PEMBERIAN OBAT INTRA CUTAN/ SKIN TEST PEMBERIAN OBAT INTRA CUTAN/ SKIN TEST RUMUS 1:9
SELAMAT PAGI!
CONTOH : Cefotaxime 1g : larutkan 1 vial Cefotaxime dengan 5 cc aquabidest/otsu wl, setelah itu ambil sebanyak 0,1 cc menggunakan spuit 1 cc, tambahkan
aquabidest/otsu wl sebanyak 0,9 cc. Obat siap dilakukan skin test.
CEFTRIAXONE 1g : larutkan 1 vial Cefotaxime dengan 10 cc aquabidest/otsu wl (lihat di brosur setiap antibiotik beda penambahan aquadesnya), setelah itu ambil sebanyak 0,1 cc menggunakan spuit 1 cc, tambahkan aquabidest/otsu wl sebanyak 0,9 cc. Obat siap dilakukan skin test.
“SELALU INGAT RUMUSNYA 1:9 = 0,1 cc dosis obat yang diberikan + 0,9 cc aquabidest/otsu wl” 1. Pengertian Intra Cutan Intra Cutan adalah memberikan obat melalui suntikan ke dalam jaringan kulit, (lapisan dermis atau dibawah epidermis) pada lengan bawah bagian dalam atau ditempat lain. Intra cutan biasa digunakan untuk mengetahui sensitivitas (alergi) tubuh terhadap obat yang disuntikan dan cara menyuntikannya obat dengan sudut jarum injeksi 5-15 derajat, setelah itu tunggu reaksi obat antara 10-15 menit. Misalnya skin test pada obat cefotaxime. Injeksi intra kutan dimasukkan langsung kelapisan epidermis tepat dibawah startum korneum.Umumnya berupa larutan atau suspensi dalam air, volume yang disuntikkan sedikit (0,1 - 0,2 ml) atau hingga membentuk gelembung. 2. Tujuan Injeksi
Memberikan obat tertentu yang pemberiannya hanya dapat dilakukan dengan cara suntikan
intra cutan
Pada umumnya Injeksi dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat proses penyerapan
(absorbsi) obat untuk mendapatkan efek obat yang cepat.
Menghindarkan pasien dari efek alergi obat( dengan skin test).
Membantu menentukan diagnose terhadap penyakit tertentu misalnya tubercullin test
3. Indikasi
Injeksi biasanya dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena
tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral. Apabila klien tidak sadar atau bingung, sehingga klien tidak mampu menelan atau mempertahankan obat dibawah lidah. Oleh karena itu,
untuk memenuhi kebutuhan obat klien dilakukan dengan pemberian obat secara injeksi. Prinsip 1.
Sebelum memberikan obat perawat harus mengetahui diagnosa medis pasien, indikasi
pemberian obat, dan efek samping obat, dengan prinsip 10 benar yaitu benar pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu pemberian, benar cara pemberian, benar pemberian keterangan tentang obat pasien, benar tentang riwayat pemakaian obat oleh pasien, benar tentang riwayat alergi obat pada pasien, benar tentang reaksi pemberian beberapa obat yang berlainan bila diberikan bersama-sama, dan benar dokumentasi pemakaian obat. 2. Setelah dilakukan penyuntikan / skin test tidak dilakukan desinfektan. 3. Perawat harus memastikan bahwa pasien mendapatkan obatnya, bila ada penolakan pada suatu jenis obat,
maka perawat dapat mengkaji penyebab penolakan, dan dapat
mengkolaborasikannya dengan dokter yang menangani pasien, bila pasien atau keluarga tetap menolak pengobatan setelah pemberian inform consent, maka pasien maupun keluarga yang bertanggungjawab menandatangani surat penolakan untuk pembuktian penolakan therapi. Prosedur 1.
Persiapan
a.
Menjelaskan tujuan dan prosedur pemberian obat
b.
Memberikan posisi yang nyaman pada pasien, menjaga privasi pasien/ pasang sampiran
c.
Alat dan bahan
1)
Obat-obatan yang sesuai program pengobatan dokter
2)
Daftar obat pasien
3)
Spuit 1 cc dan 5 cc disposible.
4)
Jarum sesuai kebutuhan, gergaji ampul bila perlu.
5)
Perlak dan alas
6)
Kapas alkohol atau kapas yang sudah dibasahi NaCl 0,9% dalam tempatnya
7)
Handschoen
8)
Nierbeken
2.
Pelaksanaan
1) Mencuci tangan 2)
Berdiri di sebelah kanan/kiri pasien sesuai kebutuhan.
3) Cek daftar obat pasien untuk memberikan obat 4)
Membawa obat dan daftar obat ke hadapan pasien sambil mencocokkan nama pada tempat tidur dengan nama pada daftar obat.
5) Meenginjeksi pasien sesuai dengan nama pada daftar obat 6) Jaga privasi pasien 7)
Injeksi intrakutan dilakukan dengan cara spuit diisi oleh obat sesuai dosisnya.
