RESPONSI DYSPNUE ec BRONKOPNEUMONI BERAT + BRONKIOLITIS + BIHA Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF Penyakit Dalam RSUD Abepura
Oleh: Yan Tanawani Mohamad Safi’i
Pembimbing: dr. Ronald Rompies, Sp.A
SMF ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH 2019
BAB I LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien Nama
: An. IR
No. DM
: 45 77 97
Umur
: 3 bulan
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: KP
Suku Bangsa
: Papua
Alamat
: Kotaraja
Pekerjaan Ayah
: Swasta
Pekerjaan Ibu
: IRT
Pendidikan
:-
Tanggal MRS
: 05 Maret 2019
3.2 Anamnesis : Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis (Ibu angkat pasien).
Keluhan Utama : Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang diantar oleh keluarganya ke IGD RSUD Abepura dengan keluhan sesak disertai batuk ±2 minggu SMRS. Batuk disertai lendir (+), lendir berwarna hijau kekuningan, lendir sulit dikeluarkan oleh pasien, dan biasanya dikeluarkan di bantu pleh ibunya menggunakan jari. Lendirnya bnyak menempel pada pipi bagian dalam, darah (-). Batuk disertai sesak dan membuat pasien sulit tidur dan sering rewel. Dan batuk disertai sesak memberat pada malam hari, dan lebih ringan pada pagi dan siang hari. Pasien juga sering keringat pada malam hari dan sering menggati baju. Batuk juga disertai demam (+), demam hilang tibul ± 2 minggu, Menggigil (-).Pasien sering bawa ke rumah sakit dengan keluhan yang sama tetapi tidak ada
perubahan. Keluhan lain seperti muntah (-), keluhan lain seperti mual (-), muntah (-), mencret (), makan/minum berkurang karna batuk dan sesak, BAB/BAK baik.
Riwayat Penyakit Dahulu -
Pasien sudah batuk sejak usia 7 hari setelah lahir, selama sebulan pasien batuk terus menerus, dan tiap kali batuk pasien di bawa ke dokter praktek untuk mendapatkan obat. Namun 3 kali berobat dengan keluhan yang sama, tidak ada perubahan terhdap batunya. Lalu keluarga pasien tidak membawa pasien untuk control lagi, da akhirnnya sakit pasien memberat dan di bawa ke UGD RSUD jayapura.
Riwayat Imunisasi Riwayat imunisasi dasar : pasien tidak di imunisasi
Riwayat Kehamilan Ibu Kehamilan ini merupakan kehamilan ke-2 sebelumnya semua persalinan secara spontan. Pemeriksaan antenatal care tidak teratur. HPHT tidak diketahui. Diketahui ibu dengan B20 (+), dalam pengobatan ARV tidak diketahui. Riwayat korioamnionitis disangkal.
Riwayat Persalinan Bayi lahir pada tanggal 15/11/2018 secara spontan per vaginam dengan berat lahir 1750 gr, panjang 40 cm, dengan air ketuban jernih. Apgar score 5/7, dengan riwayat lahir kurang bulan. Berdasarkan rekam medic pasien.
Riwayat Keluarga -
Ibu kandung pasien B20 (+)
-
Tidak ada yang sakit sama seperti pasien
Riwayat Sosial Pasien tinggal bersama kedua orang tua angkat pasien sejak lahir.
3.3 Pemeriksaan Fisik Keadaan umum
: Tampak Lemas
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital
: Nadi: 148 x/menit, reguler, tegangan cukup, kuat angkat; Respirasi 60 x/menit; Suhu badan 37,9oC, SpO2 90%.
Berat Badan
: 4,5 kg
Panjang Badan
: 57 cm
- Status Generalis 1. Kepala Normosefal, ubun – ubun normal Mata cowong (+./+), Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikerik (-/-), edema palpebra (-/-) Pernapasan cuping hidung (+/+) Mulut: o Mukosa bibir lembab (+) o Oral candidiasis (+) o Stomatitis daerah ujung lidah (-) o Perdarahan gusi (-) o Faring hiperemis (-/-) o Tonsil T1/T1, hiperemis (-/-) Telinga: o Sekret (-/-), lesi (-/-) 2. Leher : Pembesaran KGB regio colli (-), peningkatan JVP (-), pembesaran kelenjar tiroid (-) 3. Pulmo : Inspeksi :Simetris bilateral, ikut gerak napas, retraksi (+) interkostalis, jejas (-) Palpasi : sulit dievaluasi Perkusi : sonor Auskultasi : Suara napas bronkovesikuler (+/+); Rhonki (+/+) basah halus; Wheezing (+/+) ekspirasi 4. Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-) 5. Abdomen Inspeksi: Datar (+) Auskultasi: bising usus (+) Normal Palpasi: supel, nyeri tekan (-) regio epigastrium, hepar - lien (tidak teraba besar), turgor kembali cepat (+) normal Perkusi: timpani 6.
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3”, petekie (-), edema (-), anemis (-), sianosis (-), Ikterus (-), nodul (-)
7. Status Gizi berdasarkan indeks BB/Umur BB = 4,5 kg PB = 57 Kategori status gizi pasien = Gizi Kurang
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 05/03/2019 : HEMATOLOGI: -
WBC: 17.590 uL
-
Hb: 8.7 g/dL
-
PLT: 108.000 uL
-
HCT: 27.2 %
-
DDR : Negatif
HITUNG JENIS LEUKOSIT: -
Sel Basofil: 0.2%
-
Sel Eosinofil: 0.2%
-
Sel Neutrofil: 37.3%
-
Sel Limfosit: 47.7%
-
Sel Monosit: 14.6%
3.4 Diagnosis Kerja Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, pasien didiagnosis dengan Dyspnue ec Bronkopneumonia Berat + Bronkiolitis + BIHA
3.5 Diagnosis Banding Tuberculosis Asma bronchial PCP
3.6 Penatalaksanaan 1. Perencanaan Terapi O2 nasal 2 lpm IVFD D5 ¼ NS 16 tpm mikro Injeksi Cefotaxime 160 mg/ 8 jam Injeksi Gentamicin 1 x 24mg Injeksi Dexamethason 0,8 mg/ 8 jam Kebutuhan cairan 4,5 x 100 = 450 cc/24 jam6 tpm makro 2. Rawat Inap untuk observasi lebih lanjut di HCU
3.7 Prognosis Quo ad vitam
:dubia ad bonam
Quo ad functionam
:dubia ad bonam
Quo ad sanationam
:dubia ad bonam
3.8 FOLLOW UP Tanggal
Subjective
06/03/2019 Sesak (+) (HCU)
Objective
Assessment
Planing
Keadaan umum: -
Dispnue ec
- O2 Nasal 2 lpm
Batuk (+)
Tampak lemah
Bronkopneumo
- IVFD ¼ NS 16 tpm
Demam (-)
Kesadaran:
nia Berat
(mikro)
Compos mentis
-
Bronkiolitis
-Inj. Cefotaxime 3 x
TTV: N: 120,
-
BIHA
160 mg/iv (H2)
RR: 52, SB:
-Inj. Gentamicin 1 x
36.9, Spo2:98%
24 mg/iv (H2)
dengan O2 2
-Inj. Dexamethasone
lpm
3 x 0.8 mg (H2)
Kepala:
-Nebu Combivent 1R
Normochepal,
+ Nacl 0.9% 3cc/
OC (+)
8jam
Leher:
-Enistin 3 x 1cc
pembesaran
-Minum 8 x 5cc
getah bening (-) Thorakx: Simetris kiri=kanan Pulmo: Retraksi(+) interkostal minimal, suprasternal. Suara nafas bronkovesikule r, Rhonki (+/+) Whezing (+/+) Sonor (+)
Cor : BJ I-II reguler (+) Abdomen: Datar, BU (+)↑, Tympani Eksteremitas : Akral hangat, CRT <2”. Kulit: sianosis () 07/03/2019 Sesak (+) (HCU)
Keadaan umum: -
Dispnue ec
- O2 Nasal 2 lpm
Batuk (+)
Tampak lemah
Bronkopneumo
- IVFD ¼ NS 16 tpm
Demam (-)
Kesadaran:
nia Berat
(mikro)
Compos mentis
-
Bronkiolitis
-Inj. Cefotaxime 3 x
TTV: N: 120,
-
BIHA
160 mg/iv (H3)
RR: 44, SB:
-Inj. Gentamicin 1 x
36.9, Spo2:98%
24 mg/iv (H3)
dengan O2 2
-Inj. Dexamethasone
lpm
3 x 0.8 mg (H3)
Kepala:
-Nebu Combivent 1R
Normochepal,
+ Nacl 0.9% 3cc/
OC (+)
8jam
Leher:
-Enistin 3 x 1cc
pembesaran
-Minum 8 x 10cc
getah bening (-) Thorakx: Simetris kiri=kanan Pulmo:
Retraksi(+) interkostal minimal, suprasternal. Suara nafas bronkovesikule r, Rhonki (+/+) Whezing (+/+) Sonor (+) Cor : BJ I-II reguler (+) Abdomen: Datar, BU (+)↑, Tympani Eksteremitas : Akral hangat, CRT <2”. Kulit: sianosis () 08/03/2019 Sesak (+) (HCU)
Keadaan umum: -
Dispnue ec
- O2 Nasal 2 lpm
berkurang
Tampak lemah
Bronkopneumo
- IVFD ¼ NS 12 tpm
Batuk (+)
Kesadaran:
nia Berat
(mikro)
berkurang
Compos mentis
-
Bronkiolitis
-Inj. Cefotaxime 3 x
Demam (-)
TTV: N: 110,
-
BIHA
160 mg/iv (H4)
RR: 38, SB:
-Inj. Gentamicin 1 x
36.9, Spo2:98%
24 mg/iv (H4)
dengan O2 2
-Inj. Dexamethasone
lpm
3 x 0.8 mg (H4)
Kepala:
-Nebu Combivent 1R
Normochepal,
+ Nacl 0.9% 3cc/
OC (+)
8jam
Leher:
-Enistin 3 x 1cc
pembesaran
-Minum 8 x 20cc
getah bening (-)
-Acc pindah kamar
Thorakx:
Bayi
Simetris kiri=kanan Pulmo: Retraksi(-). Suara nafas bronkovesikuler, Rhonki (-/-) Whezing (+/+) Sonor (+) Cor : BJ I-II reguler (+) Abdomen: Datar, BU (+)↑, Tympani Eksteremitas : Akral hangat, CRT <2”. Kulit: sianosis () 09/03/2019 Sesak (-) (K.bayi)
Keadaan umum: -
Dispnue ec
- IVFD ¼ NS 10 tpm
berkurang
Tampak lemah
Bronkopneumo
(mikro)
Batuk (+)
Kesadaran:
nia Berat
-Inj. Cefotaxime 3 x
berkurang
Compos mentis
Bronkiolitis
160 mg/iv (H5)
-
Demam (-)
TTV: N: 125,
-
BIHA
-Inj. Gentamicin 1 x
RR: 28, SB:
24 mg/iv (H5)
36.9, Spo2:98%
-Inj. Dexamethasone
dengan O2 2
3 x 0.8 mg (Stop)
lpm
-Nebu Combivent 1R
Kepala:
+ Nacl 0.9% 3cc/
Normochepal,
8jam
OC (-)
-Enistin 3 x 1cc
Leher:
-Cotrimoxazole syr 1
pembesaran
x ½ Cth
getah bening (-)
-Minum 8 x 30-40cc
Thorakx:
-BLPL
Simetris kiri=kanan Pulmo: Retraksi(-). Suara nafas bronkovesikuler, Rhonki (-/-) Whezing (+/+) Sonor (+) Cor : BJ I-II reguler (+) Abdomen: Datar, BU (+)↑, Tympani Eksteremitas : Akral hangat, CRT <2”.
