1
Demam Berdarah Dengue (DBD) Definisi dan Etiologi Demam berdarah dengue (DBD) adalah komplikasi demam yang mengancam
jiwa dengan dikarakterisasi oleh adanya demam tinggi,
fenomena hemoragik, trombositopenia dan kadang-kadang kegagalan sirkulator. Faktor yang bertanggung jawab terhadap persebaran dengue meliputi pertumbuhan populasi yang besar, overpopulasi urbanisasi yang tidak terencana dengan sistem kesehatan yang inadekuat, dan rendahnya control vektor.1 DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam family Flaviviridae, genus Flavivirus. Virus dengue memiliki 4 serotipe yakni DENV1-DENV4. Di Indonesia, keempat serotipe virus dengue telah ditemukan namun DENV-3 seringkali dikaitkan dengan kasus demam berdarah yang parah11. Perbedaan serotipe virus dengue ini dapat menyebabkan perbedaan manifestasi klinik pada demam dengue (DD), DBD dan Syndrome Shock Dengue (SSD).2 Epidemiologi Nyamuk Aedes adalah vektor yang penting untuk transmisi virus dengue (DENV) pada manusia. Sejumlah kasus dengue yang parah dari Asia Tenggara dan region Pasifik Barat terus meningkat, meskipun laju kasus fatalitas menunjukkan jumlahnya berkurang 1% sejak 2007. Myanmar, Indonesia, Thailand, Timor-Leste dan Sri Lanka berlanjut ke kekambuhan epidemik dengue di Asia Tenggara sedangkan Kamboja, Malaysia, Vietnam dan Filippina terdapat sejumlah kasus dan kematian yang lebih besar di dalam regio Pasifik Barat3. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama untuk penderita DBD setiap tahunnya. Pada tahun 2009, provinsi Jakarta merupakan provinsi dengan laju insiden DBD tertinggi (313 kasus per 100.000 populasi) sedangkan provinsi NTT dengan laju insiden DBD terendah (8 kasus per 100.000 populasi). Ada 11 (33%) provinsi yang termasuk dalam daerah resiko tertinggi (>55 kasus per 100.000 populasi)
2
dan lima tahun terakhir (2005-2009) ada lima provinsi dengan laju insiden tertinggi. Jakarta dan Kalimantan Timur selalu masuk dalam lima provinsi tersebut yang mana Jakarta selalu dalam laju insiden tertinggi setiap tahun.4 Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun, bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun.5 Patofisiologi Keistimewaan kelainan karakteristik yang terjadi pada penderita DBD meliputi kebocoran kapiler, trombositopenia dan koagulopati. Selama proses infeksi, protein NS1 tersebut berada pada permukaan sel yang terinfeksi dan dalam bentuk disekresikan atau tidak diseksresikan keluar sel.6 Infeksi DENV menyebabkan antibody-dependent enhancement (ADE) sehingga timbul manifestasi DBS/SSD pada anak-anak, terutama akibat infeksi DENV sekunder dengan serotype yang berbeda dari sebelumnya. Adanya antibodi yang timbul pada infeksi DENV sebelumnya tidak bisa menetralisasi infeksi antigen DENV yang baru namun dapat meningkatkan infeksi in vitro.7 Berikut adalah imunopatogenesis dari infeksi DBD:6,7 1. Efek infeksi DENV terhadap sel darah a. Defisiensi sel leukosit Profil leukosit jika terjadi infeksi DENV dilihat dari perubahan rasio antara sel CD4+/CD8+ monositosis CD4dim/CD8dim, dan limfositosis atipikal. b. Overproduksi sitokin Pada infeksi DENV terjadi overproduksi sitokin akibat peningkatan aktivasi sel T yaitu IL-2, CD4, CD8, IFN-γ dan monokin seperti IFN-β, TNF-α dan GM-CSF. Peningkatan sitokin inhibitor seperti IL-10 atau soluble receptor seperti sTNFRI dan sTNFRII serta sitokin seperti RANTES, IL-8 dan IL-6 juga ditemukan pada pasien DBD. IL-6 dapat berefek sebagai mediator pro-inflamasi dan juga anti-inflamasi yang meningkat pada hari ke-7 atau ke-9 hingga 11.
