Penemuan Hukum

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Penemuan Hukum as PDF for free.

More details

  • Words: 5,017
  • Pages: 71
PENEMUAN HUKUM Pasal 14 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 : Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pasal 22 AB : bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundangundangan yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili.

Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman : Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya Penjelasan Pasal 16 ayat (1) : hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang padanya untuk mencari keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk merumus berdasarkan sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung

Pasal 27 ayat (1) : hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 : (3) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. (4) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat

Permasalahan yang muncul adalah bahwa dalam penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim muncul anggapan seolah-olah merubah kedudukan hukum hakim sebagai pemegang kekuasaan penciptaan UU (Badan Legislatif) dan bertentangan dengan Pasal 20 AB : Hakim harus mengadili menurut UU, kecuali yang ditentukan dalam Pasal 11. Ia sama sekali tidak boleh menilai-nilai inti atau keadilan dari UU. Pasal 21 AB menegaskan :”Tiada seorang hakimpun dengan jalan peraturan umum,

Secara autentik pembuat UU menjelaskan Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 sebagai berikut : 2. Semua masyarakat yg msh mengenal hk tdk tertulis, serta berada dlm masa pergolakan dan peralihan, hakim mrpkan perumus dan penggali nilai-nilai hkm yg hidup di kalangan rakyat. Utk itu ia hrs terjun ke tengah-tengah masyarakat utk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hk dan rasa keadilan yg hidup dlm msyrkt. Dgn dmkn hakim dpt memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. 3. Siaft-sifat yg jahat maupun yg baik dari tertuduh wjb diperhatikan hakim dlm mempertimbangkan pidana yg dijatuhkan. Keadaan-kedaan pribadi seserg perlu diperhitungkan utk memberikan pidana yg setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tsbt dpt diperoleh dari keterangan orang-orang di lingkungannya, rukun

Penjelasan Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004

Ratio ketentuan Pasal 22 AB jo Pasal 16 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 adalah bahwa masyarakat pencari keadilan tidak akan tertolong, apabila ditinggalkan dengan perselisihan-perselisihan yang tidak terselesaikan, oleh karena UU tidak mengatur, kurang jelas dan tidak lengkap. Maka tugas hakim adalah menyelesaikan tiap perkara meskipun bertentangan dengan UU atau UU tinggal diam. Hakim wajib membuat penyelesaian yang dinginkan oleh masyarakat pencari

Oleh karena UUnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum. Dalam penemuan hukum ada aliran progresif yang berpendapat bahwa hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahanperubahan sosial. Sedangkan aliran konservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan itu hanyalah untuk mencegah kemerosotan moral.

Penemuan hukum bukan semata-mata hanya penerapan peraturanperaturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus juga penciptaan dan pembentukan hukum.

Penemuan Hukum :  Pelaksanaan hukum : menjalankan hukum tanpa adanya sengketa maupun ada sengketa.  Penerapan Hukum : menerapkan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwa konkrit.  Pembentukan Hukum : merumuskan peraturanperaturan yang berlaku umum, bagi setiap orang.  Penciptaan Hukum : istilah yang kurang tepat, karena kesannya bahwa hukum itu tidak ada, kemudian diciptakan menjadi ada.

Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit. Penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein). Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkrit, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya. Dalam penemuan hukum yang penting

Menurut Van Apeldoorn, hakim harus menyesuaikan (waarderen) UU dg hal-hal yg konkrit yg terjadi dimasyarakat dan hakim dapat menambah (aanvulen) UU apbl perlu. Hakim hrs menyesuaikan UU dg hal yng konkrit, krn UU tdk mlputi sgl kjdian yg timbul dlm masyrkt. Bukankah pembuat UU hanya menetapkan st petunjuk hdp yg umum saja. Pertimbangan mengenai hal-hal yg konkrit, yaitu menyesuaikan UU dg hal-hal yg konkrit diserahkan kpd hakim. Kptsan hakim dapat memuat st hk dlm suasana “werkelijkheid”yg menyimpang dr hk dlm suasana “positiveit”. Hakim menambah UU krn pembuat UU senantiasa tertinggal pd kjadian-kjdian yg baru timbul dlm masyarakat.

UU itu mrpkan “momentopname” saja. Yaitu suatu “momentopname” dr keadaan di waktu pembuatannya. Berdsrkan dua kenyataan td mk dpt diktkan bhw hakimpun turut serta menentukan mana yg mrpkan hk dan mana yg tdk atau hakim menjlnkan rechtsvinding. Scholten mngtkan bhw mnjlnkan UU itu selalu rechtsvinding. Kemandirian hakim dlm menemukan dan pembentukan hk itu, serta dpt menentukan mana yg mrpkan hk dan mana yg tdk atau dlm mengisi ruangan yg kosong dlm UU, adlh tdk berttangan dg Psl 21 AB, krn kptsn hakim yg dmkn hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara saja dan tdk berlaku sbg peraturan umum.