Kulit: sianosis ()
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Bronkopneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru yang terbatas pada alveoli kemudian menyebar secara berdekatan ke bronkus distal terminalis. Pada pemeriksaan histologis terdapat reaksi inflamasi dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi. Berbagai spesies bakteri, klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit dapat menjadi penyebab. Bronchopneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah dari parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercakbercak yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat. Bronkopneumina adalah frekuensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat (Suzanne G. Bare, 1993). Bronkopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi: 1) Pneumonia lobaris 2) Pneumonia interstisial 3) Bronkopneumonia.
Gambar 1, jenis-jenis pneumonia
Epidemiologi Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem repiratori, terutama pneumonia. Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah: pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).
diagram 1, penyebab kematian anak dibawah 5 tahun menurut WHO Etiologi Tabel 1. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju. Usia
Etiologi yang Sering
Etiologi yang Jarang
Lahir-20 hari
Bakteri
Bakteri
E. colli
Bakteri anaerob
Streptococcus group B
Streptococcus group D
Listeria moonocytogenes
Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum Virus Virus Sitomegalo Virus Herpes Simpleks
Usia
Etiologi yang Sering
Etiologi yang Jarang
3 minggu-3 bulan
Bakteri
Bakteri
Chlamydia trachomatis
Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae
Haemophillus influenzae tipe B
Virus
Moraxella catharalis
Virus Adeno
Staphylococcus aureus
Virus Influenza
Ureaplasma urealyticum
Virus Parainflueza 1,2,3
Virus
Respiratory Syncytial virus
Virus Sitomegalo
Usia
Etiologi yang Sering
Etiologi yang Jarang
4 bulan-5 tahun
Bakteri
Bakteri
Chlamydia pneumoniae
Haemophillus influenzae tipe B
Mycoplasma pneumoniae
Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae
Neisseria meningitidis
Virus
Staphylococcus aureus
Virus Adeno
Virus
Virus Influenza
Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza Virus Rino Respiratory Syncytial virus
Usia
Etiologi yang Sering
Etiologi yang Jarang
5 tahun-remaja
Bakteri
Bakteri
Chlamydia pneumoniae
Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae
Legionella sp
Streptococcus pneumoniae
Staphylococcus aureus Virus Virus Adeno Virus Epstein-Barr Virus Influenza Virus Parainfluenza Virus Rino
Respiratory Syncytial virus Virus Varisela-Zoster Sumber: Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit IDAI. Jakarta:Cetakan Kedua;350-365 Patogenesis Proses patogenesis terkait dengan 3 faktor, yaitu imunitas host, mikroorganisme yang menyerang, dan lingkungan yang berinteraksi. Cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus pneumonia, melalui selang infus oleh Staphylococcus aureus, sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh Enterobacter dan P. aeruginosa. Pada masa sekarang, terlihat perubahan pola mikrorganisme adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan kekebalan, penyakit kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotic yang tidak tepat menimbulkan perubahan karakteristik kuman. Dijumpai peningkatan pathogenesis kuman akibat adanya berbagai mekanisme terutama oleh S. aureus, H. influenza dan Enterobacteriaceae serta berbagai bakteri gram negative. Patogen mikrobial dapat berasal dari flora orofaringeal termasuk S. pneumonia, S. pyogens, M. pneumonia, H. influenza, Moraxalla catarrhalis. Kolonisasi bakteri ini meningi merusak fibronektin, glikoprotein yang melapisi permukaan mukosa. Fibronektin merupakan reseptor bagi flora normal gram positif orofaring. Hilangnya fibronektin menyebabkan reseptor pada permukaan sel terpajan oleh bakteri gram negative. Sumber basil gram negative dapat berasal dari lambung pasien sendiri atau alat respirasi yang tercemar. Penyebaran hematogen ke seluruh paru biasanya dengan infeksi S. aureus dapat terjadi pada pasien seperti pada keadaan penyalahgunaan obat melalui intravena, atau pada pasien dengan infeksi akibat kateter intravena. Dua jalur penyebaran bakteri ke paru lainya adalah melalui jalan inokulasi langsung sebagai akibat intubasi trakeaatau luka tusuk dada yang berdekatan denga tempat infeksi yang berbatasan. Usia merupakan predictor lain yang penting untuk meramalkan mikroorganisme penyebab infeksi. Chlamidia trachomatis dan virus sisitial pernafasan sering terdapat pada bayi berusia dibawah 6 bulan. H. influenza pada anak berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun, M. pneumonia dan C. pneumonia pada orang dewasa muda dan H. influenza serta M. catarrhalis pada pasie lanjut usia dengan penyakit paru kronis. H. influenza juga lebih sering didapatkan pada pasien
perokok. Bakteri gram negative lebih sering pada pasien lansia. Pseudomonas aeruginosa pada pasien bronkiektasis, terapi steroid, malnutrisi dan imunisupresi disertai lekopeni. Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN. Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu : 1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti) Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediatormediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. 2. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada
stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil) 3. Stadium III (3 – 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil 4. Stadium IV (7 – 11 hari) Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme : Filtrasi partikel di hidung Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal Drainase melalui sistem limfatik. MANIFESTASI KLINIS Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 390-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai
pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi sela iga.
Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
Perkusi : Sonor memendek sampai beda
Auskultasi : Suara pernafasan mengeras ( vesikuler mengeras )disertai ronki basah gelembung halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena.Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan.Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi.Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu. Diagnosis 1. Anamnesis Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai muntah. 2. Pemeriksaan Fisik Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel. Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.
Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut : Pemeriksaan
Bakteri
Virus
Mikoplasma
Umur
Berapapun, bayi
Berapapun
Usia sekolah
Awitan
Mendadak
Perlahan
Tidak nyata
Sakit serumah
Tidak
Ya, bersamaan
Ya, berselang
Batuk
Produktif
nonproduktif
Kering
Gejala penyerta
Toksik
Mialgia, ruam,
Nyeri kepala, otot,
organ bermukosa
tenggorok
Klinis < temuan
Anamnesis
Fisik Keadaan umum
Klinis > temuan
Klinis ≤ temuan
Demam
Umumnya ≥ 39ºC
Umumnya < 39ºC Umumnya < 39ºC
Auskultasi
Ronkhi ±, suara
Ronkhi bilateral,
Ronkhi unilateral,
Napas melemah
Difus, mengi
mengi.
Takipneu berdasarkan WHO: a. Usia < 2 bulan b. Usia 2-12 bulan c. Usia 1-5 tahun d. Usia 6-12 tahun
: ≥ 60 x/menit : ≥ 50 x/menit : ≥ 40 x/menit : ≥ 28 x/menit
3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung jenis. Lekosit > 30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus. Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak- anak kecil. 4. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia.
Gambar 3 : Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak infiltrat pada paru kanan
Gambar 4 : Foto toraks PA pada bronkopneumonia. b. C-Reactive Protein Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan
tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik. c. Uji serologis Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis. d. Pemeriksaan mikrobiologi Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum, aspirasi trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus. KRITERIA DIAGNOSIS Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini : a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada b. panas badan c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles) d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan) DIAGNOSIS BANDING 1. Infeksi perinatal/kongenital (pada neonatus) 2. Hyalin membrane disease/HMD (pada neonatus) 3. Aspirasi pneumonia 4. Edema paru 5. Atelektasis 6. Perdarahan paru 7. Kelainan kongenital parenkim paru 8. Tuberkulosis
9. Gagal jantung kongestif 10. Neoplasma 11. Reaksi hipersensitivitas (pneumonitis). Penyulit 1. Empiema (paling sering oleh S. Pneumoniae dan S. Aureus 2. Perikarditis 3. Pneumotoraks 4. Pneumatokel 5. Meningitis bakterialis 6. Artritis supuratif 7. Osteomielitis.1 PENATALAKSANAAN 1 Penatalaksaan umum -
Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr
-
Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
-
Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
2 Penatalaksanaan khusus -
mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung
-
pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis Pneumonia ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari). Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi : a. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis b. Berat ringan penyakit c. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis d. Ada tidaknya penyakit yang mendasari
Antibiotik : Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia. a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) : -
ampicillin + aminoglikosid
-
amoksisillin-asam klavulanat
-
amoksisillin + aminoglikosid
-
sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn) -
beta laktam amoksisillin
-
amoksisillin-amoksisillin klavulanat
-
golongan sefalosporin
-
kotrimoksazol
-
makrolid (eritromisin)
c. Anak usia sekolah (> 5 thn) -
amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
-
tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun) Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka
harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif) Prognosis Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat yang dimulai secara dini pada perjalanan penyakit tersebut maka mortalitas selama masa bayi dan masa kanakkanak dapat di turunkan sampai kurang 1 % dan sesuai dengan kenyataan ini morbiditas yang berlangsung lama juga menjadi rendah. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.
BRONKIOLITIS Definisi Bronkiolitis
merupakan
suatu
peradangan
bronkiolus
yang
bersifat
akut,
menggambarkan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan pernafasan cepat, retraksi dinding dada dan suara pernafasan yang berbunyi. Penyakit ini merupakan penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang menggambarkan terjadinya obstruksi pada bronkiolus. Etiologi Penyebab tersering (50 - 90%) adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV). Disamping itu dalam jumlah kecil disebabkan oleh virus para influenza, virus influenza, adenovirus, rhinovirus, mycoplasma pneumoniae (Eaton Agent). Infeksi primer bakteri sebagai penyebab bronkiolitis akut jarang
dilaporkan.
