Pemikiran Modern Dalam Islam.docx

  • Uploaded by: Addilah Rif'at Rosyidah
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pemikiran Modern Dalam Islam.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,403
  • Pages: 12
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara soal pendidikan di Indonesia, perlu melihat sejarah pendidikan di Indonesia sendiri, sejak awal adanya kegiatan kependidikan hingga pada masa untuk mengembangkan dan memajukan pendidikan. Orang yang berkecimpung dalam bidang pendidikan, maka tentu tidak terlepas dari pola pandangan mereka dalam bidang tersebut. Kaitannya, demi mengembangkan dan memajukan kualitas maupun orientasi pendidikan di Indonesia, kita juga perlu memiliki prinsip dalam mengelola sub-sub sistem pendidikan di dalamnya. Walau bagaimanapun, prinsip tersebut tidak serta merta sepenuhnya muncul dalam pandangan seseorang saja, akan tetapi kita perlu mengumpulkan, memandang, dan menganalisis beberapa pandangan para tokoh pendidikan, agar tercapai atau mendekati kesempurnaan. Banyak pemikiran para tokoh pendidikan di dunia, bahkan dari Indonesia sendiri, yang menjadi acuan bagi para praktisi pendidikan di Indonesia, baik pendidikan di bidang umum maupun agama, khususnya agama Islam. Salah satu dari beberapa tokoh agama Islam yang terkemuka di Indonesia ialah K.H. Hasyim Asy’ari, yang mana pemikirannya tentang pendidikan menjadi pandangan banyak pendidik di Indonesia. Kyai Hasyim sendiri juga seorang pendidik profesional yang terkenal dengan ilmunya, kharismanya, dan lembaga pendidikan Islam yang didirikannya, Pesantren Tebuireng, Jawa Timur. Dari pemikirannya yang tertulis dalam kitab karangannya berjudul “Adab al-Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaj Ila alMuta’alim fi Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al-Mu’allim fi Maqamat Ta’limi”, berisi tentang konsep pendidikan yang banyak ditekankan pada etika dalam pendidikan. Ini sekaligus menjadi nasihat dari beliau kepada orang-orang yang berhubungan dengan pendidikan. Dalam makalah ini akan dibahas tentang biografi, latar belakang pendidikan, pemikiran, serta karya-karya beliau. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana biografi K.H. Hasyim Asy’ari? 2. bagaimana latar belakang pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari?

1

3. Bagaimana pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari? 4. Bagaimana karya-karya K.H. Hasyim Asy’ari? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui biografi K.H. Hasyim Asy’ari 2. untuk mengetahui latar belakang pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari? 3. Untuk mengetahui pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari. 4. Untuk karya-karya K.H. Hasyim Asy’ari?

2

BAB II PEMBAHASAN A. Biografi K.H. Hasyim Asy’ari K.H. Hasyim Asy’ari lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871, dengan nama lengkap Kyai Hasyim adalah Muhammad Hashim bin Ash’ari bin Abdul Wahid Bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama pangeran Benawa bin Abdurrahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishak bin Ainul Yakin yang populer dengan Sunan Giri. Sementara Arkhanaf dan Khuluq menyebutkan Muhammad Hashim binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI). Penyebutan pertama menunjukkan pada silsilah keturunan dari jalur ibu. Beliau merupakan salah satu tokoh dari sekian banyak ulama’ besar yang pernah dimiliki oleh bangsa. Biografi tentang kehidupan beliaupun sudah banyak ditulis oleh beberapa kalangan. Muhammad Hasyim itu adalah nama kecil pemberian dari orang tuanya. Kyai Hasyim dilahrkan dari pasangan Kyai Asy’ari dan Halimah pada tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada disekitar 2 kilometer ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang menjadi wilayah administrasi desa Tambakrejo Kecamatan Jombang.1 Dengan demikian dari waktu kelahirannya, beliau dapat dipandang sebagai bagian dari generasi Muslim paruh akhir abad ke-19.. Sejak masa kanak-kanak, kyai Hasyim hidup dalam lingkungan pesantren muslim tradisional Gedang. Keluarga besarnya bukan saja pengelola pesantren, tetapi juga pendiri pesantren-pesantren yang masih cukup populer hingga saat ini. Ayah kyai Hasyim (Kyai Asy’ari) merupakan pendiri dan pengasuh pesantren 1

Ishomudin Hadziq, KH Hasyim Asy’ari: Figur Ulama dan Pejuang Sejati (Jombang:Pustaka Warisan Islam Tebuireng, 2007), hal 12