Kedudukan yurisprudensi di Indonesia sgt berbeda dg keptsn hakim yg mrpkan “Preseden” sebgmn yg terdpt di Inggris dan Amerika spt yg dikemukakan oleh GRAY. Teori Gray dikenal dg teori mgnai All the law is judge made law. St peraturan barulah mjd peraturan hkm apbl peraturan itu tlh dimasukkan dlm putusan hakim. Anggapan Gray ini berdasarkan peradilan yang dilaksanakan di Inggris, Amerika Serikat dan Afrika Selatan dan disebut peradilan preseden (Presedenten rechts praak). Hakim wjb mengikuti keputusan hakim yg kedudukannya, menurut hierarkhi pengadilan lebih tinggi, wjb mengikuti keputusan hakim yg lain yang keddkannya sederajat, ttpi tlh lebih dahulu membuat penyelesaian st perkara sejenis.

Bahkan hakim wajib mengikuti keputusan sendiri yg dibuatnya lebih dahulu membuat penyelesaian st perkara semacam (Stare decisis). Hukum yang berasal dari pengadilan preseden disebut “Judge made law” atau “Judiciary Law”. Terutama di Inggris sering disebut “judge made law” itu dianggap lebih penting daripada “statute law” (hukum yang ada di dalam peraturan perundang-undangan). Pentingnya “judge made law” itu diperbesar oleh Gray dalam rumusannya : Äll the law is judge made law”.

Paul Y Bohanan mengatakan bahwa ada suatu suku bangsa di Liberia bernama Suku Gola yang mempunyai pameo tentang Hukum :

“Hukum itu laksana bunglon, dia berubah bentuk pada tempat yang berbeda dan hanya dapat dikuasai oleh mereka yang tahu seluk beluknya”. Beberapa ahli hukum Barat mengatakan bahwa hukum itu tidak mempunyai materi khusus, melainkan seluas kehidupan itu

Paul Y Bohanan membagi kalangan hukum menjadi dua golongan : ► Golongan yang pekerjaannya menyangkut hubungan antara hukum seperti pengacara, hakim, kepolisian dan para pembuat UU (Medespelers). ► Golongan yang pekerjaannya berhubungan dengan segi intelektual dan segi filosofis dari hukum, meliputi mereka yang mempelajari ilmu hukum, sejarah dan cara-cara pemerintahan dan juga antropolog yang mengkhususkan diri pada pendalaman cara memecahkan sengketa yang dikenal oleh berbagai bangsa di dunia dan bagaimana cara mereka mempertahankan tata politik tertentu.

Ajaran hukum fungsional dari Ter Heide, yang penting adalah pertanyaan bagaimana dalam situasi tertentu dapat diketemukan pemecahannya yang paling baik yang sesuai dengan kebutuhan kehidupan bersama dan dengan harapan yang hidup di antara para warga masyarakat terhadap “permainan kemasyarakatan” yang dikuasai oleh “aturan permainan”. Penemuan hukum merupakan problematik setiap pencari keadilan,

Hasil penemuan hukum oleh Hakim merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena dituangkan dalam bentuk putusan. Hasil penemuan itu juga merupakan sumber hukum juga. Selain hakim, pembentuk UUpun melakukan penemuan hukum juga. Bedanya adalah hakim menghadapi peristiwa konkrit atau konflik, sedangkan pembentuk UU tidak. Jadi sifatnya preskriptif. Hasil penemuan hukum oleh pembentuk UU inipun merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum disebabkan dituangkan dalam bentuk UU

Pandangan klasik berpendapat bahwa hakim dalam menerapkan UU terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong UU (bouceh de la loi), sehingga tidak dapat mengubah kekuatan hukum UU, tidak dapat menambah dan tidak dapat pula menguranginya. Sebab menurut Montesquieu, UU adalah satusatunya sumber hukum positif. Oleh karena itu demi kepastian hukum, kesatuan hukum serta kebebasan warga negara yang terancam oleh kebebasan hakim, hakim harus ada di bawah UU. Peradilan tidak lain hanyalah bentuk silogisme. Ini merupakan aliran Legisme.

Aliran legisme hidup di abad 19 yang muncul sebagai akibat pengaruh ajaran pemisahan kekuasaan, mengajarkan bahwa hakim tidak dapat menciptakan atau menemukan hukum. Pandangan ahli hukum abad ini, hakim tidak dapat membuat sesuatu yang baru, ia hanya dapat menemukan dan membuka tabir pikiran-pikiran yang terdapat dalam UU. Hakim hanya mempelajari UU, mengadakan analisis untuk menemukan jalan bagi halhal yang tegas melalui jalan deduksi yang logis melalui cara silogisme sehingga cara ini disebut geometri yuridis.

Penemuan hukum oleh hakim yang didasarkan pada UU disebut dengan Heteronom. Karena hakim mendasarkan pada peraturan-peraturan di luar dirinya; hakim tidak mandiri karena harus tunduk pada UU. Pandangan typis logicistis atau heteronom tidak dapat dipertahankan lagi sampai tahun 1850 sebab perhatian ditujukan pada peran penemuan hukum yang mandiri. Hakim tidak lagi dipandang sebagai corong UU, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri memberi bentuk kepada isi UU dan menyesuaikannya dengan kebutuhankebutuhan. Pandangan ini dikenal sebagai materiil yuridis atau otonom.

