Pemuda Bergerak.docx

  • Uploaded by: Abimanyu Nggayuh Dewi
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pemuda Bergerak.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 20,029
  • Pages: 116
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara Buku Laris

Fitroh Nurwijoyo Legowo Pengantar: GKR Mangkubumi

DEWAN PENGURUS DAERAH

KOMITE NASIONAL PEMUDA INDONESIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Fitroh Nurwijoyo Legowo

Pengantar GKR Mangkubumi Ketua Majelis Pemuda Indonesia DPD KNPI DIY 2015 - 2018

DEWAN PENGURUS DAERAH

KOMITE NASIONAL PEMUDA INDONESIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Pemuda

Bergerak;

Mencapai Kejayaan Nusantara Hak Cipta © Fitroh Nurwijoyo Legowo Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia Oleh DPD KNPI DIY, Januari 2016 http://knpidiy.com Email: [email protected]

Penulis: Fitroh Nurwijoyo Legowo Pengantar: GKR Mangkubumi Penyunting: Arjuna Putra Aldiano Rancang Sampul: JPB Artwork

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyakn sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara Cetakan

2

Yogyakarta: DPD KNPI DIY, 2016 xii + 132 halaman; 14 x 20 cm ISBN: 978-602-74129-0-3

“... Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya.., bangsa pelaut dalam arti kata Cakrawati Samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga dan armada militer, yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri..” - Bung Karno dalam peresmian Institute Angkatan Laut, 1953 -

Sebuah Pengantar

Di masa kini, KNPI mungkin bisa disebut sebagai sebuah The Other, Sang Liyan (Liyaning Liyan) yang kehadirannya menjadi ikhwal yang kontroversial. Banyak yang mempertanyakan bahkan menggugat kedudukan dan keberadaannya. Pandangan yang kerapkali muncul selalu mengatakan bahwa ia lahir dari sebuah rahim “korporatisme negara”. Namun apapun itu, buku ini mengajarkan kita untuk sinau melihat dari sisi yang tak pernah dilihat sebagai sisi. Memandang dari sudut yang tak pernah diambil sebagai sebuah jarak pandang. Ia mengajarkan kita tentang sebuah “tatapan”, tatapan yang kerap membawa pikiran bahkan tindakan kita akan hal ikhwal. Dari buku ini pula, kita bisa belajar bahwa sejarah tak bisa selesai dalam satu tarikan nafas. Ia harus selalu mendapat tafsiran dan tempaan yang membebaskan dan juga membawa pada keutuhan cara pandang. Sehingga ia

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

tak berhenti menjadi “guneman” yang menutup cakrawala yang lain, namun ia dihadirkan kembali menjadi sebuah “harapan”. Dengan itu, kita memperlakukan sejarah sebagai “kaca benggala”. Bukan menjadi “paranoid” yang menghambat datangnya masa depan yang membebaskan. Dari buku ini pula, kita bisa belajar bahwa dunia mulai berubah, dan kita pun sebagai organisasi kepemudaan harus juga berubah. Berubah dalam hal cara kerja, cara menangani, cara berfikir dan cara merasa kenyataan di sekeliling kita. Ternyata zaman itu bergerak. Dan pemuda pun harus juga bergerak mengikuti ritme perubahan zaman. Dituliskan dalam buku ini, bahwa zaman bergerak dari samudera Atlantik utara sana, menuju ke samudera Pasifik. Dalam pandangan Pramoedya Ananta Toer fenomena ini disebut sebagai sebuah epos “Arus Balik”. Arus Balik yang singasananya hadir di tempat kita dilahirkan, tempat kita bergulat dan tempat kita mengerti tentang kehidupan yakni Indonesia, yang sebagian besar wilayahnya berada di Asia Pasifik. Jika dalam Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer, bahwa Arus Balik itu membuat Jawa bahkan Nusantara mundur ke sebuah peradaban yang terendah dari sebelumnya. Bahkan di dalam buku ini pun dibahas bahwa ditambah kehadiran kolonial telah membawa perspektif yang baru, yang bertentangan dengan alam pikir masyarakat Nusantara, yakni perspektif kontinental. Perspektif ini bukan hanya tak sesuai namun menimbulkan berbagai masalah pengelolaan di berbagai sektor, yang membuat bangsa ini hingga sekarang mengidap simptom “salah kelola” dalam membangun segenap aspek kehidupan

vi

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

berbangsa dan bernegara. Namun penyakit salah kelola itu tak disadari oleh kita. Karena ia ditanamkan selama tiga setengah abad. Dalam bahasa penulis, ia merupakan proses “Colony Complex” yang ditanamkan di dalam alam bawah sadar kita. Bahkan proses “Colony Complex” itu melahirkan “krisis identitas” yang semakin menjauhkan alam pikir kita dari bumi yang kita pijak. Alih-alih untuk menemukan kembali identitas yang hilang, banyak dari kita yang justru terjerembab pada upaya mimikri yakni melakukan peniruan wacana kolonial. Seperti apa yang dikatakan penulis, mimikri mengakibatkan identitas menjadi timpang dan tidak sempurna. Pembentukan identitas “mirip namun tidak sama” ini selalu berada dalam ketegangan antara harapan untuk memposisikan diri sebagai bagian dari masyarakat dunia dan dihormati dengan kenyataan pahit akan selalu diposisikan sebagai masyarakat inferior di mata masyarakat Barat sendiri. Upaya ini bukan malah membantu kita menemukan kembali identitas yang hilang malah justru mengakibatkan krisis identitas yang berkepanjangan. Bentuk “mirip namun tidak sama” tak bisa menjadi sumber identitas dan penegasan jati diri, ia selalu dirundung anomali dan membuat kita selalu dihantui bahkan terjatuh ke dalam pusaran mimang. Oleh karena itu, Renaisans Yogyakarta menjadi peluang sebagai proses penemuan kembali jati diri. Dalam bahasa penulis, Renaisans Yogyakarta adalah sebuah frase “menuju ke sana” yakni sebuah proses transisi yang harus kita lalui untuk menuju era kelahiran kembali, kebangkitan kembali. Kebangkitan kita dari

vii

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

keterpurukan dan keterkungkungan “Colony Complex”. Dan keistimewaan Yogyakarta kita tempatkan sebagai sebuah “rumah”, yakni tempat dimana kita kembali. Tempat dimana kita memperoleh identitas dan keberadaan eksistensial. Seperti apa yang dikatakan penulis, bahwa globalisasi tidak memiliki tanah terjanji atau promised land, karena sekali-kali ia bukan konsep tentang tempat, place atau territory. Sehingga kita memerlukan tempat dimana sumber identitas bisa diperoleh, dalam hal ini ialah keistimewaan Yogyakarta itu sendiri. Disinilah peranan pemuda menjadi penting, yakni sebagai eksponen yang membangun jembatan kultural untuk mempertautkan semangat renaisans dan modernitas dengan tradisi kearifan masa lampau (keistimewaan Yogyakarta). Penulis memberikan contoh peranan pemuda di Jerman di era Third Reich, dimana gerakan renaisans dirumuskan dalam suatu kesinambungan yang hidup dengan kejayaan kerajaan Prusia yang mendahuluinya. Disinilah kesinambungan antara identitas kultural (keistimewaan Yogyakarta) dengan gerakan Renaisans menemui titik pangkal bersama, yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Namun untuk menjadi “jembatan kultural” itu, sekiranya kaum muda perlu meningkatkan kapabilitas dirinya agar mampu benar-benar menjadi jembatan yang siap mempertautkan dua agenda besar membangun identitas dan subjektivitas manusia Indonesia. Dalam buku ini, penulis menawarkan konsepsi “Power of Knowledge” sebagai sebuah upaya meningkatkan kapabilitas kaum muda saat ini. Dalam pengertian, modal intelektual didudukkan di tempat

viii

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

strategis dalam konteks kinerja atau kemajuan suatu organisasi. Kekuatan tak lagi mengandalkan uang atau kedekatan personal seperti yang lazim dilakukan. Namun ia bertumpu pada pengetahuan, yakni pengetahuan sebagai sebuah kekuatan guna menghadapi tantangan zaman. Untuk itu perlu sekiranya buku ini mendapatkan perhatian dari generasi muda di zaman ini. Ia mengajak kita untuk belajar bersama tentang arti sebuah peranan dan menjawab tantangan zaman. Buku ini cukup membuka dialog dan membuka cakrawala untuk siap d i d i s ku s i ka n b e rs a m a , d i p e rd e b a t ka n . B a h ka n direkonstruksi ulang melalui penafsiran kita. Penulis pun tak bisa menetapkan makna untuk linear bila dipahami oleh para pembaca. Makna menjadi milik para peminat buku ini. Dan ide sang penulis pun menjadi layaknya seperti tinta yang sudah terlanjur tertuang dan tak bisa lagi digenggam mutlak untuk tak bergerak. Tak ada gading yang tak retak. Sebagai sebuah karya, apa yang tertuang dalam tulisan ini pasti tak lahir dari ruang kosong, tak bisa terlepas dari dimensi kesejarahan pula. Sehingga karenanya ia selalu terbuka dan siap untuk didialogkan bahkan diperiksa ulang. Selamat Membaca..!!! Yogyakarta, Februari 2016

GKR Mangkubumi

ix

Daftar Isi Halaman Judul Sebuah Pengantar DaGar Isi Kata Pengantar Dunia yang Bergolak KNPI : Mimpi Para Pemuda Menyelami Kembali Keistimewaan Tahta Untuk Rakyat Pisowanan Ageng dan Demokrasi Deliberatif Renaissance Yogyakarta Arus Balik : Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara? Krisis Identitas yang Berkepanjangan Renaissance Yogyakarta : Menempatkan Timur sebagai Subjek? Renaissance Yogyakarta dan Gerakan Kita Kegagalan Modernitas dan Kegagapan Kita Menjadijan Renaissance Yogyakarta sebagai Gerakan Kodifikasi dan Sistematisasi

i v xi 1 3 11 24 27 30 35 39 43 47 51 51 56 58

Pemuda Istimewa Pemuda Bergerak Intelektual Organum : Menyongsong Renaissance, Menyambut Keistimewaan Power of Knowledge : Agenda Peningkatan Kapabilitas Mencapai Kejayaan Nusantara Menentukan Arah Gerak DaGar Pustaka

xii

63 64 71 77 85 97

Kata Pengantar

Pada edisi kedua buku ini, penulis tidak mengubah apapun. Semua isinya sama, hanya berbeda pada cover depan saja. Hal ini sengaja dilakukan oleh penulis atas permintaan orang-orang yang merasa buku ini layak untuk diterbitkan kembali, sebab, baru pada Januari 2016 terbit barengan dengan pelantikan pengurus DPD KNPI DIY periode 2015-2018, buku yang dicetak sebanyak 500 eksemplar telah ludes. Banyak kader KNPI dari berbagai daerah yang menginginkan buku ini, sehingga dirasa perlu untuk akhirnya diterbitkan kembali. Hadirnya buku Pemuda bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara diharapkan tidak hanya selesai pada ranah analisis saja, melainkan juga pada praksis. Sehingga judul buku tersebut tidak menjadi artefak belaka, tetapi dapat menjadi semangat bersama untuk mengembalikan

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

kejayaan Nusantara seperti pada masa Sriwijaya dan Majapahit. Tidak perlu berlama-lama, mari kita berdialektika bersama untuk menemukan sintesis sebagai landasan gerak menuju Kejayaan Nusantara. Yogyakarta, 20 Februari 2016

Fitroh Nurwijoyo Legowo

2

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Dunia yang Bergolak

Dipermulaan abad 21 ini, tahun 2008 ialah tahun yang penuh dengan fenomena dramatis. Kejatuhan bursa keuangan pada tahun 2008 memicu serangkaian krisis yang berpotensi untuk mengubah dunia sebagaimana yang kita kenal selama ini. Jutaan orang di seluruh dunia telah kehilangan pekerjaan, rumah dan tabungannya. Kelayakan kredit Amerika Serikat, Prancis, Inggris dan Jepang, negara-negara inti di orde ekonomi dunia, mulai dipertanyakan. Masyarakat Eropa Selatan tercekik penghematan. Amerika, Eropa,dan Timur Tengah bergejolak. Hingga Agustus 2008, dampak krisis mengakibatkan jumlah penganggur di Inggris melejit menjadi 1,79 juta orang atau 5,7 persen dari angkatan kerja. Menurut International Labour Organization, inilah tingkat pengangguran terparah sejak Juli 1991. Pelaku utama sektor industri dan manufaktur di AS seperti

3

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

raksasa General Motors dan ritel elektronik Circuit City serta Wall Street dan afiliasinya harus menelan pil pahit krisis. Amerika Serikat dan Eropa, negara-negara kapitalis dunia dibayang-bayangi kebangkrutan dan jeratan hutang. Disinilah muncul diskursus pada banyak kalangan yangmenyimpulkan bahwa Amerika Serikat tengah mengalami kemunduran pengaruh secara perlahan dalam jangka panjang. Dan krisis keuangan global 2008 merupakan sinyal dari berakhirnya model keuangan kapitalisme AS. Namun di lain sisi, meskipun terjadi krisis keuangan global, China justru mengalami pertumbuhan dalam bidang perbankan. Pada tahun 2008, bank-bank di AS dan negara-negara Eropa mengalami badai keuangan terburuk semenjak era the Great Depression. Kondisi tersebut tidak terjadi pada perbankan di China. Industrial and Commercial Bank of China, yang sekarang merupakan bank dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia, membukukan peningkatan 35,2 persen keuntungan bersih sebesar 111,2 miliar Renmimbi atau sekitar 16,26 miliar dolar AS. Kemudian, China Construction Bank, yang merupakan bank terbesar kedua, mengalami peningkatan 33,99 persen keuntungan bersih sebesar 92,64 miliar Renmimbi. Sementara itu, Bank of China mengalami peningkatan 14,42 keuntungan bersih sebesar 64,36 miliar Renmimbi. Bank-bank lain di seluruh dunia tidak ada yang mengalami peningkatan sebesar bank-bank tersebut di atas. Dalam kondisi krisis keuangan yang tidak menentu, bank-bank di China justru terus melanjutkan peningkatan yang luar biasa.

4

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Sekalipun ikut terpukul oleh krisis finansial global, China diyakini tidak akan limbung. Produk-produknya yang murah dengan mutu yang cenderung meningkat dipastikan akan menjadi pilihan belanja masyarakat global di tengah amukan krisis finansial tersebut. China hari ini adalah kekuatan ekonomi yang tak bisa diremehkan, yang menguasai sepertiga cadangan devisa dunia dan relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi global. Dengan cadangan devisanya yang mencapai lebih dari 1,9 triliun dolar AS, China dapat berbuat banyak guna menata perekonomian global. Pada akhirnya, kita tidak mungkin memungkiri kenyataan bahwa China hari ini adalah pesaing sah Amerika Serikat. Ekonomi China kini telah mampu menandingi ekonomi pasar AS. Bahkan kini konsumenkonsumen di AS menjadi pasar utama bagi produk China, sehingga menjelang 2008, lebih dari 10 persen barang impor AS berasal dari China. Pada tahun 2008, China menyumbang hampir sepertiga dari defisit perdagangan AS. Seiring dengan perkembangan pesat perekonomian China, keperkasaan AS di bidang ekonomi ternyata semakin surut. Banyak pengamat melihat bahwa kemunduruan ekonomi AS dewasa ini sebagian dari pergerseran historis (historical shiƒ) yang menandai telah berakhirnya “Abad Amerika” (American Century). Dalam hal ini, Jeffrey Sach menyatakan bahwa dominasi AS di dunia akan segera berakhir pada kuartal kedua abad ke-21, ketika Asia menggeser AS sebagai pusat gravitasi ekonomi dunia. Situasi yang dihadapi AS kini sering digambarkan mirip dengan yang dialami Inggris di awal abad ke-20, yang perlahan namun pasti surut dari

5

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

posisinya sebagai kekuatan hegemoni global. Di bidang militer, AS tetap akan merupakan kekuatan terbesar, namun di bidang ekonomi dan politik peran AS akan semakin menurun. Dalam dunia “Pasca-Amerika”, dunia tidak terbelah dalam kubu-kubu yang bermusuhan seperti halnya di era Perang Dingin, tetapi interconnected dan saling tergantung satu sama lain. Bersama negara-negara lain, seperti India dan Brazil, China akan tetap memperhitungkan posisi AS, namun lebih sulit bagi AS u nt u k m e n e m p u h j a l u r u n i l ate ra l s e p e r ti ya n g diperagakan dalam serangan Bush ke Irak. Kemunduran finansial AS yang berdampak pada krisis finansial global juga banyak dilihat sebagai bentuk kegagalan ekonomi neoliberal model Anglo-Saxon. Model ekonomi China disebut oleh Joseph Stiglitz dan kawan-kawan sebagai contoh keberhasilan dalam melakukan investasi strategis di bidang infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan yang stabil. Model ekonomi China ini juga banyak disebutsebut oleh media massa internasional sebagai sebuah contoh keberhasilan dari state basic yang akan banyak ditiru setelah kegagalan dari model Anglo-Saxon untuk membendung krisis finansial. Kenyataan ini juga menandakan bahwa pusat kegiatan ekonomi dunia sejak akhir abad-20 telah mengalami pergeseran dari Poros Atlantik ke Poros AsiaPasifik. Hampir 70% total perdagangan dunia saat ini berlangsung diantara negara-negara di Asia-Pasifik, wilayah yang diperkirakan memiliki ekonomi paling progresif di dunia. Beberapa pemikir Geopolitik dari Eropa dan Amerika menyebut pergeseran ini sebagai ”the end of

6

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

the Atlantic era”. Ini juga didukung oleh pandangan Robert D. Kaplan, dimana menurutnya fokus analisa geopolitik telah bergeser dari Eropa ke Asia. Ditambah kawasan Asia Pasifik telah muncul sebagai salah satu pusat strategis maritim dunia di abad ke 21 ini. Negara-negara Asia Pasifik adalah negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bahkan mungkin tertinggi di dunia saat ini, mengalahkan Amerika Serikat dan Eropa Barat. Bahkan kita bisa melihat bahwa perdagangan dunia, baik itu Timur-Barat dan mayoritas perdagangan dunia, semua berasal dari Asia. Bahkan perdagangan intra-Asia adalah yang terbesar, berikutnya adalah perdagangan TransPasifik dimana hampir mencapai 4 (empat) kali lipat dari perdagangan Amerika Serikat dan seluruh Eropa. Indonesia adalah jalur laut yang paling strategis yang bisa menghubungkan antara dua samudera penting di dunia yaitu Samudera India dan Samudera Pasifik di era perdagangan Trans-Pasifik. Maka tidaklah mengherankan jika Robert D. Kaplan menyebut Indonesia sebagai The Heart of Maritime Asia yang merupakan choke point paling vital dalam perdagangan dunia saat ini, dimana posisi kita telah mempertemukan Samudera India dan Pasifik Barat. Lokasi regionalnya merupakan jalur persimpangan (crossroad) antara konsentrasi industri, teknologi dan militer di Asia Timur laut, sub benua India dan sumber minyak di Timur Tengah, Australia dan Pasifik Tenggara. Rute perdagangan dari samudera India menuju samudera Pasifik akan menjadikan Indonesia sebagai rute tercepat di antara dua samudera ini. Sebagai ilustrasi, bila ada enam kapal tanker konvensional berlayar pulang – pergi dari

7

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Jepang ke Teluk Persia, tidak boleh melalui perairan Indonesia, maka memutar lewat Australia akan menambah jarak 5.800 mil laut, menunda kedatangan kapal-kapal tersebut selama 16 hari, dan menambah biaya tambahan bahan bakar sebesar 2,9 juta US dollar. Maka harus diakui selain rute terpendek, perairan Indonesia juga menyediakan biaya paling murah dalam dunia transportasi maritim. Dari Samudera India yang luas, puluhan kapalkapal supertanker raksasa dari sumur-sumur minyak di Teluk Persia akan melalui pos-pos pengintaian dan instalasi jaringan di perairan Indonesia yang sebagian besar mengelilingi Selat Malaka yang lebarnya enam mil. Menuju Pusan, Yokohama, dan semakin banyak ke Shanghai; di kawasan Samudera Pasifik Barat; dengan muatan lebih dari lima belas juta barel tiap hari (hampir 20% konsumsi dunia). Ketika kapal-kapal super tanker raksasa mengarahkan pelayarannya ke Timur, alternatif tercepat adalah melalui Selat Malaka. Berdasarkan data dari Energy Information Administration (EIA), pada tahun 2008 diperkirakan sekitar 18 juta barrel minyak mentah per hari melintasi Selat Malaka menuju Asia Timur Laut. Total pengiriman minyak yang melintasi Selat ini tiga kali lebih besar dari Terusan Suez dan lima belas kali lebih besar dari Terusan Panama. Berangkat dari perkembangan lingkungan strategis di abad 21 inilah, tantangan bangsa Indonesia menjadi sangat kritis. Di sisi lain banyaknya n e g a ra p e m e g a n g ke p e n ti n g a n ( s t a ke h o l d e r s ) mendambakan untuk memiliki kontrol pada Indonesia atau setidaknya memiliki 'commanding power' atas nama

8

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

the quest of energy security. Hal ini telah membuat Indonesia menjelma menjadi layaknya arena bagi kompetisi kekuatan negara-negara besar. Kita harus sadar akan itu.

