Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Hutan Alam Produksi Oleh: Ir. Akhmad A. PENDAHULUAN Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, konservasi sumberdaya alam hayati, diberi batasan dengan pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumberdaya alam hayati dilakukan melalui tiga kegiatan, yaitu: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam konteks ini, ko nservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan bagian tak terpisahkan dari pengertian konservasi sumberdaya alam hayati. Selain itu, dengan ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hay ati (Biodiversity Convention) oleh Pemerintah Indonesia melalui Undangundang Nomor 5 Tahun 1994, konservasi keanekaragaman hayati telah menjadi komitmen nasio nal yang membutuhkan dukungan seluruh lapisan masyarakat. Luas hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas permukaan bumi, tetapi mengandung lebih dari 50 % total jenis yan g ada di seluruh dunia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hutan hujan tropika merupakan salah satu pusat keanekaraga man hayati terpenting di dunia. Laju kerusakan hutan hujan tropika yang relatif cepat (bervariasi menurut negara) telah menyebabkan tipe hutan ini menjadi pusat perhatian dunia internasional. Meskipun luas Indonesia hanya 1.3 % dari luas bumi, tetapi memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, meliputi : 10 % dari total jenis tumbuhan berbunga, 12 % dari total jenis mamalia, 16 % d ari total jenis reptilia, 17 % dari total jenis burung dan 25 % dari total jenis ikan di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi pusat perhatian dunia internasional dalam hal keanekar agaman hayatinya.Indonesia memiliki luas hutan hujan tropika yang terluas di Asia tropis. Pada saat ini, luas kawasan hutan Indonesia adalah 144 juta hektar, 64.4 juta hektar di antaranya berstatus hutan produksi (tetap dan terbatas). Menurut laporan resmi (Ministry of Forestry GO I and FAO, 1990; 1991), dari seluruh kawasan hutan ini, 108.6 juta ha di antaranya masih berhut an dan meliputi 7 tipe utama hutan dengan variasi hingga 18 tipe hutan, termasuk hutan bambu, hutan nipah, hutan sagu danhutan savana.Eksploitasi hutan alam produksi secara besarbesaran yang telah berlangsung sejak tahap awal pembangunan jangka panjang pertama (1969) te lah memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional melalui produk utamanya kayu dan hasil hutan ikutan (non-kayu) seperti rotan, damar, tengkawang, cendana dan gaharu. Tanpa mengabaikan dampak positif tersebut,eksploitasi hutan alam produksi juga disadari telah
memberikan dampak negatif bagi sumberdaya hutan sendiri. Berbagai jenis kayu komersial, bahk an di antaranya termasuk kayu mewah, kini telahmenjadi langka. Kayu eboni (Dyospyros ebenu m dan D. celebica), kayu ulin (Eusyderoxylon zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), dan beber apa jenis meranti (Shorea spp.) adalah contoh dari beberapa jenis komersial yang harganya tinggi , tetapi sudah sulit ditemukan di alam dan di pasaran. Selain itu, puluhan jenis kayu kurang diken al (lesserknown species) saat ini mungkin telah menjadi langka atau punah sebelum diketahui secara pasti nilai/manfaat dan sifat-sifatnya. B. PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI 1. Kerangka Kerja Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Tujuan pengelolaan keanekaragaman hayati adalah untuk menemukan keseimbangan optimum a ntara konservasi keanekaragaman hayati dengan kehidupan manusia yang berkelanjutan. Untuk mendukung program pembangunan berkelanjutan, pemerintah, masyarakat, organisasiorganisasidi kalangan usaha, harus bekerja sama untuk mendapatkan cara guna mendukung pros esproses alam esensial yang sangat tergantung pada keanekaragaman hayati. Memelihara sebanyak mungkin keanekaragaman hayati merupakan tujuan sosial dan merupakan komponen strategis utama dalam pemban gunan berkelanjutan. Pengelolaan keanekaragaman hayati merupakan upaya manusia untuk merencanakan danmengim plementasikan pendekatan-pendekatan untuk: a. Melindungi dan memanfaatkan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan sumberdaya b iologis dan menjamin pembagian keuntungan yang diperoleh secara adil. b. Mengembangkan kapasitas sumberdaya manusia, finansial, infrastruktur dan kelembagaan untu k menangani tujuan di atas.c. Menegakkan tata kelembagaan yang diperlukan untuk mendorong kerjasama dan aksi sektor swasta dan masyarakat.Istilah "pengelolaan keanekaragaman hayati" ya ng digunakan disini bertujuan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati beserta material, kondisi sosial, budaya, spiritual dan nilai-nilai ekosistem yang berkaitan. Dalam hal ini termasuk seluruh aktivitas pengelolaan, mulaidari pengawetan spesies, keanekarag aman genetik, dan pengelolaan habitat dan lansekap, melaluiperbaikan ekosistem dan pemanena n sumberdaya nabati, hewani dan mikrobial untuk kepentingan manusia, hingga upaya mendapat kan dan pemerataan manfaat/keuntungan. Keberhasilan untuk memadukan kepentingan pengelol aan keanekaragaman hayati, yakni: perlindungan, pemanfaatan berkelanjutan dan pembagian keu ntungan, tergantung pada dua hal. Pertama, pembuat kebijakan dan manager membutuhkan pem ahaman yang memadai terhadap konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya dimana tujuan peng elolaan keanekaragaman hayatidiinginkan. Kedua, mereka perlu memilih alat dan metode yang m enjanjikan upaya pemaduan duakepentingan di atas.
