kehidupan pastilah mempunyai kualitas tersendiri yang tidak dapat diukur sekedar dengan nilai kuantitatif. Hal itu cukup mendasar, karena penilaian kuantitatif hanya mengukur segi-segi dan aspek kognitif yang begitu terbatas. Padahal di dalam Pendidikan Religiositas subyek didik berhadapan dengan berbagai nilai-nilai dan cara pandang yang sungguh bersifat reflektif menggali segala hal yang terkait dengan pengalaman eksistensialnya. Maka betapa pentingnya menggagas sebuah formula penilaian kualitatif yang dapat dijadikan sebagai salah satu proses penilaian subyek didik yang bersifat formatif dan diagnotif.

A.

Dasar Pemikiran Pentingnya Penilaian Kualitatif

1.

Menggali Kembali Penilaian antara Aspek Isi dan Struktur Proses Subyek Didik di dalam Pendidikan Religiositas

Sebenarnya jika kita lihat bersama, ada kaitan yang mendalam antara makna yang terkait dengan suatu sintesis yang progresif dan koheren antara pengalaman akan Tuhan (fides qua) dan isi pesan religi (fides quae) di dalam pembelajaran Pendidikan Religiositas. Hal itu didasari bahwa melalui Pendidikan Religiositas ini subyek didik diajak untuk sampai kepada proses eksplorasi yang signifikan dengan polapola yang bersifat tidak terbatas pada ruang lingkup ruang kelas, melainkan dimungkinkan sampai pengalaman subyek didik untuk mengenal hidupnya yang terkait dengan sosio religius dan sosio kultural yang konkret dan nyata. Pola pendekatan yang berbagai macam dapat dicoba diterapkan dalam kesatuan pembelajaran. Pendampingan subyek didik tidak hanya terbatas kepada aspek pengetahuan, tetapi sampai kepada upaya pemahaman yang bersifat kenousis (menyapa batin) dan mengembangkan nilainilai etis dan moral. Maka dalam hal ini ruang kelas tidak menjadi satu-satunya ruang belajar, melainkan dimungkinkan seluas-luasnya menjangkau hidup pengalaman sosio religius subyek didik. Maka betapa penilaian pun tidak terbatas pada formula penilaian kelas dalam arti kuantitatif, melainkan sampai kepada penilaian yang bersifat kualitatif. Pendidikan Religiositas tidak sekedar mendasarkan pada kompetensi aspek pengetahuan tetapi sampai kepada kompetensi interpersonal dan intrapersonal subyek didik. Maka betapa perlunya digali kembali, bahwa antara aspek isi pembelajaran dan struktur proses bagaimana subyek didik menginternalisasi sebuah nilai perlu dikaji kembali. Hal itu didasarkan pada gagasan, bahwa seorang subyek didik memahami suatu isi pembelajaran membutuhkan proses yang begitu kompleks dan beragam menyangkut bagaimana perkembangan cara berpikir dan lingkungan yang mempengaruhinya. Penilaian untuk melihat kembali kompetensi subyek didik didalam memahami sebuah isi pembelajaran haruslah dikaitkan bagaimana perkembangan subyek didik terhadap cara berpikir mengenai berbagai nilai yang terkait dengan isi. Penilaian kualitatif lebih-lebih ingin menilai subyek didik dari aspek struktur psikologis subyek didik menginternalisasi sebuah nilai dan isi pembelajarannya. Proses belajar tidak sekedar menyangkut hasil finalnya, melainkan bagaimana subyek didik memahaminya di dalam 1

proses perkembangan hidupnya. Dalam kaitannya dengan Pendidikan Religiositas hal ini cukup penting dan mendasar, karena di dalam Pendidikan Religiositas subyek didik mencoba untuk menginternalisasi nilai-nilai religi yang jelas-jelas mendasar pada perkembangan hidup subyek didik dan perkembangan hidup beragamnya. 2.

Aspek Kepercayaan Beragama (eksistensial) menyangkut strukturisasi organisasi antara kemampuan aspek afeksi – konasi dan kognisi.

Aspek kepercayaan beragama di dalamnya menyiratkan berbagai kemampuan yang sungguh kompleks. Hal itu dikarenakan bahwa di dalam aspek beragama (beriman) ini, subyek didik mengkontruksi dan mengkonsitusi segala pemahaman akan nilai agama dan berbagai proses pemahaman akan hidupnya. Maka terjadi pengintegrasian yang komprehensif antara orientasi kognitif dengan maksud-maksud mendasar yang bersifat afeksional. Hal itu tampak di dalam relevansi semiotis antara apa yang tertuang sebagai bagian ungkapan kognitif, misalnya sistematisasi cara berpikir, menulis, berpendapat dengan kecenderungan aspek afeksional yang meliputi cita rasa, keindahan, kekaguman, harapan, cita-cita, keprihatinan dan lain sebagainya. Di dalam Pendidikan Religiositas ini, subyek didik tidak sekedar mengungkapkan kemampuan kognitifnya melainkan juga mengintegrasikan apa yang dirasakan, diharapkan mengenai berbagai pemahaman akan hidup dan nilai-nilai yang ultim bagi diri subyek didik. Maka betapa sebuah formula penilaian yang tidak sekedar mewakili kemapuan kognitifnya melainkan juga apa yang menjadi bagian dari afeksinya menjadi sesuatu yang harus dipikirkan. Penilaian kualitatif mencoba untuk memungkinkan menggali segala kecenderungan afeksional dan kontruksi kognitif tergali. Hal ini menjadi penting untuk upaya formatif dan diagnotif subyek didik di dalam menjalani proses belajarnya. Kita dihadapkan pada realita, bahwa kecenderungan afeksional sulit untuk dikontruksikan secara kuantitatif, melainkan perlu dikotruksikan secara kualitatif. Setidaktidaknya tidak untuk mengukur melainkan memberikan gambaran-gambaran apa yang dirasakan, di citacitakan oleh subyek didik. Di dalam ruang beragama, ada dimensi kepastian rasional tetapi ada dimensi keyakinan. Dimensi kepastian rasional merepresentasikan cara berpikir dan kontrukis berpikir yang bersifat logis, analitis dan obyektif mengenai konsep teologi dan filsafatnya, tetapi di balik semua itu ada yang paling penting, yaitu dimensi keyakinan. Dimensi keyakinan menyiratkan sebuah proses berpikir subyek didik yang paling ultim, menyangkut tata nilai, cara pandang yang tak sekedar analitis dan logis melainkan menyangkut pembetukan identitas diri dan perkembangan hidupnya. Maka sebuah penilaian kualitatif dapat memberikan gambaran sejauh mana sebuah nilai diyakini, dikontruksi sebagai bagian hidup subyek didik menjadi sesuatu yang perlu dianalisa sebagai bagian kompetensi di dalam Pendidikan Religiositas ini. Sebagai sebuah tata nilai yang diyakini dalam hidup, tak dapat semudah itu dilihat dalam bentuk kuantitatif, tetapi harus dilihat dalam sebuah pendalaman orientasi yang bersifat kualitatif dan personal. 3.