3

Keras (Jombang) Sedangkan kakeknya jalur ibu (Kyai Ustman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh pesantren Gedang yang pernah menjadi pusat perhatian menjadi pusat perhatian terutama dari santri-santri Jawa pada akhir ke-19. Sementara kakek ibunya yang bernama Kyai Sihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Tambak Beras (Jombang).2 Pada umur 5 tahun, Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras, sebuah desa disebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini, Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum akhirnya meninggalkan Keras dan menjelajah berbagai pesantren ternama saat itu hingga ke Mekkah. Pada usianya yang ke-21, Hasyim menikah dengan Nafisah, putri Kyai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Setelah itu, Kyai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, Hasyim kemudian melanjutkan tinggal di Mekkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian, Nafisah meninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul ibunya ke alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Hasyim sangat terpukul. Dan akhirnya Hasyim memutuskan untuk tidak berlamaa-lama di tanah suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian. setelah lama menduda, Kyai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kyai Romli dari dea Karangkates (Kediri) bernama Khadijah. Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Mekkah pada tahun 1899 M atau 1315 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian (1901M), Khadijah meninggal dunia.3 Untuk ketiga alinya Kyai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan perempuan bernama Nafiqah, anak Kyai Ilyas, pengasuh pesantren Sewulan Madiun. Dari hasil perkawinannya dengan Nafiqah, Kyai Hasyim mendapatkan 2

Ishomudin Hadziq, KH Hasyim Asy’ari: Figur Ulama dan Pejuang Sejati (Jombang:Pustaka Warisan Islam Tebuireng, 2007), hal 69 3 Zuhri, Pemikiran KH.M.Hasyim Asy’ari Tentang Ahl-Sunnah Wa Al-Jama’ah, hal 70

4

sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul Kholik), Abdul Karim, Ubaidillah, Masruroh, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kyai Hasyim dengan Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun 1920 M. Sepeninggal Nafiqah, Kyai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Masruroh putri Kyai Hasan yang juga pengasuh pesantren Kapurejo, Pagu (Kediri). Dari hasil perkawinan keempat ini, Kyai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khodijah dan Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Masruroh ini merupakan perkawinan terakhir nagi Kyai Hasyim hingga akhir hayatnya. Beliau dianggap sebagai guru dan dijuluki “Hadratus Syekh” yang berarti “Maha Guru”. Kiprahnya tidak hanya didunia pesantren, beliau ikut berjuang dalam membela negara. Semangat kepahlawanannya tidak pernah kendor. Bahkan menjelang hari-hari akhir hidupnya, Bung Tomo dan panglima besar Jendral Soedirman kerap berkunjung ke Tebu Ireng meminta nasehat beliau perihal perjuangan mengusir penjajah. K.H. Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947 M, bertepatan dengan 7 Ramadhan 1366 H pada pukul 03.45, beliau ditetapkan sebagai pahlawan pergerakna nasional dengan surat keputusan Presiden RI No.284/TK/Tahun 1964, tanggal 17 November 1964.4 Dimasa hidupnya, beliau mempunyai peran yang besar dalam dunia pendidikan. Khususnya dilingkungan pesantren, baik dari segi ilmu maupun garis keturunan. Sedangkan dalam perjuangannya dalam rangka merebut kemerdekaan melawan belanda, beliau gigih dan punya semangat pantang menyerah serta jasa-jasanya kepada bangsa dan negara sehingga beliau diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional. Komplek pesantren Tebi Ireng menjadi tempat perintirahatan terakhir bagi KH. Hasyim Asy’ari.

4

Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlotul Ulama (Surabaya: PT Duta Aksara Mulia, 2010) hal 58

5

B. Latar Belakang Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari K.H. Hasjim Asy'ari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, ia berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Pada tahun 1892, K.H. Hasjim Asy'ari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad MahfudatTarmasi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi. Di Makkah, awalnya K.H. Hasjim Asy'ari belajar di bawah bimgingan Syaikh Mafudz dari Termas (Pacitan) yang merupakan ulama dari Indonesia pertama yang mengajar Sahih Bukhori di Makkah. Syaikh Mafudz adalah ahli hadis dan hal ini sangat menarik minat belajar K.H. Hasjim Asy'ari sehingga sekembalinya ke Indonesia pesantren ia sangat terkenal dalam pengajaran ilmu hadis. Ia mendapatkan ijazah langsung dari Syaikh Mafudz untuk mengajar Sahih Bukhari, di mana Syaikh Mahfudz merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (isnad) hadis dari 23 generasi penerima karya ini. Selain belajar hadis ia juga belajar

tassawuf

(sufi)

dengan

mendalami

Tarekat

Qadiriyah

dan

Naqsyabandiyah. K.H. Hasjim Asy'ari juga mempelajari fiqih madzab Syafi'i di bawah asuhan Syaikh Ahmad Katib dari Minangkabau yang juga ahli dalam bidang astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab), dan aljabar. Pada masa belajar pada Syaikh Ahmad Katib inilah K.H. Hasjim Asy'ari mempelajari Tafsir Al-manar karya monumental Muhammad Abduh. Pada prinsipnya ia mengagumi rasionalitas pemikiran Abduh akan tetapi kurang setuju dengan ejekan Abduh terhadap ulama tradisionalis.