8) Menentukan lokasi injeksi yaitu 1/3 atas lengan bawah bagian dalam. 9)
Membersihkan lokasi tusukan dengan kapas normal saline atau kapas alcohol bila
diperlukan, kulit diregangkan tunggu sampai kering. 10) Lubang jarum menghadap keatas dan membuat sudut antara 5-150 dari permukaan kulit 11) Memasukan obat perlahan-lahan sampai berbentuk gelembung kecil, dosis yang diberikan 0,1 cc atau sesuai jenis obat. 12) Setelah penyuntikan area penyuntikan tidak boleh didesinfeksi. 13) Bila injeksi intrakutan dilakukan untuk test antibiotik, lakukan penandaan pada area penyutikan dengan melingkari area penyuntikan dengan diameter kira kira 1 inchi atau diameter 2,5 cm. Penilaian reaksi dilakukan 15 menit setelah penyuntikan. Nilai positif jika terdapat tanda tanda rubor, dolor, kalor melebihi daerah yang sudah ditandai, artinya pasien alergi dengan antibiotik tersebut. 14) Bila injeksi ditujukan untuk mantoux test tuberkulin test, dapat dinilai hasilnya dalam 2 sampai 3 kali 24 jam, positif bila terdapat rubor dolor kalor melebihi diameter 1 cm pada area penyuntikan. 15) Beri penjelasan pada pasien atau keluarga untuk tentang penilaian pada daerah penyuntikan dan anjurkan untuk tidak menggaruk, memasage atau memberi apapun pada daerah penyutikan. Menyimpan obat obat sisa dan daftar obat pasien ketempatnya 16) Mengobservasi keadaan umum pasien 17) melepaskan handschoen, mencuci tangan. 18) Membuat pendokumentasian mencakup: · Tindakan dan respon pasien. TEORI
I.
PENDAHULUAN Alergi merupakan suatu kelainan sebagai reaksi imun tubuh yang tidak di harapkan.(1) Istilah alergi dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906 yang
pada dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti yang terjadi pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit. Dewasa ini alergi diartikan sebagai reaksi imunologik terhadap antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang sebelumnya pernah tersensitisasi dengan antigen bersangkutan.(2) Penyakit alergi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering didapatkan dalam praktek sehari-hari.(3) dalam 20 – 30 tahun terakhir telah terjadi peningkatan dalam angka kejadian alergi, bahkan di negara berkembang alergi atopik dapat dijumpai pada 20 % populasi yang mencakup berbagai kelainan yang dikaitkan dengan IgE, misalnya asma, rhinitis alergi, dermatitis atopik, alergi makanan dan lain-lain. Peningkatan prevalensi alergi di duga disebabkan berbagai faktor, diantaranya perubahan gaya hidup, misalnya penggunaan sistem pengatur suhu ruangan di dalam rumah disertai ventilasi yang kurang, penggunaan antibiotik spektrum luas , infeksi virus, diet dan lain-lain.(2) Sejak awal tahun dari abad terakhir, sebelum penyebab dari reaksi alergi di temukan, tehnik in vivotermasuk conjunctival instillation dan tes kulit, telah digunakan untuk mengidentifikasi faktor penyebab dari reaksi alergi.(4) Hingga saat ini sudah banyak perkembangan dalam metode laboratorium untuk menunjang diagnosis dan evaluasi penderita alergi. Sebagian metode laboratorium lebih banyak digunakan untuk menunjang riset pada penderita alergi dan belum banyak digunakan untuk pelayanan laboratorium secara rutin.(2) Pemeriksaan laboratorium rutin seperti penetapan jumlah eosinofil dan kadar IgE serum dapat menjadi pelengkap yang berguna dalam menegaskan diagnosis gangguan alergi. Namun interprestasi dari nilai eosionofil agak sulit karena eosinofil dipengaruhi oleh ekskresi obat-obat tertentu seperti steroid dan agen beta adrenergik, waktu pengambilan, dan tehnik peneraan, serta juga oleh kinetiknya.(1) Tes alergi sering digunakan untuk membedakan suatu penyakit yang disebabkan oleh alergi ataupun oleh sebab lain. Dikenal beberapa metode pemeriksaan alergi diantaranya secara in vivo dan secara in vitro.(1,3,4,5,6)
II.
REAKSI ALERGI
Reaksi alergi semula dibagi dalam 2 golongan berdasarkan kecepatan timbulnya reaksi, yaitu : 1. Tipe cepat (immediate type, antibody mediated) 2. Tipe lambat (delayed type, cell mediated)(7) Sedangkan Combs dan Gell (1975) membagi reaksi ini menjadi 4 jenis yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III dan IV.(1,5,7)
Reaksi Tipe I Pada paparan pertama, allergen masuk sampai kedalam mukosa dan di tampilkan oleh sel B dan sel T. Respon imun yang di dapat akan memproduksi proliferasi populasi sel yang spesifik terhadap antigen dan membangun sel memori dan sel plasma. IgE spesifik untuk allergen tersebut di bentuk dan berikatan dengan sel mast di dalam tubuh. Pada paparan kedua allergen masuk kembali ke dalam mukosa dan melepas ikatan antara IgE dan mast sel. Sehingga mast sel akan melepaskan mediator seperti heparin dan histamin. Pengaktifan metabolisme asam arakidonat menghasilkan prostaglandin dan leukotrien yang nantinya akan menimbulkan gejala.