Epidemiologi Bronkiolitis merupakan penyebab utama kunjungan rumah sakit pada bayi dan anakanak. Insidensi penyakit ini terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan dengan puncak kejadian pada usia kira-kira 6 bulan. Sering terjadi pada musim dingin dan awal musim semi (di negara-negara dengan 4 musim). Angka kesakitan tertinggi didapatkan pada tempat penitipan anak sekitar 95. Sebanyak 11,4% anak berusia dibawah 1 tahun dan 6% anak berusia 1-2 tahun di AS pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di rumah sakit dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17% dari semua kasus perawatan di RS pada bayi. Rata-rata insidens perawatan setahun pada anak berusia dibawah 1 tahun adalah 21,7 per 1000, dan semakin menurun seiring dengan pertambahan usia, yaitu 6,8 per 1000 pada usia 1-2 tahun. Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara berkembang daripada di negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di negara berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1-3%. Patologi Gambaran awal abnormalitas saluran pernafasan bagian bawah pada bronkiolitis dijumpai : a. Nekrosis epitel saluran nafas kecil
b. Inflamasi peribronkial c. Edema saluran nafas d. Penimbunan/akumulasi mukus dan eksudat liat di saluran nafas Pada bronkiolus ditemukan obstruksi parsial atau total karena edema dan akumulasi mukus dan eksudat liat. Di dinding bronkus dan bronkiolus terdapat infiltrasi sel radang. Radang juga dijumpai peribronkial dan di jaringan interstitial. Obstruksi parsial bronkiolus menimbulkan emfisema dan obstruksi total menimbulkan atelektasis. Patofisiologi Invasi virus menyebabkan obstruksi bronkiolus akibat akumulasi mukus, debris seluler dan edema. Karena tahanan terhadap aliran udara didalam suatu tabung berbanding terbalik dengan pangkat 3 jari-jari tabung tersebut, maka penebalan kecil yang terjadi pada dinding bronkiolus pada bayi akan mengakibatkan pengaruh besar atas aliran udara. Tahanan udara pada lintasan-lintasan udara kecil akan meningkat baik selama fase inspirasi maupun fase ekspirasi. Tetapi karena jari-jari suatu saluran nafas akan mengecil selama ekspirasi, maka obstruksi katup bulat pernafasan akan mengakibatkan terjadinya pemerangkapan udara serta pergeseran udara yang berlebihan yang disebut mekanisme klep. Mekanisme klep adalah terperangkapnya udara yang menimbulkan overinflasi dada. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi menjadi lengkap dan udara yang terperangkap habis terserap. Pertukaran udara yang terganggu menyebabkan ventilasi berkurang pada alveolusalveolus sehingga terjadi hipoksemia dan peningkatan frekuensi nafas sebagai kompensasi. Retensi karbondioksida (hiperkapnia) biasanya tidak terjadi kecuali pada penderita-penderita yang terserang hebat. Pada umumnya semakin tinggi kecepatan pernafasan, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Hiperkapnia biasanya tidak dijumpai hingga kecepatan pernafasan melebihi
60 x/menit yang kemudian meningkat sesuai dengan takipne yang
terjadi. Manifestasi Klinis Bronkiolitis akut biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas disertai dengan batuk, pilek untuk beberapa hari, biasanya tanpa disertai demam atau demam hanya subfebril. Kemudian dalam beberapa hari gejala tersebut makin berkembang dengan didapatkan batuk makin menghebat, frekuensi nafas meningkat (sesak nafas), pernafasan dangkal dan cepat, pernafasan cuping hidung disertai retraksi interkostal dan suprasternal,
rewel sampai gelisah, sianosis, sulit makan atau minum, mual-muntah jarang sekali didapatkan pada penderita. Pada pemeriksaan didapatkan mengi/wheezing, ekspirium memanjang, jika obstruksi hebat suara nafas nyaris tak terdengar, ronki basah halus nyaring, kadang-kadang terdengar pada akhir atau awal ekspirasi. Pada perkusi didapatkan hipersonor, Ro foto thoraks menunjukkan hiperinflasi paru, diameter anteroposterior membesar pada fotolateral, dapat terlihat bercak konsolidasi tersebar yang disebabkan atelektasis atau radang. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan gambaran darah tepi dalam batas normal, kimia darah menunjukkan gambaran asidosis respiratorik maupun metabolik. Usapan nasofaring menunjukkan flora bakteri normal. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan pertimbangan beberapa faktor yang lebih menitikberatkan pada manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik, karena faktor lainnya hanya ditemukan buktibukti yang tidak spesifik, seperti pada pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Manifestasi klinis harus didukung beberapa anamnesis yang memperkuat diagnosis penyakit ini terhadap penyakit lain yang serupa. Beberapa hasil penelitian menyatakan, bahwa diagnosis bronkiolitis virus diperoleh dari : 1. Gambaran/gejala klinis 2. Usia anak 3. Epidemi RSV di masyarakat terutama di RS melalui petugas perawatan sebagai sumber penularan pada bayi. Gejala klinis bronkiolitis harus dibedakan dengan asma yang kadang-kadang juga timbul pada usia muda. Anak dengan asma akan memberikan respons terhadap pengobatan dengan bronkodilator, sedangkan anak dengan bronkiolitis tidak. Bronkiolitis juga harus dibedakan dengan bronkopneumonia yang disertai emfisema obstruksi dan gagal jantung. Anamnesis Gejala awal berupa gejala infeksi saluran nafas atas akibat virus, seperti pilek ringan, batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertain dengan sesak napas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel, dan penurunan nafsu makan. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya takipnea, takikardi, dan peningkatan suhu di atas 38,5oC. Selain itu, dapat juga ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis. Obstruksi saluran nafas bawah akibat respons inflamasi akut akan menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan nafas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi, dan bila gejala menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia <6 minggu. Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit biasanya normal, demikian pula dengan elektrolit. Analisis gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan sakit berat, khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik. Pada foto rontgen thoraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrat (patchy infiltrates), tapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada saat konvalesens akibat sekret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diagfragma datar, dan peningkatan diameter antero-posterior. Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen detection tests (direct immunofluoresence assay dan ELISA), atau polymerase chain reaction (PCR), dan pengukuran titer antibodi pada fase akut dan konvalenses. Diagnosis Banding Beberapa penyakit dapat merupakan diagnosis banding bronkiolitis. Penyakit lain yang sering dikacaukan dengan bronkiolitis yaitu asma bronkhial. Beberapa diagnosis yang perlu dipertimbangkan antara lain : 1. Asma Bronkial a. Jarang ditemukan pada tahun pertama kehidupan, tetapi sering terjadi setelah periode tersebut. b. Riwayat keluarga penderita asma bronkial. c. Serangan awal yang mendadak tanpa tanda infeksi sebelumnya. d. Serangan berulang.
e. Ekspirasi diperpanjang secara mencolok. f. Eosinofilia pada darah dan usapan hidung. g. Respon terhadap obat anti asma. Pada bronkiolitis akut hanya 5% yang mempunyai klinis yang berulang. 2. Bronkopneumonia a. Jarang dijumpai pada bayi sampai usia 6 bulan. b. Riwayat anamnesis, perjalanan penyakit tidak terlalu mendadak, demam, batuk tidak ngikil, nafsu makan/minum berkurang. c. Didapatkan sumber penularan ISPA disekitarnya. d. Setelah 5-7 hari timbul sesak nafas, pernafasan cuping hidung, sianosis e. Pemeriksaan fisik ditemukan : Perkusi : Suatu gambaran normal sampai redup relatif Auskultasi : Ada krepitasi atau ronki basah halus. f. Retraksi dinding dada (interkostal dan suprasternal). g. Pemeriksaan laboratorium : lekositosis dan HJL (Hitung Jenis Lekosit) pergeseran ke kiri. h. Pemeriksaan radiologi paru ditemukan sebaran infiltrat diseluruh bagian paru kanan dan kiri. Penatalaksanaan Anak harus ditempatkan dalam ruangan dengan kelembaban udara yang tinggi, sebaiknya dengan uap dingin (‘mist-tent’), tujuannya untuk mencairkan sekret bronkus yang liat dan mengatasi hipoksemia. Prinsip pengobatan di rumah sakit meliputi beberapa hal, yaitu : 1.
Suportif a. Pemberian oksigen untuk mengatasi hipoksemia, apnea, dan kegagalan pernafasan. Diberikan 1 - 2 l/menit. b. Pengaturan suhu tubuh. c. Pencairan lendir yang lengket. d. Ketepatan pemberian cairan intravena, sebagai penghindaran terhadap dehidrasi yang timbul akibat takipnea atau asidosis respiratorik. Diberikan : Neonatus D 10% : NaCl 0,9% = 4 : 1, + KCl 1-2 mEq/kg BB/hari
Bayi > 1 bulan : D 10% : NaCl 0,9% = 3 : 1 + KCl 10 mEq/500 ml cairan. e. Posisi nyaman dengan duduk posisi kemiringan 30-40 atau leher pada posisi ekstensi. 2.
Pemberian kortikosteroid (masih kontroversial). Penelitian tentang pemakaian kortikosteroid, awalnya memberikan hasil yang baik terhadap angka kesakitan dan angka kematian penderita bronkiolitis. Walaupun akhir-akhir ini didapatkan hasil justru klinis semakin memberat. Sebagai terapi paliatif dan efek anti anflamasinya, kortikosteroid dapat menimbulkan masking effect.
3.
Antibiotik diberikan apabila tersangka ada infeksi bakterial dan sebaiknya dipilih yang mempunyai
spektrum
luas. Bila dicurigai
mycoplasma pneumoniae sebagai
penyebabnya, obat yang terpilih ialah eritromisin. 4.
Sedativa
merupakan
kontraindikasi
pada
penyakit
bronkiolitis
karena
dapat
menyebabkan depresi pernafasan. 5.
Tidak dianjurkan pemberian bronkodilator karena dapat memperberat keadaan anak yaitu dengan peningkatan curah jantung dan kegelisahan anak.
6.
Pemberian anti virus seperti ribavirin memperlihatkan hasil yang memuaskan, karena ribavirin menghambat sintesis protein virus. Namun sampai sekarang pemakaian anti virus belum banyak diberikan pada penderita. Indikasi pengobatan ini adalah bayi resiko tinggi, diplasia bronkopulmonar, infeksi paru kronis, defisiensi iminologi, penyakit jantung kongenital
Prognosis Perjalanan klinis umumnya dapat teratasi setelah 48-72 jam. Angka kematian pada penderita ini ditemukan < 1%. Kegagalan perawatan disebabkan apnea yang terjadi berlangsung lama, asidosis respiratorius yang tidak terkoreksi, atau karena dehidrasi yang disebabkan oleh takipnea dan kurang makan minum. Prognosis sangat tergantung oleh ketepatan diagnosis, fasilitas yang tersedia, ketepatan tatalaksana, dan kecermatan pemantauan, sehingga sangat mungkin prognosis semakin jelek pada penyakit ini dan akan meningkat di daerah perifer.
BIHA Sejarah HIV di Indonesia Latar Belakang Ibu Dengan HIV Kasus AIDS pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987 pada seorang WNA di Bali. Sejak itu HIV/AIDS di Indonesia telah dilaporkan hampir di semua provinsi kecuali Sulawesi Tenggara. Setelah selama 13 tahun sejak dilaporkannya kasus pertama, Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan prevalensi infeksi HIV rendah akan tetapi dalam 4 tahun terakhir ini Indonesia dinyatakan berada dalam keadaan epidemi terkonsentrasi (Concentrated level epidemic) karena HIV/AIDS telah terjadi pada lapisan masyarakat tertentu dalam tingkat prevalensi yang cukup tinggi terutama di provinsi Papua, DKI Jaya, Riau, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali. Pada ibu HIV atau daerah dimana prevalensi HIV tinggi, maka proses kelahiran disarankan dengan operasi sesar, dengan tujuan membiarkan lapisan amnion tetap intak selama mungkin agar penularan HIV perinatal terhindar. Transmisi HIV pada populasi risiko tinggi di Indonesia bersifat dinamis, dan epidemi yang terjadi tidak terpisah diantara populasi dengan faktor risiko yang berbeda. Sebagian besar epidemi HIV disebabkan oleh HIV-1. Ada kemungkinan bahwa pengguna narkotika suntik merupakan episentrum penularan HIV-1 di Bali dan beberapa daerah di Indonesia dan menyebar ke populasi umum melalui perilaku seksual risiko tinggi dari kelompok heteroseksual, yaitu PSK dan yang tertular.