2. Konteks Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Isi kebijakan dan rencana mengenai keanekaragaman hayati nasional akan mempengaruhi keputu san mengenai pemilihan metode dan alat yang paling sesuai dengan kondisi budaya, sejarah, sosia l, ekonomi dan realitas ekologis negara tersebut.Keberhasilan program aksi keanekaragaman ha yati tergantung pada kemampuan untuk mendorong berbagai pihak dan disiplin keilmuan untuk bekerja secara terpadu. Namun program aksi yang secara biologis maupun teknis baik, seringkali mengalami kegagalan karena mengabaikan peranan vital dan pengaruh tingkat kesadaran masyar akat, tidak menghargai pengetahuan lokal/tradisional,gagal dalam mengalamatkan isu kemiskinan dan pembangunan ekonomi, serta gagal dalam mempertimbangkan isu kebijakan kontemporer. S ecara kelembagaan kegagalan utama terletak pada kurang dipertimbangkannya biaya informasi (i nformation cost) dan biaya kontrak antara pihakpihakterkait (contract cost).Pilihan metode dan alat pengelolaan keanekaragaman hayati tergant ung pada kesadaran dan pemahaman masyarakat, sikap kepemimpinan swasta dan pemerintah. Bila kesadaran masyarakat rendah, aktivitas dan investasi awal sebaiknya difokuskan pada penyia pan dan distribusi informasi dan pembiayaan peragaanperagaan yang berguna. Sebaliknya bila kesadaran masyarakat tinggi, program aksi sebaiknya ditu jukan untuk penguatan pengelolaan kawasan konservasi, pengembangan program pengasaan kea nekaragaman hayati atau praktekpraktek pengelolaan hutan lestari.Kearifan tradisional dan pengetahuan lokal dapat memberikan kepada pengelola keanekaragaman hayati pengalaman dan observasi jangka panjang, sedangkan t eknik pertanian, kehutanan dan perikanan modern penting untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan serat kini dan masa datang, serta untuk pengembangan potensi pemanfaatan berkelanjutan dan mengawetkan pilihan baru seperti pengasaan (prospecting) farmasi. Pendekatan pengelolaan keanekaragaman hayati juga bervariasi menurut kondisi pembangunan e konomi suatu negara. Negara yang sebagian besar rakyatnya miskin akan menghadapi prioritas y ang berbeda dibandingkan negara kaya dalam hal pengunaan dana masyarakat. Persaingan lahan dan sumberdaya tinggi di negara berkembang sehingga banyak menyebabkan ko nflik sosial.Prioritas pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan harus mempertim bangkan prinsip pemerataan ekonomi dan partisipasi masyarakat. Efektivitas juga tergantung pada lingkungan kelembagaan dan kebijakan dimana aksi akandilakuka n. Banyak pemerintah telah menandatangani kesepakatan dan konvensi international yangmemba tasi dan berorientasi pada konservasi serta pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk keanekara gaman hayati. Di tingkat nasional, hal tersebut dapat menguntungkan atau merugikanaksi konservasi dan pema nfaatan keanekaragaman hayati, bahkan secara sengaja atau tidak,merangsang konversi habitat p enting atau memicu pemanfaatan tak berkelanjutan sumberdaya biologis serta meningkatkan pen cemaran dan degradasi lingkungan.Melihat kompleksitas permasalahan tersebut, perencanaan da n implementasi pengelolaan keanekaragaman hayati seyogyanya dimulai dalam konteks yang men cerminkan kisaran konflik yang mungkin terjadi di tingkat internasional maupun nasional.
Tanggungjawab untuk menjabarkan kesepakatan internasional yang telah dilakukan membutuhka n kajian teliti guna mereformasi kebijakan nasional dan mengembangkan respon positif. Di lain pi hak, kesepakatan internasionalyang menghindarkan beberapa negara untuk mengelola keanekara gaman hayatinya secara berkelanjutan juga memerlukan reformasi atau interpretasi yang lebih fle ksibel. Misalnya:pemboikotan perdagangan gading telah memberikan dukungan bagi konservasi d i negaranegara Afrika Timur namun menimbulkan masalah/tantangan bagi pertumbuhan ekonomi pedesa an di negaranegara Afrika Selatan.Pengelolaan keanekaragaman hayati membutuhkan keahlian interdisiplin. Pakar biologi, ekonomi, antropologi, teknik, kehutanan, pertanian, perikanan, peternakan, ilmu k elautan, hukum, sosiologi serta para praktisi sangat diperlukan dalam menangani sifat multidime nsi pengelolaan keanekaragaman hayati. Pengelolaan keanekaragaman hayati juga bersifat multise ktoral. Keanekaragaman genetik di dalam spesies panenan dan spesies liar telah memberikan su mbangan besar bagi produktivitas pertanian, akuakultur, perikanan, peternakan dan kehutanan. Penurunan keanekaragaman hayati dalam ekosistem diyakini akan menimbulkan dampak terhada p daya lenting, stabilitas dan produktivitas ekosistem tersebut. Pada saat yang bersamaan, keselu ruhan sektor tersebut dan sektor lain yang tidak terkait langsung dengan keanekaragaman hayati (trasportasi, pabrik, pertambangan, kesehatan) memainkan peranan penting dan langsung dalam penurunan keanekaragaman hayati, baik pada level ekosistem, spesies, populasi maupun genetik .Keluwesan harus digunakan untuk menentukan kisaran geografi yang perlu dikelola. Masingmasing populasi, spesies, habitat dan ekosistem menempati kisaran geografisnya sendiri yang ser ingkali berbeda dengan batasbatas administratif wilayah dan sektoral, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional, ser ta lahan milik perorangan, swasta atau komunal. Pemahaman terhadap konteks pengelolaan kea nekaragaman hayati di atas menuntut kehatihatian dalam memilih alat dan metode pengelolaan yang tepat. Hal sayang sam juga sangat diperl ukan dalam menentukan prioritas pengelolaan yang menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumbe rdaya biologi serta kemerataan distribusi keuntungan bagi seluruh lapisan masyarakat. C. PENDEKATAN PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Kompleksitas permasalahan menuntut kerja interdisiplin dan intersektoral mulai tahap perencan aan, penetapan kebijakan, distribusi informasi, hingga implementasinya. Kesetiakawanan di tingka t global/nasional dan di tingkat lokal merupakan dasar penting dalam menetapkan pendekatan pe ngelolaan keanekaragaman hayati. Secara garis besar tiga pendekatan pengelolaan keanekaragam an hayati adalah sebagai berikut: 1. Perencanaan Strategis Proses perencanaan pengelolaan keanekaragaman hayati harus mampu mengidentifikasi kaitan vi