Aspek Kepercayaan Beragama (eksistensial) menyangkut kualitas perkembangan pribadi yang menghubungkan kompetensi Interpersonal, Intrapersonal dan Eksistensial.

Hidup dan cara pandang beragama, tidak dapat dipetakan dalam kompetensi-kompetensi yang terbatas pada segi kognitif semata. Tetapi perlu menjadi kajian mendalam bahwa aspek kepercayaan beragama ini menyangkut kompetensi interpersonal, yaitu kemampuan subyek didik berelasi dengan orang lain, lingkungan dan berbagai tata nilai. Begitu pun juga menyangkut kompetensi intrapersonal, yaitu bagaimana subyek didik memahami pusat nilainya yang paling ultim, yaitu apa yang transenden. Kedua kompetensi tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena ketika subyek didik berelasi dengan orang lain selalu didasari pula oleh berbagai tata nilai yang bersifat transenden. Relasi itu 2

bersifat antara diri dengan orang lain, diri dengan tata nilai, serta dengan dirinya sendiri (self assessment). Seluruh jalinan relasi tersebut dikontruksikan ke dalam lingkugan dan cara pandang yang bersifat ultim (akhir). Maka relasi tersebut memungkinkan juga pada akhirnya mengenai kompetensi eksistensial, bagaimana subyek didik memandang hidupnya, mengenai titik kritis, penderitaan, kebahagiaan, kerinduan, cinta, dan lain sebagainya yang bersifat paling mendalam dan bararti. Proses beragama menyangkut bagaimana subyek didik mengkontruksi sebuah kepercayan eksistensialnya. Kepercayaan menyeluruh yang menyangkut gambaran paling akhir di dalam hidupnya. Sebuah persepektif mendalam hidupnya yang paling fundamental. Maka proses beragama menyangkut proses pembentukan identitas diri. Pembetukan diri yang didasari oleh tata nilai, orientasi yang mendasar pada harapan, daya upaya, pikiran dan tindakan akan yang transenden dan lingkungan hidupnya. Berdasarkan hal diatas, jelas sekali terlihat bahwa kompetensi penilaian tidak dapat sekedar diwakili dengan hanya satu kompetensi kognitif semata. Tetapi perlu integrasi seluruh aspek pemahaman subyek didik akan tata nilai yang di internalisasinya. Aspeknya tidak sekedar menghafal, melainkan mendasar pada sejauh mana subyek didik menghidupi suatu tata nilai di dalam relasi hidupnya baik personal maupun sosial. Penilaian kualitatif mencoba melihat apa yang diamati, dirasakan, diimajinasikan, dipertimbangkan secara rasional, dinilai, dibuat komitment dan dilaksanakan subyek didik melalui metode sederhana semi-klinis melalui transkrip dan portofolio keseluruhan proses pembelajaran.

B.

Aspek-Aspek Penilaian Kualitatif

Kepercayaan beragama (eksistensial) menyangkut pola yang bersifat bipolar dan tripolar. Artinya, bahwa subyek didik di dalam menginternalisasi dan berproses di dalam sikap beragama didasari hubungan antara dirinya dan orang lain dan pusat nilai yang dianggap paling ultim bagi subyek didik. Maka proses kepercayaan beragama (eksistensial) menyangkut tiga pokok sebagai berikut , yaitu ; a. Cara individu atau kelompok secara pribadi melihat hubungannya dengan orang lain, dengan siapa individu merasa diri bersatu berdasarkan latar belakang sejumlah tujuan dan arti yang dimiliki bersama. b. Cara tertentu individu dalam menafsirkan dan menjelaskan seluruh peristiwa dan pengalaman yang berlangsung dalam kehidupannya yang majemuk dan kompleks. c. Cara individu melihat seluruh nilai dan kekuatan yang merupakan realitas paling akhir dan pasti bagi diri dan sesama yang dapat menjadi acuan hidup individu tersebut, seperti kesehatan, kekuasaan, karier, sukses, kreativitas, penyerahan diri pada Tuhan, dan sebagainya yang semuanya bisa menjadi nilai inti dan daya gerak hidup seseorang. Untuk itu tiga hal diatas jika dikaitkan dengan kompetensi belajar, sungguh terkait erat dengan apa yang disebut dengan kompetensi interpersonal, intrapersonal dan eksistensial. 1.

Aspek Kompetensi Interpersonal

Aspek Interpersonal, adalah aspek kemampuan subyek didik terkait dengan bagaimana cara pandang subyek didik terhadap sebuah relasi dengan orang lain, dirinya (self assessment) dan berbagai tata nilai. Bagaimana subyek didik mengkontruksi dan menilai sebuah relasi atau hubungan tersebut. Hal tersebut menyangkut segi-segi pokok sebagai berikut ; a. Pengambilan peran, yaitu kemampuan individu untuk mengambil perspektif sosial yang berbeda dengan perspektif pribadi. Hal ini meliputi sejauh mana seorang mampu mengidentifikasi diri dengan kelompok lain dan mengambil peran dan perspektif kelompok itu, misalnya kelompok keluarga, teman sebaya, dan sebagainya. 3

b. c.

2.

Batas-batas kesadaran sosial yang menopang rasa identitas diri dan tanggungjawab sosial. Misalnya batasan kelompok-kelompok atau orang lain yang dipilih dalam membentuk dan memelihara identitas diri. Pusat autoritas, menyangkut soal apa dan siapa yang diakui dan diterima sebagai sebagai instansi autoritas individu. Misalnya pribadi-pribadi, gagasan, dan lembaga yang menjadi tempat andalan bagi seseorang dalam pembentukan arti dan makna.

Aspek Kompetensi Intrapersonal dan Eksistensial

Aspek Intrapersonal dan Eksistensial, yaitu kemampuan subyek didik terkait dengan bagaimana subyek didik memahami mengenai berbagai hal yang ia temui dalam kehidupan. Bagaimana subyek didik memandang dunia dan lingkungan sekitarnya, realitas sosial, pengalaman-pengalaman yang menyangkut kehidupannya. Hal tersebut meyangkut segi-segi pokok sebagai berikut ; a. Koherensi dunia, yaitu cara berpikir menurut aspek keseluruhan, seperti gambaran komprehensif tentang dunia, hidup dan lingkungan akhir yang memberikan koherensi dan rasa berarti yang menyeluruh. Misalnya pandangan subyek didik tentang tujuan hidup manusia. b. Fungsi simbol, yaitu daya afektif-kognitif dari imajinasi yang mengintegrasikan seluruh aspek pengenalan iman. Merupakan kemampuan menggunakan dan memahami simbol. Misalnya arti penderitaan bagi subyek didik. c. Tacit System, yaitu kerinduan-kerinduan subyek didik menyangkut cita-cita, keprihatinan, harapan yang mendalam dan berpengaruh dalam hidupnya. 3.

Tabel Tingkatan Kompetensi Interpersonal, Intrapersonal dan Eksistensial Aspek Kompetensi Interpersonal Kompetensi

Pengambilan Peran

Egosentris, segalanya masih terpusat pada diri sendiri.