7
G ambar 1. Jumlah kasus AIDS secara kumulati f di Indonesi a 2000-2009
Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya sangat meningkat secara signifikan. Angka penderita AIDS/HIV mulai meningkat tahun 2004 dan jumlah tertinggi pada tahun 2008. Jumlah kumulatif pada tahun 2000-2009 mencapai 16964 kasus. Arti Penting Pencegahan Infeksi HIV Di Indonesia Dalam sudut pandang epidemi HIV/AIDS, Indonesia saat ini berada dalam concentrated level epidemic artinya prevalensi pada masyarakat tertentu sudah cukup tinggi terutama di Provinsi Riau, DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Papua. Potensi penularan HIV terutama masih berada pada pola penularan melalui jalur hubungan seksual, yang harus diatasi melalui kampanye peningkatan kewaspadaan publik (public awareness campaign) seperti pendidikan seks, kampanye seks sehat dan kampanye penggunaan kondom. Meskipun angka kejadiannya kecil akan tetapi pencegahan penularan melalui jalur suntikan dan transfusi darah harus pula dilakukan secara intensif. Hal itu dimaksudkan agar kewaspadaan petugas kesehatan terhadap penyebaran infeksi HIV melalui jalur ini terutama yang terkait dengan kesehatan kerja dapat ditingkatkan. Batasan Bayi Baru Lahir Dari Ibu Pengidap HIV Batasan bayi baru lahir dari ibu pengidap HIV adalah bayi baru lahir dari Ibu yang diketahui mengidap HIV selama kehamilannya. Ibu sudah diskrining menggunakan pemeriksaan serologis. Untuk selanjutnya bayi disebut BIHA (bayi dari ibu dengan HIV/AIDS). Terminologi BIHA dipakai sebagai tanda pengenal dan kode bagi semua petugas administrasi, medis, paramedik, pekarya, diberi tanda stiker merah pada catatan medik, alat suntik, obat dan sebagainya yang ada hubungannya dengan penderita. Tim BIHA adalah tim yang ditunjuk kepala bagian Anak untuk membuat dan merancang petunjuk pelaksanaan hal yang berhubungan dengan BIHA. KLINTidak ada tanda-tanda spesifik HIV yang dapat ditemukan pada saat lahir. Bila terinfeksi pada saat peripartum, tanda klinis dapat ditemukan pada umur 2-6 minggu setelah lahir. Tetapi tes antibodi baru dapat dideteksi pada umur 18 bulan untuk menentukan status HIV bayi. Semua bayi yang terlahir dari Ibu resiko HIV termasuk ibu yang berasal dari daerah tinggi kejadian HIV, pengguna obat terlarang, pasangan biseksual, adalah termasuk bayi beresiko terjangkit HIV. Beberapa mekanisme masuknya virus ke bayi termasuk beratnya penyakit ibu, paparan dengan cairan tubuh yang terkena infeksi, kekebalan ibu yang berkurang, dan ASI. Resiko transmisi virus ke bayi besar apabila penyakit ibu berlanjut, atau jumlah CD4+ rendah,
viral load tinggi (antigenemia), atau kultur darah HIV positif. Infeksi melalui plasenta dibuktikan dengan adanya biakan yang positip HIV pada darah talipusat dan jaringan janin lahir mati pada trimester awal. Sedangkan infeksi secara vertikal dihubungkan adanya ketuban pecah dini empat jam sebelum lahir secara spontan, tindakan invasif, dan adanya chorioamnionitis. Transmisi dapat secara seksual, parenteral dan kongenital, perinatal. Resiko tercemar HIV pada Transfusi darah adalah 1 : 225.000 unit transfusi. Skrining saat ini condong kurang dilakukan,padahal penderita baru walau mengalami viremia, menunjukkan sero negatif untuk 2 sampai 4 bulan atau 5-15%.2 Patogenesis HIV Infeksi HIV terutama berpengaruh pada sel CD4+ dan sel monosit atau sel makrofag. Setelah sel terkena infeksi, maka RNA virus sampul terlepas, dan membentuk DNA transkrip rangkap dua, yang ditransfer ke sel DNA host, dan terjadilah perusakan system imunologi baik humoral ataupun selular. Kemudian bersama dengan cytokin yang dipengaruhi akan mempengaruhi fungsi makrofag, B limfosit dan T Limfosit. Sedangkan hipergamaglobulinemia yang terdeteksi pada saat kehamilan, disebabkan karena aktivasi poliklonal B sel akibat pengaruh HIV. Perusakan sel B, mengakibatkan pembentukan antibodi sekunder lemah, dan respons terhadap vaksinasi buruk. Defek sel mediated juga terjadi, sehingga mudah terjadi infeksi oportunis seperti jamur, Pneumonia Carinii Pneumositis (PCP), dan diare kronik. Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein virus gp 120 pada molekul CD4. Molekul ini merupakan reseptor dengan afinitas paling tinggi terhadap protein selubung virus. Partikel HIV yang berikatan dengan molekul CD4 kemudian masuk ke dalam sel hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp 41 yang terdapat pada permukaan membran virus.
Gambar 2. Proses pengikatan HIV dengan reseptor sel T
HIV menggunakan CD4 untuk masuk ke dalam host sel T dengan cara mengikat gp120 pada CD4. Keterikatan menciptakan pergeseran dalam konformasi gp120 HIV yang memungkinkan untuk mengikat ke co-reseptor untuk diekspresikan pada sel inang. HIV menyisipkan peptida fusi ke dalam sel host yang memungkinkan membran luar virus untuk berfusi dengan membran sel. Sekali virion HIV masuk ke dalam sel, maka enzim yang terdapat dalam nukleoprotein menjadi aktif dan memulai siklus reproduksi virus. Nukleoprotein inti virus menjadi rusak dan genom RNA virus akan ditranskripsi menjadi DNA untai ganda oleh enzim reverse transcriptase dan kemudian masuk ke nukleus. Enzim integrase akan mengkatalisa integrasi antara DNA virus dengan DNA genom dari sel hospes. Bentuk DNA integrasi dari HIV disebut provirus, yang mampu bertahan dalam bentuk inaktif selama beberapa bulan atau beberapa tahun tanpa memproduksi virion baru. Partikel virus yang infeksius akan terbentuk pada saat sel limfosit T teraktivasi. Aktivasi sel T CD4+ yang telah terinfeksi HIV akan mengakibatkan aktivasi provirus juga. Aktivasi ini diawali dengan transkripsi gen struktural menjadi mRNA kemudian ditranslasikan menjadi protein virus. Karena protein virus dibentuk dalam sel hospes, maka membran plasma sel hospes akan disisipi oleh glikoprotein virus yaitu gp 41 dan gp 120. RNA virus dan protein core kemudian akan membentuk membran dan menggunakan membran plasma sel hospes yang telah dimodifikasi dengan glikoprotein virus, membentuk selubung virus dalam proses yang dikenal sebagai budding. Pada beberapa kasus aktivasi provirus HIV dan pembentukan partikel virus baru dapat menyebabkan lisisnya sel yang terinfeksi.
Gambar 3. Patogenesis HIV.
Virion terikat dengan dengan bagian luar sel dan bergabung dengan sel kemudian protein inti dan dua benang RNA virus masuk ke sel. DNA doublestranded (provirus) termigrasi ke inti sel melepas sampulnya berintegrasi dengan DNA sel . Provirus selanjutnya menjadi (7A) laten. Proses dapat berlangsung perlahan (7B) atau secara cepat sehingga terjadi lisis atau ruptur dari sel (7C). Pada saat limfosit yang terinfeksi HIV menjadi aktif, misalnya infeksi yang berulang, maka terjadilah apoptosis dan lisis dari sel-sel host. Karena CD4+ limfosit merupakan respon imun yang penting terhadap keadaan zat-zat patogen, maka apabila jumlah CD4+ dibawah 200/mm3 rentan terhadap infeksi oportunis ataupun keganasan. Pada permulaan infeksi, virus menyerang sel dendritik, dan terjadi viremia, kemudian sel limfosit terseeded. Imun respons dari host terangsang, viremia menghilang, dan 80% penderita mengalami infeksi asimtomatik, dan 20% mengalami penyakit yang progresif. Pada penderita yang asimtomatik, proses berkisar 10 tahun, kemudian dengan adanya infeksi oportunis, kematian terjadi dalam 5 tahun. Menentukan Status HIV Bayi. Kelainan atau gejala yang muncul biasanya tampak pada umur 1 tahun (23 %) sampai dengan 4 tahun (40 %). Beberapa gejala klinik yang muncul seperti BBLR, infeksi saluran nafas berulang, PCP (Pneumocystis carinii Pneumonia), sinusitis, sepsis, moniliasis berulang, hepatosplenomegali, febris yang tidak diketahui penyebabnya, encefalopati (50%-90%) gejala ini terjadi sebelum obat anti Retrovirus dipergunakan. Jika pada tes konfirmasi antibodi HIV positif, maka pemeriksaan HIV PCR DNA pada bayi harus dilakukan. Jika HIV PCR DNA pada bayi positif, profilaksis ARV harus dihentikan dan bayi segera dirujuk ke spesialis HIV pediatrik untuk konfirmasi diagnosis dan pengobatan infeksi HIV dengan terapi kombinasi standar antiretroviral. Bayi yang terinfeksi HIV juga harus menerima kemoprofilaksis terhadap PCP dengan trimetoprim-sulfametoksazol (TMP) oral dimulai pada usia 4-6 minggu. Penegakan Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan: 1. Dugaan infeksi HIV, gejala klinik, resiko penularan di daerah yang banyak ditemukan. 2. Tes serologi darah HIV
3. Pembuktian virus HIV dalam darah, karena pada bayi masih terdapat antibodi HIV ibu yang menetap sampai 18 bulan. Tes Diagnostik Untuk Infeksi HIV Pada Bayi 1. HIV Antibodi pada anak umur > 18 bulan dilakukan dengan metode ELISA IgG anti HIV Ab, dapat ditransfer melalui plasenta pada Trimester III. Bila hasil positif sebelum umur 18 bulan, mungkin antibodi dari ibunya. 2. VIRUS : HIV PCR DNA dari darah perifer pada waktu lahir, dan umur 3-4 bulan. Bila umur 4 bulan hasil negatif bayi bebas HIV, bila HIV PCV RNA positif, BIHA positif terkena HIV. Pengujian virologi pada awal kelahiran dapat dipertimbangkan untuk bayi yang baru lahir beresiko tinggi infeksi HIV, contohnya seperti bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV yang tidak menerima perawatan prenatal, ART prenatal, atau yang memiliki viral load HIV> 1.000 copies / mL mendekati ke waktu kelahiran. Sebanyak 30% -40% dari bayi yang terinfeksi HIV dapat diidentifikasi dari usia 48 jam. Sampel darah dari tali pusar tidak boleh digunakan untuk evaluasi diagnostik karena kontaminasi dengan darah ibu. Definisi yang pasti telah diusulkan untuk membedakan didapatkannya infeksi HIV selama periode intrauterin atau dari periode intrapartum. Bayi yang memiliki tes virologi positif pada atau sebelum usia 48 jam dianggap memiliki infeksi awal (yaitu, intrauterin), sedangkan bayi yang memiliki tes virologi negatif selama minggu pertama kehidupan dan tes positif berikutnya dianggap memiliki infeksi setelahnya (yaitu, intrapartum).14 3. CD4 count rendah (normal 2500-3500/ml pada anak, Dewasa 700-1000/ml). 4. P24 Antigen test sudah kurang dipakai untuk diagnostik, karena dipandang kurang sensitif terutama untuk bayi. Knuchel dkk membandingkan sensitivitas tes tersebut antara DBS ( dried blood spot ) dan plasma. Mereka menemukan bahwa tes tersebut mempunyai spesifisitas 100% dan tidak ada perbedaan hasil secara kuantitatif antara DBS dan plasma. Mereka juga membandingkan hasil tes antigen p24 dengan viral load HIV dan menemukan korelasi yang positif, tetapi koefisien korelasi tersebut rendah (r = 0,67). Sensitivitas tes HIV p24 dibandingkan dengan tes viral load HIV adalah kurang lebih 90%. Hal ini berarti bahwa tes untuk menskrining bayi yang terpajan HIV akan menghasilkan hampir 10% bayi yang salah didiagnosis sebagai
tidak terinfeksi. Penggunaan PCR HIV DNA-RNA memiliki sensitiitas 100% pada plasma. Manajemen Bayi dengan Ibu HIV Manajemen Umum 1. Bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV positif maka : a. Hormati kerahasiaan ibu dan keluarganya, dan lakukan konseling pada keluarga; b. Rawat bayi seperti bayi yang lain, dan perhatian khususnya pada pencegahan infeksi; c. Bayi tetap diberi imunisasi rutin, ada senter yang tidak langsung memberi BCG; d. Bila terdapat tanda klinis defisiensi imun yang berat, jangan diberi vaksin hidup (BCG, OPV, Campak, MMR). Pada waktu pulang, periksa DL, hitung Lymphosit T, serologi anti HIV, PCR DNA/RNA HIV. 2. Beri dukungan mental pada orang tuanya 3. Anjurkan suaminya memakai kondom, untuk pencegahan penularan infeksi Manajemen Khusus Bayi dengan infeksi HIV mempunyai jumlah virus yang tinggi dan akan menurun seiring dengan meningkatnya imunologinya. Saran dari beberapa senter di AS, terapi pada satu tahun pertama untuk anak yang dicurigai HIV, diharapkan tumbuh imunologi secara normal, karena bila terapi menunggu umur lebih dari satu tahun berdasarkan jumlah CD4+ dan Load Virus maka hal ini dikatakan kurang spesifik. Pengobatan harus dimulai pada bayi yang menunjukkan gejala simtomatis atau yang menunjukkan jumlah sel CD4+ yang rendah, tanpa melihat umur. Terapi Anti Retrovirus Tanpa pemberian Antiretrovirus, 25% bayi dengan ibu HIV positif akan tertular sebelum dilahirkan atau pada waktu lahir, dan 15% tertular melalui ASI : a.
