Hari-hari Tak Bernama

  • Uploaded by: Muhammad Ikhsan
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hari-hari Tak Bernama as PDF for free.

More details

  • Words: 1,563
  • Pages: 5
Published By Ikhsan

Kolomkita.com

Hari-hari Tak Bernama Januari 5th, 2007 by lubisgrafura AKU benar-benar sudah lupa, atau mungkin tak tahu lagi tentang nama-nama hari. Bisa juga aku lupa mengenai tanggal-tanggal. Aku sudah mencoba mengingat-ingatnya (mungkin lebih tepat kutulis “menebak”) hari apakah ini, tetapi aku selalu tak pernah seberuntung itu. Aku selalu lupa. Aku masih juga hidup dalam keremangan hidup. Senja. Aku bagai silara yang mengapung di kali sepi. Hanyut bersama arus tak tahu di mana tepi. Menyapa rumput, batu, ranting kering, bersama hari. “Ini pasti hari Minggu!” kataku kepada anak perempuanku. Hari Minggu adalah hari di mana semua sekolah sedang libur. Tidak ada anak-anak yang mengayuh sepeda melintasi jalan depan rumah (anehnya, soal jam aku tak pernah bisa lupa. Aku selalu ingat kapan harus makan atau sholat). Begitu juga cucuku yang kelas I sekolah dasar akan libur dan sedari pagi selalu duduk di depan TV melihat kartun kesayangannya. *** “Eyang ini hali apa?” Tanya cucuku nomor dua yang usianya hampir empat tahun. “Ini hari Senin cucuku sayang.” Ketika anak-anak SD atau SMP yang melintas di depan halaman mengenakan dasi dan topi, itu pastilah hari Senin. Cucuku yang pertama juga selalu mengenakan topi dan dasi ketika kami sarapan. Walau ibunya melarangnya memakai topi ketika sarapan, ia selalu menangkis jawabannya dengan alasan bahwa dirinya tak mau ketinggalan topi. Ia tak mau upacara di depan sendiri garagara ketinggalan topi. Tukang susu sapi perah itu selalu datang pada hari Selasa. Anak perempuanku selalu menyuruh Irah, pembantu kami, untuk membeli susu setiap seminggu sekali. Dan setiap hari Selasa tukang susu sapi perah itu akan mengganti botolnya yang berisi susu sapi perah dengan botol kosong kami. Pernah suatu kali aku duduk-duduk berbincang dengan penjual susu sapi perah itu. Ia masih muda. Usianya kira-kira masih duapuluh-an. Aku benar-benar bangga melihat semangatnya yang begitu menggebu. Ketika kutanya mengapa ia menjual susu. Ia menjawab dengan jawaban yang cukup sederhana. “Saya kerja keras kepingin kawin Pak.” Aku tersenyum mendengar jawabannnya. Juga rasa haru hampir memaksa air mata menetes. Aku hanya bisa menjawab dalam hati: “semoga apa yang kau usahakan menjadi kenyataan, anak muda.” Ia pun pergi mengayuh sepedanya menembus jalan demi jalan. Seminggu sekali aku harus check-up ke dokter pribadi. Menantu dan anakku selalu mengantarkan aku ke sana. Juga dua cucu kesayanganku selalu ikut.

