Pembuktian Sains Tentang Keberadaan Tuhan

  • Uploaded by: Muhammad Ikhsan
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pembuktian Sains Tentang Keberadaan Tuhan as PDF for free.

More details

  • Words: 1,585
  • Pages: 8
Pembuktian Sains tentang keberadaan Tuhan Sibuk membahas keberadaan/eksistensi Tuhan? Meragu? Menolak? Menerima? Setiap orang sah-sah saja menganggap bahwa Tuhan ada atau tidak ada, berikut seluruh implementasi sikap pilihannya itu. Semuanya kembali pada pemahaman kita tentang konsep *eksistensi* itu sendiri, yang kerap tidak cukup hanya dengan mengandalkan neuron belaka. __________________________________________________ ___________ — Professing to be wise, they became fools… — “Mari kita bahas permasalahan besar dalam sains, yakni tentang Tuhan” kata seorang profesor filsafat yang atheis di muka kelas. Kemudian dia meminta seorang mahasiswa baru maju ke depan kelas. “Kamu beragama, bukan ?” “Ya, pak.” “Jadi, kamu percaya pada Tuhan ?” “Tentu saja.” “Apakah Tuhan baik ?” “Jelas! Tuhan baik.” “Apakah Tuhan maha kuasa? Dapatkah Tuhan melakukan segala sesuatu ?” “Ya.” “Coba yang satu ini. Misalkan ada seseorang sakit di sekitar sini dan kamu bisa menyembuhkannya. Bersediakah kamu menolongnya ?” “Ya, pak, saya bersedia.” “Maka, kamu baik!” “Saya tidak mengatakan demikian.” “Mengapa tidak? Kamu bersedia menolong orang sakit dan menyembuhkannya jika kamu bisa… Kebanyakan orang pun akan melakukannya jika bisa… tetapi kenapa Tuhan tidak.” [Tiada jawaban] “Dia tidak, bukan? Saudara saya adalah seorang beragama yang meninggal karena kanker meskipun dia sudah berdoa meminta Tuhan menyembuhkannya. Bagaimana bisa dikatakan bahwa Tuhan baik? Dapatkah kamu menjawabnya?” [Tiada jawaban]

“Kamu tidak bisa, bukan ?” Sang profesor meneguk air dari gelas di mejanya untuk memberi kesempatan pada sang mahasiswa menenangkan diri. “Mari kita lanjutkan, anak muda. Apakah Tuhan itu baik?” “Ng… Ya.” “Apakah setan itu baik ?” “Tidak.” “Darimana datangnya setan ?” Sang mahasiswa tergagap. “Dari… Tuhan…” “Tuhan menciptakan setan, bukan?” Sang profesor menyeringai pada seluruh mahasiswa. “Rasanya kita akan mendapatkan banyak kegembiraan dalam semester ini, tuan-tuan dan nona-nona.” Dia kembali ke mahasiswa di depan kelas. “Katakan, adakah kejahatan di dunia ?” “Ya, pak.” “Kejahatan ada di mana-mana, bukan ? Apakah Tuhan menciptakan segala-galanya ?” “Ya.” “Jadi, siapa yang menciptakan kejahatan ? [Tiada jawaban] “Adakah penyakit di dunia ini ? Pelanggaran susila ? Kebencian ? Kekerasan ? Segala hal mengerikan, apakah semuanya ada di dunia ini ?” Sang mahasiswa merasakan kegelisahan merayapi kakinya. “Ya.” “Siapa yang menciptakan ? “ [Tiada jawaban] Sang profesor tiba-tiba berteriak pada sang mahasiswa, “SIAPA YANG MENCIPTAKAN SEMUA ITU? COBA KATAKAN PADA SAYA !!! ” Sang profesor memandang tajam wajah sang mahasiswa. Dengan suara dalam dia berkata, “Tuhan yang menciptakan semua kejahatan, bukan?” [Tiada jawaban]

Sang mahasiswa berusaha menggapai-gapai pegangan, matanya mencari-cari, namun gagal. “Katakan”, sambung sang profesor, “Bagaimana bisa dikatakan bahwa Tuhan baik jika Dia menciptakan kejahatan sepanjang waktu? Semua kebencian, kebrutalan, kesakitan, siksaan, kematian, keburukan, dan penderitaan diciptakan Tuhan yang baik ini di seluruh dunia, bukan, anak muda?” [Tiada jawaban] “Tidakkah kamu melihatnya di seluruh dunia?” [Diam] “Tidakkah ?” tanya sang profesor menatap wajah sang mahasiswa sambil mendesis, “Apakah Tuhan baik ?” [Tiada jawaban] “Apakah kamu percaya Tuhan, nak ?” Jawaban sang mahasiswa mengecewakannya. “Ya, profesor. Saya percaya.” Sang profesor menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah sedih. “Sains mengatakan bahwa kamu memiliki panca indra yang kamu gunakan untuk mengidentifikasi dan mengamati dunia sekitar kamu. Apakah kamu sudah melakukannya ?” “Belum, pak. Saya belum pernah melihat Tuhan.” “Maka, katakan pada kami, pernahkah kamu mendengar Tuhan ?” “Tidak, pak. Saya belum pernah.” “Pernahkah kamu merasakan Tuhan, mengecap Tuhanmu atau membaui-Nya ? Intinya, apakah kamu memiliki tanggapan indra apapun tentang Tuhan ?” [Tiada jawaban] “Jawablah.” “Tidak, pak, saya khawatir saya belum pernah.” “Kamu KHAWATIR… kamu belum ?” “Belum, pak.”