Tentukan apakah ibu sedang mendapat pengobatan Antiretrovirus untuk HIV, atau mendapatkan pengobatan antiretroviral untuk mencegah transmisi dari ibu ke bayinya. Tujuan pemberian Antiretroviral terapi adalah untuk menekan HIV viral load sampai tidak terdeteksi dan mempertahankan jumlah CD4+ sel sampai mencapai lebih dari 25%.
b.
Kelola bayi dan ibu sesuai dengan protokol dan kebijakan yang ada, tujuannya untuk Profilaksis : -
Bila ibu sudah mendapat ARV(Antiretrovirus) atau Zidovudine (AZT) 4 minggu sebelum melahirkan, maka setelah lahir bayi diberi AZT 2 mg/kg berat badan per oral tiap 6 jam selama 6 minggu, dimulai sejak bayi umur 12 jam. Hal ini dapat mengurangi resiko terjadinya HIV dari 25% menjadi 8%.
-
Bila ibu sudah mendapat Nevirapine (NVP) dosis tunggal selama proses persalinan dan bayi masih berumur kurang dari 3 hari, segera beri bayi Nevirapine dalam suspensi 2 mg/kg berat badan secara oral masa usia 48-72 jam dosis tunggal.
-
Untuk mencegah PCP, berikan TMP 2,5 mg/kgBB 2x sehari, pemberian 3 kali seminggu, diberikan sejak bayi umur 6 minggu sampai diagnosis HIV dapat disangkal, karena peak onset PCP adalah pada umur 3-9 bulan.
-
Jadwalkan pemeriksaan tindak lanjut dalam 2 minggu untuk menilai masalah pemberian minum dan pertumbuhan bayi (lihat Pemeriksaan Tindak Lanjut).
Pemberian Minum Penularan HIV-1 dapat terjadi dari konsumsi susu ASI dari perempuan yang terinfeksi
HIV.
Di
Amerika
Serikat
dan
Kanada,
di
mana
formula bayi aman dan tersedia, seorang yang ibu terinfeksi harus disarankan untuk tidak menyusui bahkan jika dia menerima ART (terapi anti Retrovirus). Menghindari secara total untuk menyusui (dan susu sumbangan) oleh perempuan yang terinfeksi HIV tetap menjadi satu-satunya mekanisme dimana pencegahan
penularan HIV
melalui ASI dapat dipastikan. Salah satu rekomendasi Konsesus Genewa pada Oktober 2006 adalah “Ibu terinfeksi HIV dianjurkan menyusui eksklusif selama 6 bulan kecuali jika pengganti ASI memenuhi AFASS sebelumnya, Bila pengganti ASI mencapai AFASS, dianjurkan untuk tidak memberikan ASI” yang mana hal ini menjadi Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dan ibu ke bayi.17 AFASS merupakan kepanjangan dari: A : ACCEPTABLE
: mudah diterima
F : FEASIBLE
: mudah dilakukan
A : AFFORDABLE
: terjangkau
S : SUSTAINABLE
: berkelanjutan
S : SAFE
: aman penggunaannya
Mudah diterima berarti, tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu untuk memberikan susu formula pada bayinya. Mudah dilakukan Ibu dan keluarga, mereka mempunyai cukup waktu, pengetahuan, dan ketrampilan yang memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu formula kepada bayi . Harganya terjangkau Ibu dan keluarga sehingga mereka mampu membeli susu formula. Susu formula harus diberikan setiap hari dan malam selama usia bayi dan diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan distribusi susu formula dijamin keberadaannya artinya keberadaan susu formula tersebut berkelanjutan. Juga tidak kalah penting Susu formula harus disimpan secara benar, higienis dan kadar nutrisi cukup, disuapkan dengan tangan dan peralatan bersih, serta tidak berdampak peningkatan penggunaan susu formula pada masyarakat (SPILL OVER) yang berarti Save atau Aman. Ibu dengan HIV positif dihadapkan pada dua pilihan sulit, menyusui dengan belum mengerti tehnik menyusuinya sehingga ternjadi MTCT (mother-to-child transmission), tidak menyusui dan tidak AFASS sehingga bayi menjadi kurang gizi, diare, atau pneumonia. Konseling pemberian makan bayi pada ibu HIV dapat membantu ibu HIV menentukan pilihan yang terbaik untuk bayinya. Tabel 1. Faktor Risiko Potensial untuk Transmisi HIV-1 melalui ASI Kategori
Faktor risiko
Durasi menyusui
Durasi yang lebih lama
Karakteristik Ibu
Umur muda Paritas tinggi CD4+ yang rendah Viral load darah perifer yang tinggi Abnormalitas payudara (abses payudara, mastitis, nipple lesions)
Karakteristik bayi
Candidiasis oral
Karakteristik ASI /human Viral load yang tinggi milk
Konsentrasi substansi antiviral yang rendah
(contoh: lactoferin, lysozyme, SLPI, epidermal growth factor) Konsentrasi limfosit T spesifik-virus sitotoksik Sekkresi IgA yang rendah IgM yang rendah Mixed breastfeeding ASI eksklusif Dikarenakan penularan HIV-1 melalui proses menyusui selalu ada terjadi, dan karena menghindari proses menyusui adalah sulit dilakukan dalam banyak situasi tertentu, maka penting untuk mengidentifikasi faktor risiko guna merancang rencana intervensi untuk mencegah transmisi sesuai dengan faktor risiko. Lakukan konseling pada ibu tentang pilihan pemberian minum kepada bayinya. a. Hargai dan dukunglah apapun pilihan ibu. Ijinkan ibu untuk membuat pernyataan sendiri tentang pilihan yang terbaik untuk bayinya. b. Terangkan kepada ibu bahwa menyusui dapat berisiko menularkan infeksi HIV. Meskipun demikian, pemberian susu formula dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian, khususnya bila pemberian susu formula tidak diberikan secara aman karena keterbatasan fasilitas air untuk mempersiapkan atau karena tidak terjamin ketersediaannya oleh keluarga. c. Terangkan pada Ibu tentang untung dan rugi pilihan cara pemberian minum susu formula. Susu dapat diberikan bila mudah didapat, dapat dijaga kebersihannya dan selalu dapat tersedia. d. Dalam beberapa situasi, kemungkinan lain adalah untung dan rugi pilihan cara pemberian minum ASI : -
Memeras ASI dan menghangatkannya waktu akan diberikan;
-
Pemberian ASI oleh ibu susuan (”Wet Nursing”) yang jelas HIV negatif;
-
Memberi ASI peras dari Ibu dengan HIV negatif.
e. Bantu ibu menilai kondisinya dan putuskan mana pilihan yang terbaik, dan dukunglah pilihannya. -
Bila ibu memilih untuk memberikan susu formula atau menyusui, berikan petunjuk khusus (lihat bawah). Untuk Pemberian susu formula :
Ajari ibu cara mempersiapkan dan memberikan susu formula dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum. Anjurkan ibu untuk memberi susu formula 8 kali sehari, dan beri lagi apabila bayi menginginkan. Beri ibu petunjuk secara tertulis cara mempersiapkan susu formula. Jelaskan mengenai risiko memberi susu formula dan cara menghindarinya. -
ASI Eksklusif dapat segera dihentikan bila susu formula sudah dapat disediakan. Hentikan ASI pada saat memberikan susu formula;
-
Rekomendasi yang biasa diberikan adalah memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan, kemudian dilanjutkan ASI ditambah makanan padat setelah umur 6 bulan.
-
Bayi akan diare apabila tangan ibu, air atau alat-alat yang digunakan tidak bersih dan steril, atau bila susu yang disediakan terlalu lama tidak diminumkan;
-
Bayi tidak akan tumbuh baik apabila : Jumlah tiap kali minum terlalu sedikit; Frekuensi pemberiannya terlalu sedikit; Susu formula terlalu encer; Bayi mengalami diare.
f. Nasihati ibu untuk mengamati apakah terdapat tanda bahaya pada bayinya, seperti : -
Minum kurang dari 6 kali dalam sehari atau minum hanya sedikit;
-
Diare;
-
Berat badan sulit naik.
g. Nasihati ibu untuk melakukan kunjungan tindak lanjut : -
Kunjungan rutin untuk memonitor pertumbuhan;
-
Memberi dukungan cara-cara menyiapkan formula yang aman;
-
Nasihati ibu untuk membawa bayinya bila sewaktu-waktu ditemukan tanda bahaya
h. Apapun pilihan ibu, berilah petunjuk khusus :
-
Apabila memberikan susu formula, jelaskan bahwa selama 2 tahun ibu harus menyediakannya termasuk makanan pendamping ASI;
-
Bila tidak dapat menyediakan susu formula, sebagai alternatif diberikan ASI secara eklusif dan segera dihentikan setelah tersedia susu formula;
-
Semua bayi yang mendapatkan susu formula, perlu dilakukan tindak lanjut dan beri dukungan kepada ibu cara menyediakan susu formula dengan benar.
-
Jangan memberikan minuman kombinasi (misal selang-seling antara susu hewani, bubur buatan, susu formula, disamping pemberian ASI), karena risiko terjadinya infeksi lebih tinggi dari pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif.
Tatalaksana Di Ruang Perawatan Dan Setelah Pulang Pemeriksaan darah PCR DNA/RNA dilakukan pada umur 1, 2, 4, 6 dan 18 bulan. Diagnosis HIV ditegakkan apabila pemeriksaan PCR DNA/RNA HIV POSITIP dua kali berturut selang satu bulan, bila keadaan demikian ditemukan, mulai diberikan pengobatan Antiretrovirus. Koordinasi petugas Kesehatan Rumah Sakit dengan petugas setempat, karena bayi-bayi tersebut rawan untuk terjadinya infeksi. a.
Setelah lahir hari 1 1.) Tidak diberi ASI, berikan susu formula biasa. 2.) Pengobatan profilaksis (a.)
Bila ibu mendapat pengobatan antiretrovirus (ARV) semasa hamil dan intrapartum, AZT diberikan untuk bayi mulai usia 12 jam selama 6 minggu.
(b.)
Bila ibu mendapat pengobatan ARV intrapartum saja, atau tidak mendapat ARV, selain AZT untuk bayi diberi juga nevirapin (NVP) dosis tunggal dalam masa usia 48-72 jam.
(c.)
Dosis ARV untuk bayi sesuaikan dengan Tabel 2.
(d.)