9

KNPI : Mimpi Para Pemuda

Dimana ada pemuda, disitulah tersimpan harapan akan perubahan. Di tangan pemuda, dunia seringkali menghadapi masa-masa yang tak terduga. Mungkin pernyataan ini cenderung terlihat berlebih, namun kenyataan di dunia membenarkan pernyataan itu. Di Prancis, misalnya, gerakan pemuda, terutama mahasiswa yang bergejolak di bulan Mei 1968 yang kemudian terkenal dengan istilah “revolusi mahasiswa” hampir saja menumbangkan Jenderal De Gaulle di pucuk kekuasaan. Meskipun tergolong “revolusi” yang gagal, tapi gerakan mahasiswa di Perancis ini merupakan gerakan politik mahasiswa pertama yang berhasil menebarkan wacana tentang kebebasan dan demokratisasi. Mungkin kita terlampau jauh, melupakan peranan pemuda di dalam roda sejarah yang lebih lampau. Amerika Latin adalah pemberi contoh terbaik bagaimana pemuda

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

berperan penting dalam kehidupan bernegara. Aksi-aksi mereka diawali dari adanya Manifesto Cordoba di Argentina pada tahun 1918. Manifesto Cordoba menjadi deklarasi hak pemuda (mahasiswa) yang pertama di dunia, dan sejak itu pemuda di sana memainkan peran yang konstan dan militan dalam kehidupan politik. Namun di negeri kita sendiri sebenarnya apa yang disebut “pergerakan pemuda” sudah di mulai jauh sejak tahun 1908 yakni adanya Budi Utomo, walau masih dalam bentuk pergerakan yang cenderung lebih kooperatif bahkan lunak terhadap kekuatan establishment. Akan tetapi ia menjadi penanda awal kemunculan kaum muda dalam panggung politik nasional yang kemudian di ikuti oleh lahirnya organisasi-organisasi lainnya seperti Serekat Islam, Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah dan organisasi masyarakat bumiputra lainnya. Pada tahun-tahun ini pula, mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berada di Belanda membuat organisasi yang bernama Indische Vereeniging. Atau yang kemudian dikenal dengan nama “Perhimpunan Indonesia”. Sebuah perkumpulan kaum muda cerdik pandai yang giat menyuarakan kesengsaraan dan kemerdekaan bangsanya. Di tengah situasi semacam ini, kemudian lahirlah pemuda seperti Soekarno, Moh, Hatta, Sutan Syahrir dan lainnya. Pemuda yang berhasil mengoyak gundukan penjajahan yang membebani punggung rakyat Indonesia dengan arus dan deru pergerakan yang semakin besar. Dalam suasana Perang Dunia I, pemuda di zaman ini berhasil menguatkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk menentukan nasib sendiri.

12

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Kemudian, saat Perang Dunia II meletus, Jepang keluar sebagai pihak yang kalah. Bangsa Indonesia dibawah kekuasaan Jepang, berada di kondisi kekosongan kekuasaan. Di tengah situasi ini, lagi-lagi pemuda menjawab tantangan zaman yakni menuntut Sukarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Lahirlah apa yang selama itu diimpikan oleh jutaan rakyat Indonesia yakni Indonesia sebagai nation, pada tanggal 17 Agustus 1945. Disinilah kita mampu membaca bahwa pergerakan pemuda di negeri kita bukan sebuah entitas yang terasing dan terpisah dari masyarakat dimana mereka lahir. Di negeri ini, gerakan kaum muda adalah bagian dari pergerakan nasional. Bahkan aktif dalam proses gerak membentuk dan mencipta sebuah nation. Maka tak berlebihan jika Ben Anderson mengatakan bahwa revolusi Indonesia adalah “revolusi pemuda”. Di beberapa dekade kemudian, pemuda kembali menunjukan gaungnya. Di situasi perang dingin, dimana dunia sedang dalam konstelasi kekuatan yang bipolar yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet, gerakan pemuda hadir di saat yang tak terpikirkan sebelumnya. Sebenarnya senada dengan peta kekuatan dunia yang sedang terbagi waktu itu, di dalam gerakan mahasiswa pun dua kekuatan itu muncul sebagai dua kekuatan yang bertolak belakang yakni diantara mereka yang berpandangan liberal dan anti komunis dengan mereka yang pro-komunis. Gesekan mereka diperpanas oleh kegagalan Program Benteng di tahun 1950 yang kemudian membelah perpolitikan domestik menjadi dua kubu yang saling berseberangan. Partai Sosialis Indonesia (PSI), Majelis Syuro Muslimin

13

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Indonesia (Masyumi), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) sayap moderat, mewakili kubu yang menghendaki Indonesia dibuka selebar mungkin bagi penanaman modal asing sebagai sumber pembangunan ekonomi. Di sisi lain, PNI sayap kiri, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Presiden Soekarno menghendaki nasionalisme ekonomi dipandu oleh negara (Richard Robison, 2012). Di sisi yang lain lagi, kubu Militer mulai naik daun baik secara politik dan ekonomi ketika undang-undang tentang nasionalisasi diterbitkan pada 1958, militer, khususnya Angkatan Darat, sudah menguasai bank-bank dan perkebunan besar bekas milik Belanda, distribusi beras, alokasi valuta asing, serta perusahaan tambang minyak bumi di Sumatera Utara. Sejumlah petinggi militer juga memegang posisi kunci di birokrasi (Richard Robison, 2012). Pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam periode tak menentu ini ternyata merupakan bayangan bagi penataan kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik dalam periode Orde Baru. Hingga membawa Indonesia ke dalam Malapetaka 30 September 1965 yang menjadi penanda awal memudarnya negara Orde Lama. Soekarno pun terdepak dari kekuasaan. Dan mahasiswa menjadi salah satu penentu kejatuhan Presiden Soekarno dari kursi kekuasaannya. Bersama militer (AD), gerakan mahasiswa yang dikenal dengan nama “Angkatan 66” menjadi salah satu aktor perubahan wajah politik Indonesia saat itu. Angkatan 66 bersama Militer mengambil alih negara. Negara Orde Baru lahir dengan mendapuk Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan. Bandul kehidupan ekonomi-politik Indonesia pun berbalik arah.

14

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Namun di satu sisi muncul sebuah ironi dari cerita heroisme Angkatan 66 ini. Salah satu ironi itu disampaikan oleh aktor dari Angkatan 66 itu sendiri yakni Soe Hok Gie. Ia menyesalkan teman-temannya yang dulu gencar berdemontrasi, mengusung keadilan dan kelaliman rezim. Namun mereka justru ikut terperosok dalam lubang kekuasaan Orde Baru. Berangsur-angsur, yang muda yang dulu nyaring berteriak melawan justru berubah drastis menjadi bagian penopang bangunan yang didirikan dan diberi nama ”Orde Baru” itu. Para pemuda bukan lagi bergerak, melainkan harus antre dengan tertib menunggu remahan dan titah dari sang penguasa tunggal. Mereka masuk ke dalam sebuah jeratan kekuasaan yang mematikan akal dan menumpulkan nalar. Mereka terjebak oleh apa yang disebut teoritisi Mazhab Frankfrut, Jurgen Habermas dengan istilan “rasionalitas instrumental”, yakni cara berpikir jangka pendek yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan sikap-sikap pragmatis. Ia melahirkan One Dimensional Man manusia berdimensi satu yang tertelan oleh homogenitas kekuasaan. Politik kaum muda pun menjadi sangat miskin dengan ide-ide perubahan, yang ada hanyalah apa yang disebut Nietzsche dengan istilah “moralitas kawanan”. Dunia tempat pikiran serba sempit dan serba praktis, tetapi pongah, dimana kemandirian berfikir dan kedaulatan diri terdesak dan lenyap di telan kekuasaan. Hingga akhirnya pergerakan kaum muda yang dulu di isi oleh ide-ide besar (seperti keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan) kini hanya di isi oleh statistik kekuasaan dan pertarungan diantara kelompok kepentingan.

15

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Namun didalam perkembangannya, rezim Orde Baru berjalan tak seperti apa yang idealkan dulu oleh para demonstran. Borok pembangunan dan demoralisasi perilaku rezim mulai mencuat. Akhirnya di tahun 1970 pemuda dan mahasiswa kembali berteriak, mereka mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Namun aksi itu tak mendapat respon dari pemerintah. Hingga menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru justru melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui Undang-Undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD (Hasibuan, 2008). Di tahun-tahun ini pula mahasiswa melakukan gerakan Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru karena Golkar dinilai curang. Ditambah muncul pula reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), yang membebankan ke h i d u p a n e ko n o m i ra k yat , n a m u n d i l a i n s i s i pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah justru tak menguntungkan rakyat kecil. Masalah yang sangat disorot oleh mahasiswa waktu itu ialah isu korupsi di tubuh Pertamina, dan Proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang dianggap mirip proyek Mercusuar. Akhirnya gerakan menentang proyek pembangunan TMII mencuat hingga lahirlah apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang program utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan

16

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

BBM, dan korupsi (Hasibuan, 2008). Pada akhir 1973, demonstrasi anti-TMII meredup. Gelombang protes bergeser ke isu penolakan Rancangan Undang-Undang Perkawinan, yang dimotori organisasi Islam, dan anti-modal asing, yang diusung komite mahasiswa. Melihat gerakan mahasiswa yang dinilai bisa membahayakan rezim Orde Baru, melalui Operasi Khusus (Opsus), pemerintah Orde Baru yang diwakili oleh Ali Murtopo giat menjalankan politik wadah tunggal bagi kalangan terdidik. Mereka menyasar kelompok mahasiswa, wartawan, pegawai negeri, hingga istri pegawai negeri dan militer. Operasi itu dimulai dengan mendirikan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) didirikan pada tanggal 23 Juli 1973 dengan maksud untuk menarik perngaruh Ormas dari dunia Mahasiswa. Pembentukan KNPI ini dimotori oleh Jendral Ali Moertopo beserta aktivis 1966, seperti Akbar Tanjung, Abdul Gafur, David Napitupulu. Namun pembentukan KNPI tidak semata-mata hasil dari kebijakan monolitik Orde Baru. Organisasi pemuda terutama yang nantinya tergabung dalam kelompok Cipayung, juga memiliki peranan yang penting dalam pembentukan KNPI terutama terkait dengan posisi KNPI di tengah kancah organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan. Yang dimulai dengan pertemuanpertemuan informal secara bilateral antara Sekretaris Papelmacenta dengan Ketua GMNI Suryadi, Ketua HMI Akbar Tanjung, dan pimpinan organisasi mahasiswa lainnya seperti PMII, PMKRI, GMKI yang saat itu tergabung dalam kelompok Cipayung. Pertemuan itu dilakukan

17

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

secara continue, dan praktis merupakan peyeragaman visi tentang urgensi wadah nasional yang akan dibentuk. Kehadiran kelompok ini juga sekaligus menegaskan satu hal bahwa kehadiran KNPI tidak boleh meniadakan keberadaan organisasi - organisasi maha- siswa ekstra kampus maupun organisasi-organisasi pemuda yang sudah ada. Ia bukan “satu-satunya” wadah namun tempat dimana organisasi pemuda dan mahasiswa yang ada untuk berhimpun dan berkomunikasi. Visi tersembunyi mereka ialah mengusahakan KNPI agar berfungsi sebagai forum komunikasi politik yang saling mempertautkan eksistensi berbagai organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan. Sehingga KNPI harus lebih bercorak “universal”. Disini kita bisa melihat dari latar sebelum terbentuknya KNPI, bahwa peristiwa yang mendahuluinya yakni kian besarnya peran pemuda terutama mahasiswa dalam mempersoalkan kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru yang dinilai tak berpihak pada rakyat bahkan mulai tercium sebagai sebuah rezim yang despotik dan korup. Sehingga sikap-sikap mahasiswa yang semacam itu dianggap membahayakan tegaknya rezim Orde Baru. Untuk itu, ia perlu dikontrol terutama dengan wadah tunggal sehingga segala gerakan yang dinilai mengancam mudah diredam. Namun menurut pemaparan para pendirinya, dalam pembentukan KNPI terjadi sebuah “kompromi” dimana KNPI akhirnya tidak menjadi satusatunya wadah pemuda,yang menjadi bagian dari korporatisme negara. KNPI hanya menjadi wadah komunikasi dari para pemuda dan mahasiswa di Indonesia. Bukan satu satunya wadah yang menghimpun pemuda, sebab ia tak menghilangkan eksistensi organisasi

18

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

pemuda lainnya. Wadah komunikasi itu terkait dengan soal bagaimana pemuda yang datang dari berbagai organisasi di seluruh tanah air itu betul-betul menjadi kekuatan potensi bangsa. Termasuk terkait dengan bagaimana mengembangkan program kepemimpinan pemuda. Namun yang menjadi pertanyaan, lantas bagaimana perkembangan KNPI setelah dibentuk? Bagaimana dinamika dan eksistensinya, terutama terkait dengan peristiwa Malari. Apakah dalam perjalanannya dalam rentang masa itu, track KNPI sudah sesuai dengan cita-citanya diawal yakni sebagai sebuah wadah komunikasi dan kordinasi? Apakah tak ada tendensi pengontrolan dan kooptasi negara? Dalam perkembangannya, KNPI justru jauh dari sentuhan semangat pemuda sebagai agen kontrol sosial. Menurut salah satu pendirinya, KNPI justru sibuk dengan berbagai kegiatan yang jauh dari wilayah politik dan kontrol sosial. Doktrin “pembinaan politik” masih kental, yang justru mengasingkan KNPI dari aksi-aksi politik pemuda bahkan menjauhkan KNPI dari wacana dan praktek berfikir kritis. Disinilah menjadi sebuah masa ketika kita praktis tak mendengar lagi kata ”pemuda” sebagai entitas yang terkait dengan gerakan. Kita tak mendengar dengus nafasnya sebuah “komite pemuda” menjadi simpul gerakan perubahan. Hal ini membuat KNPI layaknya “hidup segan mati tak mau”, yang eksistensinya hanya bergulat dengan kegiatan yang kurang substansial. Padahal keberadaan KNPI pada dasarnya perlu mendapat apresiasi positif, dimana apabila kita dengungkan kembali Deklarasi Pemuda Indonesia 23 Juli 1973, maka akan

19

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

ditemukan seberkas spirit yang kuat. Inti dari deklarasi itu adalah, Pertama, Pengakuan bahwa pemuda Indonesia adalah ahli waris cita-cita bangsa yang sah. Kedua, Pentingnya tanggung jawab kebangsaan sebagai suatu pesan suci yang harus dijalankan. Ketiga, Penekanan spirit Sumpah Pemuda 1928, Indonesia Raya dan Bhinneka Tunggal Ika. Keempat, Tekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Kelima, Keharusan penyatuan tenaga dan pikiran untuk ikut serta mengisi kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Keenam, Pengakuan kesadaran bahwa kaum muda memiliki keterpanggilan untuk menjadi faktor penggerak bagi terciptanya cita-cita bangsa I n d o n e s i a . Tu j u h , Pe n g a k u a n b a h w a p e m u d a , pembangunan, dan masa depan merupakan satu kesatuan. Namun dalam perjalanannya, posisi KNPI justru semakin limbung sebagai kekuatan sosial-politik kalangan pemuda. Di beberapa momen yang melibatkan peranan kaum muda seperti peristiwa Malari, pergolakan gerakan mahasiswa 1978 dan Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), peranan KNPI justru terlihat absen bahkan tak ada sikap dan tanggapan terkait hal itu. Sehingga wajar apabila dalam perjalanan waktu KNPI di kalangan aktivis mendapat lebel sebagai manifestasi politik Orde Baru. KNPI di cap sebagai bagian dari penguasa, sebagai kepanjangan tangan Orde Baru. Apalagi sewaktu terjadi persoalan terkait UU No.8/1985 atau yang dikenal dengan nama Undang- undang Keormasan yakni terkait pembatasan dan kontrol pemerintahan terhadap organisasi kemasyarakatan. Dimana KNPI kemudian memposisikan dirinya menjadi piranti politik pemerintah

20

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

dalam menegakan UU itu. maka cap sebagai organisasi kepanjangan tangan pemerintah tidak bisa dielakkan. KNPI menjadi tameng dan stempel pemerintah untuk segala kebijakannya. Hal ini membuat KNPI semakin kurang dipercaya masyarakat dan pemuda untuk menjadi kekuatan agregasi kepentingan kalangan pemuda Indonesia. Gejala kronis yang muncul beberapa tahun sebelum runtuhnya orde baru nyaring terdengar bahwa KNPI dianggap tidak lagi mampu menampung aspirasi pemuda Indonesia. Maka wajar saat terjadi eskalasi politik di Indonesia era 1998, yang ditandai dengan jatuhnya tampuk kepemimpinan Soeharto, yang berdampak juga pada berubahnya atmosfer politik di tanah air, banyak komponen masyarakat yang menghendaki KNPI dibubarkan saja karena dicap sebagai salah satu pilar pendukung Orde Baru. KNPI dianggap paralel dengan Orde Baru yang telah membawa bangsa ini kedalam kehancuran dan nyaris bangkrut. KNPI tak lagi dianggap sebagai indikator penentu organisasi pemuda di Indonesia. Eksistensi KNPI secara mendasar mendapat peninjauan ulang. Namun melalui Kongres IX di Caringin, Bogor tahun 1999 KNPI yang menghadapi desakan pembubaran berhasil merumuskan dirinya sebagai pendukung gerakan reformasi. Dan ketika Idrus Marham terpilih sebagai Ketua Umum pada Kongres itu, mewacanakan rejuvenasi KNPI atau penyegaran kembali peran KNPI di tengah realitas politik nasional. Rejuvenasi dilakukan tak lain karena situasi dan kondisi atau realitas obyektif internal dan eksternal yang dihadapi oleh KNPI telah mengalami perubahan signifikan dan mendasar dibanding yang

21

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

dialami pada Orde Baru. Rejuvenasi ini akhirnya memuat ide KNPI untuk independen dan kembali memposisikan pemuda sebagai mitra kritis pemerintah.