Jenjang Sekolah / Umur Sekolah dasar, umur kurang lebih 4-7 tahun

Adanya pengambilan persepektif secara sederhana, orang lain sudah diperhitungkan (secara pribadi), tetapi masih sebatas untuk kepentingan diri.

Sekolah dasar, umur kurang lebih 7-12 tahun

Adanya upaya timbal balik antar pribadi. Pribadi yang lain menjadi bagian dari dirinya (bersifat personal).

SMP- SMU, kurang lebih 12 –18 tahun

Bersifat timbal balik kepada suatu kelompok atau golongan di dalam masyarakat yang dipilih secara personal sendiri oleh subyek didik.

SMU, mahasiswa kurang lebih 18 tahun – keatas

Bersifat timbal balik dengan kelompok-golongan sosial, dan sudah mengartikan dan menghubungkan keterbukaan tradisi-tradisi lain yang bukan miliknya.

Mahasiswa Kurang lebih 35 tahun keatas

Tahap Perkembangan

4

Aspek Kompetensi Interpersonal Kompetensi

Tahap Perkembangan Terpusat di keluarga dan orang-orang dekat Semua orang yang sepaham didasari dari hubungan etnis, rasial, golongan dan agama

Batas-Batas Kesadaran Sosial

Pusat Autoritas

Bergabung kepada kelompok-golongan dimana masih ada hubungan dengan subyek didik secara pribadi

Jenjang Sekolah / Umur Sekolah dasar, umur kurang lebih 4-7 tahun Sekolah dasar, umur kurang lebih 7-12 tahun SMP- SMU, kurang lebih 12 –18 tahun

Kelompok-kelompok, golongan yang secara ideologis sesuai dengan norma-norma dan pemahaman subyek didik

SMU, mahasiswa kurang lebih 18 tahun - keatas

Meluas melampaui norma-norma dan kepentingan golongan, adanya keterbukaan ideologi yang mendasar dengan berbagai kajian dan tradisi lain.

Mahasiswa Kurang lebih 35 tahun keatas

Relasi kasih sayang, ibu-bapak, ketergantungan pada orang terdekat.

Sekolah dasar, umur kurang lebih 4-7 tahun

Pemegang kedudukan, dan berbagai orang yang dekat karena pertalian pribadi.

Sekolah dasar, umur kurang lebih 7-12 tahun

Konsensus pribadi dengan kelompok dan orangorang yang secara pribadi berharga berdasarkan tata nilai yang dianut subyek didik.

SMP- SMU, kurang lebih 12 –18 tahun

Adanya pertimbangan, keputusan subyek sendiri yang diambil, jika dikaitkan dengan kelompok lain harus sesuai dengan norma yang dipertimbangkan secara pribadi. Penggabungan antara tata nilai pribadi yang direfleksikan dengan berbagai ungkapan kebijaksanaan komulatif yang terjadi di dalam budaya subyek didik.

SMU, mahasiswa kurang lebih 18 tahun - keatas

5

Mahasiswa Kurang lebih 35 tahun keatas

Aspek Kompetensi Intrapersonal dan Eksistensial Kompetensi

Tahap Perkembangan Bersifat terpisah-pisah, episodis, melihat satu pandangan dunia secara terpisah-pisah. Melihat jika ada hukuman ada ganjarannya (hitam – putih, keterpisahan) Bersifat naratif, harafiah, dunia dipandang apa adanya, adanya timbal balik, hubungan secara dikotomis

Koherensi Dunia dan pertimbangan moral

Sistem dunia dilihat berdasarkan secara apa yang dirasakan (eksplisit) sebagai sesuatu yang menjadi kecenderungan umum, adanya harapan dan persesuaian antar pribadi Sistem dunia dilihat berdasarkan gagasan dan konseptualitas (eksplisit), menyadari kejelasan dari setiap hubungan internal dalam suatu sistem , persepektif pergaulan sosial, reflektif dan universalisme yang berprasangka sosial. Dunia yang dipandang multisistem, mengkaitkan hubungan simbolis dan konseptual, kritis dan mendasar pada nilai-nilai prinsip hukum dan kemanusiaan Bersifat sederhana, lahiriah, magis

Sekolah dasar, umur kurang lebih 7-12 tahun SMP- SMU, kurang lebih 12 –18 tahun SMU, mahasiswa kurang lebih 18 tahun - keatas

Bersifat multi dimensional, sudah mengkaitkan simbol dengan apa yang disimbolkan, evokatif.

Mahasiswa Kurang lebih antara 28-35 tahun seterusnya Sekolah dasar, umur kurang lebih 4-7 tahun Sekolah dasar, umur kurang lebih 7-12 tahun SMP- SMU, kurang lebih 12 –18 tahun

Simbol dipisahkan dari yang disimbolkan, simbol diterjemahkan ke dalam gagasan-gagasan yang mendasar

SMU, mahasiswa kurang lebih 18 tahun - keatas

Penggabungan dan pengkritisan simbol, dari simbol yang mampu direduksi dan simbol yang terkait dengan proses ideasi, dan simbol yang berpusat pada prinsip

Mahasiswa Kurang lebih antara 28-35 tahun seterusnya

Bersifat hanya satu dimensi belaka, tiada kaitan dengan apa yang disimbolkan

Fungsi Simbol

Jenjang Sekolah / Umur Sekolah dasar, umur kurang lebih 4-7 tahun

Kompetensi diatas merupakan kompetensi yang bersifat linier menurut perkembangan umur dan psikologi dari berbagai aspek Interpesonal, Intrapersonal dan eksistensialnya. Sedangkan tahap untuk kesatuan utuh kompetensi keseluruhan perkembangan kepercayaan beragamanya (eskistensial) dapat dijelaskan secara singkat berikutnya.

6

4.

Tabel Tahap Kompetensi Perkembangan Kepercayaan Beragama (eksistensial) secara menyeluruh

Tahap Kompetensi Perkembangan Kepercayaan Beragama

Mistis-Harafiah

Tahap Kompetensi Perkembangan Kepercayaan Beragama

Sintetis Konvensional

Kompetensi Intrapersonal dan Eksistensial

Interpersonal Diri yang bersifat imperial, Egosentris, segalanya masih terpusat pada diri sendiri. Pengambilan peran dan persepektif terhadap orang lain belum bersifat timbal balik, masih terbatas pada kriteria kecocokan subyek

Membutuhkan tuntunan dari luar, suatu kelompok atau orang terdekat menjadi model dan paramater. Cara pandang terhadap yang transenden mengacu kepada fairness, artinya kejahatan akan dibalas dengan kejahatan pula, begitu sebaliknya. Tuhan bersifat raja, penguasa, pengawas. Daya imaginatif-fantasi yang begitu magis.

