Bulan Muharram Dalam Islam.docx

  • Uploaded by: Abimanyu Nggayuh Dewi
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bulan Muharram Dalam Islam.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,660
  • Pages: 5
BULAN MUHARRAM DALAM ISLAM1 Eko Priaji MUHARRAM DALAM PANDANGAN ISLAM 1. Muharram adalah bulan yang Mulia. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah, di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” (QS. AtTaubah: 36). Imam Ath-Thabari berkata, “Bulan itu ada dua belas, empat di antaranyan adalah bulan haram (mulia), di mana orang-orang jahiliyyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Sampai seandainya ada seseorang bertemu dengan orang yang membunuh ayahnya, maka dia tidak akan menyerangnya. Bulan yang empat itu adalah Rajab Mudhor, dan tiga bulan berurutan yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dengan ini nyatalah khabar-khabar yang disabdakan oleh Rasulullah”. Kemudian Ath-Thabari meriwayatkan beberapa hadits, di antaranya hadits dari sahabat Abu Bakrah, yang diriwayatkan Imam Bukhari (no. 4662), Rasulullah bersabda “Wahai manusia, sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dan Artikel ini pernah dimuat dalam Majalah An-Nida’ Kemenag Ponorogo Edisi No. 11 Tahun XII/November 2012/Muharram 1433 H 1

2.



sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram, pertamanya adalah Rajab Mudhor, terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban, kemudian Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram” (Jami’ul Bayan 10/124-125). Qotadah berkata “Amalan shalih pada bulan haram pahalanya sangat agung dan perbuatan dzalim di dalamnya merupakan kedzaliman yang besar pula dibanding pada bulan selainnya, walaupun yang namanya kedzaliman itu kapanpun merupakan dosa yang besar” (Ma’limut Tanzil 4/44-45). Pada bulan Muharram ini terdapat hari yang pada hari itu terjadi peristiwa yang besar dan pertolongan yang nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebathilan, di mana Allah Ta’ala telah menyelamatkan Nabi Musa as dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Hari tersebut mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan yang abadi sejak dulu. Dia adalah hari kesepuluh yang dinamakan Asyura (Durusun ‘Aamun, Abdul Malik Al-Qasim, hal. 10). Disyariatkan Puasa Asyura. Berdasarkan hadits “Dahulu Rasulullah memerintahkan untuk berpuasa Asyura, tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, maka barangsiapa yang ingin berpuasa, puasalah, dan siapa yang tidak ingin, tidak usah berpuasa” (HR. Bukhari no. 2001). Tatkala Nabi hijrah ke Madinah beliau mendapati orang-orang Yahudi

Koordinator Departemen Informasi dan Komunikasi PAC GP Ansor Badegan 2018-2020

3.

4.

berpuasa pada hari itu, lalu beliau bertanya kepada mereka “Kenapa kalian berpuasa?”. Mereka menjawab “Sesungguhnya pada hari ini Allah Ta’ala telah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan membinasakan Fir’aun beserta kaumnya. Dan Musa berpuasa pada harinya, maka kamipun berpuasa”. Kemudian beliau berkata “Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian”. (HR. Bukhari no. 2004, Muslim no. 1130). Maka Nabi berpuasa pada hari itu dan memerintahkan untuk melakukan puasanya. Keutamaan Puasa Asyura. Ibnu Abbas ditanya tentang puasa Asyura, jawabnya “Saya tidak mengetahui bahwa Rasulullah puasa pada hari yang paling dicari keutamaannya selain hari ini (Asyura) dan bulan Ramadhan”. (HR. Bukhari no. 1902, Muslim no. 1132). Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu, berdasarkan hadits “Rasulullah ditanya tentang puasa Asyura, jawab beliau ‘Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu’”. (HR. Muslim no. 1162, Tirmidzi no. 752). Asyura adalah hari ke-10. Dari Ibnu Abbas, tatkala Rasulullah berpuasa Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa, para sahabat berkata “Wahai Rasulullah, ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara”, maka beliau bersabda “Tahun depan insya Allah kita akan berpuasa hari ke-9”. Ibnu Abbas berkata “Tahun berikutnya belum datang Rasulullah keburu meninggal”. (HR. Muslim no. 1134).