tal antara keanekaragaman hayati, kesehatan lingkungan dan manusia, sumberdaya alam yang me njadi basis kelestarian kehidupan, serta mampu memberikan pilihan baru bagi pembangunan eko nomi dan sosial. Tahapan dalam penyusunan perencanaan strategis pengelolaan keanekaragaman hayati adalah: a. Pengorganisasian: menetapkan kerangka kerja kelembagaan, merancang kepemimpinan, menci ptakan pendekatan partisipatif, membentuk tim interdisiplin dan intersektoral, serta mengalokasi pendanaan. b. Penilaian: kumpulkan dan evaluasi informasi mengenai status dan kecenderungan sumberdaya keanekaragaman hayati dan sumberdaya biologis nasional, hukum, kebijakan, organisasi, program , dana, dan sumberdaya manusia yang tersedia. Kembangkan tujuan dan sasaran awal, identifikasi kesenjangan, lakukan upaya untuk menutup kesenjangan tersebut dan perkirakan secara kasar b iaya dan manfaat serta kebutuhan yang terkait dengan program keanekaragaman hayati nasional. c. Pengembangan Strategi: Tetapkan sasaran dan tujuan operasional, lakukan analisis dan pilih tin dakan khusus yang dapat menutupi kesenjangan yang diidentifikasi dalam proses penilaian; lakuka n proses konsultasi pada pihak terkait (stakeholders) hingga tercapai konsensus pada target dan mekanisme yang dapat diterima; identifikasi kapasitas pihakpihak terkait dan apa yang dapat dilakukannya; tuliskan pernyataan mengenai strategi tersebut, meliputi aksi dan investasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang disepakati; p ada tingkat ini lakukan konsultasi intensif dengan perencana/sektor konservasidan pembangunan, termasuk melakukan dialog nasional dengan seluruh pihak yang tertarik. d. Pengembangan Rencana Aksi: Tetapkan organisasi (swasta atau LSM) yang akan bertanggungja wab dalam implementasi aktivitas spesifik yang telah ditetapkan dalam strategi, dimana, apa tujua nnya dan dengan sumberdaya apa (SDM, kelembagaan, fasilitas dan dana). Tetapkan jangka wakt u pelaksanaannya. e. Implementasi: Lakukan implementasi aktivitas tersebut. Pihak yang menanggungjawab implementasi kegiatan disebut sebagai "pelaksana kegiatan keanekaragaman hayati" yang p enetapannya telah disepakati. f. Pemantauan dan Evaluasi: Tetapkan kriteria dan indikator keberhasilan, tetapkan organisasi ya ng akan memantau implementasi kegiatan. Pemantauan harus diarahkan untuk mengetahui statu s dan kecenderungan keanekaragaman hayati (spesies, gen, habitat dan lansekap), implementasi peraturan perundangundangan, implementasi aksi strategis khusus dan investasi, serta pengembangan kapasitas yang diperlukan (SDM, kelembagaan, fasilitas dan mekanisme pendanaan). g. Pelaporan: Tetapkan jenis laporan yang diperlukan, siapa yang bertanggungjawab dalam pelapo ran, serta sepakati format, isi dan tata waktu pelaporan. Tipetipe laporan antara lain: laporan tahunan, kajian nasional, strategi nasional, program aksi, laporan lima tahunan dsb.
2. Program Pengelolaan BioregionalPerlindungan, pemahaman dan pemanfaatan lestari keanekar agaman hayati dan sumberdaya biologis yang efektif merupakan fungsi dari identifikasi tujuan dan aksi yang sesuai dengan watak geografis dan dinamika prosesproses biologis, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi pencapaian tujuan tersebut. Pendekata n tersebut dikenal dengan pengelolaan bioregional atau pengelolaan ekosistem atau pengelolaan lansekap. Dengan cara inilah pengelola dapat memilikikeluwesan dan ragam pilihan yang mengakomodasik an aspirasi manusia, namun tetap menjamin perlindungan keanekaragaman genetik, spesies dan h abitat/ekosistem yang kritis serta memelihara jasa ekosistem.Pendekatan pengelolaan bioregiona l atau pengelolaan ekosistem kini sedang diuji di berbagaibelahan bumi. Dalam banyak kasus, pen dekatan ini dikembangkan di kawasan konservasi yang telah ada dan menata kelembagaan yang menghargai kerjasama sektor swasta dan masyarakat sepanjang lansekap target. Secara ideal, pe ngelolaan bioregional dicirikan oleh: a. Komponen ekologis yang terdiri dari kawasankawasan lindung yang saling dihubungkan dengan koridor-koridor alami atau semi alami. b. Komponen ekonomi yang mendukung pengelolaan berkelanjutan dan pemanfaatan sumberday a alam lestari dalam matriks lansekap yang mewakili. c. Komponen sosial/budaya yang memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pe ngambilan keputusan, serta memberikan peluang untuk mendapatkan beragam kebutuhan sosial/ budaya. 3. Pengelolaan Adaptif Praktek pengelolaan adaptif dapat mengurangi ketidakpastian dan memperbaiki praktek pengelol aan sumberdaya sepanjang waktu. Pengelolaan adaptif merupakan teknik pengelolaan sistem biol ogi sambil mengurangi ketidakpastian fungsi sistem dan memberikan respon terhadap perubahan lingkungan sosial, biologi dan fisik. Unsur-unsur utama pengelolaan adaptif adalah: a. Intervensi pengelolaan dibuat dalam kerangka percobaan sehingga luaran intervensi tersebut d apat digunakan untuk mengurangi ketidakpastian sistem. b. Pemantauan yang memadai sebelum dan selama intervensi dilakukan akan memberikan catata n mengenai hasil intervensi tersebut, sehingga manager dapat belajar dari pengalaman. c. Berdasarkan pengalaman tersebut, baik ditinjau dari pandangan manager, masyarakat lokal dan pihakpihak terkait, intervensi pengelolaan dapat disempurnakan.Keterbatasan pengetahuan mengenai keanekaragaman hayati menyebabkan pengelolaan adaptif menjadi penting. Mekanisme kelembag aan yang memungkinkan pertukaran informasi dan partisipasi dalam pengembilan keputusan perl u dikembangkan demi keberhasilannya.