Reaksi Tipe II Pada paparan pertama alergen menginduksi respon sel B dengan memproduksi antibodi. Pada paparan berikutnya antibodi berikatan dengan permukaan sel untuk menampilkan alergen. Kemudian, sistem komplemen lainnya diaktifkan dan sel menjadi lisis atau antibodi yang terbentuk bertindak sebagai opsonin dan sel fagosit yang tertarik. Kerusakan jaringan khusus, tergantung pada distribusi dari permukaan sel alergen. Belum jelas jika reaksi tipe II terlibat dalam pembentukan gejala alergi.
Reaksi Tipe III
Pada paparan pertama, alergen mempengaruhi respon dari sel B dengan memproduksi antibodi. Pada paparan kedua, alergen beredar dalam sirkulasi darah berikatan dengan antibodi untuk membentuk kompleks imun. Ketika jumlah antigen yang lebih besar tampak, kompleks imun tadi menjadi banyak, besar dan irregular dan mereka tidak dapat disingkirkan secara cepat oleh sistem retikuloendotelial. Kompleks tadi berikatan dengan endothelium dari pembuluh darah kecil dan membentuk respon inflamasi (edema, Infiltrat selular) sampai komplemen menjadi aktif. Efek samping dari kerusakan jaringan tergantung dari jumlah deposit dari kompleks tadi.
Reaksi Tipe IV hipersensitivitas tipe lambat Pada paparan pertama alergen merangsang sel T. pada paparan kedua allergen ditemukan pada permukaan sel target. Sebelumnya merangsang sel T kemudian sel target lisis dan respon inflamasi terbentuk.(5)
III.
INDIKASI PEMERIKSAAN TES ALERGI(3,8)
Secara umum indikasi pemeriksaan alergi pada seseorang berdasarkan kondisi yang dialami. Tabel 1. Indikasi untuk pemeriksaan tes alergi Kondisi
Indikasi
Rhinitis
Gejala
tidak
dapat
dikontrol
dengan
pemberian medikamentosa dan diperlukan kepastian untuk mengetahui jenis alergen sehingga kemudian hari alergen dapat dihindari Asma
Dugaan
Asma persisten pada pasien yang terpapar alergen di dalam ruang alergi
Sebelumnya
didapatkan
dugaan
reaksi
makanan Dugaan alergi obat
sistemik terhadap makanan Sebelumnya
didapatkan
dugaan
reaksi
sistemik terhadap obat dan indikasi klinis untuk obat yang diduga Dugaan alergi gigitan Sebelumnya didapatkan dugaan binatang sistemik terhadap sengatan binatang
reaksi
IV. PEMERIKSAAN TES ALERGI Pemeriksaan untuk diagnosis alergi inhalan dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro untuk alergi terhadap alergen yang spesifik. Tes ini diindikasikan tidak hanya pada pasien alergi saja, namun juga pada terkena alergen yang spesifik. Tes pada inhalasi relatif lebih sederhana, sejak mekanisme terjadinya diketahui (IgE – mediator reaksi tipe I) dan reaksi alergi inhalasi bisa didapatkan dalam beberapa menit. Bagaimanapun bisa didapatkan sebuah hasil yang positif walaupun tanpa gejala klinik.(5)
A. METODE IN VIVO Berbagai metode in vivo digunakan dalam penelitian sistem immunoglobulin maupun sistem seluler.(1) tes alergi secara in vivo terdiri atas dua kategori : uji kulit dan uji tantangan pada organ (tes provokasi).(9) Uji kulit merupakan cara in vivo utama dalam mengenali IgE atau antibodi reagenik. Reaksi ini terjadi beberapa menit setelah masuknya alergen. Alergen berinteraksi dengan antibodi reagenik yang melekat pada sel pelepas zat mediator. Akibatnya terjadi suatu peradangan atau pembengkakan segera, demikian pula suatu reaksi fase lambat. Pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan suatu jarum atau garukan dan injeksi intradermal.(1) 1. Pemeriksaan Tes Kulit Uji kulit sampai saat ini masih dilakukan secara luas untuk menunjang diagnosis alergi terhadap alergen-alergen tertentu. Metode ini dapat dilakukan secara massal dalam waktu
singkat dengan hasil cukup baik. Prinsip test ini adalah adanya IgE spesifik pada permukaan basofil atau sel matosit pada kulit akan merangsang pelepasan histamin, leukotrien dan mediator lain bila IgE tersebut berikatan dengan alergen yang digunakan pada uji kulit, sehingga menimbulkan reaksi positif berupa bentol (wheal) dan kemerahan (flare).(2,8) Tetapi uji kulit tidak selalu memberikan hasil positif walaupun pemeriksaan dengan cara lain berhasil positif, terutama alergi terhadap obat.(2) Tujuan tes kulit pada alergi adalah untuk menentukan macam alergen sehingga dikemudian hari bisa dihindari dan juga untuk menentukan dasar pemberian imunoterapi.(8) Macam tes kulit untuk mediagnosis alergi antara lain : Ø Puncture, prick dan scratch test biasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh karena allergen inhalan, makanan atau bisa serangga. Ø Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga. Ø Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada dermatitis kontak.(8,10)