Imam Nawawi berkata “Jumhur ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa hari Asyura adalah hari ke-10. Yang berpendapat demikian di antaranya adalah Sa’id bin Musayyib, Al-Hasan Al-Basri, Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih dan banyak lagi. Pendapat ini sesuai dengan (dzahir) teks hadits dan tuntunan lafadznya”. (Syarah Shahih Muslim 9/205). Hanya saja Rasulullah berniat untuk berpuasa hari ke-9 sebagai penyelisihan terhadap ahlul kitab, setelah dikhabarkan kepada beliau bahwa hari tersebut diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashara. Oleh karena itu, Imam Nawawi berkata “Imam Syafi’i dan para sahabatnya, Ahmad, Ishaq dan selainnya berpendapat, disunahkan untuk berpuasa hari ke-9 dan ke-10 karena Nabi berpuasa hari ke-10 serta berniat berpuasa hari ke-9. Sebagian ulama berkata, Barangkali sebab puasa hari ke-9 bersama hari ke-10 adalah agar tidak menyerupai orang-orang Yahudi jika hanya berpuasa hari ke-10 saja. Dan dalam hadits tersebut memang terdapat indikasi ke arah itu”. (Syarah Shahih Muslim 9/205). Selain ada yang berpendapat seperti di atas, sebagian ulama berpendapat hendaknya berpuasa satu hari sebelum dan sesudahnya, Rasulullah bersabda “Berpuasalah hari Asyura dan berbedalah dengan orang Yahudi, (dengan) berpuasa 1 hari sebelumnya dan sesudahnya”. (HR. Ahmad no. 2155). Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, sudah sepatutnya bagi seorang muslim yang baik untuk mengisi bulan

Muharram ini dengan amal shalih dan menjalankan ibadah puasa Asyura. KEYAKINAN YANG SALAH TERHADAP BULAN MUHARRAM 1. Anggapan Sial. Dalam pandangan masyarakat Jawa, Muharram (Suro) merupakan bulan keramat. Sehingga sebagian dari mereka tidak berani untuk menyelenggarakan suatu acara tterutama hajatan dan pernikahan. Bila tidak diindahkan akan menimbulkan petaka dan kesengsaraan bagi mempelai berdua dalam mengarungi bahtera kehidupan. Hal ini diakui oleh seorang tokoh keraton Solo. Bahkan katanya, “Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di bulan Suro (Muharram), dan ternyata tertimpa musibah!”. Mari kita lihat, bulan ini sepi dari acara pernikahan dan hajatan. 2. Nuansa Kesyirikan yang Aneh. Selain itu, untuk memperoleh keselamatan, diadakan berbagai kegiatan “aneh”. Sebagian masyarakat mengadakan tirakatan pada malam 1 Suro, entah di tiap desa atau tempat lain seperti puncak gunung dan lainnya. Sebagiannya lagi mengadakan sadranan, berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu dilarungkan (dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala kerbau, dengan keyakinan supaya sang ratu pantai selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu. Perisiwa seperti ini dapat disaksikan di pesisir pantai selatan seperti Tulung agung, Cilacap dan lainnya.