Kompetensi Intrapersonal dan Eksistensial

Interpersonal terlibat dalam kehidupan orang lain, dalam diri seseorang berkembang suatu kemampuan yang semakin besar untuk menghargai pandangan orang lain. Persahabatan dan loyalitas menjadi faktor yang penting dalam berhubungan dengan orang lain. Relasi persahabatan yang mesra(chumrelationship), yaitu pengalaman intim pertama remaja di luar lingkungan keluarga. Hal ini dapat membebaskan remaja dari segala tekanan dan ketidakmampuan mengungkapkan diri.

7

Jenjang Sekolah Sekolah dasar

Jenjang Sekolah

Pada masa remaja, otoritas SLTP DAN yang berhubungan dengan SMU remaja perlu tampil secara ‘tulus’, ‘asli’, dan ‘bisa dipercaya’. Hal ini karena remaja terutama di sekolah menengah, biasanya bersikap responsif terhadap pembimbing yang hangat dan terbuka. Meskipun sudah ada daya refleksi kritis dan mulai dapat membentuk sistem nilai sendiri, remaja masih membutuhkan orang dewasa untuk bimbingan dan nasihat terutama dalam hal mencari arti dan makna hidup.

Tahap Kompetensi Perkembangan Kepercayaan Beragama

Sintetis Konvensional

IndividuatifReflektif

Kompetensi Intrapersonal dan Eksistensial

Interpersonal

Jenjang Sekolah

Sebagai konsekuensinya remaja mulai menyadari halhal lain di luar kelompok umur remaja, tetapi kesadaran ini masih terbatas karena kesankesan dari luar seringkali diwarnai gambaran stereotipe. Jadi remaja dapat menyadari adanya ketidakadilan dimana ras atau suku tertentu ditindas, tetapi dalam membicarakan hal tersebut remaja masih ikutikutan pendapat-pendapat yang ada.

Hal khusus lain yang penting bagi perkembangan kepercayaan remaja ialah peranan simbol, yang dipahami lebih daripada sekedar penampilan benda fisiknya, atau nama yang digunakannya seperti misalnya “Tuhan”. Simbol memiliki kualitas pribadi yang jelas, sehingga “Tuhan” dapat menjadi sahabat dan teman yang dapat remaja hubungi. Sebagai akibatnya, bagi remaja berhubungan dengan “Tuhan” menjadi jauh lebih personal, bahkan “Tuhan” lebih dekat dan akrab dengan diri remaja daripada remaja itu sendiri. Oleh karena itu, gambaran “Tuhan” personal dan akrab sangat penting bagi upaya menyusun identitas diri remaja

SLTP DAN SMU

Adanya kesadaran tentang identitas diri yang khas dan pembetukan otonomi tersendiri. Relasi sosial yang mulai menyeluruh, walaupun masih ada prasangka kesamaaan ideologi dan minat, namun telah dapat menerima berbagai tradisi diluar dirinya dalam kerangka proses pembentukan identitas diri. Hubungan atau relasi telah dipandang murni dan utuh

Demitologisasi kritis terhadap segala macam simbol-simbol agama sebagai suatu organisasi yang dipandang konvensional. Adanya ketertarikan secara mendalam dan menggunakan tradis-tradisi kegamaan yang universal, menghargai tradisi di luar dirinya.

SMU dan Mahasiswa

Kompetensi diatas merupakan kompetensi yang bersifat linier menurut perkembangan umur dan psikologi dari berbagai keseluruhan aspek Interpesonal, Intrapersonal dan eksistensialnya yang 8

tergabung di dalam perkembangan kepercayaan beragama (eksistensial). Tetapi kompetensi diatas dapat dilihat juga dalam perkembangan aspek-aspek secara kualitatif bukan sekedar linier.

C.

Sistem Penilaian Kualitatif

Penilaian kualitatif merupakan penilaian yang mendasar kepada segi evaluasi kualitas seseorang. Sifatnya tidak lebih-lebih mengukur hasil kemampuan orang merepresentasikan kembali hasil belajar dan pemahamanya akan suatu materi, melainkan lebih bersifat formatif dan diagnostis melihat kembali sejauh mana seseorang menginternalisasi sebuah nilai di dalam proses belajarnya bagi kontruksi hidupnya. Maka sistem evaluasi untuk penilaian kualitatif mendasar kepada sebuah pemahaman sistem penilaian psikologis yang bersifat semi klinis sederhana. 1.

Berpusat pada segi formatif, diagnostik dan penilaian diri (self assessment)

Struktur kepercayaan beragama (eksistensial), mengandaikan integrasi secara penuh seluruh aspek mental dan perkembangan psikologis subyek didik. Maka aspek penilaian kualitatif bukanlah merupakan penilaian yang mengacu kepada tingkat prestasi domain kognitif tertentu semata melainkan lebih mendasar kepada pengamatan perkembangan proses subyek didik menginternalisasi sebuah nilai. Penilaian kualitatif bukanlah sebuah penilaian yang mengacu kepada sebuah tingkatan-tingkatan kuantitatif (skoring) tetapi lebih mengacu kepada tahap-tahap perkembangan kepercayaan beragama (eksistensial) subyek didik. Tujuan penilaian kualitatif adalah untuk memberikan berbagai evaluasi perkembagan demi kepentingan perkembangan subyek didik (formatif) dan mengamati berbagai dinamika secara lebih luas segala aspek kepercayaan beragama subyek didik (diagnostik). Begitu juga penilaian kualitatif lebih diperuntukan pada subyek didik mengetahui peta dan dinamika perkembangan diri sendiri, sehingga subyek didik mampu secara terbuka mengupayakan pembaharuan-pembaharuan diri (self assessment). Untuk itu bentuk penilaian diwujudkan dalam bentuk catatan-catatan yang mengacu kepada analisa cara pandang subyek didik terhadap sebuah nilai. Berdasarkan apa yang dipaparkan oleh subyek didik, dicoba dianalisa sejauh mana berbagai aspek perkembangan interpersonal, intrapersonal dan eksistensialnya. Subyek didik pun menjadikan refleksi atas berbagai pandangan mengenai nilai-nilai yang dinternalisasi menjadi sebuah catatan tertulis untuk melihat dirinya kembali. 2.

Analisa Teks (Semiotis-Grounded Research) refleksi tertulis Subyek didik dengan berbagai kajian tahap-tahap perkembangan Kepercayaan Beragama (Eksistensial)

Penilaian ini mengacu kepada sebuah kajian mengenai penelitian kualitatif di dalam ilmu psikologi dan berbagai ilmu sosial lainnya. Kajiannya mendasarkan kepada berbagai bentuk analisa tekstual struktur semiotis (mengkaitkan apa yang dituliskan sebagai representasi kecenderungan perasaan, pemikiran) apa yang diungkapkan dalam segala refleksi tertulis yang dibuat oleh subyek didik dengan berbagai kajian mengenai perkembangan kepercayaan beragama (eksistensial). Salah satu bentuknya dapat sebagai berikut ;