Lapor tim BIHA IKA
Tabel 2. Dosis obat Antiretrovirus
Menurut laporan studi yang dilakukan Connor dkk, pada wanita hamil dengan penyakit HIV bergejala ringan dan tidak ada pengobatan sebelumnya dengan obat antiretroviral selama kehamilan, pemberian obat yang terdiri dari AZT yang diberikan ante partum dan intra partum pada ibu dan bayi baru lahir selama enam minggu mengurangi risiko penularan HIV ibu-bayi dengan sekitar dua pertiga. b. Sebelum bayi dipulangkan 1.) Pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap (Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit) 2.) Imunisasi rutin kecuali BCG, bila terdapat tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberikan vaksin polio hidup c. Usia = 4 minggu 1.) Pemeriksaan laboratorium (a.) Enzim fungsi hati : SGOT/SGPT (b.) PCR DNA/RNA HIV pertama, bila hasil positif langsung konfirmasi dengan PCR RNA 2.) Profilaksis AZT dihentikan setelah pemberian 6 minggu bila hasil PCR DNA HIV negatif. 3.) Bila PCR RNA positif berarti infeksi HIV, diberi terapi ZDV, 3TC dan NVP
4.) Pengobatan profilaksis Pneumocytis carinii dengan kotrimoksazol diberikan setelah usia 5 minggu sampai dinyatakan infeksi HIV (-). Dosis lihat tabel 5.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA d. Usia 2-4 bulan 1.) Pemeriksaan fisis 1 x per bulan (a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistemik, tumbuh kembang (b.) Bila ada kelainan klinis infeksi HIV, rujuk ke Tim BIHA (c.) Pemeriksaan laboratorium sesuai klinis 2.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA. e. Usia = 4 bulan 1.) Pemeriksaan laboratorium PCR DNA kedua bila sebelumnya PCR DNA negatif. Bila negatif berarti tidak terinfeksi HIV, bila positif, langsung dikonfirmasi dengan PCR RNA. Bila PCR RNA konfirmasi positif, berarti terinfeksi HIV, diberikan terapi AZT, 3TC dan NVP. Pemeriksaan lain sesuai indikasi 2.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA f. Usia 6 bulan 1.) Pemeriksaan fisis (a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistemik, tumbuh kembang (b.) Bila ada kelainan klinis, rujuk ke Tim BIHA 2.) Pemeriksaan laboratorium (a.) Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit (b.) Faal hati : SGOT/SGPT (c.) PCR RNA HIV untuk konfirmasi bila pemeriksaan PCR RNA sebelumnya negatif 3.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA 4.) Bila sebelumnya tidak dilakukan pemeriksaan PCR RNA, periksa serologi HIV dengan 3 reagen yang berbeda.
5.) Bila hasil serologi HIV positif, diulang 1 bulan kemudian untuk konfirmasi. Bila keduanya negatif, maka tidak terinfeksi HIV 6.) Profilaksi kotrimoksasol dihentikan bila 2 kali pemeriksaan PCR negatif, bila salah satu hasil PCR positif, profilaksis diberikan sampai usia 12 bulan g. Usia 12 bulan 1.) Pemeriksaan fisis (a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh kembang (b.) Bila ada kelainan klinis, rujuk ke Tim BIHA 2.) Pemeriksaan laboratorium (a.) Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit (b.) Serologi antiHIV 3.) Bila serologi antiHIV (-) dan klinis baik: dapat dianggap bukan infeksi HIV. Rencana pemeriksaan serologi anti HIV umur 18 bulan untuk konfirmasi. 4.) Bila serologi HIV (+) dan klinis baik, ulangi serologi pada usia 18 bulan 5.) Bila serologi HIV (+) dan terdapat kelainan klinis, rujuk ke Tim BIHA untuk evaluasi. 6.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA. h. Usia 18 bulan 1.) Pemeriksaan fisis (a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh kembang (b.) Bila ada kelainan klinis, rujuk ke Tim BIHA 2.) Pemeriksaan laboratorium (a.) Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit (b.) Serologi anti HIV 3.) Serologi antiHIV (-) : konfirmasi bukan infeksi HIV 4.) Serologi antiHIV (+) : dianggap infeksi HIV, rujuk ke Tim BIHA untuk pengobatan ARV 5.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA.
Gambar 4. Algoritma uji HIV berdasarkan PCR DNA pada bayi dari ibu HIV+. Klasifiikasi Klinis Klasifikasi Infeksi HIV Pada Anak Berdasarkan Kategori Klinis 1. Kategori N (tanpa gejala) Tidak terdapat tanda dan gejala klinis akibat infeksi HIV, atau hanya terdapat satu gejala kategori A 2. Kategori A (gejala klinis ringan) Terdapat dua atau lebih berikut tanpa gejala kategori B dan C a) Limfadenopati (= 0,5 cm lebih dari satu tempat, bilateral dianggap 1 tempat) b) Hepatomegali c) Splenomegali d) Dermatitis e) Parotitis f) Infeksi saluran napas atas, sinusitis, atau otitis media berulang atau menetap 3. Kategori B (gejala klinis sedang) Terdapat gejala klinis lain selain gejala kategori A atau C
a) g. Anemia (<8 g/dl), neutropenia (<1000/mm3), atau trombositopenia (<100.000/mm3) menetap = 30 hari b) Meningitis bacterial, pneumonia, atau sepsis (episode tunggal) c) Kandidiasis orofarings menetap >2 bulan pada anak usia >6 bulan d) Kardiomiopati e) Infeksi sitomegalovirus dengan onset < usia 1 bulan f) Diare berulang atau kronik g) Hepatitis h) Stomatitis herpes simpleks (HSV) berulang (>2 episode dalam setahun) i) Bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis HSV dengan onset usia <1tahun j) Herpes zoster pada paling sedikit dua episode berbeda atau >1 dermatom k) Leiomiosarkoma l) Pneumonitis interstisial limfoid atau kompleks hyperplasia limfoid paru m) Nefropati n) Nokardiosis o) Demam>1 bulan p) Toksoplasmosis dengan onset usia <1 bulan q) Varisela diseminata (cacar air dengan komplikasi) 2. Kategori C (gejala klinis berat) Semua anak yang memenuhi kriteria AIDS, kecuali untuk pneumonitis interstisial limfoid yang masuk dalam kategori B
Klasifikasi Infeksi HIV Pada Anak Menurut Kategori Status Imunosupresi Berdasarkan Jumlah Dan Persentase Sel T CD4 Menurut Usia Tabel 3 Klasifikasi Infeksi HIV Pada Anak Menurut Kategori Status Imunosupresi dan rekomendasi pengobatan antiretrovirus pada anak
Indikasi pengobatan antiretrovirus pada anak 1.) Diagnosis infeksi HIV (+) 2.) Gejala klinis kategori A, B, C 3.) Imunosupresi kategori 2 atau 3 (Tabel 2) 4.) Semua bayi dengan diagnosis HIV (+) usia <12 bulan 5.) Usia = 1 tahun tanpa gejala klinis (asimtomatik) dan status imun normal a) opsi 1) beri terapi antiretrovirus b) opsi 2) terapi antiretrovirus bila risiko progresivitas klinis tinggi, bila risiko progresivitas rendah lebih baik antiretrovirus ditunda sambil memonitor status klinis, imunitas, dan virology untuk melihat perubahan risiko progresivitas klinis Faktor yang harus dipertimbangkan untuk memulai terapi ARV Pada anak dengan diagnosis infeksi HIV asimtomatik dan status imun normal harus dipertimbangkan : 1.) Jumlah kopi RNA HIV tinggi atau meningkat 2.) Jumlah atau rasio CD4 cepat menurun 3.) Perkembangan gejala klinis cepat Rekomendasi utama antiretrovirus inisial pada anak 1.) Satu inhibitor protease sangat aktif nelfinavir (NFV, Viracept®), atau ritonavir (RTV,Novir®) + dua NRTI 2.) NNRTI efavirenz (EFV, Sustiva TM) + dua NRTI, untuk anak > 3 tahun 3.) Dua NRTI + Nevirapin (NVP)
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Apakah diagnosis Sudah tepat pada kasus ini? Bronkopneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru yang terbatas pada alveoli kemudian menyebar secara berdekatan ke bronkus distal terminalis. Pada pemeriksaan histologis terdapat reaksi inflamasi dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi. Berbagai spesies bakteri, klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit dapat menjadi penyebab. Bronkopneumina adalah frekuensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat (Suzanne G. Bare, 1993). Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing. Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 390-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi sela iga.
Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
Perkusi : Sonor memendek sampai beda
Auskultasi : Suara pernafasan mengeras ( vesikuler mengeras )disertai ronki basah gelembung halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena.Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan.Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Pada stadium resolusi ronki
dapat terdengar lagi.Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 23 minggu. Diagnosis 5. Anamnesis Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai muntah. 6. Pemeriksaan Fisik Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel. Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi. Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut : Pemeriksaan
Bakteri
Virus
Mikoplasma
Umur
Berapapun, bayi
Berapapun
Usia sekolah
Awitan
Mendadak
Perlahan
Tidak nyata
Sakit serumah
Tidak
Ya, bersamaan
Ya, berselang
Batuk
Produktif
nonproduktif
Kering
Gejala penyerta
Toksik
Mialgia, ruam,
Nyeri kepala, otot,
organ bermukosa
tenggorok
Klinis < temuan
Anamnesis
Fisik Keadaan umum
Klinis > temuan
Klinis ≤ temuan
Demam
Umumnya ≥ 39ºC
Umumnya < 39ºC Umumnya < 39ºC
Auskultasi
Ronkhi ±, suara
Ronkhi bilateral,
Ronkhi unilateral,
Napas melemah
Difus, mengi
mengi.
Takipneu berdasarkan WHO: e. Usia < 2 bulan f. Usia 2-12 bulan g. Usia 1-5 tahun h. Usia 6-12 tahun
: ≥ 60 x/menit : ≥ 50 x/menit : ≥ 40 x/menit : ≥ 28 x/menit
7. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung jenis. Lekosit > 30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus. Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak- anak kecil. 8. Pemeriksaan Penunjang c. Pemeriksaan radiologis Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia.
Gambar 3 : Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak infiltrat pada paru kanan
Gambar 4 : Foto toraks PA pada bronkopneumonia. d. C-Reactive Protein Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik.