Di Solo, acara kondang yang menyertai Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab kerbau bule yang terkenal dengan nama Kyai Slamet di Keraton Kasunanan Solo. Peristiwa ini sangat dinantikan oleh warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang jauhpun rela bersusah payah mendatanginya dengan jalan kaki. Apa tujuannya? Tidak lain, untuk ngalap berkah dari sang kerbau, supaya rejekinya lancar, dagangan laris dan sebagainya. Naudzubillahi min dzalik. Padahal, dalam pandangan banyak orang, kerbau merupakan simbol kebodohan, sehingga muncul peribahasa Jawa untuk menggambarkannya “bodho ela-elo koyo kebo”. Acara lainnya adalah jamasan pusaka dan kirab (diarak) keliling keraton. KOREKSI TERHADAP KEPERCAYAAN MASYARAKAT SEPUTAR MUHARRAM 1. Keyakinan bahwa bulan Muharram adalah bulan sial. Seperti yang dianut orang Jawa sebagaimana kami paparkan di atas, dalam pembahasan ilmu agama Islam biasa disebut dengan Tathayyur atau Thiyarah, yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian, waktu atau tempat tertentu. Orang-orang jahiliyyah dulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan ke dalam perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam

datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah Ta’ala dan membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya. Allah Ta’ala berfirman “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Al-A’raf: 131). Maka, seorang yang meyakini bahwa barang siapa yang mengadakan acara pernikahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa musibah atau kesialan, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Rasulullah mengkhabarkan hal tersebut dalam sabdanya “Thiyarah itu adalah kesyirikan”. (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Ketahuilah, bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di antaranya: a. Seseorang yang berthiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah Ta’ala. Padahal, tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah Ta’ala perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya. Keselamatan, kesenangan, musibah dan bencana semuanya datang dari Allah Ta’ala. “Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang

2.

ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya)”. (QS. Hud: 56). b. Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allahlah satu-satunya tempat bergantung. Allah Ta’ala berfirman “Allah adalah satu-satunya tempat bergantung”. (QS. Al-Ikhlas: 2). Orang yang bertathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan, yaitu pertama meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan, kedua melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir. Kemudian, keyakinan yang terkait dengan Kerbau Kyai Slamet, Jamasan, Pusaka-pusaka tertentu dan lain sebagainya, ini merupakan keyakinan yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Hal ini karena pelaku ngalap berkah yang seperti itu, mempunyai keyakinan bahwa ada dzat lain yang mampu mendatangkan keselamatan/berkah serta menolak bahaya selain Allah Ta’ala. Dalam AlQur’an Allah Ta’ala menerangkan “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka:

‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi’, niscaya mereka menjawab: ‘Allah’. Katakanlah: ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhalaberhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya’. Katakanlah: ‘Cukuplah Allah bagiku’. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri”. (QS. Az-Zumar: 38). Ibadah apapun bentuknya adalah haram diperuntukkan kepada selain Allah Ta’ala. Dan tawakkal, istighatsah (minta keselamatan), isti’anah (minta pertolongan), takut dan mengharap adalah ibadah, dan yang lain sebagainya dari macam-macam ibadah semuanya hanya untuk Allah Ta’ala. Inilah prinsip tauhid, yaitu memurnikan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata, yang menjadi landasan paling mendasar di dalam Islam. Barangsiapa yang melanggarnya maka ia jatuh ke dalam kesyirikan. Kecil atau besarnya kesyirikan tersebut tergantung jenis pelanggarannya. Maka, apakah patut kita samakan kekuasaan Allah Ta’ala Yang Maha Esa dengan makhluk yang lemah? Apalagi dengan hewan, keris, akik dan batu, yang merupakan benda mati? Kesimpulannya, bahwa bulan Muharram atau dikenal dengan Suro merupakan bulan yang mulia. Maka tidak sepantasnya apabila kaum muslimin mempunyai anggapan

miring terhadapnya, dengan menjadikan sebagai bulan keramat, sehingga menyeret mereka jatuh ke lembah kesyirikan, dengan melakukan acara-acara yang merupakan cerminan dari keyakinan mereka yang keliru. Akibatnya, dosa yang disandang semakin banyak karena dilakukan pada bulan yang mulia.

Related Documents


More Documents from "Mohamad Shuhmy Shuib"