22

Menyelami Kembali Keistimewaan

Ketika kita menatap layar kaca televisi seharusnya kita girang, karena televisi adalah pusat hiburan ditengah kehidupan yang mengguratkan. Atau paling tidak kita memperoleh pengetahuan, karena televisi juga media pendidikan. Namun kini hal itu tak terjadi. Saat kita menghidupkan televisi, yang muncul justru keributan para politikus kita. Mulai dari kasus korupsi sampai pelanggaran etik seorang anggota DPR. Berita itu hadir tanpa henti, memenuhi sorot pandang kita. Seakan-akan negeri ini sedang didera sebuah krisis politik yang tak kunjung usai. Gonjang-ganjing politik tak juga berakhir hingga kita bosan, jengah melihat pentas para pembesar negeri ini yang tak lagi ada sisa rasa malu. Masyarakat setiap harinya dijejali dengan perseteruan elite politik yang mungkin tak lagi berbicara kepentingan masyarakat banyak. Entah apa yang mereka perjuangkan. Namun mereka berdiri, tegak di

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

meja parlemen atas nama rakyat. Mereka mendakwa dirinya sebagai sebuah “representasi”, mewakili kehadiran rakyat di sebuah mejelis perwakilan. Namun representasi itu kini tak lagi menjadi simbol sebuah kedaulatan rakyat banyak. Ia justru menjadi sebuah pentas segelintir orang. Gedung perwakilan pun akhirnya lebih gaduh dengan pertarungan kepentingan para pembesar. Ia kini lebih mirip seperti gedung pegadaian dimana kepentingan orang banyak justru tergadaikan. Seperti apa yang dikumandangkan Slank, ”Mau tahu gak mafia di Senayan? Kerjanya tukang buat peraturan. Bikin UUD, ujungujungnya duit”. Anehnya, mereka berkuasa melalui proses pemilihan. Di pilih langsung oleh masyarakat banyak melalui proses demokrasi yang disebut pemilu. Ternyata pemilu yang demokratis tak selalu melahirkan pemimpin yang juga demokratis, jujur dan menjalankan amanah rakyat. Ia justru menghasilkan kepemimpinan yang anarkis bahkan nyaris minus kepemimpinan. Pemilu yang demokratis seringkali justru memuluskan kekuasaan kaum oligarki, yakni kekuasaan yang dijalankan oleh mereka, segelintir orang-orang kaya. Sehingga demokrasi bukan memberikan pencerahan kepada masyarakat melainkan menjadi sebuah petaka yang menakutkan. Akhirnya Negara dan institusi publik dijadikan sebagai tempat pencurian dan pemerasan. Kekayaan negara dijadikan sebagai sasaran pencurian. Pusat-pusat kekuasaan dan aset-aset ekonomi negara menjadi rebutan di antara mereka. Ternyata demokrasi di negeri ini hanya untuk menuai kemakmuran oleh segelintir orang. Rakyat kebanyakan tetap terpinggirkan, daya belinya menurun,

24

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

tidak terurusi. Sebenarnya demokrasi semacam ini sudah jauhjauh hari dikecam oleh Sokrates, seorang filsuf yang mengkritik keras sistem demokrasi yang agung-agungkan oleh orang kebanyakan pada waktu itu. Bagi Sokrates, di dalam sistem demokrasi menyimpan sebuah bahaya yang dapat membawa malapateka terhadap kehidupan publik. Kritik pedas Sokrates berlandaskan bahwa sistem demokrasi memberi kemungkinan besar suatu negara diperintah oleh orang-orang dungu yang kebetulan memperoleh suara terbanyak. Karena tak menutup kemungkinan bahwa masyarakat tidak selalu memberikan dukungannya kepada orang-orang yang dianggap paling mampu dalam menjalankan roda pemerintahan. Tetapi lebih kepada orang yang mereka sukai dan celakanya orang yang mereka sukai tidaklah selalu orang-orang yang kompeten membela nasib hidupnya. Bahkan yang lebih miris dari itu, demokrasi kita layaknya sebuah permainan “tong setan”. Kita dipaksa untuk memilih sosok yang disodorkan di depan mata kita, yang kita tak pernah tahu siapa ia. Sebuah wajah tanpa riwayat. Namun terus menerus ditampilkan di depan kita, disosialisasikan kepada khalayak ramai. Lantas berharap untuk dipilih dalam kontestasi kekuasaan. Maka partaipartai pun menjadi seperti toko pakaian. Di etalase mereka memasang deretan para calon yang sudah dipoles yang hampir mirip satu sama lain yang ditawarkan untuk disukai. Namun para calon itu terlihat seperti sebuah badan yang tak punya hati dan pikiran. Mereka layaknya sebuah komoditas, yang diperjual belikan di pasar. Maka mau tak mau, demokrasi menjadi semacam doorprize yang

25

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

seringkali membuat kita terkejut, terkaget, dan tak terduga. Kepemimpinan pun tidak lahir dari keterlibatan, namun dari pencitraan dunia iklan. Sehingga ia justru bersifat artifisial dan tak menyentuh akar permasalahan. Memilih wakil rakyat kini sama dengan membeli krim pemutih atau obat kecantikan. Di titik ini, konstituen adalah konsumen. Demokrasi semacam ini menyebabkan kian mahalnya biaya persaingan politik, yang berarti kebutuhan akan sumber daya finansial kian meningkat. Bukan hal aneh jika kemudian muncul perkawinan antara kekuatan modal dan kekuatan politik. Dan massa yang dulu sebagai sumber kekuatan politik, kini jadi sumber kekuatan marketing. Massa ditaklukkan oleh kapasitas ekonomi ketimbang kapasitas politik dan moral. Kekuasaan pun berubah menjadi monster yang korup dan despotik, yang siap memangsa kehidupan publik. Ia menggerogoti kekayaan negara dan hak-hak rakyat. Demokrasi tidak memiliki keterkaitan dengan kehidupan rakyat. Ia menjadi semacam sistem yang mengambang di atas awan, berjalan tanpa kaki, yang akhirnya melahirkan kebijakan yang mengabaikan kaum miskin. Politik pun seolah-olah hanya semacam permainan kekuasaan yang ditentukan oleh kiat mengelabui dan berpura-pura. Politik cuma jadi intrik: sebuah pertarungan di suatu arena nun jauh di luar wilayahorangramaidantakpernah dipertanggungjawabkan kepada publik. Aktivitas demokrasi semata-mata menjadi ladang aktualisasi para elite politik untuk mengambil keuntungan pribadi dan kelompoknya sendiri Sementara rakyat hanya jadi penonton yang resah ketika kesusahan hidupnya semakin

26

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

menghimpit namun negara tak kunjung hadir. Seperti apa yang tertulis dalam kitab Wulangreh, karya Pakubuwana IV bahwa demokrasi semacam ini, akan menghasilkan pemimpin yang disebutnya dengan istilah "orang yang berhati saudagar". Hanya menyukai kekayaan. Siang-malam cuma laba yang ia hitung, cemas kalau berkurang. "Uang tujuh karung" pun tetap tak akan memuaskannya. Ia akan murung "selama empat tahun" bila jumlahnya berkurang sedikit, seakan-akan hartanya lenyap berjuta-juta. Dan dalam kitab ini, Pakubuwana pun mengecam keras orang-orang semasanya yang setelah memperoleh kedudukan bersikap seperti pedagang yakni sibuk membuat perhitungan, ingin serba cepat dapat, hingga tingkah lakunya pun berantakan. Atau dalam bahasa jawa disebut polahe salang-tunjang. Dalam kitab ini pula, Pakubawana berkata linggihe lawan tinuku tan wurung angrusak desa, yakni kedudukan yang diperoleh lewat jual-beli akhirnya akan merusak ruang hidup bersama. Demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat justru menyisihkan kehidupan rakyat. Bahkan rakyat dianggap apa yang dalam bahasa Rancière disebut sebagai orang-orang “di luar hitungan”. Bukanlah bagian dari himpunan, yang disisihkan untuk tak bisa ambil bagian. Sehingga kekuasaan yang dihasilkan oleh demokrasi justru mengancam demokrasi itu sendiri. Tahta Untuk Rakyat Orang banyak menuduh bahwa sistem kesultanan adalah suatu ikhwal yang bertentangan dengan demokrasi. Ia dianggap bentuk pemerintahan otoritarian yang jauh dari nilai-nilai demokrasi. Simbol kekuasaan

27

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

yang mutlak berada di tangan sultan. Namun perlu diingat, bahwa demokrasi tanpa kepemimpinan hanya melahirkan “gerombolan”. Dalam gerombolan, kepentingan warga negara mudah menjelma menjadi anarki dan pelanggaran menjadi habit kekuasaan. Pengemban amanat rakyat pun lebih menghayati dirinya sebagai ”centeng” peraturan untuk ditransaksikan. Akhirnya kekuasaan pun justru melahirkan sifat seperti apa yang dikecam oleh Pakubuwana IV dalam Wulangreh, yakni sifat pemadat (wong madati), sifat penjudi (wong ngabotohan), sifat penjahat (wong durjana) dan sifat "orang yang berhati saudagar". Untuk itu demokrasi perlu kepemimpinan. Kepemimpinan yang menjaga nilai-nilai keluhuran, dan memegang teguh prinsip kebaikan bersama. Demokrasi membutuhkan nilai yang dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah Memayu Hayuning Bawono. Sebuah sistem norma yang berfungsi untuk menjadikan kekuasaan bersifat mengayomi, serta mampu melestarikan dan menjaga bukan hanya alam namun kehidupan sosial. Sehingga kekuasaan tak merusak kehidupan bersama. Dalam Pancasila, kita mengatahuinya dalam filosofi sila keempat, bahwa kerakyatan harus dipimpin oleh “hikmah-kebijaksanaan”. Dipimpin oleh hikmah yang berarti memberikan kebenaran pengetahuan yang mencerahkan dan membebaskan serta kebijaksanaan yang bertaut dengan kelapangan keadilan dan pertanggungjawaban. Sehingga ia tak berkembang menjadi ajang avonturisme kepentingan perseorangan dan golongan. Inilah “ruh keistimewaan yogyakarta”, yakni dibawah kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

28

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

demokrasi berjalan dengan visi “tahta untuk rakyat”. Dimana sultan di daulat oleh rakyat untuk mengemban tahta, menjalankan kekuasaan dan mengelola kehidupan sosial. Sehingga kekuasaan tak lagi liar dan menjadi ladang perebutan kepentingan pribadi serta golongan. Kekuasaan pun tunduk kepada kehidupan bersama dan mengabdi p a d a k e p e n ti n g a n r a k y a t b a n y a k . K e k u a s a a n memanifestasikan dirinya layaknya sifat Dewa Baruna dalam kisah Asthabrata yakni mengalahkan kepentingan pribadi untuk kepentingan rakyat banyak atas dasar cinta kepada sesama. Disini demokrasi tak lagi hanya dimaknai semata-mata sebagai proses formalitas dan instrumen politik kekuasaan. Tak lagi dimaknai hanya sekedar kuantitatif yang ditentukan oleh suara terbanyak tanpa memperhitungkan kualitas. Namun ia didasarkan pada kepemimpinan moral dan budaya adiluhung. Sultan disini di daulat oleh rakyat untuk memegang kekuasaan otoritatif demi menegakan ajaran dan nilai-nilai baik agama maupun budaya. Tidaklah sama, antara pemerintahan otoriter dengan pemerintahan otoritatif. Pemerintahan otoritatif yakni pemerintahan yang bermaksud menegakan kembali kewibawaan otoritas yang dulu hilang karena dikalahkan oleh sebuah gerombolan, moralitas kawanan yang menjadikan kekuasaan sebagai ladang aktualisasi syahwat pribadi dan go l o n ga n ya n g m e m b u at a n e ka p e rat u ra n d a n pembangunan tak jalan karena lemahnya wibawa otoritas atas gerombolan. Kepemimpinan otoritatif juga bukan sebuah bentuk personifikasi kekuasaan pada diri Sultan. Namun ia sebuah upaya mempertahankan kewibawaan otoritas agar ia berkhidmat bagi kepentingan orang

29

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

banyak. Kepemimpinan otoritatif juga untuk menghindari seperti apa yang dikhawatirkan Sokrates, “suatu negara diperintah oleh orang-orang dungu yang kebetulan memperoleh suara terbanyak”. Agar kekuasaan dan pemerintahan tidak dimanfaatkan oleh sekelompok gerombolan yang menjadikan kekuasaan layaknya Leviathan dalam bahasa Hobbes, seekor monster yang ganas nan liar yang siap menerkam dan memangsa kehidupan publik. Yang menjadi pertanyaan bagi kita, dalam demokrasi semacam ini, bagaimanakah aspirasi rakyat itu di akomodasi? Dan bagaimanakah kekuasaan Sultan di awasi dan di kontrol agar tak sewenang-wenang? Pisowanan Ageng dan Demokrasi Deliberatif Masyarakat berbondong-bondong datang ke Alun-alun Utara Yogyakarta. Di alun-alun utara mereka berjemur diri di panas terik matahari. Mereka berjemur (pepe, dalam bahasa Jawa) hingga Sultan datang menemui mereka dan menanyakan apa dan mengapa mereka melakukan laku pepe. Cara santun masyarakat Yogyakarta dalam menyampaikan keluh kesahnya ini menjadi ajang pertemuan dialogis antara Sang Raja dan rakyatnya. Hal ini menunjukkan, sejak lama konsep demokrasi sudah ditradisikan dalam kehidupan komunal masyarakat Yogyakarta di bawah kekuasaan rajanya meski corak pemerintahannya bersifat monarki. Pisowanan Ageng melibatkan berbagai komponen masyarakat Yogyakarta. Masyarakat tanpa dibatasi sekat- sekat aturan menyampaikan aspirasi kepada Sultan. Tanpa harus diwakili berbagai kekuatan sosial politik atau aliran dan

30

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

golongan, masyarakat serantak menyampaikan aspirasi kepada Ngarsa Dalem. Disini pisowanan ageng telah mendobrak kebekuan yang terjadi dalam demokrasi prosedural yang terjebak pada formalitas dan legalitas prosedur demokrasi namun rendah subtansi. Pisowanan ageng juga membongkar manifestasi demokrasi dalam bentuk representative democracy (demokrasi perwakilan) yang mengadakan pemisahan antara mereka yang mendakwa mewakili rakyat dan mereka yang diwakili. Kehadiran rakyat dalam pisowanan ageng tak diwakili oleh siapapun, tak pula diwakili oleh lembaga politik apapun. Hal ini membuat keberadaan partai politik yang seringkali mendaulat dirinya membawa aspirasi rakyat menjadi tak berdaya. Rakyat benar-benar hadir mewakili dirinya sendiri, membawa aspirasinya sendiri. Rakyat benar-benar menjadi “subyek” politik. Pisowanan ageng barangkali juga bisa disebut sebagai bentuk people power ala Yogyakarta. Karena ia dihadiri berbagai kelompok masyarakat dari berbagai la pisa n dan golo nga n. Mungkin inila h model institusionalisasi yang cocok dengan konteks sistem politik Indonesia yang dijelaskan dalam aktualisasi modalitas lokal. Sebuah model institusionalisasi demokrasi di luar tradisi Barat. Pisowanan ageng juga termasuk sebagai upaya menegasikan fenomena penumpukan kekuasaan dalam satu institusi yang terjadi saat ini, sebuah kebekuan yang terangkai dalam jaringan berbasis kapital yang cenderung hegemonik atau dalam kesempatan lain bisa sangat koersif. Ia mampu menggantikan sistem tafsir penguasa dan meresolusikannya dengan logika tafsir

31

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

publik yang deliberatif. Sehingga pisowanan ageng adalah bentuk demokrasi yang deliberatif. Sebuah model demokrasi yang menjujung tinggi serangkaian proses komunikasi yang berorientasi pada kesetaraan dialog, dengan pelibatan diri, subyek yang turut serta atau individu dan kelompok yang menjadi bagian dari proses kompromi yang ideal untuk kebaikan bersama yang direfleksikan dalam ruang publik (alunalun). Disini tersirat makna ada sebuah kesetaraan dalam interaksi sosial, terutama kesetaraan menyampaikan hak dimana tak ada lagi hukum siapa aktor yang memiliki sumber daya melimpah bisa mempunyai akses yang lebih maksimal untuk mendapatkan haknya dan keuntungan pribadi. Dalam pisowanan ageng, demokrasi bukanlah kendaraan untuk mewakili agregasi kepentingan individual. Namun ia adalah jalan untuk menciptakan arena publik yang mampu meredam konflik dan mencapai kebaikan bersama melalui dialog antara Sultan yang didaulat mengemban amanah dengan rakyatnya, sang pemberi amanah. Yang dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah manunggaling kawula lan gusti, dimana pemimpin dengan rakyatnya tak ada sekat yang memisahkannya, ia berada dalam satu tubuh kekuasaan. Seperti yang diceritakan dalam kisah pewayangan “Petruk dadi Ratu”, bahwa tak ada raja tanpa rakyat dan tak bisa rakyat ada tanpa raja. Disini pisowanan ageng mempunyai fungsi sebagai pengendali, kontrol yang otentik serta titik kompromi yang menjadikan demokrasi lebih substansial bukan sekadar simbolisasi saja. Pisowanan ageng juga menawarkan notasi partisipatif yang ideal dimana

32

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

kemampuan aktor politik (Sultan) bisa diselaraskan dengan tuntutan partisipan untuk menghasilkan konsensus-konsensus politik dalam rangka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bersama. Hal ini mempunyai persamaan dengan bagaimana memposisikan kedudukan civilian (orang di luar struktur negara) untuk bergerak dalam legitimasi ruang yang disebut civil society. Dan dialog dalam pisowanan ageng adalah dialog yang mampu mewadahi intersubyektivitas di antara warga yogyakarta, dalam ruang politik yang terbuka dan memasukkan tingkat partisipasi semaksimalmungkin. Ia mempercayai intersubyektivitas sebagai k e kuata n pem ba ngki t komunikas i. Se hingga memunculkan apa yang dikatakan Jurgen Habermas sebagai aksi komunikasi yang bebas dari represi. Ia memanfaatkan lokalitas sebagai ruang untuk membangun proses dan segenap pemenuhannya, yang bertujuan pada pemberdayaan dimensi lokalitas itu sendiri. Dalam pisowanan ageng, laku politik adalah perbuatan yang disangga moralitas dalam artian yang paling realistis, bukan mengurusi persoalan privasi individu tetapi publik, integrasi antara kolektivitas sebagai manifestasi nilai-nilai dengan hak invidual sebagai pernyataan sifat partisipasi sehingga akan menghasilkan atribut baru berupa tekanan yang lebih besar pada posisi tawar civil society. Dengan demikian kita dapat memahami bahwa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bukanlah entitas yang monolitik, bukan pula pemerintahan yang otoritarian. Ia justru menjadi ruang pergulatan antara civil society dengan political society. Bahkan ia mencoba menjaga akselerasi dan interaksi antara kekuasaan politik dengan

33

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

civil society. Hal ini membuktikan bahwa kekuasaan Sultan bukanlah terbentuk dari rangkaian panjang penguasaan oleh satu kelompok tertentu, kelas, ataupun aparatusnya sendiri. Melalui pisowanan ageng ia justru menawarkan dirinya sebagai bagian dari rakyat dan kemenyeluruhan proses partipasi. Ia tetap menjadi ruang yang sistemik namun mempunyai keunikan, kekhasan, dan kemandirian yang relatif bertahan dengan model dan perjuangannya sendiri. Pisowanan ageng telah membuka ruang politik yang selama ini macet oleh berbagai blokade kepentingan kuasa dan uang. Ruang yang selama ini dipakai hanya untuk pencitraan diri demi kedudukan atau ditimbun oleh prosedur-prosedur rutin yang membunuh inisiatif warga. Dalam pisowanan ageng pula, interaksi sosial digerakkan oleh solidaritas. Bukan dengan kode uang dan kuasa. Para individu rela melampaui kepentingan privatnya dengan mengambil alih peran warga Yogyakarta. Ia membongkar apa yang disebut Habermas sebuah ”kolonisasi sistem atas dunia-kehidupan” yang tak hanya membunuh partisipasi warga dalam pembangunan, tetapi juga mengakibatkan marjinalisasi dan pemiskinan karena kolaborasi birokratinvestor membuat sistem seleksi yang menguntungkan sepihak. Sehingga ia memulihkan harapan pada demokrasi dan otoritas, ia menjadikan kekuasaan untuk bisa “mawas diri” dan mencegah kekuasaan berubah menjadi seperti binatang buas, yang menjadikan rakyatnya sendiri sebagai mangsanya.