3
c. Trombositopenia Trombositopenia dapat terjadi akibat induksi DENV terhadap supresi sumsum tulang yang dapat menurunkan sintesis platelet. Jumlah autoantibodi antiplatelet IgM meningkat pada pasien DBD yang dapat menginduksi terjadinya lisis platelet melalui aktivasi komplemen dan juga menginduksi terjadinya agregasi platelet. Ab antiplatelet bereaksi silang dengan protein DENV, terutama NS1 dan platelet. Terjainya autoimun pada infeksi DENV akibat kesamaan molekul antara DENV dan protein endogen dalam tubuh. d. Deviasi sistem imun Pada pasien DBD terjadi penurunan jumlah neutrofil dan monosit. DENV menginfeksi sel langerhans atau sel dendritik imatur sehingga dapat menstimulasi pematangan sel dendritik dan produksi sitokin IFN- α dan TNF-α, namun tidak IL-6 dan IL-12. 2. Efek infeksi DENV terhadap sel endotel a. Induksi terjadinya vaskulopati Kebocoran plasma disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler dan manifestasi seperti hemokonsentrasi, efusi pleura atau asites, biasanya terjadi pada hari ke-3 hingga 7. DENV dapat menginfeksi sel endotel sehingga terjadi produksi sitokin dan kemokin seperti IL-6, IL-8 dan RANTES. Sel endotel yang terinfeksi oleh DENV dapat mengaktivasi komplemen dan menginduksi ekspresi molekul permukaan seperti ICAM-1 b. Induksi terjadinya koagulopati Hemostasis dipelihara oleh adanya keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis. Sistem koagulasi dapat mengaktivasi jalur intriksi dan ekstriksi membentuk thrombin, yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Sedangkan sistem fibrinolisis dapat memecah fibrin menjadi produk degradasi fibrin. Sistem fibrinolitik terdiri dari plasminogen, yaitu sebuah pro-enzim yang dapat mengaktivasi enzim plasmin akibat adanya aktivator seperti tPA. Pada infeksi DENV,
4
terjadi ketidakseimbangan antara system koagulasi dan fibrinolisis menyebabkan perdarahan pada BDB/SSD. 3. Efek infeksi DENV terhadap sel hepar DENV dapat menginfeksi hepar dan menyebabkan hepatitis. Pada pasien dengue, terjadi peningkatan kadar serum transaminase dan peningkatan AST dan ALT, terjadi apaptosis melalui peningkatan produksi kemokin RANTES melalui stress oksidatif dan aktivasi NF-κB. Kerusakan hepar dapat disebabkan secara langsung akibat oleh replikasi DENV di hepar, dan secara tidak langsung melalui inflamasi yang dimediasi oleh RANTES. IL-6 dapat menyebabkan downregulasi sintesis faktor koagulan XII. Lamanya APTT disebabkan akibat defisiensi jalur intrinsik akibat gangguan sintesis faktor koagulan XII.7
Gambar 1. Skema Imunopatogenesis Infeksi DBD7
5
Pengendalian8-13 1. Kebijakan, Strategi dan Sasaran Pengendalian DBD a. Kebijakan Nasional Pengendalian DBD Kebijakan Nasional untuk pengendalian DBD sesuai KEPMENKES No 581/MENKES/SK/VII/1992 (Lampiran 2) tentang Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue, adalah sebagai berikut : 1) Meningkatkan
perilaku
dalam
hidup
sehat
dan
kemandirian
terhadap pengendalian DBD. 2) Meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat terhadap penyakit DBD. 3) Meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi program pengendalian DBD. 4) Memantapkan kerjasama lintas sektor/ lintas program. 5) Pembangunan berwawasan lingkungan.
b. Strategi Pengendalian DBD Berdasarkan visi, misi, kebijakan dan tujuan pengendalian DBD, maka strategi yang dirumuskan sebagai berikut : 1) Pemberdayaan masyarakat Meningkatkan
peran
aktif
masyarakat
dalam
pencegahan
dan
pengendalian penyakit DBD merupakan salah satu kunci keberhasilan upaya pengendalian
DBD.
Untuk
mendorong
meningkatnya
peran
aktif
masyarakat, maka KIE, pemasaran sosial, advokasi dan berbagai upaya penyuluhan
kesehatan
berkesinambungan
lainnya
melalui
dilaksanakan
berbagai
media
secara massa
intensif maupun
dan secara
berkelompok atau individual dengan memperhatikan aspek sosial budaya yang lokal spesifik. 2)
Peningkatan kemitraan berwawasan bebas dari penyakit DBD Upaya
pengendalian DBD tidak dapat dilaksanakan oleh sector kesehatan saja, peran sektor terkait pengendalian penyakit DBD sangat menentukan. Oleh sebab itu maka identifikasi stake-holders baik sebagai mitra
maupun
6
pelaku
potensial
meningkatkan
dan
merupakan
langkah
mewujudkan
awal
dalam menggalang,
kemitraan.
Jejaring kemitraan
diselenggarakan melalui pertemuan berkala guna memadukan berbagai sumber daya yang tersedia dimasing-masing mitra. Pertemuan berkala sejak dari tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan, pemantauan dan penilaian melalui wadah Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL DBD) di berbagai tingkatan administrasi. 3) Peningkatan Profesionalisme Pengelola Program SDM yang terampil dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan program pengendalian DBD. 4) Desentralisasi Optimalisasi
pendelegasian
wewenang
pengelolaan
kegiatan
pengendalian DBD kepada pemerintah kabupaten/kota, melalui SPM bidang kesehatan. 5) Pembangunan Berwawasan Kesehatan Lingkungan Meningkatkan mutu lingkungan hidup yang dapat mengurangi risiko penularan DBD kepada manusia, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan akibat infeksi Dengue/DBD.