9

Kajian – refleksi Petanyaan-pertanyaan yang diajukan Seluruh transkrip refleksi yang Kajian dari aspek tertentu, atau dituliskan subyek didik teori tertentu analisa kualitatif aspek Berisi data atau dokumen dari perkembangan kepercayaan subyek didik, berupa portofolio eksistensial dan perkembangan tertulisnya, atau penulisan dan moral; rekap kembali hasil dari puisi, diari, pandangan subyek didik Aspek Autoritas nilai secara tertulis, dll Aspek Simbol Aspek Koherensi dunia Bagian-bagian penting dari Aspek batas-batas kesadaran catatan dan data portofolio diberi sosial garis bawah. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagai panduan dari refleksi yang dibuat oleh subyek didik. Transkrip refleksi tertulis subyek didik

Model Refleksi

Refleksi tertulis

Metode dan Pendekatan

Penulisan surat / renungan tertulis Menuliskan diary pribadi (portofolio logs) Refleksi tertulis dalam bentuk makalah

10

Analisa Pendamping, mencoba memberikan analisanya terkait dengan kajian-kajian dan aspekaspek yang bersifat formatif memberikan analisa secara kualitatif, berbagai hal yang tampak di dalam analisa tekstual atas portofolio dan berbagai dokumen yang terkumpul dari subyek didik yang mampu dianalisa

Kompetensi yang dianalisa 1. Aspek Autoritas nilai, seberapa jauh subyek didik menginternalisasi nilai tertentu, sebagai nilai dari keluarga, diri , institusi agama atau orang lain yang berpengaruh yang terungkap dari refleksi tertulis. 2. Aspek Koherensi dunia, seberapa jauh subyek didik memandang kenyataan hidupnya, terkait dengan pemahaman akan nilai-nilai kehidupan yang dihadapinya. 3. Aspek Kesadaran sosial, sebarapa jauh subyek didik mempunyai hubungan intimitas dengan orang lain. 4. Aspek Simbol., seberapa jauh subyek didik mengimaginasikan makna simbol dalam kaitannya dengan nilai yang diinternalisasikannya.

3.

Model Refleksi

Metode dan Pendekatan

Refleksi tertulis

Penulisan surat / renungan tertulis Menuliskan diary pribadi (portofolio logs) Refleksi tertulis dalam bentuk makalah

Kompetensi yang dianalisa Tacit system, seberapa jauh subyek didik mempunyai berbagai hal yang terkait dengan harapan, cita-cita, kerinduan akan nilai hidupnya berdasarkan apa yang terungkap di refleksi tertulis.

Analisa sharing (refleksi secara verbal) pertemuan (portofolio conference)

Penilaian ini juga mengacu kepada penelitian kualitatif di dalam psikologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Kajiannya mendasarkan kepada berbagai bentuk analisa struktur semiotis (mengkaitkan apa yang dikatakan sebagai representasi kecenderungan perasaan, pemikiran) apa yang diungkapkan dalam segala refleksi sharing yang dikatakan oleh subyek didik dengan berbagai kajian mengenai perkembangan kepercayaan beragama (eksistensial). Salah satu bentuknya dapat sebagai berikut ini ; Kajian – refleksi Petanyaan-pertanyaan yang diajukan Seluruh transkrip refleksi sharing Kajian dari aspek tertentu, atau yang telah direkam oleh teori tertentu pendamping (dapat mengunakan analisa kualitatif aspek tape recorder, atau seperangkat perkembangan kepercayaan video) eksistensial dan perkembangan moral; Berisi data atau dokumen dari subyek didik, berupa portofolio Aspek Autoritas nilai pertemuan yang dituliskan Aspek Simbol kembali dari hasil sharing. Aspek Koherensi dunia Aspek batas-batas kesadaran Bagian-bagian penting dari sosial catatan dan data portofolio diberi garis bawah. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagai panduan dari refleksi yang dibuat oleh subyek didik. Transkrip refleksi sharing subyek didik

Model Refleksi Refleksi Verbal (sharing), berbicara sebagai refleksi dari subyek didik atas nilai religi

Metode dan Pendekatan Pertemuan, pendalaman, sharing

11

Analisa Pendamping, mencoba memberikan analisanya terkait dengan kajian-kajian dan aspekaspek yang bersifat formatif memberikan analisa secara kualitatif, berbagai hal yang tampak di dalam analisa atas transkrip sharing dan berbagai dokumen yang terkumpul dari subyek didik yang mampu dianalisa

Kompetensi yang dianalisa 5 aspek, yaitu autoritas nilai, koherensi dunia, kesadaran sosial, simbol dan tacit system

4.

Analisa doa dan simbol (Portofolio performance) dalam pendekatan narative turn dan performance art

Penilaian kualitatif ini mengkaitkan aspek semiotis dari apa yang terungkap di dalam setiap subyek didik membuat doa dan lambang-lambang puisi, cerpen (sebagai bagian narative turn) gambar, gerakan, ungkapan ekspresi lainnya dengan analisa perkembangan kepercayaan beragama (eksistensial) sebagai representasi harapan, dan kepercayaan eksistensialnya atas sebuah nilai. Terkait dengan narative turn, adalah refleksi yang dibuat berdasarkan kajian sastra. Artinya subyek didik dapat mengeksprsikan segala pemahaman akan nilai melalui sebuah pendekatan sastra, yaitu penulisan puisi dan cerpen. Hal itu didasari, bahwa puisi dan cerpen lebih membawa subyek didik untuk semakin kreatif dan bebas mengekspresikan segala refleksi pandangannya akan nilai. Begitupun dengan performance art, subyek didik dapat mengekspresikan refleksi apa yang ia internalisasi dalam bentuk gerak, gambar dan etalase. Penampilan-penampilan tersebut diberi refleksi oleh subyek didik sebagai dasar simbol apa yang telah ia pandang akan sebuah nilai religi. Salah satunya dapat berbentuk sebagai berikut ; Transkrip doa dan simbol subyek didik Seluruh transkrip doa yang dituliskan atau dituturkan, puisi, cerpen, gerak tari, gambar yang telah didokumentasikan oleh pendamping (dapat berupa foto, atau seperangkat video) Penampilan-penampilan tersebut diberi refleksi oleh subyek didik sebagai dasar simbol apa yang telah ia pandang akan sebuah nilai religi Berisi data atau dokumen dari subyek didik, berupa portofolio performance yang ditampilkan kembali dari hasil refleksi. Model Refleksi

Refleksi simbol

Kajian – refleksi Petanyaan-pertanyaan yang diajukan Kajian dari aspek tertentu, atau teori tertentu analisa kualitatif aspek perkembangan kepercayaan eksistensial dan perkembangan moral; Aspek Autoritas nilai Aspek Simbol Aspek Koherensi dunia Aspek batas-batas kesadaran sosial

Analisa Pendamping, mencoba memberikan analisanya terkait dengan kajian-kajian dan aspekaspek yang bersifat formatif memberikan analisa secara kualitatif, berbagai hal yang tampak di dalam analisa atas transkrip doa, puisi, gerak, gambar dan berbagai dokumen yang terkumpul dari subyek didik yang mampu dianalisa

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagai panduan dari refleksi yang dibuat oleh subyek didik. Metode dan Pendekatan Melalui sebuah tulisan doa, puisi, cerpen sebagai pendekatan Dan pendekatan performance art dengan tampilan gerak, gambar, seni etalase sebagai bagian refleksi atas nilai religi. Penampilan-penampilan tersebut diberi refleksi oleh subyek didik sebagai dasar simbol apa yang telah ia pandang akan sebuah nilai religi 12

Kompetensi yang dianalisa

5 aspek, yaitu autoritas nilai, koherensi dunia, kesadaran sosial, simbol dan tacit system

5.