D. METODE DAN ALAT PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Banyak metode dan alat yang tersedia dalam pengelolaan keanekaragaman hayati yang secara u mum dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Konservasi Insitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi genetik dan hab itat dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi penetapan dan pengelolaan kawasan lind ung seperti: cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, hutan lindung, se mpadan sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan bergambut. Dalam prakteknya, pendekatan insitu juga termasuk pengelolaan satwa liar dan strategi perlindungan sumberdaya di luar kawasa n lindung. Di bidang kehutanan dan pertanian, pendekatan insitu juga digunakan untuk melindun gi keanekaragaman genetik tanaman dihabitat aslinya serta penetapan spesies dilindungi tanpa m enspesifikasikan habitatnya. 2. Konservasi Eksitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies tanaman, satwa liar dan organisme mikro serta varietas genetik di luar habitat/ekosistem aslinya. Kegiatan yang umum d ilakukan antara lain penangkaran, penyimpanan atau pengklonan karena alasan: (1) habitat mengalami kerusakan akibat konversi; (2) materi tersebut dapat digunakan untuk penelitian, percobaan, pengembangan produk baru at au pendidikan lingkungan. Dalammetode tersebut termasuk: pembangunan kebun raya, koleksi mikologi, museum, bank biji, koleksi kultur jaringan dan kebun binatang. Mengingat bahwa organ isme dikelola dalamlingkungan buatan, metode eksitu mengisolasi spesies dari prosesproses evolusi. Pada tingkat tertentu, masalah ini dapat diatasi dengan cara membangun rantai k onservasi eksitu dengan insitu, seperti program rehabilitasi orang hutan (Pongo pygmaeus) dan Proyek Badak Sumatera (Dicerrorhinus sumatrensis). Sepanjang dimungkinkan pendekatan eksit u harus dipandang sebagai alternatif terakhir dalam konservasi keanekaragaman hayati, kecuali bi la teknologi peliarannya dapat dikuasai. Kegagalan penangkaran Badak Sumatera di kebun binata ng serta kegagalan dalam peliaran jalak bali (Leucopsar rotschildii) di Taman NasionalBali barat d an ular piton (Phyton reticulatus) di Pulau Panaitan, Ujung Kulon merupakan pelajaran berharga. (3). Restorasi dan Rehabilitasi, meliputi metode, baik insitu maupun eksitu, untuk membangun k embali spesies, varietas genetik, komunitas, populasi, habitat dan prosesproses ekologis. Restorasi ekologis biasanya melibatkan upaya rekonstruksi ekosistem alami ata u semi alami di daerahdaerah yang mengalami degradasi, termasuk reintroduksi spesies asli, sedangkan rehabilitasi meli batkan upaya untuk memperbaiki prosesproses ekosistem, misalnya Daerah Aliran Sungai, tetapi tidak diikuti dengan pemulihan ekosiste m dan keberadaan spesies asli. (4). Pengelolaan Lansekap Terpadu, meliputi alat dan strategi di bidang kehutanan, perikanan, pe rtanian, pengelolaan satwa liar dan pariwisata untuk menyatukan unsur perlindungan, pemanfaat an lestari serta kriteria pemerataan dalam tujuan dan praktek pengelolaan.Mengingat bahwa tata guna lahan tersebut mendominasi keseluruhan bentuk lansekap, baik pedalaman maupun wilayah pesisir, reinvestasi untuk pengelolaan keanekaragaman hayati memiliki peluang besar untuk dap at diperoleh.
(5). Formulasi Kebijakan dan Kelembagaan, meliputi metode yang membatasi penggunaan sumbe rdaya lahan melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek penggunaan lah an yang secara potensial dapat merusak; mengaturan kepemilikan lahan yang mendukung pengur usannya secara lestari; serta menetapkan kebijakan pengaturan kepentingan swasta dan masyara kat yang menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. (6). Mekanisme Pasar, meliputi upaya untuk menghargai setiap produk yang proses produksinya akrab lingkungan dan menjamin kelestarian keanekaragaman hayati. Berkembangnya isu ekolabel dan sertifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan merupakan alat yang saat ini sedang dikaji kemu ngkinan implementasinya.