Pandangan materiil yuridis atau otonom berpendapat bahwa pelaksanaan hukum oleh hakim bukanlah semata-mata hanyalah masalah logika murni dan pengguna ratio yang tepat, tetapi lebih merupakan masalah pemberian bentuk yuridis pada asas-asas hukum materil yang menurut sifatnya tidak logis dan tidak mendasarkan pada pikiran yang abstrak, tetapi lebih-lebih pada pengalaman dan penilaian yuridis. UU tidak mungkin lengkap. UU hanyalah merupakan suatu tahap tertentu dalam proses pembentukan hukum dan bahwa UU wajib mencari pelengkapnya dalam praktek hukum yang teratur dari hakim (yurisprudensi), dimana asas yang merupakan dasar UU dijabarkan lebih lanjut dan dikonkretisasi, diisi dan diperhalus dengan asas-asas baru.

Dalam hal kekosongan atau ketidak jelasan UU, hakim mempunyai tugas sendiri, yaitu memberi pemecahan dengan penafsiran UU. Meskipun orang makin lama meninggalkan pandangan legistis atau positivisme UU. Tetapi pangkal tolak penemuan hukum adalah sistem : semua hukum terdapat dalam UU dan hanya kalau ada kekosongan atau ketidak jelasan dalam UU saja maka hakim boleh menafsirkan . Di sini penemuan hukum bukan semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus juga merupakan penciptaan dan pembentukan hukum.

Montesquieu mengemukakan ada 3 bentuk negara dan pada setiap bentuk negara terdapat bentuk penemuan hukum yang cocok untuk masing-masing bentuk negara. Dalam etat despotique tidak ada UU. Hakim mengadili setiap peristiwa individual menurut apresiasi pribadinya secara arbitrer. Terjadi penemuan hukum otonom mutlak. Di dalam negara idealnya, yaitu etat republicain terdapat penemuan hukum yang heteronom; hakim menerapkan UU menurut bunyinya.

Dalam etat monarchique terdapat sistem UU, baik yang rinci maupun yang tidak rinci, yang tidak dapat diterapkan begitu saja, tetapi harus ditafsirkan lebih dahulu dengan mencari “jiwanya”. Kecuali sebagai corong UU, hakim di sini juga sebagai penafsir UU. Di sini terdapat sistem penemuan hukum yang mempunyai unsur-unsur heteronom maupun otonom. Tipe-tipe ini mencerminkan aspek tertentu dari fungsi Hakim; hakim tidak lebih berfungsi sebagai corong UU, kadang-kadang hakim mempnyai sedikit banyak kebebasan dalam menterjemahkan dan menafsirkan,

Prototype penemuan hukum heteronom terdapat dalam sistem peradilan negaranegara Kontinental termasuk Indonesia. Di sini hakim bebas, tidak terikat pada putusan hakim lain yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang sejenis. Hakim berfikir deduktif dari bunyi UU (umum) menuju ke peristiwa khusus dan akhirnya sampai pada putusan. Dalam penemuan hukum yang typis logistis atau heteronom, hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara mendasarkan pada faktor-faktor di luar dirinya.

Prototype penemuan hukum otonom terdapat dalam sistem peradilan Anglo Sakson yang menganut asas the binding force of precedent atau stare decisis et quita non movere. Di sini hakim terikat pada putusan hakim yang telah dijatuhkan mengenai perkara sejenis dengan yang akan diputus hakim ybs . Dalam sistim ini putusan hakim terdahulu mengikat, sehingga merupakan faktor di luar diri hakim yang akan memutuskan, tetapi hakim yang akan memutus itu menyatu dengan hakim yang terdahulu yang telah menjatuhkan putusan mengenai perkara yang sejenis dan dengan demikian putusan hakim

Hakim Anglo Saks berfikir secara induktif, berfikir dari peristiwa khusus yang satu ke peristiwa khusus yang lain. Akhirnya sampai putusan. Di sini hakim mengadakan reasoning by analogy. Pada penemuan hukum yang materiil yuridis atau otonom, hakim memeriksa dan memutus perkara menurut apresiasi pribadinya. Ia di bimbing oleh pandanganpandangan atau pikirannya sendiri. Di dalam perkembangannya dua sistem penemuan hukum itu saling mempengaruhi, sehingga penemuan hukum tidak lagi murni otonom dan murni heteronom. Bahkan ada kecenderungan ke

Pada umumnya para yuris dari kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dan metode konstruksi. Sebaliknya para yuris yang condong kepada sistem hukum Anglo Saxon membuat pemisahan secara tegas antara metode interpretasi dengan metode konstruksi berdasarkan argumentasi bahwa metode interpretasi hukum dilakukan dalam hal peraturannya ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit. Interpretasi terhadap teks peraturannyapun masih tetap berpegang pada bunyi teks itu.