6

Gurunya yang lain adalah termasuk ulama terkenal dari Banten yang mukim di Makkah yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani. Sementara guru yang bukan dari Nusantara antara lain Syaikh Shata dan Syaikh Dagistani yang merupakan ulama terkenal pada masa itu5 C. Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari Adapun pemikiran K.H Hasyim Asyari diantaranya akan dipaparkan dalam sub-sub dibawah ini sebagai berikut 1. Bidang Pendidikan Setelah mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng, KH. Hasyim Asy’ari mewarnai

lembaga pendidikannya dengan pandangan dan

metodologi tradisional. Ia banyak mengadopsi pendidikan Islam klasik yang lebih mengedepankan aspek-aspek normatif, tradisi belajar-mengajar, dan etika dalam belajar yang dipandangnya telah mengantarkan umat Islam kepada zaman keeemasan. Dalam karyanya, Adab al-‘Alim wa-AlMutta’allim, KH. Hasyim Asy’ari terlihat banyak dipengaruhi oleh tradisi pendidikan Islam klasik dan penulis-penulis klasik seperti Imam alGhazali dan Al-Zarnuji. Namun hingga sekarang pesantren dan NU adalah pilar tegaknya Islam tradsional, serta menjadi basis gerakan NU sejak masa perjuangan melawan penjajah hingga zaman sekarang. Sampai saat ini lembaga pendidikan pesantren masih tetap eksis dan survive dengan segala kemajuan pembaharuan, seperti pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyyah, Institut Agama Islam Ibrahimy, Pondok Pesantren Nurul Jadid, Institut Keislaman Hasyim Asy’ari, Pondok Pesantren Darul Ulum, Akper, dll 2. Paham keagamaan Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam paham keagamaan terlihat dari pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem bermazhab.Inilah pandangannya yang erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas 5

Zamaksari, Tradisi Pesantren. hal. 95

7

kaum Muslimin yang disebut sebagai “ahli sunnah wal jama’ah”. Pemikirannya tentang paham bermazhab ini tertuang dalam karyanya Qanun Asasy li-Jam’iyyati Nahdlatul Ulama yang kemudian dijadikan pijakan dasar organisasi NU. Menurut KH. Hasyim Asy’ari, paham bermazhab timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah secara benar, sebab dalam sejarahnya, sebagai upaya pemahaman terhadap dua sumber utama ajaran Islam itu, sering terjadi perselisihan pendapat. Hal ini menyebabkan banyak lahir pemikir besar (mujtahid). Namun karena pemikiran mereka tidak gampang dirumuskan secara sederhana, KH. Hasyim Asy’ari menyimpulkan bahwa untuk pemahaman keagamaan dan fiqih ditetapkan empat mazhab (Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi) yang menjadi cirri utama paham ahlusunnah dan NU. 3. Bidang Teologi KH. Hasyim Asy’ari dalam karyanya yang berjudul al-Risalah al Tauhidiyyah dan al-Qaid fi Bayan Ma Yajib Min al-Qaid menjelaskan bahwa ada tiga tingkat apresiasi manusia tentang Tuhan. Pertama, meliputi penilaian tentang keesaan Tuhan (adalah pemahaman tauhid untuk orang awam). Kedua, pengetahuan dan teori kepastian adalah bersumber dari Allah (pemahaman tauhid untuk para ulama). Ketiga, menggambarkan dari perasaan yang paling dalam akan keagungan Tuhan (untuk para sufi yang membawa kepada pengetahuan tentang Tuhan atau Ma’rifat). 4. Bidang Tarikat Tarikat juga tidak luput dari perhatian KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini sebagaimana tertuang dalam karyanya al-Durar al-Muntasyirah fi Masail al-Tis’a ‘Asyarah yang berisi tentang bimbingan praktis agar umat Islam lebih berhati-hati memasuki dunia tarikat. Dalam kitab tersebut, KH.

8

Hasyim Asy’ari menjelaskan apa arti wali Allah yang selama ini dijadikan sandaran kaum tarikat.6 D. Karya- karya K.H. Hasyim Asy’ari K.H. Hasjim Asy'ari banyak membuat tulisan dan catatan-catatan. Sekian banyak dari pemikirannya, setidaknya ada empat kitab karangannya yang mendasar dan menggambarkan pemikirannya; kitab-kitab tersebut antara lain: 1.

Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama'ah: Fi Hadistil Mawta wa Asyrathis-sa'ah wa baya Mafhumis-Sunnah wal Bid'ah (Paradigma Ahlussunah wal Jama'ah: Pembahasan tentang Orang-orang Mati, Tanda-tanda Zaman, dan Penjelasan tentang Sunnah dan Bid'ah).7

2.

Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin (Cahaya yang Terang tentang Kecintaan pada Utusan Tuhan, Muhammad SAW).

3.

Adab al-alim wal Muta'allim fi maa yahtaju Ilayh al-Muta'allim fi Ahwali Ta'alumihi wa maa Ta'limihi (Etika Pengajar dan Pelajar dalam Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh Pelajar Selama Belajar).

4.

Al-Tibyan: fin Nahyi 'an Muqota'atil Arham wal Aqoorib wal Ikhwan (Penjelasan

tentang

Larangan

Memutus

Tali

Silaturrahmi,

Tali

Persaudaraan dan Tali Persahabatan)8 5.

Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Dari kitab ini para pembaca akan mendapat gambaran bagaimana pemikiran dasar dia tentang NU. Di dalamnya terdapat ayat dan hadits serta pesan penting yang menjadi landasan awal pendirian jam’iyah NU. Boleh dikata, kitab ini menjadi “bacaan wajib” bagi para pegiat NU.

6.

Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah. Mengikuti manhaj para imam empat yakni Imam Syafii, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, tentunya memiliki makna khusus

6

Margono Hartono, K.H Hasyim Asy’ari dan Nahdlotul Ulama Perkembangan Awal dan Kontemporer (Media Akademia vol:26 no:3, Juli 2011) 7 https://id.wikipedia.org/wiki/Hasjim_Asy%27ari 8 Misrawi, Zuhairi. Hadratussaikh Hasyim Asy'ari Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, Kompas Media Nusantara, 2010, Hal. 17

9

sehingga akhirnya mengikuti jejak pendapat imam empat tersebut dapat ditemukan jawabannya dalam kitab ini. 7.

Mawaidz. Adalah kitab yang bisa menjadi solusi cerdas bagi para pegiat di masyarakat. Saat Kongres NU XI tahun 1935 di Bandung, kitab ini pernah diterbitkan secara massal. Demikian juga Prof Buya Hamka harus menterjemah kitab ini untuk diterbitkan di majalah Panji Masyarakat, edisi 15 Agustus 1959.

8.

Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Hidup ini tak akan lepas dari rintangan dan tantangan. Hanya pribadi yang tangguh serta memiliki sosok yang kukuh dalam memegang prinsiplah yang akan lulus sebagai pememang. Kitab ini berisikan 40 hadits pilihan yang seharusnya menjadi pedoman bagi warga NU.

9.

Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yushna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Kitab ini menyajikan beberapa hal yang harus diperhatikan saat memperingati maulidur rasul.9

9

https://id.wikipedia.org/wiki/Hasjim_Asy%27ari

10

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan K.H. Hasyim Asy’ari lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871 dan wafat pada tanggal 25 Juli 1947 M, bertepatan dengan 7 Ramadhan 1366 H pada pukul 03.45, beliau ditetapkan sebagai pahlawan pergerakna nasional dengan surat keputusan Presiden RI No.284/TK/Tahun 1964, tanggal 17 November 1964. Adapun pemikiran K.H Hasyim Asyari diantaranya sebagai berikut: 1. Bidang Pendidikan 2. Paham keagamaan 3. Bidang Teologi 4. Bidang Tarikat

11

DAFTAR PUSTAKA Ishomudin Hadziq, KH Hasyim Asy’ari: Figur Ulama dan Pejuang Sejati (Jombang:Pustaka Warisan Islam Tebuireng, 2007), Zuhri, Pemikiran KH.M.Hasyim Asy’ari Tentang Ahl-Sunnah Wa Al-Jama’ah, Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlotul Ulama (Surabaya: PT Duta Aksara Mulia, 2010) Zamaksari, Tradisi Pesantren. Margono Hartono, K.H Hasyim Asy’ari dan Nahdlotul Ulama Perkembangan Awal dan Kontemporer (Media Akademia vol:26 no:3, Juli 2011) Misrawi, Zuhairi. Hadratussaikh Hasyim Asy'ari Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, Kompas Media Nusantara, 2010, https://id.wikipedia.org/wiki/Hasjim_Asy%27ari

12

Related Documents


More Documents from ""

Skripsi Makhrus Full.pdf
October 2019 53
Ddaftar Harga Warung.docx
October 2019 21
Soal Pajak.docx
October 2019 16
June 2020 12