“Tetapi kamu tetap mempercayai-Nya ?” “…Ya…” “Itu adalah KEPERCAYAAN!” sang profesor tersenyum arif pada sang mahasiswa. “Sesuai kaidah empiris, mampu uji, protokol yang dapat didemonstrasikan, sains menyatakan bahwa Tuhanmu tidak eksis. Apa pendapatmu tentang hal itu, nak ? Dimanakah Tuhanmu sekarang ?” [Tiada jawaban] “Silakan duduk.” Sang mahasiswa duduk. Kalah. Seorang mahasiswa lain mengangkat tangannya. “Profesor, bolehkah saya berbicara ?” Sang profesor berbalik dan tersenyum. “Ah, seorang garda depan agama lainnya !” “Mari, anak muda. Silakan kemukakan kearifan yang patut bagi rekan-rekan anda.” Sang mahasiswa memandang sekeliling kelas lalu berkata pada sang profesor. “Anda sudah menyatakan hal-hal yang sangat menarik, pak. Sekarang saya mempunyai sebuah pertanyaan untuk anda. Adakah sesuatu yang disebut panas ?” “Ya”, sahut sang profesor. “Panas itu ada.” “Adakah sesuatu yang disebut dingin ?” “Ya, dingin juga ada.” “Tidak, pak! Itu tidak ada !” Seringai sang profesor membeku. Ruang kelas sekonyong-konyong menjadi sangat dingin. Sang mahasiswa melanjutkan. “Anda bisa mendapatkan macam-macam panas, bahkan lebih panas, super-panas, mega-panas, agak panas, sedikit panas, atau tidak panas, tetapi kita tidak memiliki sesuatu yang disebut *dingin*.

Kita dapat mencapai 458 derajat di bawah nol, dimana tidak ada panas, tetapi kita tidak bisa melampauinya lebih jauh lagi setelah itu. Tidak ada sesuatu pun yang disebut dingin, kecuali jika kita bisa mencapai suhu yang lebih dingin dari minus 458. Anda lihat, pak, dingin hanyalah SEBUAH KATA yang kita gunakan untuk MENGGAMBARKAN tentang KETIADAAN panas. Kita tidak bisa mengukur dingin. Panas dapat kita ukur dalam satuan termal karena panas adalah energi. Dingin bukan lawan panas, pak, melainkan ketiadaan panas.” [Diam] Sebuah pin terjatuh berdenting di suatu tempat dalam kelas. “Apakah ada sesuatu yang disebut gelap, profesor ?” tanya sang mahasiswa lagi. “Itu pertanyaan bodoh, nak. Apakah malam itu jika bukan gelap ? Apa maksudmu ?” “Jadi, anda mengatakan ada sesuatu yang disebut sebagai gelap ?” “Ya…” “Anda salah lagi, pak! Gelap bukanlah sesuatu, melainkan ketiadaan sesuatu. Anda bisa mendapatkan cahaya buram, cahaya normal, cahaya terang, cahaya menyilaukan, tetapi jika anda tidak mendapatkan cahaya secara berkesinambungan, anda tidak mendapatkan apa-apa, dan itu disebut gelap, bukan ? Itulah pengertian yang kita gunakan untuk menggambarkan kata tersebut. Pada kenyataannya, gelap tidak ada. Jika ada, seharusnya anda bisa membuat gelap menjadi lebih gelap lagi.” Menahan diri, sang profesor tersenyum pada anak muda lancang dihadapannya. Ini benar-benar menjadi semester yang bagus. “Maukah anda menjelaskan pada kami maksud anda, anak muda ?” “Baik, profesor. Maksud saya adalah filosofi anda sudah cacat sejak awal sehingga kesimpulan anda sudah pasti rancu”. Sang profesor menjadi berang. “Cacat ? Lancang benar anda !” “Pak, bolehkah saya menjelaskan maksud saya ?” Seisi kelas memasang telinga. “Penjelasan… oh, penjelasan…” Sang profesor dengan sangat mengagumkan berhasil mengendalikan diri.