Metode Penafsiran terdiri atas : 2. Interpretasi Gramatikal (menurut bahasa) 3. Interpretasi Historis 4. Interpretasi Sistematis 5. Interpretasi Sosiologis atau Teleologis 6. Interpretasi Komparatif 7. Interpretasi Futuristik 8. Interpretasi Restriktif 9. Interpretasi Ekstensif 10.Interpretasi Otentik atau secara resmi 11.Interpretasi Interdisipliner 12.Interpretasi Multidisipliner

Dalam sistem penemuan hukum di Indonesia, pembentuk UU tidak memprioritaskan kepada salah satu metode interpretasi tertentu. Hakim bebas menentukan metode interpretasi mana yang dianggap paling tepat, meyakinkan, dan memuaskan. Hakim dalam hal ini bersikap otonom dalam menentukan pilihannya. Bahkan putusan-putusan pengadilanpun, hakim tidak pernah menegaskan argumen atau alasan penggunaan metode interpretasi tertentu, bahkan tidak jarang digunakan metode interpretasi secara campur aduk atau lebih dari satu jenis. Putusan hakim yang didasarkan dengan pertimbangan hukum sesuai fakta yang terungkap di persidangan, sesuai undang-undang dan keyakinan hakim tanpa terpengaruh dari berbagai intervensi eksternal dan internal adalah suatu putusan hakim berkualitas yang dapat dipertanggung-jawabkan secara profesional kpd publik.

Contoh Penemuan Hukum : Ketetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 546/73 P tgl 14 November 1973 tentang perubahan jenis kelamin dari pria menjadi wanita. Permohonan ini belum ada diatur dalam UU. Untuk itu hakim melakukan penemuan hukum. Dasar pertimbangan hakim sangat tepat yaitu merupakan kenyataan seseorang yang hidup dalam masyarakat dimana terdapat dua jenis kelamin yaitu pria dan wanita terdapat lagi orang yang hidup diantara dua golongan tersebut. Untuk itu hakim juga meninjau dari segi agama yang dianut oleh pemohon yaitu Kristen Protestan yang menentukan bahwa perubahan kelamin tidak bertentangan dengan Agama Kristen Protestan apabila perubahan jenis kelamin tersebut merupakan jalan satu-satunya untuk menolong penderitaan agar ia dapat hidup secara wajar.

Dari kasus di atas dapat dikemukakan sbb : 2. Ketetapan Pgdilan Jakarta Barat dan Selatan pd tgl 14 Nov. 1973 adlh tepat. Meskipun prtran hk tertulisnya blm ada, ttpi hakim tlh menciptakan hukum sesuai dg kebutuhan. 3. Hakim tlh berbuat sesuai dg apa yg diperintahkan oleh ketentuan Psl 14 ayat (1) jo Psl 27 ayat (1) UU No. 14 Thn 1970. 4. Metode konstruksi hk sbg proses berfikir dlm menemukan atau menciptakan hk tlh dimanfaatkan oleh Hakim. 5. Dpt ditarik suatu asas bhw UU hanya menge nal dua pembgn jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan saja.

Sedangkan metode konstruksi hukum dilakukan dalam hal peraturannya memang tidak ada, jadi terdapat kekosongan hukum (rechtsvacuum) atau lebih tepat disebut kekosongan Undang-Undang (wet vacuum). Untuk mengisi kekosongan Undangundang ini, biasanya hakim menggunakan penalaran logisnya yang berupa metode analogi, metode argumentum a contrario, metode pengkonkritan hukum, dan fiksi hukum.

Metode Argumentum Per Analogium (Analogi) Dlm mtde ini, hakim mcari esensi yg lbh umum dr sebuah peristiwa hkm atau perbuatan hkm baik yg tlh diatur oleh UU maupun yg blm ada peraturannya. Contoh : Pasal 1576 “Jual beli tidak memutuskan hub. sewa menyewa. Dalam praktek Apakah hibah tdk memutuskan sewa menyewa. Hakim wjb melkkan penemuan hkm, krn peraturannya tdk mengatur mslh hibah. Langkah yg ditempuh hakim ialah mencari esensi dr jual beli yaitu peralihan hak. Hibah esensinya adlh juga peralihan hak. Dgn dmkn ditemukan jwbannya, bhw peralihan hak mrupkn “genus (peristiwa umum), sdgkan jual beli dan hibah msg-msg sbg spesiesnya (peristiwa khusus). Ksmplannya hibah jg tdk memutuskan sewa menyewa. Kasus ini menunjukkan digunakannya metode induksi, yaitu berfikir dari yang khusus ke yang umum. Dengan analogi, maka peristiwa yang serupa, sejenis, atau mirip dengan yang diatur dalam UU diperlakukan sama. 1.

Metode Argumentum a Contrario Metode ini memberikan kesempatan kepada hakim untuk menemukan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila UU menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Jadi esensinya mengedepankan cara penafsiran yang berlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang di hadapi dengan peristiwa yang diatur dalam UU. Pada metode argumentum a contrario ini titik berat diletakkan pada ketidaksamaan peristiwanya. Di sini diperlukan sisi negatifnya dari UU. 1.