34

Renaissance Yogyakarta

Gerakan itu sebenarnya bermula dari Italia pada pertengahan abad ke-14. Gerakan ini menyimpan semangat untuk membingkai segala maksud dan usaha manusia dalam rangka merengkuh cita cita manusia ideal sebagai makhluk individual dan sosial. Semangat ini di ilhami dari kebudayaan Yunani dan Romawi, yang mereka anggap telah mencapai tahap tertinggi dari budi manusia. Mereka pun giat mempelajari warisan budaya dan mitos Yunani, Latin dan Romawi klasik dengan studi yang bersifat lebih kritis. Dari sinilah mereka menemukan nilai-nilai kemanusiaan dan kepercayaan akan kemampuan akal budi manusia. Dari sini pula mereka mulai mempertanyakan dogma gereja, yang bagi mereka telah mematikan nalar dan membelenggu mereka dalam ketidakberdayaan. Bagi mereka abad pertengahan adalah masa dimana eksistensi manusia beserta bakat alamiahnya tenggelam oleh

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

dogma-dogma gereja. Manusia di masa ini terpasung dan terjerembab ke dalam lubang kebodohan dan kerendahan nalar. Mereka pun mengadakan koreksi total terhadap pola berpikir konvensional yang selama ini dilantunkan oleh gereja. Pada awalnya doktrin resmi gereja mengatakan bahwa alam ini tak lebih dari sekedar suatu sistem terbatas bagai bidang lingkaran yang berputar mengelilingi bumi atau biasa disebut dengan teori geosentris. Namun mereka membantah pandangan itu, dan menemukan bahwa sebenarnya alam ini tak sebatas itu melainkan jauh lebih luas, dan bumi ini hanyalah salah satu anggota alam secara makro, teori heliosentris. Pengetahuan ini kemudian memberi mereka keyakinan bahwa pemahaman terhadap alam tidaklah semudah dan sesederhana sebagaimana yang terkandung dalam syairsyair Kristiani. Dan kemudian mereka terdorong untuk menekuni berbagai disiplin ilmu yang beraneka ragam. Dari sinilah kemudian muncul banyak sikap dan prestasi baru yang berbeda dengan pandangan dunia (world view) Abad Pertengahan. Munculah karya-karya agung dari para seniman dan pemikir seperti Leonardo da Vinci, Dante, Galileo Galile dan Francis Bacon yakni seorang bangsawan Inggris yang meletakkan dasar filosofis untuk perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dengan mengarang suatu maha karya yang bermaksud menggantikan teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan dengan suatu teori baru dalam bukunya Novum Organon. Gerakan renaisans terus berkembang dari sini. Penyebaran ilmu pengetahuan yang pesat didukung oleh penemuan penting berupa mesin cetak

36

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

hingga buku-buku yang tersebar di lingkungan gereja dapat diperbanyak dan dibaca oleh masyarakat pada saat itu. Istilah mencerdaskan bangsa, serentak dimulai pada awal abad ini. Gerakan ini memuncak, dan munculah pandangan Rene Descartes, yang terkenal dengan ungkapan “Cogito Ergo Sum” (Aku berfikir maka aku Ada) hingga semboyan dari Immanuel Kant yang berbunyi “Sapere Aude” (Beranilah berfikir sendiri) yang kemudian menjadi landasan keyakinan bahwa nalar manusia dimulai dari proses berpikir dan mengerti bukan bermula pada doktrin agama. Pada saat inilah manusia mulai dianggap sebagai pusat kenyataan. Manusia berani berpikir secara baru, a nta ra l a i n m e n ge n a i d i r i nya s e n d i r i , m a n u s i a menganggap dirinya sendiri tak lagi sebagai viator mundi, yaitu orang yang berziarah di dunia ini, melainkan sebagai faber mundi, yaitu orang yang menciptakan sendiri dunianya. Inilah zaman yang bisa juga disebut sebagai zaman pembentukan “subjektivitas”. Sebuah zaman yang dapat dilihat sebagai satu mata rantai perkembangan pemikiran mengenai subjektivitas manusia. Dulu di abad pertengahan Tuhan menjadi prinsip bagi segala yang ada, namun pada zaman ini, peranan substansi diambil alih oleh manusia sebagai “subjek” yang terletak di bawah seluruh kenyataan, dan memikul seluruh kenyataan yang melingkupinya. Inilah mengapa zaman renaisans disebut sebagai era kelahiran kembali atau kebangakitan kembali. K e b a n g k i t a n m a n u s i a d a r i ke t e r p u r u k a n d a n keterkungkungan dogmatisme agama. Voltaire menyebut zaman Pencerahan adalah "zaman kebangkitan akal ". Cita-cita pemikiran pencerahan dibawa sampai

37

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

kepada puncaknya oleh Isaac Newton, yang mengembangkan ilmu pengetahuan alam. Dia telah memberikan alas kepada fisika yang klasik, yang menjanjikan suatu perkembangan yang tiada batasnya. Pada abad ke-18 dimulailah suatu zaman baru, yang m e m a n g te l a h a d a p a d a Re n a i s a n s s e r ta ya n g mewujudkan buah pahit dari rasionalisme dan empirisme. Hal ini sangat mempengaruhi pemikiran manusia dari pemikiran tentang kehidupan pribadi hingga sistem pengaturan Negara. Di lain sisi, kebesaran gereja merosot tajam, filsafat skolastik mulai tidak berdaya dan dipandang rendah, supermasi agama dan etika hidup secara perlahan tapi pasti menjadi kurang diperhatikan. Bersamaan dengan itu, secara bertahap muncul institusi baru dan pola berpikir yang baru, yang sekaligus menandai abad ini, abad dengan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan sebelumnya. Rentan Abad ke-18 masa itu terkenal dengan sebutan zaman Aufilarung. Jadi, Renaisans sebenarnya merupakan masa transisi untuk menuju ke zaman Auhlarung abad ke-18, yang dimaknai dengan hadirnya perkembangan ilmu alam, penemuan teknologi hingga revolusi industri yang merebak setelah Zaman Renaisans. Hal ini bisa dimaklumi bahwa pada akhirnya kebudayaan banyak mempengaruhi perkembangan ilmu, seni dan teknologi. Disinilah kita memahami bahwa Renaisans merupakan suatu periode sejarah yang panjang, suatu masa dimana terjadi perubahan tradisi berfikir dan pola kehidupan yang sangat mendasar dan banyak pengaruh bagi perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, seni dan desain dan arsitektur. Sebuah titik tolak reformasi

38

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

abad ke 16 menyusul bangkitnya pengetahuan di zaman Auhlarung dan perkembangan ide humanisme. Periode Renaisans ini ditandai dengan diterjemahkannya literature-literatur klasik YunaniRomawi ke dalam bahasa latin untuk kemudian dibaca dan dipelajari oleh berbagai kalangan. Penemuan kembali pikiran-pikiran yang telah dicetuskan pada masa klasik Yunani-Romawi tersebut memberi “pencerahan”, dan pengetahuan baru yang kelak menjadi suatu tanda lahirnya ilmu pengetahuan modern yang menjadi cikal bakal industri dan desain modern. Pada dasarnya, masa Renaisans merupakan suatu reaksi terhadap kehidupan yang sangat dipengaruhi oleh sikap absolutism agama (gereja) yang sangat dogmatis, theosentris dan tidak rasional. Penggalian literatur yang akhirnya kemudian membuka kembali pikiran-pikiran masa Yunani-Romawi dan membangkitkan kesadaran baru tentang fitrah manusia dan perannya dalam dunia kehidupan. Arus Balik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara? Pramoedya Ananta Toer dalam romannya yang berjudul Arus Balik, mengisahkan bahwa Nusantara dulu di era Majapahit berjaya sebagai penguasa maritim terbesar. Arus bergerak dari selatan ke utara, segalagalanya; kapal - kapalnya, manusianya, amal perbuatannya, dan cita-citanya. Bergerak dari Nusantara di selatan ke “Atas angin” di utara, sebab Nusantara bukan saja kekuatan darat melainkan juga kerajaan laut terbesar diantara bangsa-bangsa beradab di muka bumi. Namun kemudian arus itu membalik. Arus raksasa meng gelombang dari utara

39

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

menghempas Nusantara mundur ke selatan, dan yang tertinggal hanya negara kota kecil-kecil di pesisir utara Jawa. Bahkan lebih jauh lagi mundur sampai ke pedalaman, ke desa-desa di kaki pegunungan. Mundur, mundur terus sampai ke pedalaman bukan hanya geografis, tetapi lebih-lebih lagi mundur ke pedalaman diri sendiri, ke pedalaman nurani dan kenalurian mengganti nalar rasional. Merasuk dalam ke pedalaman diri yang paling aman, pedalaman yang tak akan mampu disentuh oleh siapapun. Pedalaman dimana bisa dibangun kekuasaan yang merasa diri paling perkasa dan bisa berbuat segala-galanya. Namun khayal dan bersimpang dengan kenyataan tanpa batas. Kenyataan itu lebih diperpahit dengan datangnya kolonialisme Barat yang menjajah Nusantara, yang membuat Nusantara semakin merosot. Belanda berhasil menanamkan perspektif kontinental atas Nusantara di dalam benak masyarakat pribumi lewat kebijakan kolonial yang masif dan agresif. Belanda memang tidak pernah memandang laut di Nusantara sebagai sumber daya alam strategis. Pelayaran Hongi yang dilancarkan pada abad ke17 justru bertujuan melakukan blokade laut untuk mencegah perdagangan gelap rempah-rempah antara pribumi penanam rempah dan pesaing-pesaing VOC, serta mengontrol perdagangan hasil bumi darat (cengkih). Lalu, dengan dikeluarkannya kebijakan tanam paksa pada 1830, aktivitas perdagangan dan ekonomi makin memusat ke daratan, terutama di bidang pertanian dan hortikultura. Sebagai dampaknya, industri perkapalan dan usaha perikanan tidak pernah mengalami kemajuan. Tak ada lagi kapal-kapal besar yang dibangun oleh kaum pribumi yang

40

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

tidak hanya sanggup melayari selat-selat antarpulau tetapi juga samudra-samudra luar. Ditambah lagi dengan ditetapkannya Batavia sebagai pelabuhan utama dan pusat administrasi pemerintahan Hindia Belanda, yang menyebabkan matinya banyak pelabuhan-pelabuhan tradisional di sepanjang pantai-pantai Nusantara menjelang akhir abad ke-17. Sehingga kekuasaan kolonial Belanda dapat dikatakan sebagai biang kerok dari marginalisasi aspek maritim secara sistematis dalam evolusi kesadaran kebangsaan dengan penanaman perspektif kontinental. Bahkan kolonialisme membuat rakyat Nusantara kehilangan jati diri dan identitas dirinya sendiri. Bangsa Nusantara mengalami krisis identitas. Hal ini bisa dijelaskan melalui psikoanalisis Lacanian dalam gagasannya tentang kompleks koloni. Pada fase prakolonial, kaum pribumi (masyarakat Nusantara) layaknya seperti bayi, yang berada pada kondisi yang relatif serba berkecukupan. Bayi mendapat kepuasan, kenyamanan, dan kecukupan dari ibunya (alam). Masa-masa indah ini t e r p e c a h ka n s a a t ke h a d i ra n s a n g ay a h d a l a m kemarahannya membuyarkan impian sang bayi (pribumi) untuk tetap bersatu dengan ibunya (alam). Dalam konteks kolonialisme, sang ayah tersebut adalah Barat, para penjajah. Sang ayah tersebut hendak memisahkan sang anak dari ibunya, dengan dua tujuan: untuk “mengamankan” sang ibu dari sang anak dan memperkenalkan sang anak kepada realitas kehidupan. Bagi ayah, kehadiran sang anak “mengganggu” keintiman hubungan-nya dengan sang ibu. Oleh karena itu satu-satunya jalan adalah mengkastrasi/memisahkan sang anak dari ibunya.

41

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Dalihnya adalah memperkenalkan sang anak kepada kebudayaan. Lagipula, syarat seseorang untuk berbudaya adalah berhasil mengatasi ketergantungannya dengan ibunya (alam). Wajar apabila sang ayah, yang berniat mendewasakan anaknya, harus terlebih dahulu menyapih sang anak dari ibunya (Hizkia, 2008). Kemudian para penjajah melakukan tindakantindakan “pengondisian” secara paksa untuk memisahkan sang anak dari ibunya. Setidaknya ada tiga macam pengondisian tersebut, yaitu penghancuran budaya setempat, politik adu domba (devide et impera), dan interterpelasi hasrat. Seperti apa yang diungkapkan Frantz Fanon, bahwa Situasi kolonial memberhentikan kebudayaan pribumi di hampir semua bidang. Kebudayaan pribumi di bawah dominasi kolonial adalah kebudayaan yang diperebutkan yang kehancurannya diupayakan secara sistematis. Setelah seabad atau dua abad berlalu terjadilah penipisan budaya nasional. Hingga negasi atas kebudayaan pribumi, penghinaan terhadap manifestasi apapun dari kebudayaan pribumi, apakah aktif atau emosional. Setelah Barat telah memegang kontrol atas tanah jajahan, dan mengambilnya dari para pribumi. Ia kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam dan manusia (sebagai budak). Serta yang paling penting misi mulia pengadaban kaum terjajah dimulai. Fase ini tidak lagi menekankan pada penggunaan senjata sebagai alat penaklukan, walau tidak meninggalkannya sama sekali, namun lebih kepada strategi diskursif yang dilakukan oleh penjajah, dalam rangka membentuk mentalitas dan identitas kaum terjajah. Dan saat kaum terjajah telah

42

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

benar-benar teralienasi dari alam dan konteks kulturalnya, masuklah ia pada fase cermin yakni proses pembentukan identitas kaum terjajah dalam konstruksi yang diciptakan oleh sang penjajah. Hal ini kemudian melahirkan kompleks inferioritas pada diri kaum terjajah yaitu perasaan dimana seseorang merasa inferior/rendah diri saat melihat orang lain yang dianggap “ideal”. Tertanamlah di benak kaum terjajah bahwa dirinya adalah makhluk hina dan tak beradab. Kita mengenalnya dengan istilah mentalitas Inlander, dan ini adalah gejala-gejala kompleks inferioritas. Sampai pada pandangan “Barat yang dinamis” sedangkan “Timur yang stagnan”. Sedangkan produk berikutnya adalah sistem sosial. Barat mengganti seluruh tatanan kehidupan kaum terjajah dengan tatanan baru ala Barat. Liberalisme menggantikan feodalisme, individualisme menggantikan komunalisme, pasar bebas menggantikan sistem ekonomi tradisional, tradisi-tradisi yang dianggap kuno, dekaden, bahkan antihumanis pun dilarang dan digantikan “tradisitradisi” yang lebih modern. Ujungnya masyarakat Nusantara mengalami krisis identitas. Yang selanjutnya menjadi legitimasi atas tindakan-tindakan dominasi, eksplorasi, serta ekploitasi masyarakat Nusantara yang diang gap lebih rendah. Kolo nialisme Barat mempergunakan stereotipe non-kulit putih, barbar, serta atheis pada para koloninya (Timur) untuk dapat mencerahkan, mendidik, dan menguasai sumber daya wilayah-wilayahnya. Krisis Identitas yang Berkepanjangan Peran nasionalisme dalam revolusi kemerdekaan

43

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

kaum terjajah bisa dikatakan cukup signifikan. Ia diyakini menjadi unsur utama dalam revolusi kemerdekaan, namun ternyata tak cukup untuk membebaskan masyarakat Nusantara dalam lubang krisis identitas. Bentuk lainnya dalam upaya keluar dari krisis identitas ialah melakukan peniruan wacana kolonial yang dikenal dengan istilah mimikri. Mimikri mengacu pada masyarakat terjajah yang telah memperoleh kemerdekaannya namun tetap tidak dapat mengatasi pengaruh inferioritas yang ditanamkan oleh penjajah. Keadaan ini memacu berbagai kesenjangan serta keterputusan dengan identitas mereka sendiri. Mimikri mengakibatkan identitas menjadi timpang dan tidak sempurna. Pembentukan identitas “mirip namun tidak sama” ini selalu berada dalam ketegangan antara harapan untuk memposisikan diri sebagai bagian dari masyarakat terpelajar dan dihormati dengan kenyataan pahit akan selalu diposisikan sebagai masyarakat inferior di mata masyarakat Barat sendiri. Namun, di balik ketimpangan dan ketidaksempurnaan identitas yang diakibatkan proses mimikri, masyarakat pribumi yang mengadopsi nilai-nilai kolonial pun tetap memiliki negosiasi tersendiri. Timur yang digambarkan bersifat mistis, primitif, dan barbar dianggap perlu ditertibkan Barat yang logis, modern, dan berbudaya. Selanjutnya, wacana pencerahan ala Barat diterapkan pada subyek terjajah agar mudah dikuasai serta diatur. Sebaliknya, subyek terjajah (Timur) akhirnya beradaptasi dan berasimilasi dengan wacana penjajah (Barat) sebagai upaya untuk didengar dan dikenal. Wacana pencerahan ala Barat diperkenalkan untuk menegaskan gambaran Barat sebagai pusat yang

44

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

mengetahui segalanya di luar dirinya, yang dianggap berhak mengatur hal-hal di luar dirinya. Oleh karena itu, Timur yang ingin dikuasai kemudian diproyeksikan sebagai Other (Liyan), hal di luar Self (Diri) Barat. Derrida menyebut konsep tersebut sebagai “white mythology”. Konsep ini hanya bertumpu pada kebudayaan dan identitas Barat (orang kulit putih) yang mengutamakan logika (reason). Logika yang digunakan disini pun hanya dikhususkan pada bahasa dan ilmu pengetahuan ala Barat. Bahasa dan ilmu pengetahuan tersebut ditempatkan sebagai kebenaran universal yang dapat diterapkan di bagian dunia mana pun. Oleh karena itu, mimikri dipicu oleh penjajah yang berusaha menerapkan mitologinya ke dalam tubuh subyek jajahannya. Hal ini dilakukan melalui penerapan berbagai oposisi biner yang menyebabkan Timur selalu dipersepsi, yang pada akhirnya mempersepsi dirinya sendiri sebagai Other (Liyan) yang selalu berada di bawah kekuasaan Barat sebagai Self (Diri) yang utuh dan otonom. Dengan kata lain, mimikri Timur terhadap kolonial Barat merupakan ekses pembedaan hirarkis yang selalu ditekankan Barat terhadapnya. Timur berusaha menjadi bagian dari Barat dengan melakukan berbagai peniruan. Keadaan yang serupa berlangsung di dunia modern. Berbagai film serta iklan membanjiri pasar dunia menkonstruksi gambaran Barat yang kuat, moralis, dan berpendidikan. Film-film Rambo dan James Bond melambangkan Barat yang tetap berkuasa. Sebaliknya, masyarakat Timur selalu diperlihatkan sebagai pihak yang lemah, barbar, serta tidak berpendidikan. Stereotipe tersebut digambarkan melalui karakter orang kulit hitam yang selalu diperlihatkan sebagai kriminal dan penjahat