Sekonyong-konyong dia bagaikan keramahan itu sendiri. Dia melambaikan tangannya untuk menenangkan kelas agar sang mahasiswa dapat melanjutkan. “Anda menggunakan premis tentang pasangan” sang mahasiswa menjelaskan. “Sebagai contoh, adanya hidup dan adanya mati; Tuhan baik dan Tuhan jahat”. Anda memandang konsep ketuhanan sebagai sesuatu yang terbatas, sesuatu yang dapat diukur. Pak, sains bahkan tidak bisa menjelaskan pikiran. Itu menggunakan listrik dan magnet, tetapi tidak pernah terlihat, banyak yang tidak memahaminya. Memandang kematian sebagai lawan kehidupan adalah pengabaian fakta bahwa kematian tidak bisa eksis sebagai sesuatu secara substantif. Kematian bukanlah lawan kehidupan, melainkan ketiadaan kehidupan.” Sang mahasiswa mengangkat sebuah surat kabar dari meja rekannya. “Ini adalah salah satu tabloid paling menjijikkan di negeri ini, profesor. Adakah sesuatu yang disebut ketidaksenonohan ?” “Tentu saja ada, sekarang…” “Salah lagi, pak! Anda tahu, ketidaksenonohan adalah semata-mata ketiadaan moralitas. Adakah yang disebut ketidakadilan ? Tidak ! Ketidakadilan adalah ketiadaan keadilan. Adakah yang disebut kejahatan ?” sang mahasiswa berhenti sejenak. “Bukankah kejahatan adalah ketiadaan kebaikan ?” Wajah sang profesor berubah merah. Dia sangat marah hingga sejenak kehilangan kata-kata. Sang mahasiswa melanjutkan, “Jika ada kejahatan di dunia, profesor, dan kita sepakat tentang itu, maka Tuhan, jika Dia eksis, tentu akan menyempurnakan pekerjaan-Nya melalui agen kejahatan tersebut. Pekerjaan apakah yang Tuhan sempurnakan dengannya? Kitab suci menyatakan bahwa tiap manusia, sesuai kebebasan keinginan sendiri, memilih kebaikan daripada kejahatan.” Sang profesor terhenyak. “Selaku ilmuwan filsafat, saya tidak memandang permasalahan ini ada kaitannya dengan pilihan apapun; sebagai seorang realis, saya benar-benar tidak melihat konsep Tuhan maupun faktor teologis lain sebagian bagian dari dunia karena Tuhan tidak bisa diamati.” “Saya malah berpikir bahwa ketiadaan kode moral ketuhanan di dunia ini kemungkinan adalah satu fenomena yang paling bisa diamati” sahut sang mahasiswa. “Surat kabar membuat milyaran dollar melaporkannya setiap minggu! Katakan, profesor, apakah anda mengajar mahasiswa bahwa mereka berevolusi dari kera ?”

“Jika anda mengacu pada proses evolusi alamiah, anak muda, ya, tentu saja demikian yang saya lakukan.” “Pernahkah anda mengamati evolusi dengan mata anda sendiri, pak ?” Sang profesor mengertakkan gigi dan memandang sang mahasiswa dengan tajam. “Profesor, karena tidak seorang pun pernah mengamati berlangsungnya proses evolusi dan bahkan tidak seorang pun dapat membuktikan proses ini sebagai upaya berkesinambungan, bukankah anda sedang mengajarkan opini anda, pak ? Apakah anda sekarang bukan seorang ilmuwan melainkan pengkhotbah ?” “Saya memaafkan kelancangan anda dalam nuansa diskusi filosofis kita. Sudah selesaikah anda ?” desis sang profesor. “Jadi, anda tidak menerima kode moral ketuhanan melakukan apa yang layak ?” “Saya percaya pada apa adanya. Itulah sains !” “Ahh! SAINS !” wajah sang mahasiswa berubah sinis. “Pak, anda telah menegaskan bahwa sains adalah studi mengenai fenomena pengamatan. Sains juga adalah premis yang cacat…” “SAINS CACAT ?” sang profesor bergetar. Kelas menjadi gempar. Sang mahasiswa tetap tegar berdiri hingga kegemparan mereda. “Untuk melanjutkan point yang sudah anda nyatakan sebelumnya pada mahasiswa lain, bolehkah saya memberi contoh tentang apa yang saya maksudkan ?” Sang profesor diam. Sang mahasiswa memandang sekeliling kelas ruang.”Adakah seseorang di kelas ini yang pernah melihat otak pak profesor ?” Kelas serentak pecah oleh tawa. Sang mahasiswa menunjuk pada sang profesor yang sudah remuk. “Adakah orang di sini yang pernah mendengar otak pak profesor, merasakan otak pak profesor, menyentuh, atau membaui otak pak profesor ?” Tampaknya tidak seorang pun pernah melakukannya. Sang mahasiswa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan raut wajah sedih. “Tampaknya tidak seorang pun pernah memiliki tanggapan indra apapun terhadap otak pak profesor. Maka, sesuai aturan empiris, keajegan, protokol yang dapat didemonstrasikan, sains, SAYA NYATAKAN bahwa bapak profesor kita tidak punya otak !”

Kelas tercengkeram dalam chaos. Sang mahasiswa kemudian duduk… karena memang demikianlah fungsi sebuah kursi

Related Documents


More Documents from ""