a. Scracth : Epicutaneus Tes Ini merupakan tehnik yang paling awal ditemukan oleh Charles Blackley pada tahun 1873. Pemeriksaan ini didasari dengan membuat laserasi superficial kecil dari 2 mm pada kulit pasien dan diikuti dengan menjatuhkan antigen konsentrat. Keuntungan : o Aman, jarang menyebabkan reaksi sistemik o Terdapat kekurangan pada reaksi kulit tipe lambat o Konstrate yang digunakan nilai ekonominya lebih baik dan mempunyai daya hidup yang lama. Kerugian : o Terjadi false positif (akibat iritasi pada kulit dibandingkan dengan reaksi alergi)
o Lebih menyakitkan o Tidak reproducible sebagai intradermal skin test Karena kurang reproducibility dan berbagai gambaran dibelakang, bentuk tes ini tidak direkomendasikan lagi sebagai prosedur diagnostik pada Alergi panel dari AMA Council Of Scientific Affairs.(5)
b. Prick : Epicutaneus Tehnik ini pertama kali dijelaskan oleh Lewis dan Grant pada tahun 1926. Hal ini digambarkan dimana satu tetesan konsentrat antigen ke dalam kulit . kemudian jarum steril 26 G melalui tetesan tadi ditusukkan ke dalam kulit bagian superficial sehingga tidak berdarah. Variasi dari tes ini adalah dengan menggunakan applikator sekali pakai dengan delapan mata jarum yang bisa digunakan. Digunakan secara simultan dengan 6 antigen dan control positif (histmin) dan kontrol negative (glyserin). (5)
a
b
c
Gambar 1. Keterangan : a. Lengan atas yang diteteskan zat allergen b. Penetesan allergen c. Reaksi pada pemeriksaan skin prick test(9)
Keuntungan : o Cepat o Mempunyai korelasi yang baik dengan tes intradermal o Relative lebih aman Kerugian : o Hanya memberikan penilaian kualitatif pada alergi o Bisa terjadi kesalahan pada keadaan alergi yang lemah (false – negatif) o Grade pada kulit bersifat subjektif Prick tes merupakan jalan cepat untuk menyeleksi antigen yang banyak. Jika skin tes positif, kemudian pasien lebih sering alergi, tetapi konversi yang didapat tidak benar. Jika pasien mempunyai sejarah yang positif dan negative pada prick test, maka dokter harus menggabungkan prosedur dengan pemeriksaan tes intradermal.(5)
Kontraindikasi Skin Prick Test(8,11) Ø Penderita dengan riwayat yang meyakinkan adanya reaksi anafilaksis terhadap allergen. Ø Penderita dengan gejala alergi terhadap makanan sampai dengan gejala yang timbul stabil. Ø Penderita dengan penyakit kulit misalnya urtikaria, SLE dan lesi yang luas pada kulit.
Persiapan tes cukit (Skin Prick Test) Sebagai dokter pemeriksa kita perlu menanyakan riwayat perjalanan penyakit pasien, gejala dan tanda yang ada yang membuat pemeriksa bisa memperkirakan jenis alergen, apakah alergi ini terkait secara genetik dan bisa membedakan apakah justru penyakit non alergi, misalnya infeksi atau kelainan anatomis atau penyakit lain yang gambarannya menyerupai alergi.(8) Persiapan yang harus dilakukan antara lain(3,8,11) : 1. Persiapan bahan/material ekstrak alergen : Ø Gunakan material yang belum kadaluwarsa Ø Gunakan esktrak alergen yang terstandarisasi 2. Persiapan penderita : Ø Menghentikan pengobatan antihistamin 3 hari sebelum tes(11) atau 5 – 7 hari sebelum tes.(8) Ø Menghentikan pengobatan lain seperti trisiklik antidepressant, stabilizer sel mast, ranitidine, anti muntah atau beta bloker, antihistamin topical, cream imunomodulator, dan topical steroid minimal 7 hari sebelum tes. Steroid oral dan obat inhalasi untuk asma tidak perlu dihentikan. Ø Usia : Pada bayi dan usia lanjut tes kulit kurang memberikan reaksi, walaupun sebenarnya tes ini tidak mempunyai batasan umur.
Ø Pada penderita dengan keganasan, limfoma, sarkoidosis, diabetes neuropati juga terjadi penurunan terhadap reaktivitas terhadap tes kulit ini. 3. Persiapan pemeriksa : Ø Tehnik dan keterampilan pemeriksa perlu dipersiapkan agar tidak terjadi interprestasi yang salah akibat tehnik dan pengertian yang kurang dipahami oleh pemeriksa. Ø Keterampilan tehnik melakukan cukit Ø Tehnik menempatkan lokasi cukitan karena ada tempat yang reaktivitas tinggi dan ada yang rendah. Berurutan dari lokasi yang reaktifitasnya tinggi sampai rendah : bagian bawah punggung > lengan atas > siku > lengan bawah sisi ulnar > sisi radial > pergelangan tangan.