45

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

atau karakter orang Asia Timur yang diperlihatkan percaya pada hal-hal gaib. Kenyataan tersebut merupakan ekses dunia neokolonial modern, sebuah dunia yang selalu memproduksi ketidakadilan dan ketimpangan kekuasaan sistem politik dan sosial. Kolonisasi Barat atas dunia timur, terus tumbuh sebagai kategori-kategori determinan dalam putaran sejarah global hingga saat ini. Bahkan kolonisasi baru hadir tetap dengan visi yang sama yakni eksploitasi, namun dengan corak yang berbeda. Kolonisasi baru ini datang dengan cara maksimalisasi pelayanan atas tubuh dan terus merangsang pertumbuhan seduksi yang dikandungnya. Rasa yang diserap oleh tubuh, adalah apriori, sekaligus menjadi dasar (fundamen) dari pertumbuhan modus seduksi tertentu. Ini adalah ruang instingtif, dimana seduksi dibentuk melalui bendabenda sebagai perangsang, dan kemudian ruang di dalam tubuh (adalah kesadaran) ditentukan sepihak. Dalam kata lain, tubuh sang Timur itu didekati berdasar aspek instingtifnya ketimbang kategori humanisnya sebagai “manusia” yang berbudi. Ia mendorong perubahan persepsi dan kebiasaan (penataan dinding ruang kesadaran), bukan melalui relasi tubuh dengan teknologi (nilai guna), namun lebih jauh dalam relasi tubuh instingtif dengan benda-benda baru di sekitarnya. Pertautan tersebut lebih terbaca sebagai pertautan hedonik, dimana benda-benda seperti gadget, komputer, dan lainnya yang memungkinkan percepatan dalam konteks yang terbatas dihadirkan hanya untuk melayani seduksi tubuh. Sementara sistematika nalar yang menghasilkan bendabenda itu sendiri, sebagai pangkal percepatan, tidak pernah hadir dalam tubuh sang Timur itu sendiri. Tubuh itu

46

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

masih berada dalam kategori ruang waktunya sebagai “orang pedalaman”, namun sedang berada dalam kecanduan seduksi atas benda-benda dari luar ruang waktunya sendiri. Atau, benda-benda yang datang bukan dari tubuh sejarahnya sendiri. Dalam konstruk demikian, benda-benda instingtif tersebut sesungguhnya tidak memadai untuk pelanjutan kesejarahan ruang kesadaran masyarakat Timur. Dalam kedekatan bersama benda-benda dalam kerangka hedonik tersebut, apa yang disebut “kemajuan” diukur adanya berkat kehadiran benda-benda modern (gadget, komputer, dll), yang pada dasarnya hanya sekedar pelayanan atas seduksi tubuh. Semakin lama semakin membuat persepsi menyejarah (ruang kesadaran) justru semakin kabur atau bahkan hilang. Jika ditelisik dari apa yang sedang berlangsung di lapangan aktualnya sendiri, lebih tepat disebut sebagai proses sedang berlangsungnya kerja pemutusan sejarah, atau kerja untuk meninggalkan sejarah (lebih ekstrim daripada sekedar melupakan sejarah). Renaissance Yogyakarta : Sebuah Peluang Menempatkan Timur sebagai Subjek? Dalam Rapat Kerja Daerah II DPD KNPI DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur DIY memberikan sambutan yang berjudul “Renaisans Yogyakarta” (Menyongsong Peradaban Baru). Dalam sambutan ini beliau menekankan bahwa ada peluang besar khususnya Yogyakarta untuk melakukan Renaisans. Namun peluang renaisans itu akan terganjal apabila persoalan krisis identitas masih mendera sebagian besar

47

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

masyarakat kita. Proyek renaisans nicaya akan terhambat oleh narasi besar kolonialisme dalam bentuk studi, penulisan, dan penciptaan image mengenai Timur. Untuk itu, proyek renaisans harus di tempatkan dalam upaya pembebasan image Timur yang telah tercipta oleh narasi kolonial. Dengan kata lain, proyek renisans harus memuat bentuk penyadaran dan kritik atas neo-kolonialisme serta hubungan hegemonis kekuasaan dalam bermacammacam konteks. Sehingga ia termasuk dalam proses “membentuk subjek”. Terutama mengkritik pemusatan dan logosentrisme narasi kebudayaan Eropa. Ia adalah “perang” atas pandangan totalistik narasi besar. Atau sebagai sebuah tanggapan atas modernisme yang berasal dari kemunculan berbagai macam “yang lain” dari wilayahwilayah jajahan. Sehingga proyek renaisans menjadi sebuah sikap dan cara pandang yang dapat membuka pemahaman yang objektif terhadap permasalahan yang ada. Proyek renaisans tak bisa dilakukan apabila kita masih saja mengalami kompleks inferioritas. Untuk itu, ia harus menjadi bagian upaya menghilangkan rasa tidak p e rc aya d i r i a t a u i n fe r i o r i t y c o m p l ex . U p aya membebaskan diri dari hegemo ni B arat , dan mendongkrak inferioritas Timur demi posisi yang sejajar dengan Barat. Ia harus ditujukan untuk menghilangkan inferioritas aku (Timur) dengan menjadikannya sebagai pengkaji. Sehingga proyek renaisans dapat menggerakkan kreativitas aku dan menentukan hubungan dialektis antara aku dan liyan. Hal ini dilakukan sebagai manifestasi perpindahan poros dari Atlantik ke Pasifik, sebagai bentuk penyongsongan kita atas perpindahan kebudayaan dari

48

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Barat ke Timur. Sehingga kita bisa mengaitkan maknamakna yang dihasilkan dari cara baca masa kini dengan masa lampau dan merasakan masa lampau dengan masa kini. Agar proyek renaisans dapat menjadi waktu transisi yang berkaitan dengan peringatan peralihan kedaulatan. Terutama peralihan kedaulatan dari Barat ke Timur.

49

Renaissance Yogyakarta dan Gerakan Kita

Dalam pembahasan yang lalu, kita sudah samasama memahami bahwa masyarakat Nusantara mengalami pembalikan arus, dimana setelah masa kejayaannya justru berbalik dengan masa kemunduran hingga mengalami dentuman kolonialisme Barat. Akibatnya masyarakat Nusantara mengalami krisis identitas, mengalami kemandegan sampai kemandulan kebudayaan. Akhirnya kita hanya menjadi korban dari modenitas. Hanya menjadi penikmat dan konsumen abadi hasil perdaban modernitas. Kegagalan Modernitas dan Kegagapan Kita Modernisasi pada awalnya dilaksanakan sebagai usaha untuk mencapai prospek kemajuan bagi Negara dunia ketiga (negara berkembang dan eks jajahan). Hal ini pertama kali muncul pada tahun 1950-an setelah perang

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

dunia kedua. Ini dilakukan di suatu Negara untuk mengembangkan suatu daerah dari tahapan primitif ketahapan yang lebih maju dan modern, serta membuat masyarakat memiliki bentuk dan struktur yang serupa. Di era 50an ini kemudian muncul berbagai program bantuan dari negara maju untuk negara berkembang dengan mengatas namakan proyek modernisasi. Namun yang seringkali terjadi, upaya modernisasi hanya menjadi proses yang diprakarsai dan dikontrol “dari atas” oleh elite politik yang memutuskan untuk mengangkat negara mereka dari keterbelakangan melalui upaya terencana. Ia bukan sebagai gerakan yang bekerja sendiri dari bawah. Sehingga kurang terjadi ke arah yang p r o g r e s i f. B a h k a n y a n g t e r j a d i j u s t r u p r o s e s “Amerikanisasi”, pembaratan dan homogenisasi yang berjalan sangat massif dan terstruktur. Maka modernisasi justru hanya menjadi semacam proses menyamai, mencangkokkan pola dan hasil prestasi negara lain ke negara sendiri. Bukan sebagai proses evolusi yang b e r l a n g s u n g b e r ka l a m e n u j u p ro g re s i fi ta s ata s kekuatannya sendiri. Modernisasi hanya semata-mata menjadi gerakan menuju ciri-ciri masyarakat yang dijadikan model. Terutama peniruan terhadap masyarakat Barat yang dianggap sebagai cetak biru modernitas. Masyarakat industri Barat yang demokratis dijadikan sebagai masyarakat rujukan. Apabila modernisasi diartikan hanya sebatas ini, maka niscaya ia akan mengalami kegagalan bahkan kemerosotan kualitas hidup di berbagai bidang. Fenonema yang sudah terjadi menunjukan demikian, yakni ketika proyek modernisasi gencar dilaksanakan di

52

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

negara kita, yang terjadi justru hanya perubahan material semata, seperti adanya kehadiran bangunan-bangunan megah, gedung pencakar langit, masuknya teknologi canggih. Namun spirit yang mendasari modernitas itu sendiri tak pernah hadir, seperti cara berpikir ilmiah, sikap hidup yang rasional bahkan pencapaian tingkat hidup yang efektif dan efisien. Revolusi Hijau adalah contoh nyata dimana program modernisasi menemui kegagalan bahkan justru mengkibatkan kemerosotan kualitas hidup dan involusi. Revolusi hijau merupakan awal dari merebaknya transformasi total dalam tata cara dan organisasi produksi pangan, terutama padi, yang masih tradisional menjadi tata cara dan organisasi produksi yang modern. Ditinjau secara sosiologis dan human ecology, transformasi itu akan mengganggu mekanisme kerja pada sistem sosial petani dan menggoncangkan hubungan antara sistem s o s i a l p e ta n i d e n ga n e ko s i ste m p e r ta n i a n nya . Keseimbangan terutama keseimbangan hubungan antara m a n u s i a d e n ga n a l a m m e n j a d i te rga n g g u s a at berlangsungnya revolusi hijau, Sehingga hubungan antara kedua sistem itu tidak lagi bersifat simbiosis mutualistik. Akhirnya petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah yang merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi. Revolusi hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri, tetapi dengan pertanian konvensional, petani

53

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

justru tidak mandiri. Petani menjadi tergantung terhadap ketersediaan pupuk kimia, pestisida dan benih serta sarana pertanian lain. Program penyeragaman yang secara struktural dan sistematis ini sangat merusak pola pikir para petani subsisten, dan ternyata berhasil juga menyeragamkan pola pikir para petani pada umumnya. Dimana kultur bertani di kalangan para petani pun memudar. Revolusi Hijau ternyata menyebabkan hilangnya beberapa tradisi dalam sistem pertanian kita. Petani menjadi bodoh dengan melupakan banyak pengetahuan lokal dan menggantungkan diri pada paket-paket teknologi produk industri. Ia juga banyak menghancurkan keragaman hayati di lahan pertanian yang menjadi sumber pangan bagi masyarakat dan petani tradisional. Kesadaran ekologi petani pun hilang. Pertanian yang berjalan sepenuhnya hanya menggunakan kalkulasi sarana-tujuan. Atau dalam bahasa Adorno dan Horkheimer, petani kita terjebak pada struktur mental yang disebut Zweckrationalitat, cara berpikir yang hanya mementingkan capaian target material dan manipulasi teknis semata. Yang terjadi justru seperti apa yang dikatakan Weber yakni fenomena memudarnya daya-daya pesona dunia atau hilangnya pesona alam. Pergeseran dari akal budi objektif ke akal budi instrumental menurut Horkheimer menyebabkan polarisasi atau keretakan kesadaran sehingga manusia bukan lagi memahami realitas sebagai suatu keutuhan yang bernilai pada dirinya, melainkan dengan cara distansi, dimana realitas menjadi serpih-serpih yang berjarak satu sama lain. Disinilah petani mengalami keterasingan

54

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

(alienasi) dengan dunianya yakni dengan alam material ( sistem pertanian) yang ia geluti sendiri, yang menyebabkan ia kehilangan makna sebagai makhluk pemelihara kehidupan. Petani sepenuhnya bergantung pada kekuatan eksternal (buatan pabrik) untuk mengolah lahan pertaniannya. Nilai intrinsik dari kerja bertani itu hilang , ia sepenuhnya dijalankan dengan rasio instrumental. Yang lebih terlihat saat ini, bahkan terjadi degenerasi dibidang pertanian bahkan lost generation. Terjadi diskrepansi antara world view generasi saat ini dengan realitas sosial yang dikonstruk oleh generasi sebelumnya. Disinilah proses modernisasi yang dilakukan gagal membawa masyarakat Nusantara kepada tahapan masyarakat fungsional seperti dalam skema budaya Van Peursen. Kehadiran modernitas hanya mengubah struktur material kehidupan masyarakat Nusantara semata. Tak membawa perubahan mental masyarakat ke dalam alam pikir rasional. Tak pula memberi “pencerahan”, dan pengetahuan baru yang kelak menjadi suatu tanda lahirnya ilmu pengetahuan modern bagi masyarakat Nusantara. Hal itu justru membawa kemerosotan kualitas hidup masyarakat Nusantara di berbagai sektor. Pengembangan ilmu pun mandeg, kita hanya menjadi masyarakat kompilatif bahkan konsumtif terhadap segala bentuk dan hasil peradaban modern. Masyarakat kita justru merasa dirinya terkepung oleh proyek modernisasi, menjadi alien di tengah arus modernitas. Disinilah modernitas justru membawa masyarakat kita ke dalam tahapan mitologi baru.

55

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Menjadikan Renaissance Yogyakarta sebagai Gerakan Apa yang disebut Renaisans dapat dikatakan sukses apabila ia mampu membawa masyarakat kita pada tahapan masyarakat fungsional. Dengan kata lain, sebuah upaya Renassaince dapat dinilai berhasil apabila ia mampu menjadi transisi dari tahapan masyarakat mitologis atau ontologis ke tahapan masyarakat fungsional. Disinilah kita memaknai Renaisans sebagai sebuah gerakan. Sebagai sebuah proses “menuju kesana”. Frase “menuju kesana” dapat kita artikan yakni sebuah masyarakat yang telah mengalami pencerahan, pembebasan dari berbagai keterkungkungan, masyarakat yang telah mampu menempatkan dirinya sebagai “subjek”. Atau dalam bahasa Jerman kita bisa menyebuttnya sebuah upaya menuju zaman Aufilarung. M asya rakat Nus anta ra pa da um um nya perkembangan kebudayaannya terhenti pada tahapan mitologis, terutama stagnan akibat distorsi kolonialisme. Masyarakat mitologis ditandai dengan ciri dimana ia merasa dirinya terkepung oleh dunia gaib. Ia merasa dirinya terkungkung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, yaitu dewa-dewa, alam raya atau kekuatan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi. Di dalam kehidupannya ditandai oleh adanya mitos-mitos yang didalamnya terkandung suatu arahan atau pedoman u nt u k ke lo m po k m asyarakat te rte nt u yan g terimplementasikan melalui cerita, tarian, simbol-simbol, dan pertunjukan wayang. Arahan atau pedoman tersebut berisi ajaran tentang kebaikan dan kejahatan, hidup dan kematian, dosa dan pensucian. Muatan budaya itu berfungsi menyadarkan manusia akan adanya kekuatan/

56

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

daya-daya yang bisa mempengaruhi dan menguasai kehidupan mereka serta alam. Pastinya, menurut Peursen (1968: 40-41), wujud apapun yang ditampilkan oleh kebudayaan tersebut, diliputi kerangka pemikiran yang bersifat spekulatif. Namun tak berarti semua dari mitos, ajaran leluhur dan pengetahuan lokal itu tak berguna. Ada pula mitos, ajaran leluhur dan pengetahuan lokal yang merupakan hasil kreativitas dan uji coba secara terusmenerus dengan melibatkan inovasi internal dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyeasuakan dengan kondisi baru. Tetapi ia hanya sekedar hasil pengamatan maupun pengalaman, Biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turuntemurun atau hasil pengalaman seseorang berhadapan langsung dengan alam. Misalnya, dalam masyarakat Jawa banyak pengetahuan lokal yang sebenarnya hasil pemahaman (insight), persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition) yang berkaitan dengan lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakan bulan ata u m ata h a r i , a st ro l o g i , ko n d i s i ge o l o g i s d a n meteorologis. Pengetahuan lokal ini kemudian sudah sangat menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya, dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang sangat lama. Misalnya, mitologi, seringkali dipakai masyarakat Jawa untuk menerangkan berbagai fenomena berdasarkan proses alam yang sebenarnya. Akan tetapi yang perlu diperhatikan ialah bahwa pengetahuan lokal masyarakat kita kebanyakan berdasarkan hasil evaluasi subyektif dengan cara

57

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

membandingkan antar perlakuan secara sederhana meskipun kadang-kadang disertai dengan informasi kuantitatif. Sehinggs seringkali tidak akurat dan kurang mendalam pada banyak kasus, Namun bukan berarti tak mampu memberikan penjelasan proses alamiah secara logis. Memang mereka tidak menggunakan alat ukur yang ketat dan valid. Karenanya pengetahuan mereka sering sebatas pada apa yang dapat mereka lihat dan rasakan. Per be d a a n a nta ra p en geta h u a n lo ka l de n ga n pengetahuan ilmiah hanya pada persoalan metodologi. Maka yang membuat keduanya berbeda hanya pada “ruang lingkup” dan “kedalaman”. Yang jadi soal, banyak praktek-praktek tradisional yang sudah mencapai tahapan mantap dalam proses evolusinya sehingga seringkali ditiru begitu saja dari generasi ke generasi tanpa berpikir dan diteliti lebih lanjut. Hal ini kemudian memberikan kesan bahwa pengetahuan tradisional bersifat statis. Sedangkan untuk menuju masyarakat fungsional, perlu terlebih dahulu mencapai ke tahap ontologis. Tahap ontologis ialah manusia berusaha untuk mencapai suatu hubungan yang masuk akal antara manusia dan daya daya kekuatan sekitarnya. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana manusia mencapai hubungan yang masuk akal dengan daya kekuatan di luar dirinya? Dengan kata lain, apa yang harus dilakukan agar proses perkembangan masyarakat dapat berjalan dari mitologis ke ontologis? Kodifikasi dan Sistematisasi Upaya yang perlu dilakukan untuk membangun suatu hubungan yang masuk akal antara kita dan alam ialah kodifikasi dan sistematisasi pengetahuan lokal.