Penilaian Kerja Kelompok; laporan kelompok dan reflleksinya atas berbagai pertemuanpertemuan dan aktivitas yang menyangkut hidup keagamaan.

Penilaian ini lebih-lebih mengkaitkan penilaian kualitatif berdasarkan atas apa yang telah dilaporkan dan berbagai observasi yang dilakukan oleh pendamping terkait dengan keterlibatan di dalam relasi berkelompok meliputi; keikutsertaan, keaktifan, dan peran di dalam dinamika kelompok. Hal ini digali secara personal kepada setiap subyek didik, bagaiamana pengalaman kerja kelompok dan keterlibatan di dalam berbagai aktifitas hidup beragama subyek didik. Bentuknya sebuah refleksi atas keterlibatan kerja kelompok. Transkrip refleksi atas keterlibatan kerja kelompok subyek didik Seluruh transkrip refleksi yang dituliskan atau dituturkan yang diperkuat dengan dokumentasi dalam bentuk (dapat berupa foto, atau seperangkat video)

Kajian – refleksi Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Aspek Koherensi dunia Aspek batas-batas kesadaran sosial dan pengambilan peran Keikutsertaan, keaktifan dan keterlibatan

Berisi data atau dokumen dari subyek didik, berupa portofolio performance yang ditampilkan kembali dari hasil refleksi.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagai panduan dari refleksi yang dibuat oleh subyek didik.

Model Refleksi Metode dan Pendekatan Refleksi kerja dan keterlibatan di Tugas kelompok, pertemuandalam kelompok pertemuan keagamaan dll yang bernuansa kelompok 6.

Analisa Pendamping, mencoba memberikan analisanya terkait dengan kajian-kajian dan aspekaspek yang bersifat formatif memberikan analisa secara kualitatif, berbagai hal yang tampak di dalam analisa atas refleksi pribadi atas kerja dan keterlibatan di dalam kelompok

Kompetensi yang dianalisa Kesadaran sosial; pengambilan peran, keikutsertaan, keterlibatan dan koherensi dunia

Simpul Analisa Kualitatif

Berdasarkan dari berbagai analisa teks refleksi, analisa berbagi pengalaman beragama (sharing), analisa doa, puisi dan performance sebagai ungkapan dan ekspresi lambang akan nilai dan analisa terhadap aktivitas di dalam tugas kelompok, ada upaya analisa yang mencangkup tiga proses penting di dalam setiap individu subyek didik bergulat akan nilai religi, yaitu ; a. Proses Pemberian Arti, yaitu proses dimana setiap manusia membutuhkan arti dan makna, dan selalu orientasi hidupnya mengacu kepada makna nilai tersebut. Proses subyek didik menginternalisasi kepercayaan beragama (eksitensial) merupakan dinamika proses seseorang untuk memberikan arti dan makna pada hidupnya, dimana subyek didik menyingkapkan arti hidupnya. Arti dan makna tersebut adalah hasil upaya kreatif di dalam proses menemukan dan menciptakan, baik yang bersifat aktif maupun pasif. b. Proses menjalin relasi atau hubungan. Proses kepercayaan beragama (eksistensial) selalu terkait dengan relasi yang menyangkut relasi diri dengan orang lain, kebergantungan diri kepada orang lain. Hal itu merupakan proses rasa terikat dan dekat, rasa komitmen dan setia. Semua ini tampak di dalam setiap proses religius, dimana terjalin suatu interaksi kelompok, bahasa, upacara, dan tradisi rohani yang membentuk kepribadian religius setiap subyek didik. 13

c.

D.

Proses pengertian. Proses kepercayaan beragama (eksistensial) merupakan kegiatan mengenal , yaitu sebagai suatu cara khas pengertian dan pengkonstruksian mental, dan terutama sebagai suatu bagian dari seluruh kegiatan konstitutif dari ego. Maka kepercayaan beragama (eksistensial) ini merupakan bagian dari subyek didik untuk mengenal dan mengerti apa yang menjadi bagian di dalam proses hidupnya. Proses pengertian ini meliputi berbagai konstruksi tentang diri, pemahaman, cara berpikir yang mengintegrasikan komponen utuh atas afeksi dan kognisi dalam hal pengambilan perspektif, analisis, dan pertimbangan moral

Struktur Materi Bahasan dalam Kaitannya dengan Penilaian Kualitatif

Isi materi Pendidikan Religiositas berpijak kepada empat pokok utama, yaitu pengalaman eksistensial manusia, Pandangan hidup dan kebudayaan, Amanat visi dari keberagaman Tradisi tentang kehidupan, dan Upaya-upaya Pembangunan Baru yang mendasar pada Nilai-Nilai Kehidupan, tentang perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan. Tema-tema pembahasan ini bersifat linier dan spiral sesuai dengan tingkatan jenjang sekolah. 1.

Pengalaman eksistensial manusia

Bahasan tentang berangkat dari kisah hidup ini bertujuan, yaitu subyek didik mempunyai cara pandang yang lebih dewasa tentang orientasi hidup berkaitan dengan pengalaman-pengalaman eksistensial hidup berkaitan dengan cinta, penderitaan dan visi hidup. Bahasan ini menitik beratkan pada penggalian pengalaman subyek didik dengan pengalaman-pengalaman eksistensial manusiawi. Hal tersebut dapat dijabarkan mengenai pengertian secara mendasar tentang cinta dan pengalaman mencintai, dari cinta manusiawi sampai kepada pemberian diri secara penuh bagi orang lain. Berikutnya, disadari bahwa pertanyaan tentang penderitaan merupakan pertanyaan eksistensial yang selalu muncul. Maka subyek didik diajak untuk merefleksikan secara mendalam dengan visi tradisi religius tentang makna penderitaan secara khusus bagi hidup berimannya. Dari kedua hal ini subyek didik diajak untuk melihat kembali orientasi hidup yang mendasar tentang identitas diri dan visi hidup yang lebih dewasa tentang jati dirinya. ♦ Sejauh mana subyek didik memandang pengertian tentang relasi, intimitas, tentang tema cinta. Autoritas Nilai Meliputi apa saja yang menjadi autoritas nilai; apakah Figur keluarga (orang tua), atau sahabat, atau teman yang menjadi tempat autoritas nilai yang diacu dan berpengaruh, karena kedekatan pemikiran, berpengaruh dalam menetukan pemikiran terkait dengan pengalaman intimasi (kedekatan mendalam) Batas-Batas Kesadaran Sosial Seberapa jauh seksualitas (hubungan-komunikasi dengan lawan jenis) berpengaruh di dalam kontruksi pemikiran, figur –figur tertentu yang menjadi tempat pembentukan identitas diri. Pengambilan peran Hubungan intimitas, kedekatan, apakah dilihat sebagai hubungan perkembangan diri. Bagaimana dinamika Kebutuhan akan afiliasi, apakah menjadi yang utama di dalam relasi dengan orang lain. ♦ Sejauh mana subyek didik memandang pandangan-pandangan persoalan kehidupan terkait dengan tema penderitaan.