E. PENENTUAN PRIORITAS UNTUK KONSERVASI DAN PENDAYAGUNAAN YANG LEST ARI1. Pemilihan Prioritas Berbasis Genetika; Jenis; Ekosistem; Geografi Di dalam penyusunan rencana srategis baik strategi nasional maupun rancang tindak diperlukan pemilahan alokasi sumber daya agar daya guna keanekaragaman hayati dapat dimanfaatkan secar a maksimal dan berkelanjutan. Investasi di dalam konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman h ayati yang berkelanjutan hingga saat ini belum dilakukan secara sistematis, analitis dan transpara n. Oleh karena itu perlu dikembangkan caracara atau teknik untuk penyusunan prioritas geografis untuk pelestarian dan pemanfaatan keane karagaman hayati secara berkelanjutan. Pendekatan yang diambil di dalam penyusunan prioritas didasarkan atas perkiraan bahwa keperl uan sumber daya untuk melestarikan keanekaragaman hayati jauh melebihi sumber daya yang te rsedia. Penentuan spesies atau habitat yang utama di dalam mengalokasikan dana, sumber daya manusia serta lembaga yang ketersediaannya terbatas, memang sangat sulit namun tetap harus d ilakukan. Keragaman dan kompleksitas serta luasnya jangkauan dalam hal nilai, perspektif, tujuan dan pand angan terhadap keanekaragaman hayati, tidak memungkinkan adanya metoda pemilihan prioritas yang sifatnya universal. Setiap susunan prioritas akan mencerminkan nilai, baik nilai ekonomi, pe ngetahuan, sosial maupun budaya yang dianggap paling penting untuk dilestarikan. Selain itu, pen entuan prioritas pelestarian keanekaragaman hayati juga mempertimbangkan lokasi di mana tind akan pelestarian tersebut perlu dilakukan.Walaupun terdapat kompleksitas di dalam penilaian pe ntingnya keanekaragaman hayati, beberapa kriteria bisa digunakan di dalam penyusunan prioritas keanekaragaman hayati. Kriteria biologis yang dapat dikemukakan adalah, kekayaan (jumlah spes ies atau ekosistem di dalam suatu area),kelangkaan, ancaman (tingkat kerusakan atau bahaya), ke unikan (tingginya perbedaan suatu spesies dengan keluarganya yang paling dekat), keperwakilana n (bagaimana dekatnya suatu area mewakili ekosistem tertentu), dan fungsi (tingginya pengaruh suatu spesies atau ekosistemterhadap spesies atau ekosistem lain untuk bertahan). Kriteria lain yang dapat dikemukakan adalah kriteria sosial, kebijakan dan kelembagaan. Kriteria nonbiologis yang paling umum adalah kegunaan. Kegunaan merupakan potensi suatu unsur keanekar agaman hayati untuk dimanfaatkan bagi kepentingan manusia. Kegunaan bisa diartikan secara se
mpit sebagai nilai ekonomi, namun secara luas dapat berarti mempunyai nilai pengetahuan, sosial , budaya, keagamaan dan sebagainya. Kelayakan merupakan kriteria yangcukup penting terutama di dalam pengalokasian pelestarian sumberdaya yang dapat ditentukan berdasarkan aspek politi k, ekonomik, logistik maupun kelembagaan. Kelayakan bersamasama dengan kriteria biologis dapat dipergunakan untuk menentukan lokasi di mana tindakan pel estarian akan dapat berhasil dilakukan.Metode penyusunan prioritas dapat didasarkan atas nilainilai genetis, jenis, ekosistem dan geografis. Variasi genetis tercermin sebagai keanekaragaman h ayati yang bisa dilihat, terekspresikan dalam individu maupun populasi suatu jenis, perbedaan jen is serta tatanan taksonomi yang lebih tinggi dimana jenis tersebut menjadi anggotanya. Dengan kemajuan bioteknologi dan munculnya persepsi bahwa gen adalah bahan awal dari revol usi teknologi,penelitian pada keanekaragaman genetis semakin meningkat yang membangkitkan p ertanyaan tentang siapa sebenarnya pemilik sumberdaya genetik dan siapa yang mendapat keunt ungan dari pelestariannya. Pelestarian sumberdaya genetis secara tradisional dilakukan pada tanaman budidaya terutama be berapa tanaman pertanian yang penting. Upaya untuk membatasi resiko kerawanan genetis men dorong lembagalembaga pertanian melestarikan beranekaragam sumber gen yang terdapat pada jenisjenis liar yang masih sekeluarga dengan tanaman budidaya. Dengan demikian, penentuan priorita s pelestarian berbasis genetis dipandang perlu untuk keadaan tertentu, terutamauntuk jenis bern ilai ekonomi atau nilai lain yang tinggi tetapi secara genetis rawan terhadap kemunduran, dalam populasi kesil dan terisolir. Selain itu juga sesuai untuk populasi atau individu yang hanya dapat dilestarikan secara exsitu.Pendekatan penyusunan prioritas berdasar jenis ditekankan pada analisis populasi dan distri busi geografisnya. Daerah penyebaran atau habitat mungkin dicerminkan didalam penentuan pri oritas tetapi habitat tersebut dipilih bukan berdasarkan atas kelangkaan atau keunikannya. Priori tas berdasarkan jenis pada dasarnya menekankan nilai dari suatu jenis. Hal ini berbeda dengan prioritas berdasarkan ekosistem yang menekankan peran interaksi spesi es dan proses ekologissebagai faktor yang penting di dalam pelestarian dan pemanfaatan keanek aragaman hayati dan prioritas ekosistem tersebut dapat berperan sebagai habitat dari setinggi m ungkin keanekaragaman pada tingkat gen dan jenis. Prioritas berdasarkan jenis umumnya menekankan pelestarian jenis yang langka atau terancam, a tau suatu habitat yang mempunyai tingkat kekayaan jenis yang tinggi atau tingkat endemisme yan g tinggi.Pendekatan penyusunan prioritas pelestarian keanekaragaman hayati berdasar ekosistem umumnya diupayakan untuk melindungi sebanyak mungkin jenis di dalam suatu daerah konserva si yang mewakili habitat alami suatu daerah. Pendekatan ini biasanya menerapkan berbagai kriter iaseperti kekayaan jenis, endemisme, kelimpahan, keunikan dan keperwakilanan serta pertimban ganpertimbangan fisik lingkungan, proses ekologis dan tingkat gangguan yang mencirikan suatu e kosistem.