Contoh : masa iddah bagi janda yang hendak kawin lagi yaitu 130 hari. Hakim menerapkan metode ini sehingga seorang duda tidak perlu menunggu waktu tertentu.

Metode Penyempitan/Pengkonkritan Hukum (Rechtsvervijnings). Bertuj utk mengkonkritkan/menyempitkan st atran hkm yg terlalu abstrak, luas, dan umum, spy dpt diterapkan thdp st prstw tertt.Cth : Psl 1365 KUHPdt, sblm thn 1919, pd waktu aliran legisme, hakim mengidentikkan perbuatan melawan hkm adlh perbuatan yg melanggar UU. Kmdn stlh keluarnya Ptsn HR 31 Januari 1919 dlm kasus Lindenbauw vs Cohen, tlh menyempitkan arti perbuatan melawan hukum itu, adlh berbuat atau tidak berbuat : 3. Melanggar hak subyek hukum lain. 4. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku 5. Bertentangan dengan nilai kepatutan yang seyogyanya diindahkan dalam kehidupan bersama terhadap integritas subyek hukum maupun harta bendanya. 1.

1.

Fiksi Hukum Metode penemuan hukum melalui fiksi hukum ini bersumber pada fase perkembangan hukum dalam periode menengah, yaitu setelah berakhirnya periode hukum primitif. Esensi fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan faktafakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi baru. Fungsi fiksi hukum di samping untuk memenuhi hasrat menciptakan stabilitas hukum, juga untuk mengisi kekosongan UU. Fiksi hukum itu bermaksud untuk mengatasi konflik antara tuntutantuntutan baru dengan sistem hukum yang ada.

Rudolph von Jhering menyebutkan ada 3 syarat utama untuk melakukan konstruksi hukum, yaitu :  konstruksi hukum harus mampu melihat semua bidang hukum positif.  dalam pembuatan konstruksi hukum tidak boleh ada pertentangan logis di dalamnya atau tidak boleh membantah dirinya sendiri.  konstruksi hukum mencerminkan faktor keindahan yaitu konstruksi hukum itu bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan konstruksi harus mampu memberikan gambaran yang jelas tentang sesuatu hal itu.

Pembentukan UU dewasa ini cenderung tidak kasuistis tetapi bersifat umum. Akibatnya terjadi pergeseran dari “hakim terikat” menjadi “hakim bebas”. Dari “Normgerechtigkeit” (keadilan menurut UU) ke arah “Einzelfallgerechtigkeit” (keadilan menurut hakim). Dari “systeemdenken” (berfikir dengan mengacu kepada sistem : system oriented) ke arah “probleemdenken” (berfikir dengan mengacu kepada masalahnya : problem oriented). Bukan hakim saja yang menyebabkan pergeseran dari bentuk penemuan

Antara penemuan hukum yang heteronom dengan otonom tidak ada batas yang tajam. Di dalam praktek penemuan hukum kita jumpai kedua unsur tersebut yaitu Heteronom dan otonom. Putusan pengadilan negara-negara Anglo Saks merupakan hasil penemuan hukum otonom sepanjang pembentukan peraturan dan penerapan peraturan itu dilakukan oleh hakim berdasarkan hati nuraninya, tetapi sekaligus juga bersifat heteronom karena hakim terikat pada putusan-putusan sebelumnya. Hukum Indonesia mengenal penemuan hukum heteronom sepanjang hakim terikat pada UU, tetapi penemuan hukum ini juga mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat, karena hakim seringkali harus menjelaskan atau melengkapi UU menurut pandangannya sendiri.

Putusan Hakim Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukum hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya. Ada kemungkinannya terjadi suatu peristiwa, yang meskipun sudah ada peraturan hukumnya namun berbeda penyelesaiannya. Untuk itu hakim harus mengetahui secara obyektif duduk perkaranya sebagai dasar untuk mengambil keputusan.

Peristiwa yang sebenarnya akan diketahui oleh hakim dari pembuktian. Dari pembuktian ini hakim dapat mengkonstatir peristiwa yang menjadi sengketa, selanjutnya hakim harus menentukan peraturan hukum yang menguasai sengketa antara kedua belah pihak. Hakim harus menemukan hukumnya, ia harus mengkualifisir peristiwa yang telah dianggapnya terbukti. Hakim dianggap tahu hukumnya (ius curia novit). Soal menemukan hukumnya adalah urusan hakim. Oleh karena itu hakim dalam mempertimbangkan keputusannya wajib karena jabatannya melengkapi alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan lagi oleh para pihak.