58

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Kodifikasi dan sistematisasi yakni terkait dengan transformasi pengetahuan lokal ke dalam metodologi ilmiah. Sehingga dengan cara ini pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristikkarakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu rasional dan teruji. Kodifikasi dan sistematisasi juga sebagai upaya melengkapi pengatahuan lokal yang masih terbatas pada hasil evaluasi subjektif dengan metode ilmiah dan gagasan pengetahuan modern. Namun yang menjadi kendala, pengetahuan indigenous atau lokal sudah melebur di dalam suatu sistem yang dinamis dimana aspek sptiritual, kekerabatan, politik lokal dan faktor lain terikat bersama dan saling mempengaruhi. Sebagai misal, pengetahuan ekologi petani Jawa seringkali sulit terdeteksi karena sudah demikian menyatu dalam praktek bertani mereka. Sehingga mitologi sudah merupakan suatu bagian integral dari pengetahuan indigenous dan tidak perlu dipisahkan dari pengetahuanpengetahuan teknis. Kepercayaan spiritual tentang alam mungkin mempengaruhi bagaimana mereka mengelola sumber daya alam dan bagaimana masyarakat tersebut mengadopsi strategi baru pengelolaan sumber daya. Untuk itu, tahap pertama dalam proses ini adalah mengatasi adanya hambatan bahasa dengan inventarisasi istilah lokal dan kemudian diikuti oleh eksplorasi pengetahuan lokal yang ada. Tahap kedua, eksplorasi pemahaman tentang pengetahuan lokal misalnya yang meliputi pemahaman tentang komponen bentang lahan, iklim, tanah, vegetasi dan fauna dan tentang dinamika hubungan antar elemen-elemen tersebut, termasuk usaha-usaha pengelolaannya. Disini dengan metode

59

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

ilmiah, pengetahuan lokal akan digubah menjadi systematic knowledge. Pengetahuan lokal yang diadopsi masyarakat itu dikumpulkan,kemudian dirangkai dan dianalisa menjadi model pengetahuan yang lebih terstruktur. Dilengkapi dengan gagasan pengetahuan modern. Kemudian diuji cobakan kembali bersama masyarakat. Memang yang sulit terkait dengan preservasi khazanah kearifan lokal adalah adanya kenyataan bahwa pengetahuan seperti ini pada dasarnya merupakan pengetahuan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, pengetahuan ini tidak semata-mata dapat diperoleh dari buku atau dokumen-dokumen tercetak lainnya melainkan berada di sekitar kita menunggu untuk ditemukan, dikaji dan dikumpulkan. Dengan kata lain, meminjam istilah Polanyi (1966), kea rifa n lo ka l leb ih b a nya k b erb ent u k s eb a ga i pengetahuan tersembunyi (tacit knowledge), yakni pengetahuan yang melekat dalam sikap, pandangan, praktek atau pengalaman individu atau masyarakat t e r t e n t u s e h i n g ga m e ny u l i t ka n ko d i fi ka s i d a n pengaturannya. Polanyi juga menambahkan bahwa pengetahuan yang terungkap dalam bahasa formal (explicit knowledge) sebenarnya hanya mewakili puncak gunung es dari keseluruhan badan pengetahuan. Dalam konteks ini, bagaimana pun perlu ada upaya untuk mentransformasi kearifan lokal sebagai tacit knowledge ke explicit knowledge sehingga dapat diakses, dipelajari dan didayagunakan. Tu j u a n d a r i ko d i fi ka s i d a n s i ste m a ti s a s i pengetahuan lokal adalah membawa masyarakat Nusantara pada tahapan ontologis dimana ia tidak hidup

60

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

lagi dalam kepungan kekuatan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu dan mengenai segala sesuatu menurut rinciannya. Untuk mencapai perubahan dari ketergantunganketergantungan sikap dan perilaku tahap mitis, menuju ke pembebasannya (tahap ontologis), dan itulah manfaat praktis bukan teoritis, yang memang sangat diharapkan. Maksud dari penggambaran yang bersifat gaib, transendental, dan abstrak diganti dengan keteranganketerangan yang lebih faktual. Kesadaran ontologis yang mengarah pada implementasi faktual ini, mengharuskan manusia untuk menghadapi dunia ini dengan lebih kreatif serta inovatif, dan hidup yang selalu berubah serta baru (Van Peursen, 1968: 55-59). Kesadaran yang demikian tampak lebih aktual dan progresif ketimbang kesadaran mitis yang lebih bernuansa pasrah.

61

Pemuda Istimewa Bergerak

D a l a m m e n j awa b Re n a i s a n s d a n ke i sti m e wa a n Yogyakarta, apa yang disebut pemuda yang selama ini dikenal dan menjadi konsepsi organisasi KNPI, perlu di reposisi atau di redefinisi kembali. Karena mau tak mau, telah terjadi perubahan alam material, terutama terkait adanya perubahan poros Antlantik ke Pasifik dan upaya penyongsongan kita atas ide Renaisans dan keistimewaan Yogyakarta. Sehingga akan terjadi ketegangan antara struktur subjektif manusia atau individu dengan struktur objektif yang ada di luar dirinya. Karena manusia selalu dalam posisi dialektis (interaksi timbal balik) antara apa yang ada di dalam dirinya dengan struktur atau realita yang terjadi di luar dirinya. Untuk itu, organisasi sebagai tempat dimana proses komunikasi antara individu atau kenyataan subjektif dengan struktur sosial di luar dirinya itu terjadi, perlu memperbaharui diri. Jika tidak, ia akan mengalami

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

krisis legitimasi. Dalam pendekatan sosiologi pengetahuan Peter L. Berger dan Thomas Luckman hal ini disebut dengan istilah “eksternalisasi” yakni proses penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural yang mengalami perubahan. Kemudian proses ini akan berlanjut pada tahap “obyektivasi” yakni interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang kemudian nantinya akan mengalami proses pelembagaan atau me ngalami prose s intitusionalisasi. Namun disini kita akan berbicara proses ekternalisasi lebih dulu, baru di pembahasan selanjutnya kita akan berbicara soal “obyektivasi”. Intelektual Organum : Menyongsong Renaissance, Menyambut Keistimewaan Di era sekarang ini, posisi pemuda dalam kehidupan sosial semakin kabur bahkan abu-abu. Hal ini dikarenakan sejak zaman Orde Baru gencar dilakukannya “depolitisasi” massa termasuk didalamnya adalah pemuda. Seperti yang disampaikan oleh Bennedict Anderson, misalnya, menyebut bahwa definisi “pemuda” sejak revolusi kemerdekaan sampai menjelang Orde Lama mereka selalu dikaitkan dengan “dimensi politik”. Akan tetapi setelah Orde Baru berkuasa bukan hanya terjadi degradasi makna bahkan dekadensi. Pergesaran makna “Pemuda” menjadi “Remaja”. Artinya hasil dari depolitisasi pemerintah Orde Baru, Pemuda mengalami pergeseran makna yang dulunya memuat dimensi politis, menjadi “Remaja” yang berkaitan dengan soal gaya hidup. Disinilah pemuda menjadi massa yang mengambang (floating mass). Pemuda menjadi kalangan yang seringkali

64

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

“galau”. Memasuki era reformasi yang mulai compangcamping, gerakan pemuda mulai menunjukkan titik beku dan hanya muncul gerakan-gerakan permukaan. Bahkan k i n i p a s c a p ro s e s d e m o k ra ti s a s i h a l i t u m u l a i memperlihatkan kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Apalagi soal sensitivitas isu global, mereka kurang memahami adanya perubahan-perubahan konstelasi global yang berkembang. Bahkan mereka hanya sekedar “ikut-ikutan” isu yang berkembang sehingga dengan tanpa sadar-sebenarnya mereka lebih banyak mengusung wacana yang kurang menyentuh persoalan dan jauh dari kenyataan yang ada di masyrakat ketimbang masalah yang sebenarnya dihadapi oleh masyarakat sipil di negara berkembang (periphery). Hal ini mempengaruhi struktur mental dan pengetahuan mereka. Dalam struktur mentalnya, mereka seringkali menempatkan dirinya sebagai Ratu Adil yang jika tanpa dirinya, persoalan itu tidak akan selesai. Dengan kondisi struktur mental dan pengetahuan seperti itu, kalangan pemuda seringkali bersikap dan berperilaku “heroisme narsis”, yang dengan gaya hidupnya mereka sengaja mengidealkan diri mereka sebagai kelas kosmopolitan, yang justru sebenarnya malah semakin menjauhkan diri mereka dari kenyataan. Dengan kondisi mental yang cenderung elitis, lemah dalam menangkap perubahan global, tidak salah jika sebagian masyarakat ada yang menganggap perjuangan mereka tidak lebih sebagai bentuk kepanjangan tangan dari sistem besar, yaitu globalisasi. Bahkan korban dari globalisasi itu sendiri. Meminjam istilah Anton Lucas, yang muncul "pemuda-pemudaan".

65

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Mereka muda, tapi tak lekat pada dirinya nilai dan semangat revolusioner. Sebab, mereka lahir dari tradisi dan budaya politik profitur, mereka tergugah bergerak karena ada pamrih nasi ponggol dari dapur umum. Untuk itu, perlu adanya sebuah konsepsi yang progresif untuk membangkitkan pemuda yang lemah ini, seperti kata Chairil Anwar perlunya "menyediakan api" bagi pemuda bertindak sebagai splendor varitatis, orang yang mampu memberikan sumbangan yang relevan dalam pergulatan hidup sekian juta manusia yang mendambakan gemerlap cahaya kebenaran. Dan kini sejarah memberikan kita pertanda akan pentingnya sosok pemuda pembawa terang. Perlu segera ada kebangkitan pemuda sebagai kekuatan pencerah di masa gawat. Maka disinilah pentingnya upaya reposisi gerakan pemuda, terutama demi menyambut keistimewaan dan renaisans Yogyakarta. Sebuah reposisi yang bisa mengembalikan political will pemuda itu sendiri d a l a m m e l e m b a ga ka n n i l a i d a n h a s rat m e ra i h kemanusiaan yang modern, maju, dan progresif. Reposisi yang sesuai dengan semangat keistimewaan dan renaisans Yogyakarta, ialah menempatkan peranan gerakan pemuda sebagai “intelektual organum”. Terutama reposisi mendasar peran kepemudaan perlu dilakukan terkait tantangan-tantangan umum globalisasi dan kesinambungan budaya. Reposisi peran pemuda ini menjadi sebuah keniscayaan karena tantangan pada perubahan dunia secara global tidak lagi sama dengan tantangan perubahan dunia pada 10-20 tahun yang lalu. Intelektual Organum ialah komunitas cendekia yang santun, namun aktif dan kritis. Sebagai golongan

66

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

intelektual, tugas kita memang bukan sekedar “memberi makna” terhadap realitas sosial globalisasi, menguatnya neoliberalisme saat ini, dan meratapinya. Tugas kita sebagai intelektual adalah ikut menciptakan sejarah dengan membangun gerakan pemikiran dan kesadaran kritis untuk memberi makna masa depan kita sendiri. Komunitas intelektual organum memang minoritas, tapi minoritas kreatif, karena kita hendak membangun pemuda yang punya cakrawala berpikir luas dan visi jauh ke depan. Dengan ide keistimewaan dan renaisains Yogyakarta yang diemban serta visi yang melekat di dalamnya sekaligus menuntut kita bertindak menjadi ujung tombak gerakan. Dengan itu, kita bisa menghindari seperti apa yang ditegaskan Ngarso Dalem dalam karangannya “Kerangka dan Konsepsi Politik Indonesia” yakni kecenderungan KNPI untuk menjadi organisasi wadah “vested interest” dan sebagai suatu jawatan (KGPH.H. Mangunbumi, SH, 1989). Yang dalam hal ini, bisa merusak elan vital perjuangan KNPI itu sendiri sebagai organisasi pemuda. Inilah tantangan terbesar kaum muda zaman kita yakni berani mengadakan perubahan mendasar sikap mental yang meminta jabatan. KNPI harus memiliki jiwa pembaruan yang berakar pada keyakinan yang mendalam di tangannya sendiri. Jika kita bergerak memperbarui diri maka dengan itu kita harus menata kembali keadaban politik pemuda. Yang nantinya juga bertanggung jawab atas keadaban publik. Oleh karena itu, perlu adanya kesebangunan antara gerakan politik kaum muda dengan gerakan renaisans dan keistimewaan Yogyakarta yang bertujuan untuk memperbaiki keadaban publik. Disini peranan

67

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

pemuda (KNPI) layaknya peranan pemuda di Eropa di saat gerakan Renaisans terjadi, yakni bagian dari upaya besar membangun jembatan kultural yang mempertautkan semangat renaisans dan modernitas dengan tradisi kearifan masa lampau. Seperti yang terjadi di Jerman di era Third Reich, misalnya, dimana gerakan renaisans dirumuskan dalam suatu kesinambungan yang hidup dengan kejayaan kerajaan Prusia yang mendahuluinya. Mereka mampu memaknai kearifan masa lampau secara hidup, dinamis dan interpretatif. Sehingga mengilhami gagasan-gagasan progresif dan dapat membuka pendefinisian ulang modernitas dalam hubungannya dengan tradisi. Seperti gagasan Dante misalnya, ia berbicara tentang arti penting sebuah kolektivitas budaya. Bahwa didalam masyarakat, singkatnya, melekat sebuah budaya. Sementara setiap budaya memiliki kontribusi yang unik dan tak tergantikan bagi kemajuan umat manusia, maka perjumpaan dan kesinambungan antara renaisans sebagai bangunan modernitas dengan kultural yang dalam hal ini kita memiliki konsepsi keistimewaan menjadi kebutuhan yang laten dan krusial. Sehingga renaisans dan keistimewaan Yogyakarta sebagai konsepsi merupakan kerangka kolektif yang diperlukan bagi kebutuhan perjumpaan dan kesinambungan kultural ini. Ia menempatkan kembali semangat renaisans dan kultural yang hidup, dinamis dan interpretatif terhadap modernitas dalam kaitannya yang erat dengan konsepsi kesinambungan budaya dan fitrah manusia. Jika tidak ada upaya kesinambungan antara modernitas (renaisans) dengan kearifan budaya masa lampau (keistimewaan)

68

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

maka kita bakal tergulung oleh arus globalisasi ke arah apa yang disebut Giddens sebagai kemunculan impresif “masyarakat kosmopolitanisme global”. Dimana supremasi individu ditegakan diatas komunalisme ikatanikatan sosial. Kehidupan bersama pun terancam oleh keserakahan individu. Melepaskan individu dari kewajiban sosial, memudarkan daya tarik nilai-nilai kebajikan publik atau virtu, memburamkan romantika sosial terhadap memori-memori kolektif, dan pada akhirnya membuat individu-individu kian terdesak dalam situasi krisis identitas. Tercerabut dari akar sosial setempat tetapi tak kunjung mendapatkan alternatif sumber identitas baru yang sepadan di tingkat global Sampai memenjarakan kita pada rantai ketergantungan.. Maka tak khayal, kita pun terjabak oleh apa yang disebut Zygmunt Bauman dengan istilah “vagabondisme”. Dimana globalisasi menjanjikan kenyamanan petualangan tanpa batas, tetapi alih-alih menyediakan itu, ia lebih sering jatuh dalam vagabondisme. Vagabondisme memang istilah yang kurang dikenal, tetapi vagabonds berarti “para gembel” yang dijumpai di mana-mana. Dalam hal ini, di era globalisasi seseorang berkelana bukan karena keinginan sendiri. Melainkan karena tidak punya pilihan. Ia menjadi vagabond, seorang gembel yang tercerabut identitasnya yang didefinisikan dalam kaitan suatu tempat. Bahkan ia tidak lagi memiliki tempat untuk kembali. Disinilah pentingnya konsepsi renaisans yang bersanding dengan keistimewaan Yogyakarta, agar kita tak keluar dari sarang tradisi. Karena globalisasi tidak memiliki tanah terjanji atau promised land, karena sekali-kali ia bukan konsep tentang tempat, place atau territory. Dalam

69

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

globalisasi, konsepsi tentang tempat telah direduksi menjadi sekadar ruang, space, atau tempat singgah yang oleh karena sifatnya tidak cukup kuat untuk menjadi sumber identitas. Disinilah peranan gerakan pemuda dalam kaitan yang integral dengan arti penting renaisans dan keistimewaan Yogyakarta sebagai kesinambungan budaya. Dan arti gerakan pemuda disini bukan hanya sekedar sekumpulan individu atau paguyuban OKP, namun gerakan pemuda sebagai sebuah eksponen budaya. Memang, sejak revolusi bunga tahun 1970'an, generasi muda dunia yang kemudian disebut baby boomers, memang lebih banyak muncul sebagai konsumen komersialisasi budaya pop dunia ketimbang sebagai agen sosial yang kritis. Namun gerakan Teologi Pembebasan Amerika Latin 1980an mulai terlihat kembali progresivitas politik kaum muda. Walau masih pada taraf heroisme ababil seperti menambah lebih banyak kaos bergambar Che Guevara yang seringkali membuat narasi-narasi progresif menjadi bagian dari budaya pop. Tanpa pemaknaan dan penghayatan substansi yang mendalam. Sehingga tidak mengembalikan keterperangkapan umum mereka dalam krisis budaya. Maka sebuah reposisi dan reaktualisasi peranperan kultural kaum muda dalam muara-muara penguatan identitas kolektif yang secara elegan mewadai kebutuhan bagi perjumpaan kultural di satu sisi dan kesinambungan budaya di sisi yang lain secara kontekstual menemukan arti pentingnya kembali. Gerakan ini bukan sebagai “kolektivitas etnik”, melainkan “hak atas budaya”. Oleh karenanya, transformasi peran kultural kaum muda

70

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

dalam peran-peran progresif renaisans dan keistimewaan sangatlah penting untuk menjawab perubahan dunia global yang sudah di depan mata. Power Of Knowledge: Agenda Peningkatan Kapabilitas Napoleon Bonaparte pernah berkata bahwa ”Suatu ketika nanti, akan tiba masanya sebuah gagasan mempunyai kekuatan yang lebih dahsyat ketimbang sebatalion tentara”, ungkapnya. Kini sedang terjadi sebuah perubahan terpenting, yakni sebuah perubahan yang kini sedang membentuk ulang planet kita. Bukan hanya sekedar perubahan poros dari Atlantik ke Pasifik. Namun perubahan itu berkaitan dengan hal yang lebih mendasar. Lebih tepatnya ia sebuah “pergeseran”, pergeseran kekuasaan. Kekuasaan adalah salah satu fenomena sosial paling mendasar dan ia terkait dengan sifat dasar alam semesta. Selama tiga ratus tahun, kita melihat wajah dunia penuh dengan pergolakan, mulai dari perang antar imperium kerajaan besar dunia sampai pada perang dunia. Semuanya menjadikan kekuatan fisik atau senjata sebagai andalan atau penggerak utama dari konstelasi yang bergerak. Begitu juga di era pasca perang dingin, kekuatan berubah menjadi dominasi lewat penawaran atau pengambilan keuntungan material. Namun Alvin Toffler, seorang pemikir yang di pertengahan abad ke-20 telah menyatakan secara antisipatif dan apa adanya bahwa logika kekuasaan itu telah mengalami pergeseran di lapis yang paling mendasar. Jika sebelumnya kekuasaan bergerak karena kekuatan fisik (dominasi lewat senjata) dan kekuatan uang (dominasi lewat penawaran atau pengambilan keuntungan material), maka di masa

71

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

depan kekuasaan bergerak lewat kekuatan pengetahuan sebagai perantaranya. Persisnya: kekuasaan meluas dan menyebar lewat cara bagaimana pengetahuan diperoleh, diolah, ditafsirkan, dan dipahami. Singkatnya, bukan lagi senjata dan uang, melainkan epistemologi (apa yang dapat saya ketahui dan bagaimana sesuatu dapat diketahui) yang menjadi poros penggerak kekuasaan di masa depan (Ito Prajna-Nugroho, 2014). Dengan kata lain, menurut Alvin Toffler, sekarang ini kita sedang berada dalam momentum dimana struktur kekuasaan-kekuasaan yang mengendalikan dunia sedang mengalami disintegrasi dan suatu struktur kekuasaan yang sama sekali berbeda sedang mengambil bentuknya. Struktur kekuasaan baru, yang ditandai oleh peranan sentral pengetahuan itu, kini sedang muncul pada semua tingkat kehidupan masyarakat bangsa manusia. Apa yang disebut oleh Toffler (dalam Ito Prajna-Nugroho, 2014) sebagai trinitas kekuasaan dengan derajat kualitas tertinggi adalah pengetahuan. Dalam bahasa Toffler: “Pengetahuan memperlihatkan diri tidak hanya sebagai sumber dari kekuasaan dengan derajat kualitasnya yang tertinggi, melainkan juga menyatakan diri sebagai unsur yang terpenting dalam (memanfaatkan) kekuatan fisik dan uang. Pengetahuan telah bergeser dari sekadar pelengkap kekuatan uang dan fisik, menjadi dasar yang paling hakiki. Pengetahuan faktanya merupakan kekuatan yang terkuat. Inilah kunci menuju pergeseran kekuasaan yang terbentang di depan, dan ini juga menjelaskan mengapa pertarungan untuk mengendalikan pengetahuan dan sarana-sarana komunikasi tengah terjadi dengan sengit.”