2. Pemilihan Prioritas Berbasis Pendekatan Integratif Pada masa yang lalu, komponen keanekaragaman hayati cenderung di pecahpecah menurut bidangbidang biologi dan ditelaah secara terpisah misalnya gen, populasi, jenis, komunitas dan ekosiste m. Alam sering dianggap sebagai hal yang terpisah dari kehidupan manusia, dan hal ini tercermin dalam konsep konservasinya. Sebagai contoh, jenis yang terancam, dilindungi di habitat alami asli nya, di daerah terlindung jauh dari campur tangan manusia. Sejak dekade terakhir ini, banyak pe ndapat dari kalangan ekologis yang mengemukakan bahwa keanekaragaman hayati hanya dapat d ifahami dengan mempelajari setiap tingkatan besertainteraksinya. Pada saat yang bersamaan kemajuan di bidang ekologi, palaeobiologi dan konservasi biologi me mpertanyakan arti sesungguhnya dari ekosistem alami. Hal ini mendorong untuk mengkaji lebih jauh, dan ada yang menyatakan bahwa sasaran pengelol aan ekologi seharusnya adalah untuk memaksimalkan kapasitas manusia untuk beradaptasi pada kondisi ekologis yang terus berubah.Untuk mengakomodasikan sifatsifat dinamis ekosistem, pendekatanpendekatan integratif untuk mengidentifikasikan biodiversitas prioritas ditekankan pada peninjau an seluruh daerah, baik yang dilindungi maupun tidak, yang masih alami maupun yang sudah ter modifikasi. Pendekatan ini berwawasan untuk meningkatkan sumbangan biodiversitas pada penin gkatan kesejahteraan manusia, selain perlindungan daerah-daerah tertentu dari aktifitas manusia. Tujuan dari pendekatan ini bukan hanya untuk pelestarian biodiversitas saja tetapi memaksimalk an kapasitas kehidupan untuk beradaptasi kedada perubahan kondisi (misalnya perubahan iklim, perubahan permukaan laut, perubahan komposisi jenis, dsb). Seringkali, aspek sosial (keinginan memilikilingkungan yang dapat mendukung kesejahteraan masyarakat) merupakan kekuatan pen dorong di belakang pendekatan terpadu di dalam identifikasi prioritas konservasi. Dalam istilah praktis, hal iniberarti menyusun prioritas pada kawasan yang didominasi oleh manu sia yang meliputi duapertiga dari daratan bumi, dan termasuk pertimbangan konservasi keanekar agaman hayati di lingkungan perkotaan dan pedesaan.Keuntungan dari pendekatan terpadu adala h keterkaitan antara keanekaragaman hayati dengan sumberdaya alam lain beserta nilai kehidupa n manusia yang tergantung padanya. Hal ini berarti bahwa prioritas yang terpilih mungkin memp unyai nilai nonbiologis yang tinggi, yang dapatmemperkuat dukungan politis dalam kegiatan konservasi. Sebagai contoh, pemilihan prioritas konservasi daerah tangkapan air yang penting atau daerah wi sata yang menarik (sebagai tambahan atas nilai keanekaragaman hayati) mungkin akan lebih dapa t diterima secara sosial dan politis dari pada daerah yang hanya mempunyai nilai keanekaragama n hayati saja. Oleh karena itu, pendekatan terpadu mungkin dapat mengurangi kesulitan penentu an prioritas konservasi yang sering terjadi kalau prioritas yang hanya berdasarkan keanekaragam an hayati dipertimbangkan oleh penentu kebijaksanaan yang juga mempertimbangkan dampak so sial dan politik atas keputusan yang diambil.
F. KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI HUTAN ALAM PRODUKSI Dampak penting aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati banyak melibatkan perubaha n konektivitas (connectivity) fenomena biologis. Aktivitas manusia dapat mengurangi atau menin gkatkan konektivitas biologis. Manusia telah menciptakan banyak penghalang buatan (artificial ba rrier) dan dalam kasus lain menghilangkan penghalang alamiah (natural barrier) bagi pemencaran organisme. Terciptanya penghalang buatan menyebabkan terbentuknya populasipopulasi yang terisolasi sehi ngga rawan terhadap kepunahan akibat berkurangnya akses terhadap sumberdaya, penyimpanga n genetik, serta bencana alam dan demographic accident. Hilangnya penghalang alamiah menyeb abkan organisme eksotik untuk menginvasi komunitas asli. Akhir dari proses ini adalah homogen isasi flora dan fauna (Noss, 1993).Secara teoritis, prinsip penyediaan habitat optimum bagi keane karagaman hayati harus diadopsi berdasarkan pertimbangan "pergerakan biologis" yang terdapat terdapat dalam berbagai level organisasi biologi. Dalam biologi konservasi, tipetipe pergerakan yang terpenting adalah (Noss,1993): pergerakan organisme melintasi bentang al am serta pergerakan alel (gen) di dalam dan antar populasi organisme. Banyak binatang melakukan pergerakan harian dan musiman untuk mendapatkan kebutuhan hid upnya dan mereka tergantung pada "koridor" atau "steppingstones" di habitat yang sesuai untuk mendapatkan kebutuhannya. Selain itu, dalam skala yang lebi h luas, pergerakan organisme melalui pemencaran dan gene flow merupakan pertimbangan penti ng dalamkonservasi keanekaragaman hayati.Secara umum, strategi konservasi keanekaragaman h ayati di areal hutan produksi adalah mengoptimumkan lebar dan variasi habitat alami dalam kesa tuan landscape linkages, sehingga keseluruhan spektrum spesies asli dapat bergerak di antara ha bitathabitat alamiah dalam lansekapregional. Koridor yang sempit atau koridor yang hanya meliputi s atu tipe habitat tidak banyak bermanfaat. Koridor yang sempit bisa jadi keseluruhannya merupak an habitat tepi (edge habitat) yang tidak dapat dimanfaatkan oleh spesies interior atau menyebab kan tingginya laju pemangsaan spesies penting. Koridor yang ideal harus meliputi seluruh gradien topografi dan spektrum habitat mulai dari sun gai hingga puncak bukit.Pada tahun 1992, ITTO telah menerbitkan "ITTO Guidelines for The Su stainable Management of Natural Tropical Forests dan Criteria for the Measurement of Sustain able Tropical Forest Management. Kedua dokumen ini telah dijadikan sebagai dasar dalam penyu sunan kriteria dan indikator Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (SFM) di hutanhutan produksi alam tropika, termasuk Indonesia, yang akan menjadi dasar pemberian sertifikat SFM dalam ecolabeling scheme dalamperdagangan kayu di seluruh dunia. Dalam kedua dokumen dan dalam sel uruh kriteria/indikator pengelolaan hutan berkelanjutan memasukan komponen keanekaragama n hayati sebagai indikator utama keberlajutan proses-proses ekologis di dalam hutan. Pada tahun yang sama IUCN/ITTO telah menerbitkan buku yang berjudul "Conserving Biologica l Diversity in Managed Tropical Forests. Dalam dokumen ini diusulkan panduan konservasi kean