Hakim Dan Penafsiran Hakim merupakan wujud dan kepentingan lebih besar dari kebutuhan yang mendesak di negara-negara yang memilih hakim. Hakim pada dasarnya memainkan peran sentral dalam proses komunikasi di pengadilan yaitu melalui interpretasi. Interpretasi dimaksudkan untuk menjelaskan praktek sosial tertentu dan struktur terhadap tatanan nilai tertentu. Dworkin menyebutkan “ bilamana hukum merupakan konsep interpretip, ilmu hukum apapun yang ingin dianggap layak menyebut ilmu haruslah dibangun atas

Hakim tidak saja dituntut untuk memahami hukum yang telah dipositipkan, tetapi lebih dari itu hakim harus pula memahami makna yang terkandung di balik hukum yang telah dipositifkan tersebut (asas, nilai-nilai). Seorang hakim harus sadar akan ideologi dan subjektivitasnya sendiri, sehingga keduanya tidak akan mengintervensi proses interpretasi. Untuk mengungkap makna teks sebuah aturan tertentu, hakim harus mulai dengan pembacaan awal, yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan analitis, agar kunci dan gagasan-gagasan sentral

Melalui gagasan-gagasan sentral ini hakim diharapkan dapat menemukan makna yang tersembunyi dan mengembangkan makna-makna baru. Hakim harus membaca secara kontekstual artinya hakim harus memiliki kreativitas untuk membaca realitas faktual dan “realitas simbolis”. Karena harus diakui bahwa proses interpretasi juga sebuah proses dekoding yang tiada henti, dimana penafsir harus memperhatikan atau mempertimbangkan makna sosio kultural kontekstual dengan menggunakan kritik historis.

Seorang hakim juga harus memperhatikan bahwa level makna yang dapat dicapai memiliki tingkatantingkatan tertentu, ada level metafor dan ada level yang hakiki. Untuk mengungkap ketiga makna tersebut hakim harus mencoba untuk berfikir transseden, kritis dan progresif . Transeden berarti optimalisasi nurani dalam melakukan penafsiran. Kritis adalah penggunaan nalar namun tidak bersifat “take for granted”. Progresif adalah upaya untuk terus menemukan makna-makna baru dan tidak terbelnggu oleh makna absolut. UU bagi seorang hakim hanyalah teks yang belum selesai

Hakim, Pengadilan dan Perselisihan Keputusan hakim di pengadilan akan menjadi pusat dari sistem hukum. Sistem hukum akan selalu bergantung pada bagaimana konsepkonsep yang relevan didefinisikan. Dalam masyarakat Barat, apa yang ditulis sebagai “proses pengadilan” dapat diidentifikasi sebagai kerangka penjelasan dari praktek kelembagaan hukum. Dalam pemikiran hukum Anglo Amerika, disebutkan bahwa esensi hukum di dalam sistem hukum adalah seberapa jauh proses

Ehrlich menyatakan bahwa pusat dari seluruh kehidupan hukum bukanlah terletak di ruang sidang namun Blackstone menyebutkan hakim adalah tempat penyimpanan hukum, yaitu ‘orang bijak yang hidup”. Oliver Wendell mendefinisikan hukum lebih bersifat polemis, yaitu sebagai kebijakankebijakan dari apa yang akan diputuskan dalam sidang (Holems dalam Roger Cotterell, 1992 : 205). Pernyataan Holmes sangat membantu untuk menentukan sebuah kebiasaan dalam pemikiran “realisme hukum” di Amerika, dimana hukum harus dipahami dalam bentuknya

John Chipman Gray, bahwa UU dibuat oleh pembuat UU bukanlah hukum, namun hanyalah sumber hukum, karena makna serta dampak dari hukum itu sendiri ditetapkan hanya pada saat hukum itu telah dipertimbangkan dalam kasus sebelum sidang itu dimulai. Keputusan hakimlah yang merupakan hukum itu sendiri. Pandangan-pandangan seperti ini dipengaruhi karakter khas sistem hukum Amerika. Pemisahan formal antara badan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam konstitusi Amerika Serikat didukung oleh tradisi politik yang kuat bersamaan dengan adanya tradisi dari hukum di Inggris dan sebuah profesi hukum yang sangat independen, membantu menciptakan kondisi strata tertinggi dari

Di Inggris juga, badan yudikatif dipilih dari tingkatan dan gambaran status dari sebuah profesi hukum independen, dan dimana doktrin hukum masih menggambarkan prinsip serta konsep fundamental yang berakar dalam tradisi hukum secara umum dari hukum yang dibuat oleh hakim, kesamaan status yang tinggi dari para hakim berhubungan dengan sentralitas pemahaman mereka sebagai

Becker menekankan keadilan atau sikap tidak memihak sangatlah penting bagi eksistensi pengadilan atau sebagai “jantung utama dari proses hukum”. Pusat dari doktrin dalam proses hukum, perselisihan merupakan justifikasi dan fokus kerja pengadilan, serta independensi dari aktivitas hukum, sebagai landasan keberadaan pengadilan. Pentingnya kebebasan dalam pandangan tradisional tentang hukum dan pengadilan dijelaskan oleh seorang pengacara Amerika, Henry Lumis; “saat sebuah keputusan dikendalikan atau dipengaruhi oleh apapun dari luar atau bentuk pengaruh ataupun tekanan eksternal, saat itulah pengadilan tidak