72

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Menyikapi pergeseran kekuasaan ini, maka sudah saatnya kita menjadikan pengetahuan sebagai kekuatan utama dalam pergerakan. Dengan kata lain, modal intelektual didudukkan di tempat strategis dalam konteks kinerja atau kemajuan suatu organisasi. Mungkin pertama dapat kita rujuk dari fenomena pergeseran tipe masyarakat dari masyarakat industrialis dan jasa ke masyarakat pengetahuan dalam Drucker (1997, 2001) misalnya meramalkan datangnya dan sekaligus mendeskripsikan pergeseran ke arah era masyarakat pengetahuan (knowledge society). Dalam masyarakat tipe ini, pengetahuan, juga kapabilitas untuk belajar (learning capability), dan tindakan berinvestasi untuk maksud membangun basis- basis intelektual merupakan penggerak perubahan yang cepat dalam masyarakat dan karenanya manusia sebagai pekerja pengetahuan (knowledge worker) menjadi aktor utamanya. Vitalnya kedudukan pengetahuan dalam masyarakat baru ini telah disuarakan juga oleh Alfred Marshall dengan mengatakan bahwa pengetahuan adalah mesin produksi yang paling powerfull (dalam Bontis 2005). Secara ringkas Smedlund dan Poyhonen (2005) mewacanakan modal intelektual sebagai kapabilitas organisasi untuk menciptakan, melakukan transfer, dan mengimplementasikan pengetahuan. Tampak sebanding dengan itu, Nahapiet dan Ghoshal (1998) merujuknya sebagai knowledge dan knowing capability yang dimiliki oleh sebuah kolektivitas sosial (misalnya organisasi, komunitas intelektual). Definisi i n i d i g u n a k a n m e r e k a d e n g a n p e r ti m b a n g a n kedekatannya dengan konsep modal manusia, salah satu unsur modal intelektual yang oleh Fitz-enz (2000) disebut

73

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

s e b a ga i kata l i s ato r ya n g m a m p u m e n ga k ti ha n intangibles, komponen lain yang inactive. Sejalan dengan itu, Gramsci juga mengatakan bahwa “Tidak ada organisasi tanpa intelektual, dengan kata lain, tidak ada pengorganisasian, tanpa aspek teoritis dari kesatuan teori-dan-praktik yang dalam konkritnya terwujud dalam strata orang-orang yang berspesialisasi dalam elaborasi konseptual dan filosofis”. Peningkatan kapabilitas dan intelektual dalam organisasi merupakan sebuah hal yang mendesak di tengah pendangkalan intelektual yang semakin merebak di dunia pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Fenomena yang ditandai oleh pendangkalan intelektualitas yang tidak disadari disertai dengan menurunnya kualitas akademik dan merosotnya komitmen terhadap bidang ilmu yang digeluti para akademisi. Atau sebuah fenomena floating academic. Fenomena ini pun mengakibatkan banyak orang yang mempersoalkan tentang Quo vadis organisasi pemuda atau hendak kemana biduk organisasi pemuda digerakkan. Namun peningkatan kapabilitas dan menjadikan pengetahuan sebagai kekuatan, haruslah diciptakan sebuah “habitus” yang memungkinkan adanya agenda itu. Habitus sering dipaham i sebagai hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang tidak selalu harus disadari. Tindakan praktis itu menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Bourdieu, 1994 : 16-17). Habitus menjadi penghasil praktik-praktik kehidupan sejalan struktur sosial yang membentuknya. Perilaku buruk seperti korupsi, mentalitas menerabas, mangkir terhadap tanggung jawab, menolak mengundurkan diri

74

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

karena tugas tidak beres, dan politik uang adalah produk dari habitus, yang kemudian menjadi kebiasaan atau praktik yang wajar yang terus direproduksi. Kebiasaan buruk itu terkait dengan praktik-praktik sosial, cara pandang, sistem pengorganisasian, interaksi kekuasaan, dan norma yang berlaku. Untuk mengubah kebiasaan buruk itu perlu ditemukan simpul-simpul perubahan habitus dalam interaksi sosial. Ada tiga bentuk interaksi sosial yang dominan yang perlu dicermati agar mampu membawa perubahan, yaitu interaksi komunikasi, kekuasaan, dan sanksi/moralitas (A Giddens, 1993 : 129). Perubahan dalam modalitas dari ketiga bentuk interaksi itu (kerangka penafsiran, fasilitas, dan norma) yang akan menentukan perubahan habitus. Mengapa kerangka penafsiran harus berubah? Karena habitus adalah kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realitas. Ia sekaligus penghasil praktik-praktik sosial. Maka, ia menjadi dasar kepribadian seseorang. Kerangka penafsiran menentukan kualitas pemaknaan. Pertaruhan dalam pemaknaan ialah gaya hidup (keseluruhan selera, kepercayaan, praktik sistematis, opini politik, dan keyakinan moral). Perubahan ketiga modalitas itu hanya bisa dimulai melalui pendidikan. Perubahan habitus mengandaikan pendidikan yang membuat banyak anggota masyarakat mengadopsi kesadaran refleksif yang menempa kemampuan untuk membuka simpul-simpul pengikat praktik-praktik sosial lama. Maka, wacana hanya bisa bernilai bila menumbuhkan praktik-praktik sosial baru.

75

Mencapai Kejayaan Nusantara

Maritim Yang Dilupakan Dalam kumpulan suratnya untuk putri sulungnya yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), Pramoedya mengeluhkan kondisi kapal yang mengenaskan, kapal yang membawanya ke pengasingannya di Pulau Buru. Kapal itu reot bahkan nyaris rusak dan ini pertanda bahwa kapal itu terlihat sama sekali tak terpelihara. Cerita Pramoedya adalah secarik kisah miris bahkan mungkin ironi. Ironi dari negeri bahari yang sama sekali tak punya rasa peduli dengan pemeliharaan kapalkapalnya. Sungguh mengenaskan, negeri yang memiliki lautan yang membentang luas di hampir semua wilayahnya namun penduduknya miskin akan kesadaran maritim, miskin akan kesadaran eksistensi lautan. Cerita yang sama juga disampaikan oleh Pramoedya dalam Arus

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Balik bahwa pasca runtuhnya Malaka dan Majapahit, negeri yang dulu dikenal dengan imperium maritim ini mulai tak lagi mengurus armada-armada lautnya, banyak dari armada-armada itu terbengkalai bahkan tak lagi dikembangkan sebagai armada. Kerajaan-kerajaan yang ada mulai terpecah belah, wilayahnya mulai menyempit ke pedalaman dan tercerai berai hingga banyak dari kerajaankerajaan kecil itu tak lagi mengembangkan armadanya di wilayah laut. Tak ada lagi kapal-kapal besar sehebat kapalkapal Majapahit yang menaklukan lautan Asia. Inilah awal pertanda kemunduran dari negeri bahari ini. Namun kemunduran ini lebih terasa ketika kolonialisme Belanda mulai berkuasa di bumi pertiwi. Belanda berhasil menanamkan perspektif kontinental atas Nusantara di dalam benak masyarakat pribumi lewat kebijakan kolonial yang masif dan agresif. Belanda memang tidak pernah memandang laut di Nusantara sebagai sumber daya alam strategis. Pelayaran Hongi yang dilancarkan pada abad ke-17 justru bertujuan melakukan blokade laut untuk mencegah perdagangan gelap rempahrempah antara pribumi penanam rempah dan pesaingpesaing VOC, serta mengontrol perdagangan hasil bumi darat (cengkih). Lalu, dengan dikeluarkannya kebijakan tanam paksa pada 1830, aktivitas perdagangan dan ekonomi makin memusat ke daratan, terutama di bidang pertanian dan hortikultura. Sebagai dampaknya, industri perkapalan dan usaha perikanan tidak pernah mengalami kemajuan. Tak ada lagi kapal-kapal besar yang dibangun oleh kaum pribumi yang tidak hanya sanggup melayari selat-selat antarpulau tetapi juga samudra-samudra luar. Ditambah lagi dengan ditetapkannya Batavia sebagai

78

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

pelabuhan utama dan pusat administrasi pemerintahan Hindia Belanda, yang menyebabkan matinya banyak pelabuhan-pelabuhan tradisional di sepanjang pantaipantai Nusantara menjelang akhir abad ke-17. Sehingga kekuasaan kolonial Belanda dapat dikatakan sebagai biang kerok dari marginalisasi aspek maritim secara sistematis dalam evolusi kesadaran kebangsaan Salah satu perpektif kontinental yang berhasil ditanamkan kolonial Belanda pada masyarakat Nusantara adalah sebuah peninggalan pengertian bahwa Indonesia adalah “negara kepulauan”. Atau yang biasa disebut dengan “Achipelago State”, yang berarti “pulau-pulau yang dikelilingi air”. Atau sebuah “gugusan pulau”. Hal ini sangat menyesatkan, mengingat arti Nusantara adalah “Kesatuan Kepulauan yang terletak antar dua benua dan dua samudera”. Atau “perairan yang bertaburkan pulaupulau”. Arti Nusa adalah kesatuan pulau sedangkan kata Antara menunjukan letak “diantara”, terutama diantara dua unsur yakni dua samudera dan dua benua. Sehingga lebih tepatnya, Indonesia adalah “negara maritim”, bukan negara kepulauan. Seperti apa yang dikatakan Bung Karno dalam peresmian Institut Angkatan Laut, 1953, “….Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya.., bangsa pelaut dalam arti kata Cakrawati Samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga dan armada militer, yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri..” Namun perpektif kontinental ini sudah lama tertanam di benak kita. Perspektif kontinental kemudian kembali diperkuat kembali ketika Orde Baru berkuasa. Proyek pembangunan yang digencarkan Orde Baru dari mulai

79

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Repelita sampai Revolusi Hijau tak ada yang mengembangkan wilayah maritim sebagai aspek yang strategis. Ditambah orientasi pertahanan di era Orde Baru yang hanya mengembangkan pertahanan di wilayah darat seperti pembangunan satuan pertahanan dari Kodam, Korem, Kodim, Koramil sampai Babinsa semuanya berpusat di daratan. Sedangkan aspek maritim kembali terpinggirkan dari orientasi geopolitik nasional. Masalah ini mulai mengeras dengan adanya sentralitas Jakarta sebagai pusat administrasi kekuasaan. Dalam kaca mata seperti ini, laut-laut lenyap dari bayangan dan yang ada tinggalah seonggok daratan luas yang seolah tak teriris-iris oleh air. Aspek kemaritiman semakin kering bahkan terhapuskan dari perkembangan kesadaran kebangsaan dan wawasan nusantara. Memori kepulauan absen dari kesadaran kita. Sehingga kita sebagai bangsa tak lagi dapat memandang diri kita sebagai bagian dari sebuah entitas kepulauan. Di tengah arus perdagangan dunia kita absen untuk bersaing dengan potensi lautan kita yang maha luas. Yang ada hanyalah kebingungan, mencoba mengais-ngais kesadaran kebaharian yang lama sudah dibenamkan. Persaingan dunia tetap berjalan sengit, kita justru seakan teriak histeris, terkejut bahkan gagap merasa kehilangan eksistensi kelautan kita. Wacana tentang kemaritiman mulai gaduh dilontarkan dan ramai dibicarakan. Namun didalam benak sudah tak lagi ada kesadaran tentang eksistensi negeri bahari. Kesadaran kebangsaan yang tercipta pun hanya melahirkan rasa cinta tanah air yang mengering dan meranggas. Karena dimensi air yang dinamis dan mengalir bebas dilesapkan ke dalam dimensi

80

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

tanah yang keras. Yang ada hanya apa yang disebut Soekarno dengan istilah “Nasionalisme yang sempit budi”, kesadaran kebangsaan yang hampa secara geopolitik dan perkembangan riwayat ekonomi dunia. Teriakannya bagaikan nasionalisme kesiangan, yang dipenuhi dindingdinding psikologis yang menghalangi pandangan mata untuk menatap ruang-ruang bangsa. Dan memang, sejak duduk di sekolah dasar kita di konstruksi dengan keyakinan bahwa kita adalah Negara agraris. Padahal 70 persen wilayah Negara kita terdiri dari lautan. Disini kolonialisme berhasil menanamkan perspektifnya di dalam benak masyarakat kita pada umumnya. Mereka berhasil meneguk untung atas itu semua. Dengan itu mereka bisa mengeruk keuntungan atas investasi hasil pertanian dan perkebunan tanamantanaman darat seperti cengkeh, pala, kopi, gula, kokain sampai sawit yang notebene sebagian besar modalnya berada di tangan mereka. Hal ni bukan sesuatu yang kebetulan dan terjadi begitu saja, namun sebuah proyek pemutusan sejarah dari benak dan kesadaran masyarakat kita yang dijalankan secara sistematik bahkan ini layaknya sebuah proyek agar sebuah bangsa meninggalkan sejarahnya. Dengan terhapusnya kesadaran geospasial atau kesadaran akan ruang, bangsa ini seakan lumpuh untuk mengembangkan kekuatannya dan membangun kemajuan. Bangsa ini seakan-akan memang sudah tak lagi mampu bersaing, tak lagi mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Dengan kata lain, dibuat tak berdaya mengahadapi berbagai tantangan di depan mata. Sehingga seolah-olah wajar untuk selalu bergantung, untuk selalu membutuhkan uluran tangan dari sang paman yang

81

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

menjalankan proyek imperial. Hal ini lebih dari sekedar proyek hegemoni, lebih dari sekedar hubungan yang dominatif antara Barat-Timur, antara Negara Maju-Berkembang, namun sebuah proyek sistematik untuk melumpuhkan kesadaran eksistensial sebuah bangsa. Dalam psikoanalisis Lacanian, proses ini disebut dengan proses Colony Complex yakni proses menjauhkan masyarakat pribumi dari eksistensi alam serta ruang dan waktunya melalui mekanisme alam bawah sadar. Sehingga ia berada di tengah kehancuran eksistensi dirinya. Namun ia justru mengalami “kenyamanan narsistik”. Tampak nyaman dan narsis ketika dunia berlomba menjadikan kita konsumen abadi modernitas. Maka wajar apabila di tengah persaingan global saat ini, solusi yang diambil oleh pejabat negeri ialah menjual kota, menggadaikan sumber daya alam untuk mengundang investor asing. Negara ini seakan mengalami “kutukan ko l o n i a l ” ya n g b e rs i fat a l a m i a h ya n g a k h i r nya mengolonisasi kesadaran sosial secara laten. Hal ini membuat bangsa kita seakan tak mampu untuk merumuskan apa yang dinamakan dengan masa depan. Seolah-olah bangsa ini tak punya pilihan masa depan. Masa depan bangsa ini seakan hanya ada di tangan orang lain, seakan berada di luar jangkauan kita, seakan sama sekali di luar kesadaran kultural kita. Sehingga di tengah b e rd i r i nya N e ga ra Re p u b l i k ya n g m e rd e ka i n i , kenyataannya justru Negara ini terasa hanya seperti dominion dari Negara imperial. Untuk itu, berdasarkan letak geografis Indonesia sebagai negara maritim. Maka penghuni yang berada di wilayah Nusantara seperti Indonesia, konsekuensinya hrus

82

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

memiliki wawasan Nusantara atau wawasan Bahari. Sehingga perlu adanya upaya “revitalisasi” pemahaman dan kesadaran kebangsaan. Pendidikan kita yang berjalan sekarang sangat bercorak kontinental, yang hanya mengajarkan sisa pemahaman kolonial. Sehingga pemahaman geopolitik dan geostrategi justru absen dalam wawasan kebangsaan kita, yang juga membawa pada rontoknya budaya bahari kita. Sektor pendidikan perlu mendapatkan perhatian dalam hal ini. Terutama menggeser fokus paradigma pendidikan itu sendiri, yang berfokus pada pengajaran pemahaman kontinental ke arah pengajaran yang berbasis kemaritiman. Guna menyiapkan visi dari “Among Tani” ke “Dagang Layar”.

83

Menentukan Arah Gerak

Keadaan Amerika Serikat saat ini sedang mengalami kemerosotan. Krisis keuangan global telah menusuk tepat dijantung ekonomi negeri paman sam itu. Kebangkrutan Lehman Brother telah menjadi saksi bisu pertanda akan kemerosotan itu. Dimana raksasa keuangan dunia yang sudah bertengger ratusan tahun, jatuh di kolam yang ia buat sendiri. Bahkan masa depan ekonomi negara-negara inti di orde ekonomi dunia seperti Prancis, Inggris dan Jepang, mulai dipertanyakan. Hal ini berpotensi untuk mengubah dunia sebagaimana yang kita kenal selama ini. Di sisi lain, dalam kondisi krisis keuangan yang tidak menentu, bank-bank di China justru terus melanjutkan peningkatan yang luar biasa. Begitu juga di perdagangan, produk-produknya yang murah dengan mutu yang cenderung meningkat dipastikan akan menjadi pilihan belanja masyarakat global di tengah amukan badai

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

krisis. Pada akhirnya, kita tidak mungkin memungkiri kenyataan bahwa China hari ini adalah pesaing sah Amerika Serikat. Ekonomi China kini telah mampu menandingi ekonomi pasar AS. Dengan cadangan devisanya yang mencapai lebih dari 1,9 triliun dolar AS, China dapat berbuat banyak guna menata perekonomian global. Seiring dengan perkembangan pe sat perekonomian China, keperkasaan AS di bidang ekonomi ternyata terus semakin surut. Banyak pengamat melihat bahwa kemunduruan ekonomi AS dewasa ini sebagian dari pergerseran historis (historical shiƒ) yang menandai telah berakhirnya “Abad Amerika” (American Century). Dalam hal ini, Jeffrey Sach menyatakan bahwa dominasi AS di dunia akan segera berakhir pada kuartal kedua abad ke-21, ketika Asia menggeser AS sebagai pusat gravitasi ekonomi dunia. Situasi yang dihadapi AS kini sering digambarkan mirip dengan yang dialami Inggris di awal abad ke-20, yang perlahan namun pasti surut dari posisinya sebagai kekuatan hegemoni global. Dalam dunia “Pasca-Amerika” di masa kini dan masa depan, dunia tidak lagi terbelah dalam kubu-kubu yang bermusuhan seperti halnya di era Perang Dingin, tetapi interconnected dan saling tergantung satu sama lain. Bersama negara-negara lain, seperti India dan Brazil, China akan tetap memperhitungkan posisi AS, namun lebih sulit bagi AS untuk menempuh jalur unilateral seperti yang diperagakan dalam serangan Bush ke Irak. Kenyataan ini juga menandakan bahwa pusat kegiatan ekonomi dunia sejak akhir abad-20 telah mengalami pergeseran dari Poros Atlantik ke Poros AsiaPasifik. Hampir 70% total perdagangan dunia saat ini 86

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

berlangsung diantara negara-negara di Asia-Pasifik, wilayah yang diperkirakan memiliki ekonomi paling progresif di dunia. Beberapa pemikir Geopolitik dari Eropa dan Amerika menyebut pergeseran ini sebagai ”the end of the Atlantic era”. Ini juga didukung oleh pandangan Robert D. Kaplan, dimana menurutnya fokus analisa geopolitik telah bergeser dari Eropa ke Asia. Ditambah kawasan Asia Pasifik telah muncul sebagai salah satu pusat strategis maritim dunia di abad ke 21 ini. Negara-negara Asia Pasifik adalah negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bahkan mungkin tertinggi di dunia saat ini, mengalahkan Amerika Serikat dan Eropa Barat. Bahkan kita bisa melihat bahwa perdagangan dunia, baik itu Timur-Barat dan mayoritas perdagangan dunia, semua berasal dari Asia. Bahkan perdagangan intra-Asia adalah yang terbesar, berikutnya adalah perdagangan TransPasifik dimana hampir mencapai 4 (empat) kali lipat dari perdagangan Amerika Serikat dan seluruh Eropa. Dan Robert D. Kaplan menyebut Indonesia sebagai The Heart of Maritime Asia yang merupakan choke point paling vital dalam perdagangan dunia saat ini, dimana posisi kita telah mempertemukan Samudera India dan Pasifik Barat. Lokasi regionalnya merupakan jalur persimpangan (crossroad) antara konsentrasi industri, teknologi dan militer di Asia Timur laut, sub benua India dan sumber minyak di Timur Tengah, Australia dan Pasifik Tenggara. Rute perdagangan dari samudera India menuju samudera Pasifik akan menjadikan Indonesia sebagai rute tercepat di antara dua samudera ini. Dari Samudera India yang luas, puluhan kapal-kapal supertanker raksasa dari