2. Kegiatan Pokok Pengendalian DBD a. Surveilans epidemiologi Surveilans pada pengendalian DBD meliputi kegiatan surveilans kasus secara aktif maupun pasif, surveilans vektor (Aedes sp), surveilans laboratorium dan surveilans terhadap faktor risiko penularan penyakit seperti pengaruh curah hujan, kenaikan suhu dan kelembaban serta surveilans akibat adanya perubahan iklim (climate change) b. Penemuan dan tatalaksana kasus Penyediaan sarana dan prasarana untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan penderita di Puskesmas dan Rumah Sakit. c. Pengendalian vektor (diperbanyak. Vector: Arbovictus)
7
Upaya pengendalian vektor dilaksanakan pada fase nyamuk dewasa dan jentik nyamuk. Pada fase nyamuk dewasa dilakukan dengan cara pengasapan untuk memutuskan rantai penularan antara nyamuk yang terinfeksi kepada manusia. Pada fase jentik dilakukan upaya PSN dengan kegiatan 3M Plus : 1) Secara fisik dengan menguras, menutup dan memanfaatkan barang bekas 2) Secara kimiawi dengan larvasidasi 3) Secara biologis dengan pemberian ikan 4) Cara lainnya (menggunakan repellent, obat nyamuk bakar, kelambu, memasang kawat kasa dll)
Kegiatan pengamatan vektor di lapangan dilakukan dengan cara : 1) Mengaktifkan peran dan fungsi Juru Pemantau Jentik (Jumantik) dan dimonitor olah petugas Puskesmas. 2) Melaksanakan bulan bakti “Gerakan 3M” pada saat sebelum musim penularan. 3) Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) setiap 3 bulan sekali dan dilaksanakan oleh petugas Puskesmas. 4) Pemantauan wilayah setempat (PWS) dan dikomunikasikan kepada pimpinan wilayah pada rapat bulanan POKJANAL DBD, yang menyangkut hasil pemeriksaan Angka Bebas Jentik (ABJ). d. Peningkatan peran serta masyarakat Sasaran peran serta masyarakat terdiri dari keluarga melalui peran PKK dan organisasi kemasyarakatan atau LSM, murid sekolah melalui UKS dan pelatihan guru, tatanan institusi (kantor, tempat0tempat umum dan tempat ibadah). Berbagai upaya secara polotis telah dilaksanakan seperti instruksi Gubernur/Bupati/Walikota, Surat Edaran Mendagri, Mendiknas, serta terakhir pada 15 Juni 2011 telah dibuat suatu komitmen bersama pimpinan daerah Gubernur dan Bupati/Walikota untuk pengenadalian DBD.
8
e. Sistem kewaspadaan dini (SKD) dan penanggulangan KLB Upaya SKD DBD ini sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya KLB dan apabila telah terjadi KLB dapat segera ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Upaya dilapangan yaitu dengan melaksanakan kegiatan penyelidikan epidemiologi (PE) dan penanggulangan seperlunya meliputi foging fokus, penggerakan masyarakat dan penyuluhan untuk PSN serta larvasidasi. Demikian pula kesiapsiagaan di RS untuk dapat manampung pasien DBD, baik penyediaan tempat tidur, sarana logistik, dan tenaga medis, paramedis dan laboratorium yang siaga 24 jam. Pemerintah daerah menyiapkan anggaran untuk perawatan bagi pasien tidak mampu. f.
Penyuluhan
Promosi kesehatan tentang penyakit DBD tidak hanya menyebarkan leaflet atau
poster
tetapi
juga
ke
arah
perubahan
perilaku
dalam
pemberantasan sarang nyamuk sesuai dengan kondisi setempat. Metode ini antara lain dengan COMBI, PLA dsb. g. Kemitraan/jejaring kerja Disadari bahwa penyakit DBD tidak dapat diselesaikan hanya oleh sektor kesehatan saja, tetapi peran lintas program dan lintas sektor terkait sangat besar. Wadah kemitraan telah terbentuk melalui SK KEPMENKES 581/1992 dan SK MENDAGRI 441/1994 dengan nama Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL). Organisasi ini merupakan wadah koordinasi dan jejaring kemitraan dalam pengendalian DBD. h.
Capacity building
Peningkatan kapasitas dari Sumber Daya baik manusia maupun sarana dan prasarana sangat mendukung tercapainya target dan indikator dalam pengendalian
DBD.
Sehingga
sosialisasi/penyegaran/pelatihan Puskesmas sampai dengan pusat. i.
Penelitian dan survei
secara
kepada
rutin
petugas
dari
perlu
diadakan
tingkat
kader,
9
Penelitian dan upaya pengembangan kegiatan pengendalian tetap terus dilaksanakan oleh berbagai pihak, antara lain universitas, Rumah Sakit, Litbang, LSM dll. Penelitian ini menyangkut beberapa aspek yaitu bionomik vektor, penanganan kasus, laboratorium, perilaku, obat herbal dan saat ini sedang dilakukan uji coba terhadap vaksin DBD. j.
Monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi ini dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat kelurahan/desa
sampai
ke
pusat
yang
menyangkut
pelaksanaan
pengendalian DBD, dimulai dari input, proses, output dan outcome ya ng dicapai pada setiap tahun.
3. Target atau Indikator Pengendalian DBD Indikator DBD ini telah tertuang dalam dokumen RPJMN tahun 2010 - 2014 serta Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan tahun 2010 - 2014 dan Kepmenkes No 828 tahun 2008 tentang petunjuk teknis Standar Pelayanan
Minimal
(SPM)
bidang
Kesehatan
di
Kabupaten/Kota. Pencegahan14-25 Terapan Riwayat Alamiah Penyakit Demam Berdarah Dengue dan Tahap Pencegahannya Berikut ini penjelasan tentang riwayat alamiah penyakit deman berdarah dengue beserta tahap-tahap pencegahannya: 1.
Fase suseptibel (rentan) Fase suseptibel adalah tahap awal perjalanan penyakit dimulai dari
tepaparnya individu yang rentan (suseptibel). Fase suseptibel dari demam berdarah dengue menurut Gurbler et al, dalam sumantri (2008) adalah pada saat nyamuk Aedes aegypti yang tidak infektif kemudian menjadi infektif setelah menggigit manusia yang sakit atau dalam keadaan viremia (masa virus bereplikasi cepat dalam tubuh manusia). Nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi penular sepanjang hidupnya. Ketika
10
menggigit manusia nyamuk mensekresikan kelenjar saliva melalui proboscis terlebih dahulu agar darah yang akan dihisap tidak membeku. Bersama sekresi saliva inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk antar manusia. 2.