ekaragaman hayati di dalam hutan yang dikelola untuk memproduksi kayu, terdiri dari 21 prinsip dan 22 rekomendasi program aksi. Tiga prinsip dasar yang patut diadopsi dalam konservasi kea nekaragaman hayati di hutan produksi adalah:1. Selain untuk memenuhi tujuan produksi, hutan a lam produksi mampu memegang peranan penting lainnya, terutama fungsi perlindungan lingkung an dan fungsi konservasi keanekaragaman hayati. Fungsi ganda ini harus dilestarikan dan seluruh operasi eksploitasi hutan harus diterapkan denga n mengacu pada baku mutu lingkungan biologis.2. Disadari bahwa keanekaragaman hayati meme gang peranan penting dalam mempertahankan stabilitas dan integritas ekosistem hutan, serta me melihara kapasitas produksi hutan secara jangka panjang. Biodiversity prospecting juga menjanjik an penemuanpenemuan manfaat baru yang penting bagi kesejahteraan umat manusia.3. Keseluruhan fungsi hu tan sebagai sistem penunjang kehidupan dan pusat keanekaragaman hayati akan dapat dipertahan kan secara optimum bila aktivitas eksploitasi hutan menimbulkan dampak minimum terhadap ke anekaragaman hayati.Indonesia memiliki hutan produksi yang sangat luas (64 juta ha) dengan kisa ran keanekaragaman hayati yang tak ternilai harganya. Upaya meminimumkan dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati akan mempertahankan sebanyak mungkin keanekaragaman hayati yang secara insitu terdapat di hutan tersebut serta se kaligus mempertahankan fungsi hutan tersebutsebagai wahana distribusi, pemencaran (dispersal) dan aliran gen (gen flow) bagi keanekaragaman hayati. Keterkaitan hutan produksi dengan sistem lansekap alami lain, terutama dengan kawasankonser vasi, harus diupayakan agar fungsifungsi yang diharapkan dapat dipenuhi. Selain itu, upaya untuk mengidentifikasi areal yang kaya a kan keanekaragaman hayati dan/atau memiliki keanekaragaman hayati yang unik harus dilakukan dan areal tersebut harus dibebaskan dari aktivitas eksploitasi hutan, sehingga pusat pemencaran dan keunikan dapat dipertahankan. Secara operasional upaya meminimumkan dampak negatif harus disertai dengan upayamenyesuai kan seluruh tahapan eksploitasi hutan berdasarkan kepentingan konservasi keanekaragaman hay ati. Dalam hal ini, pemantauan keanekaragaman hayati yang akurat merupakan basis yang kuat da lam mengintegrasikan aktivitas pengelolaan hutan dengan kepentingan konservasi keanekaragam an hayati di hutan tersebut. Dalam skala praktis di tingkat unit manajemen, prinsipprinsip konservasi keanekaragaman hayati di areal HTI, yang harusdipegang teguh oleh para per encana tata ruang HTI, adalah sebagai berikut: 1. Keanekaragaman hayati disadari memiliki peranan penting dalam mempertahankan stabilitas e kosistem hutan dan produksi hasil hutan. Selain itu, keanekaragaman hayati memberikan manfaa t sosialekonomi dan menjanjikan potensi pemanfaatan masa datang yang tidak ternilai harganya. Jutaan sumberdaya genetik yang terkandung dalam berbagai spesies yang hidup di hutan harus dilestari kan demi kepen-tingan manusia dan kemanusiaan pada saat inidan masa yang akan datang.
2. Fungsi hutan produksi sebagai sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman hayati dapat dipertahankan bila para perencana mampu memaksimumkan manfaat hutan sebagai habitat keanekaragaman hayati di dalamnya. Konversi hutan alam sejauh mungkin harus dihindar kan.3. Untuk memaksimumkan manfaat hutan produksi guna kelestarian keanekaragaman hayati diperlukan struktur tata ruang tertentu yang memungkinkan terciptanya konektivitas antar ekos istem asli yang telah mengalami fragmentasi, khususnya antar kawasan lindung di dalam areal hut an produksi dan antar ekosistem asli di dalam areal hutan produksi dengan ekosistemekosistem asli dalam keseluruhan mosaik lansekap regional. G. DAFTAR PUSTAKA 1. BLOCKHUS, J.M., M. DILLENBECK, J.A. SAYER, and P. WEGGE. 1992. Conserving Biologica l Diversity in Managed Tropical Forests. Proceedings of a Workshop at the IUCN General Asse mbly, Perth, Australia 30 November - 1 December 1990. IUCN/ITTO. 2. BRADY, N. C. 1988. International Development and the Protection of Biological Diversity. I nWilson E.O and F.M. Peter (eds). Biodiversity. National Academy Press. Washington D.C. 3. COLLINS, N.M., J.A. SAYER and T.C. WHITMORE (Eds.). 1991. The Conservation Atlas of Tropical Forests. Asia and the Pacific. Macmillan Press Ltd. London and Basingstoke. 4. ELDREDGE, N. (Ed.). 1992. Systematics, Ecology, and the Biodiversity Crisis. Columbia Univ ersity Press. New York. 5. ERWIN, T.L., 1993. An Evolutionary Basis for Conservation Strategies. In C.S. Potter, J.I. Co hen, and D. Janczewski (Eds.). Perspective on Biodiversity. Case Studies of Genetic Resource C onservation and Development. AAAS Press. Washington, D.C. 6. HARYANTO. 1993. Konservasi Keanekaragaman hayati dan Peranannya dalam PJP II. Makala h dalam Seminar Nasional Sehari Pembangunan Lingkungan dalam PJPT II. UKSW,Salatiga, 14 Ag ustus 1993. Tidak dipublikasikan. 7. HARYANTO, 1994. Pengelolaan Pulau Terpadu: Strategi Konservasi Keanekaragaman hayati di Indonesia. Makalah Penunjang dalam Lokakarya Nasional Keragaman Hayati Tropik Indonesia. PUSPITEK, Serpong 3-5 November 1994. Tidak Dipublikasikan. 8. HESS, A.L. 1990. Overview: Sustainable Development and Enviromental Management of Smal l Islands. In. W.Beller, P. d'Ayala, and P. Hein (Eds.). Sustainable Development and Enviromental Management of Small Islands. Unesco, Paris and The Parthenon Publishing Group. 9. ITTO, 1992. ITTO Guidelines for the Sustainable Management of Natural Tropical Forest. IT TO Policy Development Serie 1. Yokohama, Japan. 10. ITTO. 1992. Criteria for the Measurement of Sustainable Tropical Forest Management. ITT