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

“Kesehatan bapak lebih baik dari pada Minggu lalu. Kolesterolnya turun, juga tekanan darahnya. Cuman, jangan telat makan. Ohya, jangan lupa untuk menghindari makanan yang pedas. “ “Kemarin itu saya makan sedikit garbis, wah langsung perih perut ini.” “Ohya, garbis juga tidak boleh pak. Garbis mengandung zat yang bisa memicu penyakit maag.” **** “Ini hari Rabu ya?” tanyaku kepada Yanto, tukang kebun, yang menemaniku jalan-jalan tiap pagi. “Ini hari Kamis Pak.” “Oh, Senin mungkin?’ “Kamis Pak,” Yanto mengucap kata “pak” dengan nada agak panjang, tapi rendah,” kemarin bapak kan baru periksa ke dokter setiap hari Rabu. Nah, sekarang hari Kamis.” “Oiya, bapak yang lupa.” Aku tertawa, Yanto juga tertawa. Itulah kelemahanku ketika hari sudah sampai Kamis. Aku selalu tak punya pegangan untuk menandai hari apakah ini. Pagi ini aku memang sengaja mengajak Yanto untuk jalan-jalan keluar dari lingkungan perumahan Griya Hijau. Aku sudah bosan dengan jalanjalan di sekitar perumahan Griya Hijau. Aku ingin melihat kota dengan jalan kaki. Kami beristirahat di atas jembatan. Aku memandang ke bawah melihat sungai-sungai yang penuh dengan plastik-plastik dan sampah. Kulihat Yanto terengah-engah. “Masak kalah dengan saya yang sudah tua?” Yanto tertawa. Ia menjelaskan bahwa ia adalah seorang perokok berat. Sehari saja ia, minimal, habis satu bungkus rokok. Ia tak bisa nggak ngrokok sehari saja. Katanya, matanya akan memerah dan nafasnya sasak, juga kepalanya pusing-pusing. “Kamu sudah kena zat adiktifnya.” “Apa itu aditif?’ “Adiktif,” aku meralatnya “yaitu zat yang terkandung di dalam rokok. Setiap rokok itu selalu mengandung nikotin, yaitu zat yang bisa membuat dirimu ketagihan. Kamu baca peringatan pemerintah yang selalu ada di bungkusnya nggak?.” “Kan, cuma peringatan pak, bukan larangan.” Katanya berkelakar. Susah, susah! Batinku. Ketika perjalanan pulang, aku melihat seorang wanita sedang mengais-ngais tempat sampah, mencoba mencari sesuatu yang baginya berarti di pinggir warung trotoar. Tangan dan wajahnya tampak legam. Kepalanya di tutupi kain, sambil menjinjing tas berwarna cokelat yang sudah pudar

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

Di setiap perempatan yang kulewati, juga selalu kulihat anak-anak kecil yang memegang gitar, atau kempyeng – tutup botol—yang dipaku pada sebatang kayu kemudian di ayun-ayunkan dan tersusunlah nada-nada miris. Mereka menengadah setiap kali lampu merah menyala. Ketika lampu itu berubah warnanya menjadi hijau, tersirat juga wajah mereka berubah menjadi kecewa. Mungkin mereka berharap lampu merah itu menyala lebih lama, agar makin banyak jendela mobil yang di ketuk. Orang-orang lumpuh yang meminta-minta di sepanjang trotoar sudah tak terhitung lagi dengan jari tanganganku. Oh, betapa maraknya kemiskinan di kota ini. Entah di kota lain, entah di kota seluruh negeri ini. Apakah kota ini mewakili seluruh negeriku? Entahlah! Teringatlah ketika diriku menjadi seorang pegawai yang tugasnya menjadi wakil mereka. Kenapa baru sekarang aku melihatnya, ketika usiaku merangkak melewati senja? Kenapa bukan ketika aku masih menjadi wakil mereka? Ketika itu aku memang telah melupakan hari. Hari ketika itu kurasa sangat cepat. Hingga aku kadang lupa tentang hari. Kemarin hari Senin, sekarang hari sudah Minggu lagi. Senin lagi dan Minggu lagi. Hari-hari kulewati dengan kesengan, tanpa memperhitungkan kesengsaraan orang lain. Rakyatku. Yang seharusnya kuwakili. Apa yang kuperbuat semasa diriku menjadi wakil mereka, sama sekali tak ada yang berguna. Sudah cukupkah diriku menjadi wakil mereka yang lumpuh dan mengemis di jalanan, bagi mereka yang mengais di tempat sampah, atau bagi anak-anak penerus bangsa yang tak mampu sekolah, atau, atau yang masih belum kulihat dengan mataku yang jumlahnya tak terhitung angka? Berapa? *** ”Hali apa ini eyang?’ “Hali Jum,at, sayang.” Aku menirukan gaya bicara cucuku yang kedua. Ia selalu suka memberi tebakan. Tebakan hari. Mungkin ia tahu kalau eyangnya memang lupa hari. Aku selalu menangis ketika hari Jum’at. Aku menangis dalam doa. Aku berharap Yang Memberiku Nafas hingga usia senja ini mau mengampuni dosaku. Semoga harta dan jabatan yang pernah dititipkan kepadaku menjadi amanah yang benar-benar dapat kupertanggungjawabkan. Dalam doaku, aku juga mendoakan istriku yang terlebih dahulu meninggalkan diriku. Kenapa Tuhan tidak segera memberikan tiket kepadaku untuk menyusulnya. Aku benar-benar kesepian dalam kemewahan. Kemewahan yang dulu pernah kuciptakan yang kini telah membelenggu dan menyiksaku. Oh, Tuhan ampuni diriku. Berikan aku petunjukmu. Bukankah kau mau mengampuni orang yang berdosa, sebelum sakaratul maut. Seperti diriku! Tiba-tiba aku teringat dengan pemuda yang setiap hari Selasa mengantarkan susu sapi perah ke rumah. Aku juga mendoakan agar ia bisa meraih apa yang pernah dicita-citakannya. Ya Tuhan, Ya Rabb, berikanlah anak itu keberhasilan. Juga keberhasilan yang menyertai bangsa ini, seperti semangat yang dibawa oleh pengantar susu itu. Ya Rabb. Air mataku menetes lagi. Masjid telah sepi… *** Begitulah hari-hari kulewati. Aku selalu mengingatnya dengan mengamati kebiasaan-kebiasaan yang sering terjadi. Kenapa orang zaman dulu membagi hari dalam satu Minggu itu, menjadi tujuh