Fase Subklinis (asismtomatis) Fase sublinis adalah waktu yang diperlukan dari mulai paparan agen
kausal hingga timbulnya manifestasi klinis disebut dengan masa inkubasi (penyakit infeksi) atau masa laten (penyakit kronis). Pada fase ini penyakit belum menampakkan tanda dan gejala klinis, atau disebut dengan fase subklinis (asimtomatis). Masa inkubasi ini dapat berlangsung dalam hitungan detik pada reaksi toksik atau hipersensitivitas. Fase subklinis dari demam berdarah dengue adalah setelah virus dengue masuk bersama air liur nyamuk ke dalam tubuh, virus tersebut kemudian memperbanyak diri dan menginfeksi sel-sel darah putih serta kelenjar getah bening untuk kemudian masuk ke dalam sistem sirkulasi darah. Virus ini berada di dalam darah hanya selama 3 hari sejak ditularkan oleh nyamuk. (Lestari, 2007). Pada fase subklinis ini, jumlah trombosit masih normal selama 3 hari pertama (Rena, 2009). Sebagai perlawanan, tubuh akan membentuk antibodi, selanjutnya akan terbentuk kompleks virus-antibodi dengan virus yang berfungsi sebagai antigennya. Kompleks antigen-antibodi ini akan melepaskan zat-zat yang merusak sel-sel pembuluh darah, yang disebut
dengan
proses
autoimun.
Proses
tersebut
menyebabkan
permeabilitas kapiler meningkat yang salah satunya ditunjukkan dengan melebarnya pori-pori pembuluh darah kapiler. Hal tersebut akan mengakibatkan bocornya sel-sel darah, antara lain trombosit dan eritrosit (Widoyono, 2008). Jika hal ini terjadi, maka penyakit DBD akan memasuki fase klinis dimana sudah mulai ditemukan gejala dan tanda secara klinis adanya suatu penyakit. Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya akan sakit demam berdarah dengue. Ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya, atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit.
11
Tahapan pencegahan yang dapat diterapkan untuk menghindari terjadinya fase suseptibel dan fase subklinis atau yang sering disebut dengan fase prepatogenesis ada dua, yaitu: 1.
Health Promotion, dapat dilakukan dengan berbagai cara antara
lain: a) Pendidikan dan Penyuluhan tentang kesehatan pada masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan dan meningkatkan pengetahuan masyrakat tentang kesehatan. Selain itu juga dilakukan untuk membina peran serta masyarakat melalui berbagai jalur komunikasi dan informasi kepada masyarakat, seperti melalui televisi, radio dan media massa lainnya, kerja bakti dan lomba-lomba yang berkaitan dengan kesehatan di kelurahan atau desa, sekolah atau tempattempat umum lainnya. b) Memberdayakan kearifan lokal yang ada. Misalnya kearifan lokal masyarakat di pedesaan yaitu gotong royong. Hal ini jika dilakukan secara rutin tiap minggunya dalam bentuk bersama-sama membersihkan lingkungan sekitar akan sangat berguna untuk meningkatkan status kesehatan. c) Perbaikan suplai dan penyimpanan air. Air sebagai sumber kehidupan memegang peranan yang sangat penting
dalam
kelanjutan
dan
kesejahteraan
hidup
manusia.
Permasalahan sanitasi air bersih menjadi salah satu permasalahan kesehatan lingkungan di Indonesia. Oleh karena itu, perbaikan suplai dan penyimpanan air sangat penting untuk dilakukan mengingat permasalahan atau penyakit berupa water borne disease sangat beraneka ragam.
Bahkan
air
juga
bisa
menjadi
tempat
hidup
dan
perkembangbiakan vektor penyakit lain seperti demam berdarah dengue (DBD). d) Menekan angka pertumbuhan penduduk. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Antonius (2005) dalam Suyasa (2008) bahwa daerah yang terjangkit DBD pada umumnya
12
adalah kota atau wilayah yang padat penduduk. Rumah-rumah yang saling berdekatan memudahkan penularan penyakit ini, mengingat nyamuk Aedes aegypti jarak terbangnya maksimal 200 meter. Hubungan yang baik antar daerah memudahkan penyebaran penyakit ke daerah lain. Selain itu, hal ini juga berkaitan erat dengan mobilitas penduduk yang memudahkan penularan dari satu tempat ke tempat lainnya dan biasanya penyakit menjalar dimulai dari satu sumber penularan kemudian mengikuti lalu lintas penduduk. Hal ini juga didukung oleh pernyataan (Gubler, 2002) bahwa ada banyak faktor yang bertanggung jawab untuk kebangkitan dramatis epidemi DF / DBD pada tahun-tahun dari abad ke-20, namun beberapa di antaranya tidak dipahami dengan baik. Demografis dan perubahan sosial seperti pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan transportasi modern memberikan kontribusi besar terhadap kejadian meningkat dan penyebaran geografis aktivitas demam berdarah. e) Perbaikan sanitasi lingkungan, tata ruang kota dan kebijakan pemerintah. Hal ini erat kaitannya dengan pemukiman penduduk, tempattempat umum, sarana dan prasarana kota, dan lain-lain. Penataan ruang kota yang baik akan meningkatkan status kesehatan masyarakat setempat. Selain itu sanitasi lingkungan juga harus diperbaiki karena beberapa hal berikut ini: -
Keberadaan Densitas Aedes aegypti pada Daerah Endemis Demam Berdarah
di
beberapa
daerah
menunjukkan
bahwa
tempat
perindukkan nyamuk Aedes aegypti yang paling banyak berupa bak mandi, kemudian diikuti gentong, bak WC, tempayan, ember dan tempat wudhu (Suyasa, 2008). -
Keberadaan pot tanaman hias. Keberadaan pot tanaman hias di rumah khususnya tanaman hias yang menggunakan media air sebagai pertumbuhan pada kenyataannya terdapat genangan air.