“seseorang yang mengambil keputusan dengan didasari atau dipengaruhi oleh pemikiran orang lain, bukanlah seorang hakim. Pengadilan harus bebas dari intimidasi, kendali, maupun pengaruh, di luar itu tidak ada lagi yang disebut sebagai pengadilan. Martin Saphiro menjelaskan bentuk ideal pengadilan terdiri dari 4 elemen yaitu : 3. Hakim yang independen 4. Menggunakan norma-norma yang telah ada sebelumnya 5. Mencari cara kerja lawan 6. Untuk mencapai sebuah keputusan dikotomi dimana satu dari kelompok yang berselisih dinyatakan benar

Saphiro menyebutkan bahwa tidak ada satupun dari elemen-elemen diatas yang tetap berlaku bagi seluruh sistem hukum utama untuk seluruh lingkup masyarakat kontemporer dan historik. Pengadilan Inggris menikmati kebebasan yang besar dari campur tangan pemerintah dalam kasuskasus tertentu, meski pemerintah tetap tidak ragu-ragu untuk memutar balikan sejumlah keputusan pengadilan yang telah

Hermeneutika hukum sebagai teori penemuan hukum baru Hans Georg Gadamer dalam Bukunya “Truth and Method” mengilustrasikan pada mulanya hermeneutika berkembang di bawah pengaruh inspirasi ilmu hukum sebagaimana diresepsi oleh kodifikasi Yustisianus (Corpus Iuris Iustiniani) dari abad ke enam sesudah kristus. Di Italia pada abad ke 12 timbul kebutuhan pada suatu metode yang membuat teks-teks yudisial yang berlaku dari suatu periode historikal terdahulu lewat interpretasi dapat diterapkan untuk suatu jenis (tipe) masyarakat yang sama sekali berbeda. Selanjutnya hermeneutika diperluas dari penafsiran teks mjd suatu metode utk dpt menginterpretasi perilaku manusia pd umumnya.

Seperti ciri khas aliran hukum Eropa Kontinental, pembuatan kodifikasi di Prussia (abad XVIII), Code Napoleon di Perancis (1804), Belanda (1838), Jerman (1896, tetapi berlaku 1 Januari 1900), Swiss (abad ke XX). Setelah kodifikasi, pemikiran dan perkembangan hukum menjadi semakin sempit dan kaku, karena mereka bangga dengan kodifikasinya sehingga tidak perlu lagi mempelajari UU dan hukum dari negara lain. Sistem Hukum Eropa Kontinental ditandai oleh model pemikiran abstrak yang melahirkan konsep-konsep hukum abstrak, terkonsep dengan baik seperti dalam Kitab-kitab Undangundang, dengan konsep yuridis yang sistematis,

Dalam sistem hukum Anglo Saxon, melakukan pendekatan secara induktif, dengan mengandalkan putusan-putusan hakim, tanpa mengedepankan Undangundang, dan tidak memiliki Kitab UndangUndang, sehingga para pemikir-pemikir hukum dalam sistem hukum Anglo saxon adalah para hakim. Sedangkan dalam sistem Eropa Kontinental adalah para Profesor dan Universitas, dan dalam sistem hukum Anglo Saxon, hukum dianalisis tidak secara abstrak, tetapi secara konkrit, berdasarkan atas pengalaman dan kasus-kasus tanpa terlalu banyak melakukan generalisasi,

Gadamer memprediksikan bahwa hermeneutika sebagai sebuah fenomena pemahaman dan penafsiran yang benar terhadap apa yang dipahami bukan hanya merupakan masalah yang cocok bagi methodologi ilmu pengetahuan kemanusiaan (humaniora). Dalam perkembangan ilmu hukum di Inggris, menurut Peter Goodrich, sejarah hermeneutika hukum mulai berkembang sejak abad ke 16. ia mulai muncul sebagai hasil dari serangkaian faktor sosial eksternal dalam perkembangan ilmu hukum, termasuk perkembangan dunia percetakan dan penerjemahan kitab Injil. Realitas sejarah ini dibenarkan Francis Lieber dlm “Legal and Political Hermeneutics” (1938)

Paradigma hermeneutika dalam ilmu hukum mengalami perkembangan pesat dan signifikan baru di era abad ke 20. hermeneutika hukum hadir mengambil posisi tengah antara dua tendensi (kecenderungan) yang saling berlawanan dan inhern dalam pandangan dunia secara ilmiah atau pandangan ilmiah tentang dunia (scientific worldview) wetenschappelijk wereldbeeld) yaitu antara “tendensi nihilistik” dengan “tendensi Emansipatorik” di satu pihak. Di pihak lain hermeneutika hukum juga berada pada posisi antara aliran filsafat “positivisme logikal” dengan “rationalisme kritikal”.