14

Koherensi dunia Seberapa jauh pengertian-pengertian tentang penderitaan dipandang dalam keseluruhan jalinan peristiwa hidup dan kesatuan hidup di dunia. Seberapa jauh penderitaan dipandang dalam kerangka kritis sejumlah kepercayaan tertentu Fungsi simbol Seberapa jauh penderitaan dikaitkan dan dihubungkan dengan pemikiran secara transformatif atas hidupnya. Sejauh mana simbol-simbol penderitaan dibedakan dengan apa yang disimbolkan. ♦ Sejauh mana subyek didik memandang mengenai kesadaran diri, identitas diri, mengenai diri dan hidup lingkungannya Autoritas Nilai Meliputi apa saja yang menjadi autoritas nilai; apakah Figur keluarga (orang tua), atau sahabat, atau teman yang menjadi tempat autoritas nilai yang diacu dan berpengaruh membetuk dirinya Batas-Batas Kesadaran Sosial Seberapa jauh subyek didik memandang diri dengan lingkungannya yang berpengaruh di dalam kontruksi pemikiran akan pembentukan identitas diri. Pengambilan peran Seberapa jauh dirinya menempatkan identitasnya di dalam kesadaran akan pembentukan diri, serta bagaimana pembetukan diri dikaitkan dengan relasinya terhadap orang lain, keluarga dll. Koherensi dunia Seberapa jauh pengertian-pengertian tentang identitas diri dipandang dalam keseluruhan jalinan peristiwa hidup dan kesatuan hidup di dunia. Seberapa jauh pembetukan identitas diri dipandang dalam kerangka kritis sejumlah kepercayaan tertentu Tacit system Kerinduan, cita-cita dan harapan apa yang menjadi bagian di dalam pembetukan identitas dirinya. 2.

Pandangan hidup dan kebudayaan

Setelah diajak menggali dan merefleksikan pengalaman eksistensial, subyek didik diajak untuk melihat lebih dalam, bahwa didalam orientasi hidup ini manusia mencari makna hidup. Makna hidup ini terkait erat dengan kebutuhan manusia akan yang transenden. Bahasan tentang pandangan hidup dan kebudayaan ini bertujuan agar subyek didik mempunyai cara pandang yang lebih dewasa tentang pengalaman-pengalaman religius yang menjadi bagian dari hidup mereka. Bahasan ini menitik beratkan tentang wacana pencarian manusia akan yang transenden. Pencarian akan yang transenden ini disadari menjadi bagian dari setiap budaya manusia. Disadari bersama bahwa agama merupakan bagian dari usaha manusia mencari yang transenden. Agama menjadi bagian dari setiap budaya manusia. Agama menjadi institusi manusia untuk mencari makna hidupnya. Subyek didik diajak juga untuk melihat bagaimana letak agama mereka di dalam kerangka pencarian manusia akan yang transenden ini, berkaitan tentang apa itu iman dan wahyu. ♦ Sejauh mana subyek didik memandang mengenai agama dan berbagai hal yang mendasar terkait dengan pengaruhnya di dalam kehidupan. Autoritas Nilai Seberapa jauh agama menjadi tempat dan sumber nilai-nilai yang dianut oleh subyek didik, orang-orang dan tokoh-tokoh siapa saja yang menjadi tempat bagaimana nilai agama diinternalisasinya. Batas-Batas Kesadaran Sosial Seberapa jauh subyek didik mempunyai kelompok, komunitas lingkungan yang berpengaruh membentuk kesadaran dirinya di dalam pembetukan dan internalisasi nilai agama. Pengambilan peran 15

Seberapa jauh dirinya menempatkan perannya di dalam kelompok dan tradisi keagamaan Koherensi dunia Seberapa jauh pengertian-pengertian tentang agama dan kebudayaan mengenai pencarian manusia akan yang transnden dipandang dalam keseluruhan jalinan peristiwa hidup dan kesatuan hidup di dunia. Seberapa jauh subyek didik memandang institusi agama dan pengaruhnya di dalam kebudayaan secara kritis. Fungsi simbol Seberapa jauh nilai tradisi dan simbol kegamaan dikaitkan dan dihubungkan dengan pemikiran secara transformatif atas hidupnya. Sejauh mana simbol-simbol kegamaan dibedakan dengan apa yang disimbolkan. 3.

Amanat visi dari keberagaman Tradisi Religi tentang kehidupan dan permasalahan moral sosial

Berangkat dari pengalaman religius dalam hidup berbudaya, subyek didik diajak untuk melihat permasalahan hidup yang lebih luas berkaitan tentang masalah-masalah moral dan sosial di seputar mereka. Bahasan ini bertujuan agar subyek didik mempunyai cara pandang yang lebih dewasa berkaitan dengan berbagai masalah moral dan sosial. Bahasan ini menitik beratkan kepada permasalahan-permasalahan modernitas yang dewasa ini berkembang, berkaitan dengan kegalauan moral dan segala permasalahan-permasalahan yang mengancam harkat martabat manusia. Subyek didik diajak untuk lebih memperdalam masalah-masalah ini dalam terang visi tradisi religius tentang budaya kehidupan, budaya mengenai kasih persaudaraan dan hormat terhadap hidup. ♦ Sejauh mana subyek didik memandang mengenai permasalahan-permasalahan moral dan sosial dan berbagai hal yang mendasar terkait dengan pengaruhnya di dalam kehidupan, dan bagaimana nilainilai dan visi tradisi religi menjadi kontruksi pendangannya . Autoritas Nilai Seberapa jauh berbagai nilai-nilai moral sosial dari berbagai buku, tokoh, media, lingkugan hidupnya menjadi tempat dan sumber nilai-nilai yang dianut oleh subyek didik. Begitu juga nilai-nilai tradisi religi sebarapa jauh diinternalisasi di dalam kerangka peninjauan masalah moral dan sosial. Batas-Batas Kesadaran Sosial Seberapa jauh subyek didik mempunyai kelompok, komunitas lingkungan yang berpengaruh membentuk kesadaran dirinya di dalam melihat permasalah-permasalah sosial dan moral.. Pengambilan peran Seberapa jauh dirinya menempatkan perannya di dalam permasalahan-permasalahan moralitas dan sosial yang ada disekitarnya melalui berbagai pandangannya, permasalah moralitas dan sosial tersebut tergali baik dari media, lingkungan dan berbagai hal yang mempengaruhi ruang hidup dan cara pandangnya. Koherensi dunia Seberapa jauh pengertian-pengertian tentang moralitas dan permasalah sosial dipandang dalam keseluruhan jalinan peristiwa hidup dan kesatuan hidup di dunia. Seberapa jauh subyek didik memandang moralitas dan permasalah sosial dalam kerangka pemikiran yang dewasa dan kritis. Fungsi simbol Seberapa jauh simbol-simbol sosial dan moralitas melalui gambaran pemahaman dan pengertian dikaitkan dan dihubungkan dengan pemikiran secara transformatif atas hidupnya.