13
Genangan air ini dijadikan sebagai breeding place nyamuk Aedes aegypti. -
Keberadaan saluran air hujan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Arman (2005) yang menunjukkan adanya hubungan antara keberadaan saluran air hujan dengan endemisitas demam berdarah dengue. Perubahan musim dari kemarau ke penghujan menjadi titik rawan ledakan kasus demam berdarah, apalagi didukung oleh keberadaan saluran air hujan yang dapat menampung genangan air.
-
Keberadaan kontainer. Genangan yang disukai sebagai tempat perindukkan nyamuk ini berupa genangan air yang tertampung di suatu wadah yang biasa disebut kontainer atau tempat penampungan air bukan genangan air di tanah.
2.
Specific protection
a. Abatisasi Program ini secara massal memberikan bubuk abate secara cuma-cuma kepada seluruh rumah, terutama di wilayah yang endemis DBD semasa musim penghujan. Tujuannya agar kalau sampai menetas, jentik nyamuknya mati dan tidak sampai terlanjur menjadi nyamuk dewasa yang akan menambah besar populasinya (Nadesul, 2007). Abitasasi selektif atau larvasidasi selektif, yaitu kegiatan memberikan atau menaburkan larvasida ke dalam penampungan air yang positif terdapat jentik aedes (Widoyono, 2008). b. Fogging focus (FF). Fogging focus adalah kegiatan menyemprot dengan insektisida (malation, losban) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per 400 rumah per 1 dukuh (Widoyono, 2008). Penyemprotan bisa membahayakan kesehatan jika dilakukan tidak dengan hati-hati. Oleh karena itu, takaran insektisida yang dipakai harus diukur dengan cermat, dan tidak sampai berlebihan (Nadesul, 2007). c. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
14
Pemeriksaan Jentik Berkala adalah kegiatan reguler tiga bulan sekali, dengan cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan cara random atau metode spiral (dengan rumah di tengah sebagai pusatnya) atau metode zig-zag. Dengan kegiatan ini akan didapatkan angka kepadatan jentik atau House Index (HI) (Widoyono, 2008). Pembersihan jentik bisa dilakukan dengan pogram Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), menggunakan ikan, dan larvasidasi. Tidak semua jenis ikan memangsa jentik nyamuk Aedes, hanya ikan jenis gambusia, seperti ikan kepala timah. Selain itu ada beberapa pemangsa jentik nyamuk Aedes yang ada di alam, yaitu burung air, serangga, dan ikan. Namun pemangsa itu sudah semakin langka, sehingga campur tangan manusia memang diperlukan (Nadesul, 2007). d. Penggerakan PSN Kegiatan PSN dengan menguras dan menyikat TPA seperti bak mandi atau WC, drum seminggu sekali, menutup rapat-rapat TPA seperti gentong air atau tempayan, mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan serta mengganti air vas bunga, tempat minum burung seminggu sekali merupakan upaya untuk melakukan PSN DBD. Masyarakat diharapkan rutin melakukan kegiatan tersebut dan pihak pemerintah melakukan pemeriksaan jentik berkala, sehingga pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD dapat berjalan dengan baik. e. Pencegahan gigitan nyamuk. Pencegahan gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan pemakaian kawat kasa, menggunakan kelambu, menggunakan obat nyamuk (bakar, oles), dan tidak melakukan kebiasaan beresiko seperti tidur siang, dan menggantung baju. Pemakaian kasa pada ventilasi yang dilakukan merupakan pencegahan secara fisik terhadap nyamuk yang bertujuan agar nyamuk tidak sampai masuk rumah ataupun kamar tidur. f. Pengendalian vektor.
15
Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur dalam Kepmenkes No.581 tahun 1992, bahwa kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan secara periodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus. Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Sejak tahun 2004 telah diperkenalkan suatu metode komunikasi atau penyampaian informasi atau pesan yang berdampak pada perubahan perilaku dalam pelaksanaan PSN melalui pendekatan sosial budaya setempat yaitu Metode Communication for Behavioral Impact (COMBI) (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI, 2010). Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk penyakit DBD belum ada dan masih dalam proses penelitian, sehingga pengendaliannya terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan, yaitu dengan pengendalian vektornya. Beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian DBD di tingkat pusat dan di daerah yaitu: 1. Manajemen lingkungan, 2. Pengendalian Biologis, 3. Pengendalian Kimiawi, 4. Partisipasi masyarakat, 5. Perlindungan Individu dan 6. Peraturan perundangan. 3.