OPolicy Development Serie 3. Yokohama, Japan. 11. ITTO, 1993. ITTO's Guidelines for The Establishment and Management of Man Made Tropi cal Forests. 12. IUCN, UNEP, and WWF. 1991. Caring for The Earth. A Strategy for Sustainable Living. Gla nd, Switzerland. 13. KANTOR MENTERI NEGARA LH, 1993. Strategi Nasional Pengelolaan Keanekaragaman H ayati. 14. MAGURRAN, A.E. 1983. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm. London. Sydney. 15. McNEELY, J.A., 1988. Economics and Biological Diversity: Developing and Using Economic I ncentives to Conserve Biological Resource. IUCN, Gland, Switzerland. 16. McNEELY, J.A., MILLER, K. REID, W. MITTERMEIER , R. WERNER, T. 1990. Conserving th e World's Biological Diversity. World Bank, WRI, IUCN, Conservation International, WWF. 17. MACKINNON, J., K. MACKINNON, G. CHILD, dan J. THORSELL. 1990. Pengelolaan Kaw asan Dilindungi di Daerah Tropik (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. 18. MEFFE, G.K. AND C.R. CARROLL. 1994. Principles of Conservation Biology. Sinauer Asso ciates, Inc. Sunderland, Massachussets. 19. MINISTRY OF STATE FOR POPULATION AND ENVIRONMENT. 1992. Indonesian Coun tryStudy on Biological Diversity. Jakarta. 20. NAIMAN, R.J. AND H. DECAMPS (Eds). 1990. The Ecology and Management of AquaticTerrestrial Ecotones. MAB Series Vol. 4. UNESCO and The Parthenon Publishing Group.New J ersey. 21. NOSS, R.F., 1993 Landscape Connectivity: Different Functons at Different Scales. In W.E.H udson (Ed.). Landscape Linkages and Biodiversity. Island Press. Washington D.C., Covelo,Califo rnia. 22. NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING AGENCY. 1993. Biodiversity Action Plan for In donesia. Jakarta. 23. NORSE, E. (Ed.). 1993. Global Marine Biological Diversity. A Strategy for Building Conserva tion into Decision Making. Island Press. Washington D.C. 24. PEARCE, D., E. BARBIER and A. MARKANDYA. 1990. Sustainable Development : Economi cs and Environment in the Third World. London Environmental Economics Centre. Billing and
Sons Ltd, Worcester. 25. PRIMACK, R.B. 1993. Essentials of Conservation Biology. Sinauer Associates, Inc.Sunderlan d, Massachussets. 26. REID, W.V. and K.R. MILLER. 1989. Keeping Option Alive. The Scientific Basis for Conservi ng Biodiversity. WRI. 27. REID, W.V., S.A. LAIRD, C.A. MEYER, R. GAMEZ, A. SITTENFELD, D.H. JANZEN, M.A. G OLLIN, AND C. JUMA. 1993 (Eds). Biodiversity Propecting: Using Genetic Resources for Susta inable Development. WRI. 28. RePPProt. 1990. The Land Resources of Indonesia : A national Overview. ODA/Ministry of Transmigration. 29. REDCLIFT, M. 1987. Sustainable Development: Exploring contradictions. Methuen. London and New York. 30. RISSER, P.G. 1990. The Ecological Importance of LandWater Ecotones. in R.J. Naiman and H. Decamp (Eds). The Ecology and Management of Aquati cTerrestrial Ecotones. MAB Series Vol. 4. UNESCO and The Parthenon Publishing Group. New Jersey. 31. SALIM, E. 1986. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3ES. Jakarta. 32. SHAFER, C.L., 1990. Island Theory and Conservation Practice. Smithsonian Institution Press . Washington and London. 33. SHARMA, N. 1992 (Ed.). Managing the World Forests. Looking for Balance between Conse rvation and Development. Kendall/Hunt Publishing Company. Dubuque, Iowa. 34. SOEMARWOTO, O. 1991. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. PT Gramedia P ustaka Utama. Jakarta. 35. SOULE, M.E., 1993. Conservation: Tactics for a Constant Crisis. In C.S. Potter, J.I. Cohen, a nd D. Janczewski (Eds.). Perspective on Biodiversity. Case Studies of Genetic Resource Conser vation and Development. AAAS Press. Washington, D.C. 36. SOULE, M.E. (Ed.), 1987. Viable Population for Conservation. Cambridge University Press.C ambridge. 37. THOMAS, J.W., C. MASER, AND J.E. RODIEK. 1979. Riparian Zones. In J.W. Thomas (Ed.). Wildlife Habitats in Managed Forests: The Blue Mountains of Oregon and Washington. Agricul ture Handbook No. 553. US Dept. of Agriculture, Forest Services. Wildlife Management Institu
te and US Dept. of Interior, Bureau of Land Management. 38. UNCED. 1992. Convention on Biodiversity. 39. WARNER, R.E. AND S.J. BRADY. 1994. Managing Farmlands for Wildlife. In T.A. Bookhout (Ed.). Research and Management Techniques for Wildlife and Habitats. The Wildlife Society.Be thesda, Maryland. 40. WCMC, 1992. Global Biodiversity. Status of the Earth's Living Resources. Chapman and Hal l. London. 41. WILSON, E.O. 1992. The Diversity of Life. Allen Lane The Penguin Press. 42. WORLD COMMISSION ON ENVIRONMENT AND DEVELOPMENT (WCED). 1987. Ou r Common Future (The "Brundland Report"). Oxford University Press. Oxford. 43. WRI, FAO and UNEP. 1992. Global Biodiversity Strategy. Guidelines for Action to Save,Stu dy, dan Use Earth's Biotic Wealth Sustainably and Equitably.