87

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

sumur-sumur minyak di Teluk Persia akan melalui pos-pos pengintaian dan instalasi jaringan di perairan Indonesia yang sebagian besar mengelilingi Selat Malaka yang lebarnya enam mil. Menuju Pusan, Yokohama, dan semakin banyak ke Shanghai; di kawasan Samudera Pasifik Barat; dengan muatan lebih dari lima belas juta barel tiap hari (hampir 20% konsumsi dunia) (Kent E. Calder, dalam Asia's Deadly Triangle, 1998). Lantas, bagaimana peranan pemuda di tengah perubahan ini? Amerika Latin adalah pemberi contoh terbaik bagaimana pemuda berperan penting dalam kehidupan bernegara. Aksi-aksi mereka diawali dari adanya Manifesto Cordoba di Argentina pada tahun 1918. Manifesto Cordoba menjadi deklarasi hak pemuda (mahasiswa) yang pertama di dunia, dan sejak itu pemuda di sana memainkan peran yang konstan dan militan dalam kehidupan politik. Namun di negeri kita sendiri sebenarnya apa yang disebut “pergerakan pemuda” sudah di mulai jauh sejak tahun 1908 yakni adanya Budi Utomo, walau masih dalam bentuk pergerakan yang cenderung lebih ko o p e r a ti f b a h k a n l u n a k t e r h a d a p ke k u a t a n establishment. Namun pergerakan pemuda di negeri kita bukan sebuah entitas yang terasing dan terpisah dari masyarakat dimana mereka lahir. Di negeri ini, gerakan kaum muda adalah bagian dari pergerakan nasional. Bahkan aktif dalam proses gerak membentuk dan mencipta sebuah nation. Maka tak berlebihan jika Ben Anderson mengatakan bahwa revolusi Indonesia adalah “revolusi pemuda”. KNPI sebagai salah satu eksponen organisasi 88

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

pemuda patut menjadi perhatian. KNPI dalam sejarahnya seringkali disebut sebagai produk politik wadah tunggal yang dijalankan rezim Orde Baru bagi kalangan terdidik. Namun menurut pemaparan para pendirinya, dalam pembentukan KNPI terjadi sebuah “kompromi” dimana KNPI akhirnya tidak menjadi satu-satunya wadah pemuda, yang menjadi bagian dari korporatisme negara. KNPI hanya menjadi wadah komunikasi dari para pemuda dan mahasiswa di Indonesia. Bukan satu satunya wadah yang menghimpun pemuda, sebab ia tak menghilangkan eksistensi organisasi pemuda lainnya. Wadah komunikasi itu terkait dengan soal bagaimana pemuda yang datang dari berbagai organisasi di seluruh tanah air itu betul-betul menjadi kekuatan potensi bangsa. Termasuk terkait d e n gan baga im an a m en gem ban gka n pro gram kepemimpinan pemuda. Namun dalam perjalanannya, menurut salah satu pendirinya, KNPI justru sibuk dengan berbagai kegiatan yang jauh dari wilayah politik dan kontrol sosial. Doktrin “ p e m b i n a a n p o l i ti k ” m a s i h ke nta l , ya n g j u st r u mengasingkan KNPI dari aksi-aksi politik pemuda bahkan menjauhkan KNPI dari wacana dan praktek berfikir kritis. Disinilah menjadi sebuah masa ketika kita praktis tak mendengar lagi kata ”pemuda” sebagai entitas yang terkait dengan gerakan. Kita tak mendengar dengus nafasnya sebuah “komite pemuda” menjadi simpul gerakan perubahan. Hal ini membuat KNPI layaknya “hidup segan mati tak mau”, yang eksistensinya hanya bergulat dengan kegiatan yang kurang substansial. Mereka terjebak oleh apa yang disebut teoritisi Mazhab Frankfrut, Jurgen Habermas dengan istilah

89

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

“rasionalitas instrumental”, yakni cara berpikir jangka pendek yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan sikap-sikap pragmatis. Ia melahirkan One Dimensional Man manusia berdimensi satu yang tertelan oleh homogenitas kekuasaan. Politik kaum muda pun menjadi sangat miskin dengan ide-ide perubahan, yang ada hanyalah apa yang disebut Nietzsche dengan istilah “moralitas kawanan”. Dunia tempat pikiran serba sempit dan serba praktis, tetapi pongah, dimana kemandirian berfikir dan kedaulatan diri terdesak dan lenyap di telan kekuasaan. Hingga akhirnya pergerakan kaum muda yang dulu di isi oleh ide-ide besar (seperti keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan) kini hanya di isi oleh statistik kekuasaan dan pertarungan diantara kelompok kepentingan. Maka wajar jika saat ini posisi KNPI justru semakin limbung sebagai kekuatan sosial-politik kalangan pemuda. Cap sebagai organisasi kepanjangan tangan pemerintah tidak bisa dielakkan. KNPI dianggap sebagai tameng dan stempel pemerintah untuk segala kebijakannya. Hal ini membuat KNPI semakin kurang dipercaya masyarakat dan pemuda untuk menjadi kekuatan agregasi kepentingan kalangan pemuda Indonesia. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana peranan pemuda menjalankan tugas Renaisans dan Keistimewaan Yogyakarta? Memasuki era reformasi yang mulai compang-camping, gerakan pemuda mulai menunjukkan titik beku dan hanya muncul gerakan-gerakan permukaan. Bahkan kini pasca proses demokratisasi hal itu mulai memperlihatkan kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Apalagi soal sensitivitas isu global, mereka kurang memahami adanya perubahan-perubahan konstelasi

90

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

global yang berkembang. Meminjam istilah Anton Lucas, yang muncul "pemuda-pemudaan". Mereka muda, tapi tak lekat pada dirinya nilai dan semangat revolusioner. Sebab, mereka lahir dari tradisi dan budaya politik profitur, mereka tergugah bergerak karena ada pamrih nasi ponggol dari dapur umum. Untuk itu, perlu adanya sebuah konsepsi yang progresif untuk membangkitkan pemuda yang lemah ini, seperti kata Chairil Anwar perlunya "menyediakan api" bagi pemuda bertindak sebagai splendor varitatis, orang yang mampu memberikan sumbangan yang relevan dalam pergulatan hidup sekian juta manusia yang mendambakan gemerlap cahaya kebenaran. Dan kini sejarah memberikan kita pertanda akan pentingnya sosok pemuda pembawa terang. Perlu segera ada kebangkitan pemuda sebagai kekuatan pencerah di masa gawat. Maka disinilah pentingnya upaya reposisi ge raka n pem u d a, te ru tam a d em i m e nyamb ut keistimewaan dan renaisans Yogyakarta. Sebuah reposisi yang bisa mengembalikan political will pemuda itu sendiri d a l a m m e l e m b a ga ka n n i l a i d a n h a s rat m e ra i h kemanusiaan yang modern, maju, dan progresif. Reposisi ini ialah menempatkan peranan gerakan pemuda sebagai “intelektual organum”. Intelektual Organum ialah komunitas cendekia yang santun, namun aktif dan kritis. Sebagai golongan intelektual, tugas kita memang bukan sekedar “memberi makna” terhadap realitas sosial globalisasi, menguatnya neoliberalisme saat ini, dan meratapinya. Tugas kita sebagai intelektual adalah ikut menciptakan sejarah dengan membangun gerakan pemikiran dan kesadaran kritis untuk memberi makna

91

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

masa depan kita sendiri. Komunitas intelektual organum memang masih minoritas, tapi minoritas kreatif, karena kita hendak membangun pemuda yang punya cakrawala berpikir luas dan visi jauh ke depan. Dengan itu, kita bisa menghindari seperti apa yang ditegaskan Ngarso Dalem dalam karangannya “Kerangka dan Konsepsi Politik Indonesia” yakni kecenderungan KNPI untuk menjadi organisasi wadah “vested interest” dan sebagai suatu jawatan (KGPH.H. Mangunbumi, SH, 1989). Sudah saatnya kita menjadikan pengetahuan sebagai kekuatan utama dalam pergerakan. Dengan kata lain, modal intelektual didudukkan di tempat strategis dalam konteks kinerja atau kemajuan suatu organisasi. Sejalan dengan tesis Alvin Toffler, seorang pemikir yang di pertengahan abad ke-20 yang telah menyatakan secara antisipatif dan apa adanya bahwa logika kekuasaan itu telah mengalami pergeseran di lapis yang paling mendasar. Jika sebelumnya kekuasaan bergerak karena kekuatan fisik (dominasi lewat senjata) dan kekuatan uang ( d o m i n a s i l ewat p e n awa ra n ata u p e n ga m b i l a n keuntungan material), maka di masa depan kekuasaan b ergera k lewat keku ata n p en geta h u a n s eb a ga i perantaranya. Persisnya: kekuasaan meluas dan menyebar lewat cara bagaimana pengetahuan diperoleh, diolah, ditafsirkan, dan dipahami. Singkatnya, bukan lagi senjata dan uang, melainkan epistemologi (apa yang dapat saya ketahui dan bagaimana sesuatu dapat diketahui) yang menjadi poros penggerak kekuasaan di masa depan (Ito Prajna-Nugroho, 2014). Seperti apa yang dikatakan Napoleon Bonaparte, bahwa ”Suatu ketika nanti, akan tiba masanya sebuah gagasan mempunyai kekuatan yang

92

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

lebih dahsyat ketimbang sebatalion tentara”. Inilah tantangan terbesar kaum muda zaman kita yakni berani mengadakan perubahan mendasar sikap mental yang meminta jabatan ke arah pengembangan modal intelektual. Jika kita bergerak memperbarui diri maka dengan itu kita harus menata kembali keadaban politik pemuda. Yang nantinya juga bertanggung jawab atas keadaban publik. Oleh karena itu, perlu adanya kesebangunan antara gerakan politik kaum muda dengan gerakan renaisans dan keistimewaan Yogyakarta yang bertujuan untuk memperbaiki keadaban publik. Disini peranan pemuda (KNPI) layaknya peranan pemuda di Eropa di saat gerakan Renaisans terjadi, yakni bagian dari upaya besar membangun jembatan kultural yang mempertautkan semangat renaisans dan modernitas dengan tradisi kearifan masa lampau. Seperti yang terjadi di Jerman di era Third Reich, misalnya, dimana gerakan renaisans dirumuskan dalam suatu kesinambungan yang h i d u p d e n g a n ke j a y a a n ke r a j a a n P r u s i a y a n g mendahuluinya. Mereka mampu memaknai kearifan masa lampau secara hidup, dinamis dan interpretatif. Sehingga mengilhami gagasan-gagasan progresif dan dapat membuka pendefinisian ulang modernitas dalam hubungannya dengan tradisi. Karena renaisans dan keistimewaan Yogyakarta sebagai konsepsi merupakan kerangka kolektif yang d i pe r l uka n ba gi ke bu t uha n pe r j um pa a n da n kesinambungan kultural antara modernitas (renaisans) dengan kearifan budaya masa lampau (keistimewaan). Jika tidak ada upaya kesinambungan, maka kita bakal tergulung oleh arus globalisasi ke arah apa yang disebut

93

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Giddens sebagai kemunculan impresif “masyarakat kosmopolitanisme global”. Dimana supremasi individu ditegakan diatas komunalisme ikatan-ikatan sosial. Kehidupan bersama pun terancam oleh keserakahan individu. Melepaskan individu dari kewajiban sosial, memudarkan daya tarik nilai-nilai kebajikan publik atau virtu, memburamkan romantika sosial terhadap memorimemori kolektif, dan pada akhirnya membuat individuindividu kian terdesak dalam situasi krisis identitas. Tercerabut dari akar sosial setempat tetapi tak kunjung mendapatkan alternatif sumber identitas baru yang sepadan di tingkat global. Sampai memenjarakan kita pada rantai ketergantungan. Maka tak khayal, kita pun terjabak oleh apa yang disebut Zygmunt Bauman dengan istilah “vagabondisme”. Dimana globalisasi menjanjikan kenyamanan petualangan tanpa batas, tetapi alih-alih menyediakan itu, ia lebih sering jatuh dalam vagabondisme. Vagabondisme memang istilah yang kurang dikenal, tetapi vagabonds berarti “para gembel” yang dijumpai di mana-mana. Dalam hal ini, di era globalisasi seseorang berkelana bukan karena keinginan sendiri. Melainkan karena tidak punya pilihan. Ia menjadi vagabond, seorang gembel yang tercerabut identitasnya yang didefinisikan dalam kaitan suatu tempat. Bahkan ia tidak lagi memiliki tempat untuk kembali. Disinilah pentingnya konsepsi renaisans yang bersanding dengan keistimewaan Yogyakarta, agar kita tak keluar dari sarang tradisi. Karena globalisasi tidak memiliki tanah terjanji atau promised land, karena sekali-kali ia bukan konsep tentang tempat, place atau territory. Dalam globalisasi, konsepsi tentang tempat telah direduksi

94

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

menjadi sekadar ruang, space, atau tempat singgah yang oleh karena sifatnya tidak cukup kuat untuk menjadi sumber identitas. Disinilah arti penting peranan gerakan pemuda dalam renaisans dan keistimewaan Yogyakarta sebagai kesinambungan budaya. Dan arti gerakan pemuda disini bukan hanya sekedar sekumpulan individu atau paguyuban OKP, namun gerakan pemuda sebagai sebuah eksponen budaya.

95

Daftar Pustaka

Al-Fayydl, Muhammad, 2005, Derrida, Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara A n d e rs o n , B e n e d i c t . 1 9 8 8 . Re v o l u s i Pe m o e d a , Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Jakarta: Sinar Harapan. Asia Pacific Energy Research Centre, APEC Energy Demand and Supply Outlook 2002 Bauman, Zygmunt, 1989. Modernity and the Holocaust. Ithaca, New York: Cornell University Calder, Kent E. Asia's Deadly Triangle, How Arms, Energy, and Growth Threaten to Destabilized Asia Pasific, Prehallindo, Jakarta 1998. Dharmawan, Bagus, Cermin dari China, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006 Fakih, Mansour. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Faruk, “Mimikri dalam Sastra Indonesia”, Jurnal Kalam, Edisi 14 tahun 1999. Foulcher, Keith. “Mimikri “Siti Nurbaya”: Catatan untuk Faruk”, Jurnal Kalam, Edisi 14, tahun 1999. Gandhi , Leel a. 2001. Teori Poskolonial : Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Terjemahan Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah. Yogyakarta: Qalam Giddens, Anthony. 2003. The Constitution of Sociology, Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, Pasuruan: Penerbit Pedati. Habermas, Jurgen. 1989. Ruang publik sebuah kajian tentang kategori masyarakat borjuis. Kreasi Wacana : Yogyakarta Hadiz, V.R. (2005). Dinamika kekuasaan: Ekonomi politik Indonesia pasca Soeharto. Jakarta: LP3ES. Harker, Richard; Mahar, Cheelen; Wilkes, Chris (ed), 2005. (Habitus X Modal) + Panah = Praktik, Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Jalasutra Hardiman, F.B. (2009). Demokrasi deliberatif: Menimbang 'negara hukum' dan 'ruang publik' dalam teori diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius. Hasibuan, Muhammad Umar Syadat, 2008. Revolusi Politik Kaum Muda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno. 2003. Dialektika Pencerahan. Terjemahan Ahmad Sahidah. Cetakan Pertama. Yogyakarta: IRCiSoD. Jenkins, Richard, 2004, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Kaplan, Robert.D, Monsoon : The Indian Ocean And The

98

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Future Of American Power, 2010 Kaplan, Robert. D, The Reverse of Geography, Foreign Policy, 2009 Kompas, Asean dan Krisis Global, 25 Oktober 2008 , Saatnya China Bermain, 10 Oktober 2008 Loomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme, terj. Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Bentang, 2003. Lyotard, Jean-François. Posmodernisme: Krisis dan Masa Depan Pengetahuan, terj. Kamaludin. Bandung: Mizan, 2004. Mahan, A. T. , The Influence of Sea Power Upon History, The Project Gutenberg eBook, September 26, 2004 Marcuse, Herbert. 2000. Manusia Satu Dimensi. Terjemahan Silvester G. Sukur dan Yusup Priyasudiarja. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya Mohamad, Goenawan. “Wog”, Catatan Pinggir, Tempo, Senin 6 Desember 1999. Purwawidjana, Ari J. “Pola Narasi Kolonial dan Pascakolonial”, dalam Jurnal Kalam, Edisi 14 tahun 1999. Said, Edward W. Orientalisme, terj. Asep Hikmat. Bandung: Penerbit Pustaka, 2001. Said, Edward W. 1995. Kebudayaan dan Kekuasaan, Membongkar Mitos Hegemoni Barat, (terjemahan Rahmani Astuti). Bandung: Mizan Sarup, Madan, 2003, Postrukturalisme dan Postmodernisme, Sebuah Pengantar Kritis, Yogyakarta: Penerbit Jendela. Sugiono, Muhadi. 1999, Kritik Antonio Gramsci Terhadap

99

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Stiglitz, Joseph E., Making Globalization Work, Bandung: Mizan, 2006 Toffler, Alvin, 1988, Gelombang Ketiga, Jakarta: PT Panca Simpati. Toffler, Alvin. 1992. Pergeseran Kekuasaan: Pengetahuan, Kekayaan, dan Kekerasan di Penghujung Abad ke21, (terjemahan Hermawan Sulistyo). Jakarta: Pantja Simpati.

100

Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Fitroh Nurwijoyo Legowo adalah Ketua terpilih DPD KNPI DIY periode 2015-2018, melalui sebuah proses Musyawarah Daerah DPD KNPI DIY pada 5 September 2015. Lahir di Kulon Progo, 9 Agustus 1978. Alumnus Fakultas MIPA Universitas Negeri Yo g ya ka r ta , a k ti f d i b e r b a ga i o rga n i s a s i kemahasiswaan, diantaranya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia dan Keluarga Mahasiswa Nahdatul Ulama. Selain itu juga aktif di organisasi intra kampus, Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas dan Universitas. Setelah menyelesaikan studinya, memutuskan untuk berwirausaha dan tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) sebagai Sekretaris BPC HIPMI kabupaten Kulon Progo dan dilanjutkan kepengurusan sebagai Wakil Ketua di BPD HIPMI DIY, serta aktif sebagai anggota Junior Chamber International (JCI). Organisasi yang tak kalah penting dalam membentuk watak dan kepribadiannya adalah Gerakan Pemuda Ansor yang diikuti sejak masih duduk di bangku Madrasah Aliah mulai tingkat ranting sampai Pengurus Cabang. Melalui GP Ansor kabupaten Kulon Progo inilah ia diutus dan didaulat menjadi ketua DPD KNPI kabupaten Kulon Progo melalui Musyawarah Daerah DPD KNPI kabupaten Kulon Progo tahun 2014. Pria berdarah Jawa yang suka diajak manggung kethoprak kampung dan pandemen wayang ini menjabat direktur salah satu perusahaan daerah kabupaten Kulon Progo, memiliki dedikasi dan pemikiran untuk menyusun ulang kejayaan Nusantara, yang akhirnya tertuang dalam buku ini.

ISBN 978-602-74129-0-3

DEWAN PENGURUS DAERAH KOMITE NASIONAL PEMUDA INDONESIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

9 786027 412903

Related Documents

Persoalan Pemuda
November 2019 25
Jalan Pemuda
May 2020 22
Simposium Pemuda
November 2019 39
Pemuda Bergerak.docx
April 2020 10
Pemuda Pui.docx
June 2020 8
Sumpah Pemuda
November 2019 44

More Documents from "masyhudi"