Positivisme logikal (termasuk tendensi nihilistik) dan rsionalisme Kritikal (termasuk Emansipatorik) keduanya mempropagandakan ideal ketunggalan ilmu berdasarkan keilmu-alaman. Para penentangnya memaparkan bahwa sesungguhnya metode keilmu-alaman tidak memadai untuk mempelajari prilaku manusia. Karena itu ilmu-ilmu sosial akan mensyaratkan suatu jenis metode tersendiri, yakni metode mengerti atau memahami (verstehen) dengan menginterpretasi, atau disebut juga hermeneutika.

Pengadilan dan Penafsiran Harry Bredemer (Law as an Integrative Mechanism) : “hukum itu bagi kebanyakan orang merupakan sesuatu yang sedapat mungkin dihindari saja”. Menghadapi kondisi hukum, Satjipto Rahardjo : Perubahan prilaku dan pikiran hakim lebih diperlukan daripada “perubahan hukum”. Keadilan yang bisa diberikan pengadilan selama ini masih terbatas kepada keadilan formal prosedural, sehingga tepat dikatakan masa ini adlh masa kegelapan pengadilan dlm penyelesaian perkara. Pengadilan lupa bahwa pasar keadilan terletak pada adanya kaidah yang telah diresapi masyarakat serta adanya tekanan psikologik antar sesama warga masyarakat, bukanya pada pasal-pasal peraturan yang tertulis yang dibuat secara formil (Edwin M. Schur, 1967, 127 – 135)

Hakim Brandeis : Hakim lebih peduli menyelesaikan perkara berdasarkan rule of law daripada menyelesaikannya dengan benar dan adil. Apabila prosedur formal menjadi tujuan utama, maka dapat dipastikan bahwa pihak yang merasa dirugikan akan menolak untuk menyelesaikan perkara melalui pengadilan. Wajah pengadilan harus dinilai berdasarkan tiga kriteria : Efektivitas, Efisiensi, Kejujuran. Efektivitas : Apakah pengadilan mencapai tujuan untuk apa didirikan. Efisiensi : Pembiayaan dari apa yang dilakukan pengadilan dihubungkan dengan apa yang mereka capai. Kejujuran : Bagaimana pengadilan memperlakukan masyarakat dengan sepantasnya, secara hukum dan moral, tanpa mengindahkan keefektivan mereka dalam memutus perkara atau efisiensi

Pengadilan dan Distorsi Komunikasi Distorsi komunikasi merupakan tidak terserapnya infromasi keadilan secara timbal balik di antara pengadilan, media dan masyarakat. Distorsi muncul ketika media mencoba menampilkan berita keadilan dengan gaya bahasa yang kurang disenangi pengadilan. Menurut pengadilan, media telah memutar balikan fakta, dan tidak menjelaskan segala sesuatu apa adanya. Menurut Media, pengadilan adalah lembaga sehari-hari yang dapat dieksploitasi untuk konsumsi publik. Kenyataanya pngadilan ditentukan oleh Opini umum. (AV. Dicey, 1905), artinya pengadilan akan terlaksana atas dasar kekuatan opini,

Hal ini di dasarkan atas : 2. Hukum dalam masyarakat secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang ke dalam merangkum bagianbagian yang saling berserasi dan keluar berada di dalam keadaan yang berserasi dengan keseluruhan jaringan hubungan intern yang ada, berati hukum berada dalam keseluruhan masyarakat . 3. Hukum merupakan suatu unsur yang merembes serta memasuki setiap pranata sosial yang ada dan selanjutnya selalu memainkan peranan yang

Edwin Sutherland : Apabila kekuatan mores telah mencukupi, adanya hukum tidaklah akan diperlukan, sedang apabila kekuatan mores tidak mencukupi, hukum pastilah tidak akan efektif. Ronald Dworkin : Hal di atas menyangkut ketidak sepahaman yang mungkin terjadi baik dalam UU maupun berdasarkan fakta yang terjadi. Hakim, Jaksa dan Advokat kadang berdebat untuk satu “kata” yang mungkin tidak bermakna secara teoritis. Bisa terjadi problem yang dihadapi pengadilan tidak dapat ditangkap dan tidak dipahami masyarakat. Ttp masyarakat dan media, lbh menunggu out put, bgmn pengadilan menangani kasus-kasus besar, menemukan hukum, membentuk/menciptakan hukum dan

Dworkin : Pandangan masyarakat tentang hukum bahwa hukum itu semata-mata adalah fakta sederhana sementara pengadilan telah memutus berdasar kepada pertimbangan hukum yang sudah ada, sementara masyarakat dan media tidak menyukai cara ini. Pengadilan merupakan sesuatu yang misterius, dan hakim dapat mengatakan bahwa memutus adalah sebuah seni bukan ilmu dan bahwa hakim yang baik adalah mereka yang mampu mengkombinasikan penafsiran, ketrampilan, kebijakan politik dan pemahaman tentang peran dirinya sebagai hakim, ke dalam suatu putusan intuitif, bahwa dia melihat hukum lebih baik dari yang dipersangkakan.

Related Documents

Penemuan Hukum
May 2020 16
Penemuan Radiasi.docx
December 2019 21
Penemuan Hukum.docx
April 2020 16
Hukum
June 2020 34
Hukum
November 2019 62