Prosedur Tes Cukit(4,8,11) Sebelum melakukan tes cukit pada penderita dilakukan terlebih dahulu inform consent. Pada penderita dewasa yang telah mengerti dapat dijelaskan secara langsung prosedur pemeriksaan dan apa yang akan mereka rasakan. Sedangkan pada penderita yang masih kecil maka diberikan penjelasan kepada orang tua mereka. Tes cukit sering kali dilakukan pada bagian volar lengan bawah. Pertama dilakukan desinfeksi dengan alkohol pada area volar dan ditandai area yang akan ditetesi dengan ekstrak allergen. Tanda yang diberikan mempunyai jarak antara satu dengan yang lain sekitar 2-3 cm. Ekstrak allergen diteteskan satu tetes larutan allergen (histamine/control positif) dan larutan kontrol (buffer/control negative) menggunakan jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G atau blood lancet. Kemudian dicukitkan dengan sudut kemiringan 45 0 menembus lapisan epidermis dengan ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan sejumlah alergen memasuki kulit. Tes dibaca setelah 15 – 20 menit dengan menilai bentol yang timbul.
A
B
Gambar Keterangan :
2.
A. Sudut melakukan cukit pada kulit dengan lancet B. Contoh reaksi hasil positif pada tes cukit
Interprestasi tes cukit(4,8) Untuk menilai ukuran bentol berdasarkan The Standardization Committee of Northern (Scandinavian) Society of Allergology dengan membandingkan bentol yang timbul akibat alergen dengan bentol positif histamin dan bentol negatif larutan kontrol. Adapun penilaiannya sebagai berikut : -
Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)
-
Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)
Derajat bentol + (+1) dan ++(+2) digunakan bila bentol yang timbul besarnya antara bentol histamin dan larutan kontrol. -
Untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bento histamin
dinilai ++++ (+4). Di Amerika cara menilai ukuran bentol menurut Bousquet (2001) seperti dikutip Rusmono sebagai berikut : -0
: reaksi (-)
- 1+
: diameter bentol 1 mm > dari kontrol (-)
- 2+
: diameter bentol 1-3mm dari kontrol (-)
- 3+
: diameter bentol 3-5 mm > dari kontrol (-)
- 4+
: diameter bentol 5 mm > dari kontrol (-) disertai eritema.
Kesalahan yan sering terjadi pada Skin Prick Test(8) a. Tes dilakukan pada jarak yang sangat berdekatan ( < 2 cm ) b. Terjadi perdarahan, yang memungkinkan terjadi false positive. c. Teknik cukitan yang kurang benar sehingga penetrasi eksrak ke kulit kurang, memungkinkan terjadinya false-negative. d. Menguap dan memudarnya larutan alergen selama tes.
Kelebihan Skin Prick Test Dibandingkan dengan Tes Kulit yang lain(8) : 1. karena zat pembawanya adalah gliserin maka lebih stabil jika dibandingkan dengan zat pembawa berupa air. 2. Mudah dilaksanakan dan bisa diulang bila perlu. 3. Tidak terlalu sakit dibandingkan suntikan intradermal
4. Resiko terjadinya alergi sistemik sangat kecil, karena volume yang masuk ke kulit sangat kecil. 5. Pada pasien yang memiliki alergi terhadap banyak alergen, tes ini mampu dilaksanakan kurang dari 1 jam.
c. Intradermal test Tes intradermal atau tes intrakutan secara umum biasa digunakan ketika terdapat kenaikan sensitivitas merupakan tujuan pokok dari pemeriksaan (misalnya ketika skin prick test memberikan hasil negatif walaupun mempunyai riwayat yang cocok terhadap paparan). Tes intradermal lebih sensitive namun kurang spesifik dibandingkan dengan skin prick test terhadap sebagian besar alergen, tetapi lebih baik daripada uji kulit lainnya dalam mengakses hipersensitivitas terhadap Hymenoptera (gigitan serangga) dan penisilin atau alergen dengan potensi yang rendah.(3,9,) Robert Cooke memberikan gambaran pertama kali untuk tes intradermal pada tahun 1915. Tehnik pemeriksaannya mengalami beberapa modifikasi sejak saat itu. Pada saat ini prosedur tes intradermal digambarkan dengan menggunakan jarum 26 G untuk menyuntikkan secara intradermal sebagian dari antigen, berbagai macam laporan mengatakan batasannya 0,01 – 0,05 ml. batasan dari konsentrasi ekstrak adalah 1 : 500 sampai 1 : 1000. Test di nilai setelah 10 – 15 menit. Pada kasus tertentu baru dapat dibaca setelah 24 – 48 jam.(10) Eritem dan bentol merupakan tanda dan tingkatan dalam skala subjektif adalah 0 - +4.(5,12)
Interdermal skin tes