Fase klinis (proses ekspresi) Tahap selanjutnya adalah fase klinis yang merupakan tahap ekspresi
dari penyakit tersebut. Pada saat ini mulai timbul tanda (sign) dan gejala (symptom) penyakit secara klinis, dan penjamu yang mengalami manifestasi klinis. Gejala klinis paling awal disebut dengan gejala prodromal. Periode waktu untuk mengekspresikan penyakit klinis hingga terjadi hasil akhir penyakit disebut dengan durasi penyakit. Fase klinis dari demam berdarah dengue ditandai dengan badan yang mengalami gejala demam dengan suhu tinggi antara 39 sampai 40 derajat celcius. Akibat pertempuran antara antibodi dan virus dengue terjadi penurunan kadar trombosit dan bocornya pembuluh darah sehingga
16
membuat plasma darah mengalir ke luar. Penurunan trombosit ini mulai bisa dideteksi pada hari ketiga. Masa kritis penderita demam berdarah berlangusng sesudahnya, yakni pada hari keempat dan kelima. Pada fase ini suhu badan turun dan biasanya diikuti oleh sindrom shock dengue karena perubahan yang tiba-tiba. Muka penderita pun menjadi memerah atau facial flush. Biasanya penderita juga mengalami sakit kepala, tubuh bagian balakang, otot, tulang dan perut (antara pusar dan ulu hati). Tidak jarang diikuti dengan muntah yang berlanjut dan suhu dingin dan lembab pada ujung jari serta kaki (Lestari, 2007). Tersangka DBD akan mengalami demam tinggi yang mendadak terus menerus selama kurang dari seminggu, tidak disertai infeksi saluran pernapasan bagian atas, dan badan lemah dan lesu. Jika ada kedaruratan maka akan muncul tanda-tanda syok, muntah terus menerus, kejang, muntah darah, dan batuk darah sehingga penderita harus segera menjalani rawat inap. Sedangkan jika tidak terjadi kedaruratan, maka perlu dilakukan uji torniket positif dan uji torniket negatif yang berguna untuk melihat permeabillitas pembuluh darah sebagai cara untuk menentukan langkah penanganan selanjutnya (Arif dkk, 2000). Manifestasi klinis DBD sangat bervariasi, WHO (1975) dalam Rampengan (2008) membagi menjadi 4 derajat, yaitu: Derajat I: Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala yang tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif. Derajat II: Gejala derajat I, disertai dengan gejala perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain. Derajat III: Derajat II disertai dengan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (< 20 mmHg), atau hipotensi (sistolis ≤ 80 mmHg) disertai kulit yang dingin, lembab, dan penderita gelisah. Derajat IV: Derajat III ditambah syok berat dengan nadi yang tak teraba dan tekanan darah yang tak terukur, dapat disertai dengan penurunan kesadaran, sianosis dan asidosis.
17
4.
Fase penyembuhan, kecacatan, atau kematian Setelah terinfeksi virus dengue maka penderita akan kebal menyeluruh
(seumur hidup) terhadap virus dengue yang menyerangya saat itu (misalnya, serotipe 1). Namun hanya mempunyai kekebalan sebagian (selama 6 bulan) terhadap virus dengue lain (serotipe 2, 3, dan 4). Demikian seterusnya sampai akhirnya penderita akan mengalami kekebalan terhadap seluruh serotipe tersebut (Satari, 2004). Tahap pemulihan bergantung pada penderita dalam melewati fase kritisnya. Tahap pemulihan dapat dilakukan dengan pemberian infus atau transfer trombosit. Bila penderita dapat melewati masa kritisnya maka pada hari keenam dan ketujuh penderita akan berangsur membaik dan kembali normal pada hari ketujuh dan kedelapan, namun apabila penderita tidak dapat melewati masa kritisnya maka akan menimbulkan kematian (Lestari, 2007). Pencegahan yang dilakukan pada fase klinis dan fase penyembuhan atau yang sering disebut dengan tahap patogenesis ada tiga, yaitu: 1.
Early Diagnosis dan Prompt Treatment Pengendalian penyakit menular akan berjalan efektif kalau penyakit
menular yang bersangkutan memiliki metode deteksi dini untuk diagnostik. Menurut Achmadi (2008) dalam Buletin Jendela Epidemiologi Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI, 2010, Alat deteksi dini akan sangat efektif pula apabila diikuti dengan pengobatan (prompt treatment) secara dini. Gabungan keduanya yakni –early diagnostic dan prompt treatment, merupakan pendekatan yang amat ampuh untuk mengendalikan penyakit menular. Konsep ini mengutamakan deteksi dini yakni deteksi virus (antigen) secara dini dengan metode antigen capture (NS1 atau non-structural protein 1) untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Deteksi virus bisa dilakukan sehari sebelum penderita menderita demam, hingga virus hilang pada hari ke sembilan. Setelah diketahui ada nya virus, penderita diberi antiviral yang
18
efektif membunuh virus DBD (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI, 2010). Deteksi dini dilakukan oleh petugas surveilans atau kader dengan mencari kasus DBD secara pro aktif disekitar penderita pertama yang diketahui alamatnya, atau menggunakan petugas yang siaga, dengan mendirikan Pos-pos DBD disetiap RW, atau Kelurahan. Beberapa metode lain untuk melakukan pencegahan pada tahap Early Diagnosis dan Prompt Treatment antara lain sebagai berikut: a. Pelacakan penderita. Pelacakan penderita (penyelidikan epidemiologis) yaitu kegiatan mendatangi rumah-rumah dari kasus yang dilaporkan (indeks kasus) untuk mencari penderita lain dan memeriksa angka jentik dalam radius ±100 m dari rumah indeks (Widoyono, 2008). b. Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari penderita lain. Jika terdapat tersangka kasus DBD maka harus segera dilakukan penanganan kasus termasuk merujuk ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) terdekat (Widoyono, 2008). c. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium penting dan bermanfaat untuk mengetahui beberapa hal. Pertama, dapat lebih dini mengetahui benar ada infeksi virus dengue. Kedua, sudah seberapa parah penyakitnya berlangsung, apa sedang terancam syok, dan tindakan medis apa yang perlu segera dilakukan. Ketiga, untuk memonitor apakah penyakitnya sudah dalam proses menyembuh (Nadesul, 2007). Selain itu dengan melakukan pemeriksaan darah berkala, sekurang-kurangnya setiap 4-6 jam dapat diketahui pasien DBD masih dalam stadium yang ringan atau sudah stadium berat. Pemeriksaan juga dilakukan pada bagian hati penderita. Hati yang lunak menjadi tanda penderita demam berdarah mendekati fase kritis. Selain itu, pemeriksaan laboratorium akan dilakukan pada hari ketiga, kelima, dan selanjutnya untuk mengetahui keadaan penderita secara lebih pasti. Berikut ini beberapa pemeriksaan darah yang mungkin dilakukan pada penderita DBD:
19
- Pemeriksaan Pemeriksaan
darah ini
tepi
untuk
digunakan
mengetahui
untuk
jumlah
mengantisipasi
leukosit. terjadinya
leukopenia. - Pemeriksaan limfosit atipikal (sel darah putih yang muncul pada infeksi virus). Jika terjadi peningatan, mengindikasikan dalam waktu kurang lebih 24 jam penderita akan bebas demam dan memasuki fase kritis. - Pemeriksaan trombositopenia dan trombosit. Jika terjadi penurunan jumlah keduanya, mengindikasikan penderita DBD memasuki fase kritis dan memerlukan perawatan ketat di rumah sakit (Satari, 2004). d. Pengobatan penderita demam berdarah dapat dilakukan dengan cara: - Pemberian cairan yang cukup untuk mengurangi rasa haus dan dehidrasi akibat dari demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Penderita diberi minum sebanyak 1, 5- 2 liter dalam 24 jam. - Antipiretik, seperti golongan Acetaminofen (parasetamol) dan jangan diberikan golongan salisilat karena dapat menyebabkan bertambahnya perdarahan. - Surface cooling - Antikonvulsan. - Pada penderita kejang dapat diberikan diazepam (valium) dan fenobarbital (luminal) (Rampengan, 2008). Secara universal belum ditemukan adanya vaksin sebagai alat pencegahan penyakit demam dengue maupun demam dengue berdarah ini (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI, 2010). Riset masih dalam progress untuk mengembangkan vaksin dengue tetravalent yang efektif dan aman. Dalam keadaan tidak adanya vaksin dengue untuk kesehatan masyarakat pada saat sekarang, pencegahan dan pertahanan outbreak dengue akan menjadi pengendalian vektor jangka panjang yang efektif dengan partisipasi komunitas dan surveilans epidemiologi yang agresif.
20
2.
Disability Limitation Pembatasan kecacatan yang dilakukan adalah untuk menghilangkan
gangguan kemampuan bekerja yang diakibatkan suatu penyakit. Dampak dari penyakit DBD yang tidak segera diatasi, antara lain: - Paru-paru basah. Hal ini bisa terjadi karena cairan plasma merembes keluar dari pembuluh, ruang-ruang tubuh, seperti di antara selaput paru (pleura) juga terjadi penumpukan. Pada anak-anak sering terjadi bendungan cairan pada selubung paru-parunya (pleural effusion). - Komplikasi pada mata, otak, dan buah zakar. Pada mata dapat terjadi kelumpuhan saraf bola mata, sehingga mungkin nantinya akan terjadi kejulingan atau bisa juga terjadi peradangan pada tirai mata (iris) kalau bukan pada kornea yang berakhir dengan gangguan penglihatan. Peradangan pada otak bisa menyisakan kelumpuhan atau gangguan saraf lainnya (Nadesul, 2007). Umumnya penyakit DBD berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Oleh karena itu, sebagian besar penderita DBD tidak menunjukkan gejala sisa. Komplikasi pada penderita DBD misalnya perdarahan paru dan sepsis. Jika virus dengue menyerang otak, dan tergolong ganas serta daya tahan tubuh penderita rendah, kerusakan daerah otak cukup luas. Oleh karena itu, mungkin dapat meninggalkan gejala sisa. Namun, keadaan ini jarang terjadi (Satari, 2004). Selain itu, jika keadaan penderita bertambah parah atau akibat jumlah cairan yang masuk tidak memadai maka penderita akan memasuki fase syok. Perdarahan yang tak terkontrol dari berbgaai organ tubuh yang sulit dihentikan juga dapat terjadi sebagai akibat terjadinya gangguan pembekuan darah secara menyeluruh. Ketika sudah mengalami perdarahan menunjukkan bahwa kegawatan penyakitnya sudah masuk dalam derajat II yang merupakan satu tingkat di bawah fase DDS (Dengue Shock Syndrome). Fase DDS merupakan kondisi paling parah atau stadium akhir dari infeksi virus dengue ini. Jika seorang penderita DBD sudah masuk dalam fase ini, maka risiko kematian yang mengancamnya menjadi cukup besar. Bahkan, kalaupun penderita berhasil lolos dari fase ini, besar
21
kemungkinan pula ia akan mengalami kecacatan akibat kegagalan salah satu atau beberapa fungsi organnya, mulai dari otak, ginjal, hingga hati. Pembatasan kecacatan dapat dilakukan dengan pengobatan dan perawatan. Obat-obatan yang diberikan kepada pasien DBD hanya bersifat meringankan keluhan dan gejalanya semata. Obat demam, obat mual, dan vitamin tak begitu besar peranannya untuk meredakan penyakitnya. Jauh lebih penting upaya pemberian cairan atau tranfusi darah, tranfusi sel trombosit, atau pemberian cairan plasma. Pada tubuh pasien DBD yang terjadi adalah darah mengalami kehilangan plasma. Plasma merembes keluar pembuluh darah. Pada tingkat kekentalan tertentu, sirkulasi terganggu. Infus cairan mencegah terjadinya kegagalan sirkulasi, sehingga syok yang timbul dapat dicegah (Nadesul, 2007). 3.