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

hari bukannya tiga atau dua hari saja. Mungkin astronom memiliki jawaban yang tepat yang tak kuketahui. Dalam Minggu-Minggu terakhir ini aku selalu salah dalam menebak hari. Banyak hal yang berubah yang tak bisa kumengerti. Waktu senantiasa berubah. Tidak ada yang pasti. Perubahan itulah yang menyadarkan aku kepada kepastianNya. Si pengantar susu sapi perah, tidak lagi pernah datang. Ketika kutanyakan Yanto, katanya ia sudah menikah dan beralih profesi. Ia menikah dengan seorang perempuan tunggal anak juragannya. Mertuanya menyuruhnya berhenti untuk berjualan susu, ia harus mengurus sapi perah. Aku tersenyum mendengar penjelasan Yanto. “Itu kata orang-orang sih. Soalnya, Budi – yang dimasud Yanto adalah pengantar susu – itu orangnya ramah. Pantas juragannya juga mau menikahkan anaknya. Coba kalau saya.” Katanya sambil terkekeh-kekeh, tidak lupa asap rokoknya yang mengepul. Juga, aku sering salah menebak hari Senin. Ternyata tidak hanya hari Senin saja, para murid memakai dasi dan topi. Pada hari-hari tertentu mereka juga memakai topi yang sama. “Ini hari pahlawan, eyang. Nanti ada upacara.” Kata cucuku yang SD sambil berlari dan membuka pintu mobil yang tak lama lenyap bersama deru mobil yang menyisakan asap. Check-up ke dokter tidak lagi dilakukan pada hari Rabu. Hampir tiga kali seminggu aku pergi ke dokter. “Bapak harus banyak istirahat, jangan terlalu banyak pikiran.” Kata dokter. Aku sudah tak tahu lagi hari-hari. Dan makin lama aku makin tak peduli. Namun, anehnya masih satu hari yang selalu tak bisa kulupakan. Entah insting atau lainnya, aku selalu ingat hari Jum’at, yaitu ketika orang-orang hendak pergi ke masjid. Aku ingat. Dan selepas sholat aku selalu menangis. Aku selalu menangis di hari jum’at menagih tiket yang tak kunjung kudapat. Aku teringat istriku, yang dulu selalu mengingatkanku. Jangankan tentang hari, ia akan selalu tahu dan mengingatkan aku dimana aku menaruh benda-benda yang pernah kupegang dan aku lupa menaruhnya. *** Aku terperanjat! Aku seperti bangun dari mimpi buruk yang panjang. Nafas masih tersengal-sengal mengikuti naik turunnya dadaku. Keringat dingin terasa di kening. Aku melihat sekitar. Aku merasa asing dengan tempat ini. Aku tak pernah tahu. Serba putih. Sebuah tempat yang tak mungkin kulukis dengan katakata. Semua simbol yang pernah ada di dunia terlalu sederhana untuk melukiskannya. Kemudian sebuah tangan yang tak asing, menyentuh lenganku. Ia adalah istriku. Dengan dua tiket di tangannya. Aku hendak berkata dengan jutaan tanya, tapi mulutku tak bisa bicara. Di sebelah sana kumelihat, dan kuterperanjat! *** KAMI TURUT BERDUKA CITA ATAS MENINGGALNYA PURNA TUGAS ANGGOTA DPRD ALM. SULARSO ADMOWIYOTO PADA HARI JUMAT.

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

Banyak orang dengan pakaian hitam memenuhi sebuah rumah di jalan Kembang Melati Blok 3A Nomor 371 Griya Hijau. Juga beberapa karangan bunga…. *** SELESAI

Related Documents

Hari-hari Tak Bernama
April 2020 50
Tak
May 2020 44
Bernama News
October 2019 29
Score - Bernama
October 2019 32

More Documents from ""