Keuntungan : Ø Lebih sensitive (dapat mendeteksi alergi dengan kadar rendah) Ø Lebih reproducible dalam satu tempat Kerugian : Ø Lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif Ø Tingkat dalam respon lebih bersifat subjektif Ø Tidak ada standarisasi dalam banyaknya dosis atau konsentrasinya Ø Mungkin dapat muncul reaksi positif palsu pada sensitivitas tinggi Tes intradermal merupakan tes yang baik, sensitive dan lebih reproducible. Keakuratan lebih jelas didapatkan pada percobaan dengan berbagai macam dilusi dari ekstrak allergen. Tetapi mempunyai kekurangan dalam standarisasi protokol tes.(5)
d. Pacth Test Tes pacth merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi zat yang memberikan alergi jika terjadi kontak langsung dengan kulit. Metode ini sering digunakan oleh para ahli kulit untuk mendiagnosa dermatitis kontak yang merupakan reaksi alergi tipe lambat, dimana reaksi yang terjadi baru dapat dilihat dalam 2 – 3 hari.(9,10,13) Pemeriksaan pacth tes biasa dilakukan jika pemeriksaan dengan menggunakan skin prick tes memberikan hasil yang negative.(10) Pada pelaksanaan pemeriksaan disiapkan 25 – 150 material yang dimasukkan ke dalam kamar plastic atau aluminium dan di letakkan di belakang punggung. Sebelumnya pada punggung diberikan tanda tempat-tempat yang akan ditempelkan bahan allergen tersebut. Setelah ditempelkan, kemudian dibiarkan selama 48 sampai 72 jam. Kemudian diperiksa apakah ada tanda reaksi alergi yang dilihat dari bentol yang muncul dan warna kemerahan.(10,14)
A
B
Gambar 4. Keterangan : A. Alergen dimasukkan ke dalam ruang aluminium B. Logam aluminium di tempelkan di punggung
Hasil yang dinilai atau didapatkan bisa berupa : Ø Negatif (-) Ø Reaksi iritasi (IR) Ø Meragukan/tidak pasti (+/-) Ø Positif lemah (+) Ø Positif kuar (++)
Ø Reaksi yang ekstrem (+++) Reaksi iritasi terdiri dari sweat rash, follicular pustules dan reaksi seperti terbakar. Reaksi yang meragukan berupa warna merah jambu dibawah kamar tes. Reaksi positif lemah berupa warna merah jambu yang sedikit menonjol atau plak berwarna merah. Reaksi positif kuat berupa papulovesicle dan reaksi ekstrem berupa kulit yang melepuh atau luka. Reaksi yang relevan tergantung dari jenis dermatitis dan allergen yang spesifik. Interprestasi dari hasil yang didapatkan membutuhkan pengalaman dan latihan.(14)
Gambar 5. Keterangan : A & B Hasil positif dari tes tempel (Pacth Tes) C. Reaksi ++ D. Reaksi +++ Yang harus dipersiapkan pada saat melakukan pemeriksaan adalah : Persiapan penderita Ø Bagian punggung tempat akan dilakukan pemeriksaan jangan terkena sinar matahari kurang lebih 4 minggu sebelum pemeriksaan. Ø Memakai baju yang sudah tua ; tanda dari ujung pulpen dapat melumuri baju
Ø Jangan berenang, menggaruk atau melakukan latihan, sebab tempelan bisa lepas. Ø Biarkan punggung tetap kering, jadi jangan mandi, jangan berkeringat jika tidak dibutuhkan Ø Hindari pemakaian kosmetik, cream dan detergen untuk sementara waktu supaya tidak memberikan hasil positif palsu. Ø Menyuruh seseorang untuk mengatakan jika ada perubahan pada tanda yang telah diberikan dipunggung.(13,14)
Persiapan Bahan Untuk mempersiapkan bahan yang akan digunakan biasanya penderita mendiskusikan dulu dengan pemeriksa. Terkadang penderita disuruh membawa bahan yang akan digunakan sendiri dari rumah. Ø Bawa atau kirim bahan yang akan dites paling lambat 1 minggu sebelum pertemuan pertama dilakukan sehingga pemeriksa bisa mempersiapkan untuk tes jika dibutuhkan. Ø Jumlah yang dibutuhkan sedikit hanya beberapa tetes atau butir. Ø Bahan diberikan label dan nama dan buatlah lembaran daftar bahan jika memungkinkan. Ø Identifikai jenis makanan dan tumbuhan (jika relevan) kalau bisa beli yang masih segar untuk pertemuan pertama; gunakan es untuk lebih membantu. Ø Bawa kosmestik yang telah diseleksi untuk dites (lebih dari 10 jenis) termasuk cat kuku, pelembab, cream matahari, parfum, sampho. Sabun tidak biasa digunakan untuk tes (karena biasa menyebabkan reaksi jika diletakkan di kulit untuk 2 hari) Ø Bawa semua ointment, cream dan lotion yang biasa digunakan baik yang diresepkan maupun yang tidak diresepkan. Ø Bagian dari pakaian seperti sarung tangan karet dan kaus kaki untuk di tes: 1 cm dari bahan tersebut perlu diambil.(14)