16

4.

Upaya-upaya Pembangunan Baru yang mendasar pada Nilai-Nilai Kehidupan, tentang perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan.

Setelah subyek didik merefleksikan secara bersama segala hal berkaitan dengan permasalahanpermasalahan soal moral dan sosial dan bagaimana terang visi religi dalam menanggapi persoalan tersebut, subyek didik kemudian diajak untuk lebih mendalami tentang upaya pembangunan budaya kehidupan yang mendasar kepada keluhuran nilai-nilai manusia. Bahasan ini bertujuan agar subyek didik mempunyai cara pandang yang lebih dewasa berkaitan dengan upaya pembangunan budi manusia tentang perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan. Bahasan ini menitik beratkan pada refleksi secara lebih mendalam tentang upaya-upaya pembaharuan budaya kehidupan yang berorientasi kepada perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan. Subyek didik akhirnya diajak juga sampai kepada sikap religius yang lebih terbuka. Sikap religius ini mengartikan sikap ketebukaan akan makna hidup, keterbukaan terhadap kedewasaan budi dalam memandang permasalahan moral dan sosial dalam terang keberagaman visi tradisi religi . ♦ Sejauh mana subyek didik memandang mengenai berbagai nilai-nilai mengeani perdamaian, keadilan dan kautuhan ciptaan di dalam kerangka aspek hidup beragamanya. Autoritas Nilai Seberapa jauh berbagai nilai-nilai perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan dari berbagai buku, tokoh, media, lingkugan hidupnya menjadi tempat dan sumber nilai-nilai yang dianut oleh subyek didik. Begitu juga nilai-nilai tradisi religi sebarapa jauh diinternalisasi di dalam kerangka pembangunan perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan ini. Batas-Batas Kesadaran Sosial Seberapa jauh subyek didik mempunyai kelompok, komunitas lingkungan yang berpengaruh membentuk kesadaran dirinya di dalam menginternalisasikan berbagai nilai-nilai perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan ini. Pengambilan peran Seberapa jauh subyek didik menempatkan perannya di dalam proses pendangan mengenai nilai perdamaian, keadilan dan kautuhan ciptaan ini. Koherensi dunia Seberapa jauh pengertian-pengertian tentang perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan dipandang dalam keseluruhan jalinan peristiwa hidup dan kesatuan hidup di dunia. Seberapa jauh subyek didik memandang perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan dalam kerangka pemikiran yang dewasa dan kritis. Fungsi simbol Seberapa jauh simbol-simbol perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan sebagai gambaran pemahaman dan pengertian dikaitkan dan dihubungkan dengan pemikiran secara transformatif atas hidupnya.

E.

Beberapa Catatan Penting

1.

Penilaian Kualitatif perlu dikembangkan dengan penilaian lain

Penilaian kualitatif bersifat semi klinis, formatif dan diagnostik, maka dirasakan bukan satu-satunya dasar evaluasi subyek didik. Untuk itu pentingya memperkembangkan penilaian-peniaian baik yang bersifat sumatif (kuantitatif dan skoring) dan berbagai tehnik penilaian lain agar penilaian kualitatif ini menjadi penilaian yang sungguh integral dan utuh. Maka penilaian kualitatif ini, merupakan penilaian yang bukan pelengkap semata, tetapi menjadi salah satu dasar evaluasi kompetensi subyek didik disamping masih ada tehnik-tenik penilaian dan evaluasi yang lainnya. 17

2.

Penilaian Kualitatif mempunyai kelemahan di dalam kecenderungaanya yang subyektif

Dalam setiap tehnik dan metode pendekatan, selalu ditemui unsur-unsur kelemahan. Maka begitu juga yang terjadi di penilaian kualitatif ini. Unsur kelemahan yang menonjol yaitu segi subyektifitas di dalam penilaian. Hal itu didasari, bahwa penilaian ini merupakan analisa dari berbagai hasil refleksi subyek didik. Sering kali jika analisa yang ditetapkan bersifat semiotis atas sebuah refleksi subyek didik, maka analisa tersebut memungkinkan pendamping memberikan intrepetasinya di dalamnya. Apalagi seorang pendamping yang tidak begitu paham atas berbagai kajian yang mendasarinya, maka akan banyak unsur subyektifas yang terjadi. Untuk itu sungguh pentingnya pengertian mendasar berbagai kajian yang dapat menganalisa secara lebih obyektif untuk mendukung penilaian kualitatif ini. Penilaian-penilaian lain yang mendukung sungguh masih diperlukan. 3.

Penilaian Kualitatif memerlukan kerja sama antara guru agama dan guru bimbingan konseling sekolah, disamping juga berbagai stageholders yang terkait, yaitu wali subyek didik.

Penilaian kualitatif karena bersifat semi klinis mengkaji dari pendekatan psikologi, maka pentingnya kerja sama antara guru agama dengan guru bimbingan konseling untuk membuat analisa dan penilaianpenilaiannya. Jika dilihat dari segi kemampuan, guru bimbingan konseling mempunyai dasar-dasar teori psikologi pendidikan yang kuat, sehingga dari hal ini pentingnya guru bimbingan konseling bekerja sama dengan guru agama untuk mengkaitkan dan mengkaji aspek perkembangan kepercayaan beragama (eksistensial) subyek didik. Maka dari itu dengan adanya penilaian kualitatif ini, fungsi bimbingan konseling di sekolah dapat mendapatkan upaya revitalisasi yang semestinya. Disamping itu, kerja sama dengan orang tua atau wali subyek didik semakin ditingkatkan dengan penilaian kualitatif ini.

purwono nugroho adhi staff Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang dasar-dasar kajian ini disarikan dan dikembangkan dari Agus Cremers. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan menurut James W. Fowler. Kanisius: Yogyakarta Fransisca Sandra Palupi. (2002). Penelitian Kualitatif Perkembangan Kepercayaan Eksistensial Remaja, di SMU BOPKRI I Yogyakarta. Skripsi, Unika Soegijapranata Fakultas Psikologi: Semarang dan berbagai bahan penilaian porto folio Kurikulum Berbasis Komptensi

18

Related Documents

Penilaian Kualitatif
April 2020 33
Kualitatif
November 2019 49
Analisis Kualitatif
May 2020 28
Riset Kualitatif
May 2020 34
Data Kualitatif
June 2020 24
Kualitatif Fix.docx
October 2019 31

More Documents from "Oktavia Niyenti"

Bahan Adven 2009
June 2020 8
Bahan Adven 2009
June 2020 7
Avant Gardist Katekese
April 2020 9
Catatan Air Kata-kata
April 2020 10
Mass Room Project
April 2020 5
Penilaian Kualitatif
April 2020 33