Rehabilitation Setelah sembuh dari penyakit demam berdarah dengue, kadangkadang orang menjadi cacat, untuk memulihkan cacatnya tersebut kadangkadang diperlukan latihan tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran orang tersebut, ia tidak akan segan melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Disamping itu oorang yang cacat setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untuk kembali ke masyarakat. Sering terjadi pula masyarakat tidak mau menerima mereka sebagai anggoota masyarakat yang normal. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja untuk orang yang cacat tersebut, tetapi juga perlu pendidikan kesehatan pada masyarakat. Rehabilitasi pada penderita DBD yang mengalami kelumpuhan saraf mata yang menyebabkan kejulingan terdiri atas: 1. Rehabilitasi fisik, yaitu agar bekas penderita memperoleh perbaikan fisik semaksimal-maksimalnya. Misalnya dengan donor mata agar saraf mata dapat berfungsi dengan normal kembali. 2. Rehabilitasi mental, yaitu agar bekas penderita dapat menyesuaikan diri dalam hubungan perorangan dan sosial secara memuaskan. Seringkali bersamaan dengan terjadinya cacat badaniah muncul pula kelainankelainan atau gangguan mental. Untuk hal ini bekas penderita perlu
22
mendapatkan
bimbingan
kejiwaan
sebelum
kembali
ke
dalam
masyarakat. 3. Rehabilitasi sosial vokasional, yaitu agar bekas penderita menempati suatu pekerjaan atau jabatan dalam masyarakat dengan kapasitas kerja yang semaksimal-maksimalnya sesuai dengan kemampuan dan ketidak mampuannya. 4. Rehabilitasi aesthesis, perlu dilakukan untuk mengembalikan rasa keindahan, walaupun kadang-kadang fungsi dari alat tubuhnya itu sendiri tidak dapat dikembalikan misalnya dengan menggunakan mata palsu.
23
DAFTAR PUSTAKA . 1.
Alam, S., Asif, N., Musthaq, H. 2011. Dengue Fever. Journal of Istamabad Medical & Dental College. 1211(1): 41-47.
2.
Hamond SN, Balmaseda A, Perez L, Tellez Y, Saborio SI, Mercado JC, Videa E, et al. Differences in Dengue Severity in Infants, Children, and Adults in A-3 Year Hospital-Based Study in Nicaragua. Vol 73(6):10631070.
3.
Simmons, M., Mora, N. T., Putnak, R. 2012. Advances in The Development of Vaccines for Dengue Fever. Vaccine: Development and Therapy,Vol.2:1– 14.
4.
Kementrian Kesehatan 2010. Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi, Vol 2: 1-15.
5.
Kusriastuti R. 2010. Data Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 2009 dan Tahun 2008. Jakarta: Ditjen PP & PL Depkes RI.
6.
Sekaran, S. D., Ew, C. L, Subramaniam, G., Kanthesh, B. M. 2009. Sensitivity of dengue virus NS-1detection in primary and secondary infections. African Journal of Microbiology Research Vol 3(3): 105-110.
7.
Lei H.Y., Yeh T.M., Liu H.S., Lin Y.S., Chen S.H., Liu C.C. 2001. Immunopathogenesis of Dengue Virus Infection. J Biomed Sci., Vol 8:377388.
8.
Rencana Strategis 2005-2009 Program Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue. 2005. Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes RI.
9.
Laporan Analisis Situasi DBD di Indonesia tahun 2008 dan Rencana Program Pengendalian
tahun
2009-2010.
2009.
Direktorat
PPBB,
Kemenkes RI 10. Pedoman Pengawasan Program Bidang Kesehatan Pengendalian Demam Berdarah Dengue Kesehatan RI.
(DBD).
2009.
Inspektorat
Jenderal
Kementerian
24
11. Rencana
Strategis
Kementerian
Kesehatan
Tahun
2010-2014.2010.
Kemenkes RI. 12. Kumpulan
Peraturan
Perundangan-Undangan
yang
terkait
dengan
Program Pengendalian DBD. 13. http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_download/manajemen%20DBD_all.pdf 14. Arif, Mansjoer dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. 15. Gubler, Duane J. 2002. Epidemic Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever as A Public Health, Social, and Economic Problem in The 21st Century. TRENDS in Microbiology Vol. 10 No.2 February 2002. Page 100-103. 16. Lestari, Keri. 2007. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Farmaka, Vol. 5 No. 3, Desember 2007. Jatinangor: Fakultas Farmasi Universitas Padjadajaran. 17. Nadesul, Hendrawan. 2007. Cara Mudah Mengalahkan Demam Berdarah. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. 18. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi: Topik Utama ‘Demam Berdarah Dengue’. Volume 2, Agustus 2010. ISSN-2087-1546. 19. Rampengan, T.H dan Laurenzt I.R. 2008. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Edisi 2. Jakarta: Bumi Aksara. 20. Rena, Ni Made Renny a, dkk. 2009. Kelainan Hematologi pada Demam Berdarah Dengue. J Peny Dalam, Volume 10 Nomor 3 September 2009. Denpasar: FK Unud RSUP Sanglah Denpasar. 21. Satari, Hindra I dan Meiliasari, Mila. 2004. Demam Berdarah: Perawatan di Rumah dan Rumah Sakit plus Menu. Jakarta: Puspa Swara. 22. Sumantri, Arif. 2008. Model Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Provinsi DKI Jakarta. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 23. Suyasa, dkk. 2008. Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan. Ecotrophic 3(1):1-6. ISSN: 1907-5626.
25
24.
WHO.
1999.
Demam
Berdarah
Dengue:
Diagnosis,
Pengobatan,
Pencegahan, dan Pengendalian. Edisi 2. Jakarta: EGC. 25. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.