2. Pemeriksaan Uji Provokasi Hidung (Nasal Provocation Test) Tes ini merupakan cara menilai yang paling baik untuk rhinitis alergi. Hanya ini metode yang digunakan dengan menempatkan secara langsung allergen spesifik terhadap mukosa hidung. Metode ini menimbulkan gejala utama atau tanda dari pasien dengan cara mengontrol antigen yang diduga dapat menimbulkan alergi dengan aplikasi langsung ke membrane mucous hidung. Dan evaluasi dari respon pasien di catat. Tehnik ini meliputi aplikasi yang selektif atas solution allergen ke kepala turbin inferior. Sebelumnya dilakukan rhinomanometri dan 20 menit setelah pemberian allergen. Untuk mengkonfirmasi efek alergi dari zat yang dites dengan menampakkan reduksi yang significant dari kemampuan hidung untuk pembengkakan mukosa yang reaktif. Sejak tes provokasi meliputi penempatan allergen secara langsung pada turbin, mungkin dapat menimbulkan reaksi alergi yang hebat atau mungkin syok anafilaksis, dan sepantasnya alat emergency tersedia pada ruang pemeriksaan.(6,15)
B. METODE IN VITRO Setelah sifat-Sifat IgE diketahui pada tahun 1968, Maka dimungkinkan pembentukan antisera terhadap kelas immunoglobulin ini. Hal ini membuka jalan untuk pelaksanaan peneraan imun.(1) Telah ditemukan beberapa cara pemeriksaan in vitro terhadap alergi, yang pertama sekali yaitu metode ujiRadioalergosorbent (RAST) yang kemudian mendapat modifikasi, Enzyme-linked immunoassay (ELISA)(1,3,4) dan beberapa metode baru yang terus ditemukan sesuai dengan perkembangan teknologi. Namun pada penulisan ini hanya dibahas mengenai metode pemeriksaan RAST dan ELISA.
Indikasi untuk tes secara in vitro Ø Pasien yang tidak respon terhadap control lingkungan dan pengobatan konservatif. Ø Kekhawatiran pada bayi dan anak yang sensitive terhadap reaksi atopi Ø Pasien yang tidak mungkin diberhentikan pengobatan yang mungkin mempengaruhi pada pemeriksaan uji kulit Ø Pasien dengan reaksi yang jelek pada imunoterapi
Ø Evaluasi individu yang sensitive ketika diprakarsai imunoterapi pada pasien atopi. Ø Pemindahan pasien alergi pada imunoterapi Ø Sensitive terhadap racun Ø Diagnosis reaksi sensitive IgE pada makanan(5) Kontra indikasi untuk tes secara invitro Ø Pasien dengan positif riwayat sensitivitas dimana dengan terapi non spesifik dapat efektif untuk mengurangi gejala. Ø Pasien atopi yang asimtomatik terutama dalam imunoterapi Ø Pasien dengan gejala namun pada uji kulit negative Ø Pasien dengan total IgE level dibawah 10 U/ml Ø Pasien dengan diagnosis gangguan penghantar non IgE(5)
1. Metode RAST Merupakan metode yang sering dipakai dengan menggunakan allergen tidak larut ke dalam suatu cakram kertas selulosa (alegosorben) yang mengikat IgE spesifik (dan klas antibody lain) dari serum selama masa inkubasi pertama. Fase padat terikat immunoglobulin kemudian dicuci dan pada inkubasi kedua ditambahkan suatu anti IgE berlabel isotop I-125 (fc) atau anti IgE berlabel enzim (fc). Setelah pencucian selanjutnya radioaktivitas yang terikat IgE pada cakram kemudian dihitung, atau pada antibody yang berlabel enzim, dilakukan suatu inkubasi substrat agar dihasilkan suatu produk berwarna atau berfluoresensi. Radioaktivitas terikat cakram atau kuantitas produk yang dihasilkan aktivitas enzim dihubungkan dengan IgE terikat cakram memakai sumber serum rujukan dari specimen yang tidak diketahui diinterpolasikan terhadap serum ini. Perlu ditekankan bahwa system penilaian untuk semua proses ini belum sepenuhnya dikaitkan dengan gambaran klinis. Secara umum nilai yang tinggi dapat ditemukan pada beberapa pasien non alergi namun dapat pula tidak ditemukan pada individu alergi. Demikian pula nilai yang rendah dapat ditemukan pada individu alergi seperti juga individu non alergi. Seluruh hasil perhitungan harus diinterprestasikan dalam kaitannya dengan anamnesis.(1,5)
Setelah dimodifikasi selama bertahun-tahun, RAST orisinil kini telah dipasarkan untuk pengukuran IgE spesifik dalam serum manusia. Hasil-hasil relative dari system yang lebih baru ini masih belum dinilai. Pada dasarnya, kebanyakan system peneraan mempunyai system yang serupa dengan RAST.(1) Bermacam-macam modifikasi tehnik radioimmumoassay (RIA) telah dikembangkan untuk menyederhanakan dan memudahkan penggunaannya serta meningkatkan sensitivitas maupun spesifitas. Dalam garis besar ada 2 macam metode, yaitu metode yang berdasarkan reaksi antigen antibody dalam larutan (liquid fase) dan yang berdasarkan reaksi antigen antibody pada benda padat atau partikel (solid phase). Pada umumnya tehnik RIA dalam larutan menggunakan prinsip kompetitif, yaitu mereaksikan antigen (Ag) yang tidak dilabel dan terdapat dalam specimen, bersama Ag yang dilabel 125I (Ag*) dengan antibody (Ab) spesifik, sehingga Ag berlabel (Ag*) dan Ag dalam specimen akan berkompetisi untuk mengikat Ab membentuk kompleks Ag*-Ab-Ag. Apabila kadar Ag* sebelum reaksi diketahui, maka sisa Ag* yang tidak bereaksi atau yang terikat pada kompleks dapat diukur radioaktivitasnya dan hasilnya merupakan parameter kadar Ag dalam specimen. Di samping tehnik kompetitif, ada juga tehnik non kompetitif dengan cara melekatkan Ag atau Ab pada suatu partikel kemudian mereaksikannya dengan specimen yang diuji. Apabila yang diuji adalah antigen, maka partikel dilapisi dengan Ab spesifik, kemudian direaksikan dengan specimen. Setelah itu ditambahkan Ab berlabel 125I (Ab*), kemudian kompleks Ab-Ag-Ab* dipisahkan dan diukur radioaktivitasnya. Banyaknya Ab* yang terikat merupakan ukuran untuk kadar Ag dalam specimen. Tehnik ini disebut tehnik sandwich dan merupakan tehnik yang banyak digunakan. Suatu modifikasi tehnik sandwich adalah setelah specimen direaksikan dengan partikel berlapis Ab, ditambahkan Ab spesifik yang tidak berlabel, baru kemudian dibubuhkan anti – Ig universal berlabel 125I (anti – Ig*).(2)
2. Metode Elisa (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) Prinsip tehnik ELISA sama dengan tehnik RIA, hanya saja pada tehnik ELISA indicator (label) yang digunakan adalah enzim dan bukan radioisotope. Kelebihan tehnik ELISA adalah : cukup sensitive, reagen mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan reagen RIA, dapat menggunakan spektrofotometer biasa dan mudah dilakukan automatisasi, dan yang paling penting adalah tidak mengandung bahaya radioaktif. Seperti halnya pada
tehnik RIA, pada tehnik ELISA juga dikenal metode kompetitif dan non kompetitif. Apabila Ab digunakan untuk melapisi partikel maka metode ini sering disebut capture, karena antigen dalam specimen seolah ditangkap oleh matriks yang dilapisi Ab. Fase solid atau partikel yang dapat digunakan bermacam-macam, diantaranya plastic, nitroselulosa, agarose, gelas, polyacrylamida, dan dekstran. Bergantung pada apa yang ingin diuji, pada tehnik ELISA harus ada antibody atau antigen yang dikonjugasikan dengan enzim dan substrat yang sesuai. Enzim yang paling disukai untuk digunakan adalah fosfatase alkali (AP) dan horseradish peroxidase (HRP) sedangkan substrat yang paling sering digunakan adalah o-phenylenediamine (OPD), dan tetramethylbenzidine (TMB). Substrat para-nitrophenylphospate (pNPP) dapat dipilih apabila enzim yang digunakan adalah fosfatase alkali. Hidrolisis substrat oleh enzim biasanya berlangsung dalam waktu tertentu dan reaksi dihentikan dengan membubuhkan asam atau basa kuat. Karena banyaknya antibody berlabel enzim (AbE) yang terikat pada kompleks Ag - AbE sesuai dengan kadar Ag dalam specimen, maka banyaknya enzim yang terikat pada kompleks dan intensitas warna yang timbul setelah substrat dihidrolisis oleh enzim yang terikat pada kompleks Ag - AbEmerupakan untuk kadar Ag yang diuji.(2)
Keuntungan tes secara in vitro -
Mengurangi variabilitas dari respon kulit
-
Mengurangi efek dari obat
-
Dapat selesai dalam satu tes darah; mengurangi tes kulit yang lama
-
Lebih spesifik daripada tes uji kulit
Menyediakan penilaian kuantitatif dari alergi sehingga dapat digunakan sebagai dasar menetapkan dosis awal imunoterapi -
Aman pada pasien dengan penggunaan beta bloker
Kekurangan tes secara invitro
-
Lebih mahal dalam biaya
-
Dibutuhkan alat laboratorium khusus dan pelatihan terhadap tehnisi
-
Kurang sensitif dibandingkan dengan tes uji kulit.
KESIMPULAN Ø Istilah alergi dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906 yang pada dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti yang terjadi pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit. Ø Penyakit alergi umum didapatkan dalam praktek sehari-hari, dan akhir-akhir ini telah terjadi peningkatan dalam angka kejadian alergi. Ø Diperlukan metode yang baik dalam mendeteksi alergi dan dikenal dua jenis pemeriksaan yaitu secara in vivo dan secara invitro Ø Pemeriksaan secara in vivo terdiri dari uji kulit (scratch test, skin prick test, intradermal test, dan patch test) dan uji provokasi. Ø Sedangkan secara in vitro banyak jenis metode yang telah dikembangkan namun yang sering digunakan adalah metode RAST (RIA) dengan menggunakan radioisotope dan metode ELISA yang menggunakan enzim. Ø Pemeriksaan secara in vivo lebih sensitive daripada secara invitro.