c. Uji serologis Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis. d. Pemeriksaan mikrobiologi Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum, aspirasi trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus. KRITERIA DIAGNOSIS Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini : f. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada g. panas badan h. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles) i. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus j. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)
Pada kasus di diagnosis dyspnue ec bronkopneumoni berat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang di temukan pada pasien. Pasien merupakan seorang bayi laki-laki berusia 3 bulan dengan berat badan 4,5 kg, datang dengan keluahan sesak napas disertai dengan Batuk ±2 minggu SMRS. Batuk disertai lendir (+), lendir berwarna hijau kekuningan, lendir sulit dikeluarkan oleh pasien, dan biasanya dikeluarkan di bantu pleh ibunya menggunakan jari. Lendirnya bnyak menempel pada pipi bagian dalam, darah (-). Batuk disertai sesak dan membuat pasien sulit tidur dan sering rewel. Dan batuk disertai sesak memberat pada malam hari, dan lebih ringan pada pagi dan siang hari. Pasien juga sering keringat pada malam hari dan sering menggati baju. Batuk juga disertai demam (+), demam hilang tibul ± 2 minggu, Menggigil (-). Ada beberapa penyakit saluran respiratorius yang dapat menyebabkan sesak napas pada anak
diantaranya adalah bronkopneumonia, bronkiolitis, efusi pleura, asma bronkial, dan TB paru. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien tidak tampak sianois pada daerah bibir saat terjadi serangan sesak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu badan (37,9) disertai peningkatan respirasi (60 x/m) dan penurunan saturasi oksigen (90%). Pemeriksaan fisik lain juga ditemukan adanya pernapasan cuping hidung, retraksi intercostal pada dinding dada serta pada auskultasi didapatka Rhonki basah halus dan wheezing pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan penunjang pemeriksaan laboratorium ditemukan WBC: 17.590 uL dan sayang tidak dilakukan pemeriksaan radiologi pada pasien ini. Pasien ini didiagnosis berdasarkan temuan klinis dan anamnesa pasien didiagnosis Bronkopneumoni sesusai dengan tinjauan pustaka pada Buku Ajar Respirologi Anak terbitan (IDAI) 2015. Pada pasien didapatkan adanya keluahan berkeringat malam, namun keluahan lain dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan tidak ditemukan bukti adanya infeksi Tuberkulusis (Uji Tuberkulin (-), skoring TB <6) sehingga infeksi tuberculosis paru sebagai diagnose banding disingkirkan. Begitu juga dengan kemungkinan ganggua traktus respiratorius lainnya yang dapat menyebabkan gejala sesak seperti, asma bronkial, diagnosa ini ddisingkirkan karena kasus tidak memenuhi kriteria asma, misalnya adanya riwayat atopi pasien atau keluarga. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diagnosi dyspnue ec bronkopneumonia sudah tepat berdasarkan teori. Untuk diagnosis bronkiolitis sendiri pada kasus ini, berdasarkan teori bronkiolitis merupakan suatu peradangan bronkiolus yang bersifat akut, menggambarkan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan pernafasan cepat, retraksi dinding dada dan suara pernafasan yang berbunyi. Penyakit ini merupakan penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang menggambarkan terjadinya obstruksi pada bronkiolus. Bronkiolitis akut biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas disertai dengan batuk, pilek untuk beberapa hari, biasanya tanpa disertai demam atau demam hanya subfebril. Kemudian dalam beberapa hari gejala tersebut makin berkembang dengan didapatkan batuk makin menghebat, frekuensi nafas meningkat (sesak nafas), pernafasan dangkal dan cepat, pernafasan cuping hidung disertai retraksi interkostal dan suprasternal, rewel sampai gelisah, sianosis, sulit makan atau
minum, mual-muntah jarang sekali didapatkan pada penderita. Pada pemeriksaan didapatkan mengi/wheezing, ekspirium memanjang, jika obstruksi hebat suara nafas nyaris tak terdengar, ronki basah halus nyaring, kadang-kadang terdengar pada akhir atau awal ekspirasi. Pada perkusi didapatkan hipersonor, Ro foto thoraks menunjukkan hiperinflasi paru, diameter anteroposterior membesar pada fotolateral, dapat terlihat bercak konsolidasi tersebar yang disebabkan atelektasis atau radang. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan gambaran darah tepi dalam batas normal, kimia darah menunjukkan gambaran asidosis respiratorik maupun metabolik. Usapan nasofaring menunjukkan flora bakteri normal. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan pertimbangan beberapa faktor yang lebih menitik beratkan pada manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik, karena faktor lainnya hanya ditemukan buktibukti yang tidak spesifik, seperti pada pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Manifestasi klinis harus didukung beberapa anamnesis yang memperkuat diagnosis penyakit ini terhadap penyakit lain yang serupa. Beberapa hasil penelitian menyatakan, bahwa diagnosis bronkiolitis virus diperoleh dari : 4. Gambaran/gejala klinis 5. Usia anak 6. Epidemi RSV di masyarakat terutama di RS melalui petugas perawatan sebagai sumber penularan pada bayi. Gejala klinis bronkiolitis harus dibedakan dengan asma yang kadang-kadang juga timbul pada usia muda. Anak dengan asma akan memberikan respons terhadap pengobatan dengan bronkodilator, sedangkan anak dengan bronkiolitis tidak. Bronkiolitis juga harus dibedakan dengan bronkopneumonia yang disertai emfisema obstruksi dan gagal jantung. Anamnesis Gejala awal berupa gejala infeksi saluran nafas atas akibat virus, seperti pilek ringan, batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertain dengan sesak napas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel, dan penurunan nafsu makan. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya takipnea, takikardi, dan peningkatan suhu di atas 38,5oC. Selain itu, dapat juga ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis. Obstruksi saluran nafas bawah akibat respons inflamasi akut akan menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan nafas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi, dan bila gejala menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia <6 minggu. Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit biasanya normal, demikian pula dengan elektrolit. Analisis gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan sakit berat, khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik. Pada foto rontgen thoraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrat (patchy infiltrates), tapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada saat konvalesens akibat sekret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diagfragma datar, dan peningkatan diameter antero-posterior. Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen detection tests (direct immunofluoresence assay dan ELISA), atau polymerase chain reaction (PCR), dan pengukuran titer antibodi pada fase akut dan konvalenses. Bronkiolitis merupakan diagnosa banding yang paling mungkin pada kasus ini namun dapat di singkirkan karena ada beberapa alasan, yaitu berdasarkan anamnesa, bukan merupakan keluahan yang pertama kali, sedangkan pada bronkiolitis secara klinis akan di tandai dengan episode pertama wheezing pada bayi. Dari klinis dan pemeriksaan fisiknya yang lebih menonjol pada kasus ini adalah Rhonki dan demam pada brokiolitis umumnya berdasarkan buku ajar respirolgi (IDAI) 2015. Pada brokiolitis ada peningkatan suhu diatas 38,5 ‘C, sedang pada kasus peningkatan suhu di dapatkan 37,9’C, dan pada pemeriksaan peunjang laboratorium Pemeriksaan darah rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit biasanya normal pada bronkiolitis dan pada kasus di temukan leukosit tinggi yaitu 17.590 uL. sehingga bronkiolitis sebagai diagnose banding dapat disingkirkan. Sayangnya pada
kasus tidak dilakukan pemeriksaan penunjang seprti foto thorax untuk lebih menunjang diagnosis pada kasus ini. Untuk diagnosis BIHA pada kasus ini didapatkan dari heteroanamnesis pada kasus didapatkan bahwa bahwa pasien sudah batuk sejak usia 7 hari setelah lahir, selama sebulan pasien batuk terus menerus, dan tiap kali batuk pasien di bawa ke dokter praktek untuk mendapatkan obat. Namun 3 kali berobat dengan keluhan yang sama, tidak ada perubahan terhdap batunya. Dari riwayat imunisasi dasar pasien tidak pernah mendapat imunisasi. Dan dari riwayat kehamilan ibu pasien tidak melakukan Pemeriksaan antenatal care secara teratur. Diketahui ibu pasien dengan B20 (+), dalam pengobatan ARV tidak diketahui. Riwayat Persalinan pasien didapatkan data Bayi lahir pada tanggal 15/11/2018 secara spontan per vaginam dengan berat lahir 1750 gr, panjang 40 cm, dengan air ketuban jernih. Apgar score 5/7, dengan riwayat lahir kurang bulan. Dari anamnesa yang didapatkan sesuai dengan berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah: pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok). Berdasarkan Teori batasan bayi baru lahir dari ibu pengidap HIV adalah bayi baru lahir dari Ibu yang diketahui mengidap HIV selama kehamilannya. Ibu sudah diskrining menggunakan pemeriksaan serologis. Untuk selanjutnya bayi disebut BIHA (bayi dari ibu dengan HIV/AIDS). Terminologi BIHA dipakai sebagai tanda pengenal dan kode bagi semua petugas administrasi, medis, paramedik, pekarya, diberi tanda stiker merah pada catatan medik, alat suntik, obat dan sebagainya yang ada hubungannya dengan penderita. Tim BIHA adalah tim yang ditunjuk kepala bagian Anak untuk membuat dan merancang petunjuk pelaksanaan hal yang berhubungan dengan BIHA. Tidak ada tanda-tanda spesifik HIV yang dapat ditemukan pada saat lahir. Bila terinfeksi pada saat peripartum, tanda klinis dapat ditemukan pada umur 2-6 minggu setelah lahir. Tetapi tes antibodi baru dapat dideteksi pada umur 18 bulan untuk menentukan status HIV bayi.
Semua bayi yang terlahir dari Ibu resiko HIV termasuk ibu yang berasal dari daerah tinggi kejadian HIV, pengguna obat terlarang, pasangan biseksual, adalah termasuk bayi beresiko terjangkit HIV. Beberapa mekanisme masuknya virus ke bayi termasuk beratnya penyakit ibu, paparan dengan cairan tubuh yang terkena infeksi, kekebalan ibu yang berkurang, dan ASI. Resiko transmisi virus ke bayi besar apabila penyakit ibu berlanjut, atau jumlah CD4+ rendah, viral load tinggi (antigenemia), atau kultur darah HIV positif. Infeksi melalui plasenta dibuktikan dengan adanya biakan yang positip HIV pada darah talipusat dan jaringan janin lahir mati pada trimester awal. Sedangkan infeksi secara vertikal dihubungkan adanya ketuban pecah dini empat jam sebelum lahir secara spontan, tindakan invasif, dan adanya chorioamnionitis. Transmisi dapat secara seksual, parenteral dan kongenital, perinatal. Resiko tercemar HIV pada Transfusi darah adalah 1 : 225.000 unit transfusi. Skrining saat ini condong kurang dilakukan,padahal penderita baru walau mengalami viremia, menunjukkan sero negatif untuk 2 sampai 4 bulan atau 5-15%.2 Penegakan Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan: 4. Dugaan infeksi HIV, gejala klinik, resiko penularan di daerah yang banyak ditemukan. 5. Tes serologi darah HIV 6. Pembuktian virus HIV dalam darah, karena pada bayi masih terdapat antibodi HIV ibu yang menetap sampai 18 bulan. Tes Diagnostik Untuk Infeksi HIV Pada Bayi 5. HIV Antibodi pada anak umur > 18 bulan dilakukan dengan metode ELISA IgG anti HIV Ab, dapat ditransfer melalui plasenta pada Trimester III. Bila hasil positif sebelum umur 18 bulan, mungkin antibodi dari ibunya. 6. VIRUS : HIV PCR DNA dari darah perifer pada waktu lahir, dan umur 3-4 bulan. Bila umur 4 bulan hasil negatif bayi bebas HIV, bila HIV PCV RNA positif, BIHA positif terkena HIV. Pengujian virologi pada awal kelahiran dapat dipertimbangkan untuk bayi yang baru lahir beresiko tinggi infeksi HIV, contohnya seperti bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV yang tidak menerima perawatan prenatal, ART prenatal, atau yang memiliki viral load HIV> 1.000 copies / mL mendekati ke waktu kelahiran. Sebanyak 30% -40% dari bayi yang terinfeksi HIV dapat diidentifikasi dari
usia 48 jam. Sampel darah dari tali pusar tidak boleh digunakan untuk evaluasi diagnostik karena kontaminasi dengan darah ibu. Definisi yang pasti telah diusulkan untuk membedakan didapatkannya infeksi HIV selama periode intrauterin atau dari periode intrapartum. Bayi yang memiliki tes virologi positif pada atau sebelum usia 48 jam dianggap memiliki infeksi awal (yaitu, intrauterin), sedangkan bayi yang memiliki tes virologi negatif selama minggu pertama kehidupan dan tes positif berikutnya dianggap memiliki infeksi setelahnya (yaitu, intrapartum).14 7. CD4 count rendah (normal 2500-3500/ml pada anak, Dewasa 700-1000/ml). 8. P24 Antigen test sudah kurang dipakai untuk diagnostik, karena dipandang kurang sensitif terutama untuk bayi. Knuchel dkk membandingkan sensitivitas tes tersebut antara DBS ( dried blood spot ) dan plasma. Mereka menemukan bahwa tes tersebut mempunyai spesifisitas 100% dan tidak ada perbedaan hasil secara kuantitatif antara DBS dan plasma. Mereka juga membandingkan hasil tes antigen p24 dengan viral load HIV dan menemukan korelasi yang positif, tetapi koefisien korelasi tersebut rendah (r = 0,67). Sensitivitas tes HIV p24 dibandingkan dengan tes viral load HIV adalah kurang lebih 90%. Hal ini berarti bahwa tes untuk menskrining bayi yang terpajan HIV akan menghasilkan hampir 10% bayi yang salah didiagnosis sebagai tidak terinfeksi. Penggunaan PCR HIV DNA-RNA memiliki sensitiitas 100% pada plasma. Pada kasus di diagnosis BIHA berdasarkan Anamnesis yang didapatkan bahwa bahwa pasien sudah batuk sejak usia 7 hari setelah lahir, selama sebulan pasien batuk terus menerus, dan tiap kali batuk pasien di bawa ke dokter praktek untuk mendapatkan obat. Namun 3 kali berobat dengan keluhan yang sama, tidak ada perubahan terhdap batunya. Dari riwayat imunisasi dasar pasien tidak pernah mendapat imunisasi. Dan dari riwayat kehamilan ibu pasien tidak melakukan Pemeriksaan antenatal care secara teratur. Diketahui ibu pasien dengan B20 (+), dalam pengobatan ARV tidak diketahui. Riwayat Persalinan pasien didapatkan data Bayi lahir pada tanggal 15/11/2018 secara spontan per vaginam dengan berat lahir 1750 gr, panjang 40 cm, dengan air ketuban jernih. Apgar score 5/7, dengan riwayat lahir kurang bulan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan juga oral candidiasis. Yang mana (keluhan, riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga/ Ibu
kandung) dan klinis pasien didiagnosa BIHA (Bayi dengan Ibu HIV/ AIDS). BIHA merupakan terminology yang dipakai sebagai tanda pengenal dan kode bagi semua petugas administrasi, medis, paramedis, diberi tanda stiker merah pada catatan medicc, alat suntik, obat, dan sebagainya yang ada hubungannya dengan penderita. Berdasakan teori anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada kasus sudah tepat diagnosis dengan BIHA berdasarkan temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik, sayangnya pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan PCR HIV DNA-RNA untuk lebih menegakan diagnosis BIHA pada kasus ini. 2.2 Apakah tatalaksana pada kasus ini sudah tepat? Penatalaksanaan pada kasus diberikan: Perencanaan Terapi: O2 nasal 2 lpm IVFD D5 ¼ NS 16 tpm mikro Injeksi Cefotaxime 160 mg/ 8 jam Injeksi Gentamicin 1 x 24mg Injeksi Dexamethason 0,8 mg/ 8 jam Cotrimoxazole syr 1 x ½ Cth Kebutuhan cairan 4,5 x 100 = 450 cc/24 jam6 tpm makro
Berdasarkan teori tatalaksanan bronkopneumonia, bronkiolitis dan BIHA adalah sebagai berikut: a. Bronkopneumonia Penatalaksaan umum -
Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr
-
Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
-
Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
Penatalaksanaan khusus -
mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.
Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung -
pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis Pneumonia ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari). Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
e. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis f. Berat ringan penyakit g. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis h. Ada tidaknya penyakit yang mendasari Antibiotik : Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia. b. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) : -
ampicillin + aminoglikosid
-
amoksisillin-asam klavulanat
-
amoksisillin + aminoglikosid
-
sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn) -
beta laktam amoksisillin
-
amoksisillin-amoksisillin klavulanat
-
golongan sefalosporin
-
kotrimoksazol
-
makrolid (eritromisin)
c. Anak usia sekolah (> 5 thn) -
amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
-
tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun) Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka
harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif). c. Bronkiolitis Penatalaksanaan Anak harus ditempatkan dalam ruangan dengan kelembaban udara yang tinggi, sebaiknya dengan uap dingin (‘mist-tent’), tujuannya untuk mencairkan sekret bronkus yang liat dan mengatasi hipoksemia. Prinsip pengobatan di rumah sakit meliputi beberapa hal, yaitu : 7.
Suportif f. Pemberian oksigen untuk mengatasi hipoksemia, apnea, dan kegagalan pernafasan. Diberikan 1 - 2 l/menit. g. Pengaturan suhu tubuh. h. Pencairan lendir yang lengket. i. Ketepatan pemberian cairan intravena, sebagai penghindaran terhadap dehidrasi yang timbul akibat takipnea atau asidosis respiratorik. Diberikan : Neonatus D 10% : NaCl 0,9% = 4 : 1, + KCl 1-2 mEq/kg BB/hari Bayi > 1 bulan : D 10% : NaCl 0,9% = 3 : 1 + KCl 10 mEq/500 ml cairan. j. Posisi nyaman dengan duduk posisi kemiringan 30-40 atau leher pada posisi ekstensi.
8.
Pemberian kortikosteroid (masih kontroversial). Penelitian tentang pemakaian kortikosteroid, awalnya memberikan hasil yang baik terhadap angka kesakitan dan angka kematian penderita bronkiolitis. Walaupun akhir-akhir ini didapatkan hasil justru klinis semakin memberat. Sebagai terapi paliatif dan efek anti anflamasinya, kortikosteroid dapat menimbulkan masking effect.
9.
Antibiotik diberikan apabila tersangka ada infeksi bakterial dan sebaiknya dipilih yang mempunyai spektrum luas. Bila dicurigai mycoplasma pneumoniae sebagai penyebabnya, obat yang terpilih ialah eritromisin.
10. Sedativa merupakan kontraindikasi pada penyakit bronkiolitis karena dapat menyebabkan depresi pernafasan. 11. Tidak dianjurkan pemberian bronkodilator karena dapat memperberat keadaan anak yaitu dengan peningkatan curah jantung dan kegelisahan anak. 12. Pemberian anti virus seperti ribavirin memperlihatkan hasil yang memuaskan, karena ribavirin menghambat sintesis protein virus. Namun sampai sekarang pemakaian anti virus belum banyak diberikan pada penderita. Indikasi pengobatan ini adalah bayi resiko tinggi, diplasia bronkopulmonar, infeksi paru kronis, defisiensi iminologi, penyakit jantung kongenital d. BIHA Manajemen Umum 4. Bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV positif maka : e. Hormati kerahasiaan ibu dan keluarganya, dan lakukan konseling pada keluarga; f. Rawat bayi seperti bayi yang lain, dan perhatian khususnya pada pencegahan infeksi; g. Bayi tetap diberi imunisasi rutin, ada senter yang tidak langsung memberi BCG; h. Bila terdapat tanda klinis defisiensi imun yang berat, jangan diberi vaksin hidup (BCG, OPV, Campak, MMR). Pada waktu pulang, periksa DL, hitung Lymphosit T, serologi anti HIV, PCR DNA/RNA HIV. 5. Beri dukungan mental pada orang tuanya 6. Anjurkan suaminya memakai kondom, untuk pencegahan penularan infeksi Manajemen Khusus Bayi dengan infeksi HIV mempunyai jumlah virus yang tinggi dan akan menurun seiring dengan meningkatnya imunologinya. Saran dari beberapa senter di AS, terapi pada satu tahun pertama untuk anak yang dicurigai HIV, diharapkan tumbuh imunologi secara normal, karena bila terapi menunggu umur lebih dari satu tahun berdasarkan jumlah CD4+ dan Load Virus maka hal ini dikatakan kurang spesifik. Pengobatan harus dimulai pada bayi yang menunjukkan gejala simtomatis atau yang menunjukkan jumlah sel CD4+ yang rendah, tanpa melihat umur.
Terapi Anti Retrovirus Tanpa pemberian Antiretrovirus, 25% bayi dengan ibu HIV positif akan tertular sebelum dilahirkan atau pada waktu lahir, dan 15% tertular melalui ASI : c.
Tentukan apakah ibu sedang mendapat pengobatan Antiretrovirus untuk HIV, atau mendapatkan pengobatan antiretroviral untuk mencegah transmisi dari ibu ke bayinya. Tujuan pemberian Antiretroviral terapi adalah untuk menekan HIV viral load sampai tidak terdeteksi dan mempertahankan jumlah CD4+ sel sampai mencapai lebih dari 25%.
d.
Kelola bayi dan ibu sesuai dengan protokol dan kebijakan yang ada, tujuannya untuk Profilaksis : -
Bila ibu sudah mendapat ARV(Antiretrovirus) atau Zidovudine (AZT) 4 minggu sebelum melahirkan, maka setelah lahir bayi diberi AZT 2 mg/kg berat badan per oral tiap 6 jam selama 6 minggu, dimulai sejak bayi umur 12 jam. Hal ini dapat mengurangi resiko terjadinya HIV dari 25% menjadi 8%.
-
Bila ibu sudah mendapat Nevirapine (NVP) dosis tunggal selama proses persalinan dan bayi masih berumur kurang dari 3 hari, segera beri bayi Nevirapine dalam suspensi 2 mg/kg berat badan secara oral masa usia 48-72 jam dosis tunggal.
-
Untuk mencegah PCP, berikan TMP 2,5 mg/kgBB 2x sehari, pemberian 3 kali seminggu, diberikan sejak bayi umur 6 minggu sampai diagnosis HIV dapat disangkal, karena peak onset PCP adalah pada umur 3-9 bulan.
-
Jadwalkan pemeriksaan tindak lanjut dalam 2 minggu untuk menilai masalah pemberian minum dan pertumbuhan bayi (lihat Pemeriksaan Tindak Lanjut).
Pemberian Minum Penularan HIV-1 dapat terjadi dari konsumsi susu ASI dari perempuan yang terinfeksi
HIV.
Di
Amerika
Serikat
dan
Kanada,
di
mana
formula bayi aman dan tersedia, seorang yang ibu terinfeksi harus disarankan untuk tidak menyusui bahkan jika dia menerima ART (terapi anti Retrovirus). Menghindari secara total untuk menyusui (dan susu sumbangan) oleh perempuan yang terinfeksi HIV tetap menjadi satu-satunya mekanisme dimana pencegahan melalui ASI dapat dipastikan.
penularan HIV
Salah satu rekomendasi Konsesus Genewa pada Oktober 2006 adalah “Ibu terinfeksi HIV dianjurkan menyusui eksklusif selama 6 bulan kecuali jika pengganti ASI memenuhi AFASS sebelumnya, Bila pengganti ASI mencapai AFASS, dianjurkan untuk tidak memberikan ASI” yang mana hal ini menjadi Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dan ibu ke bayi.17 AFASS merupakan kepanjangan dari: A : ACCEPTABLE
: mudah diterima
F : FEASIBLE
: mudah dilakukan
A : AFFORDABLE
: terjangkau
S : SUSTAINABLE
: berkelanjutan
S : SAFE
: aman penggunaannya
Mudah diterima berarti, tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu untuk memberikan susu formula pada bayinya. Mudah dilakukan Ibu dan keluarga, mereka mempunyai cukup waktu, pengetahuan, dan ketrampilan yang memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu formula kepada bayi . Harganya terjangkau Ibu dan keluarga sehingga mereka mampu membeli susu formula. Susu formula harus diberikan setiap hari dan malam selama usia bayi dan diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan distribusi susu formula dijamin keberadaannya artinya keberadaan susu formula tersebut berkelanjutan. Juga tidak kalah penting Susu formula harus disimpan secara benar, higienis dan kadar nutrisi cukup, disuapkan dengan tangan dan peralatan bersih, serta tidak berdampak peningkatan penggunaan susu formula pada masyarakat (SPILL OVER) yang berarti Save atau Aman. Ibu dengan HIV positif dihadapkan pada dua pilihan sulit, menyusui dengan belum mengerti tehnik menyusuinya sehingga ternjadi MTCT (mother-to-child transmission), tidak menyusui dan tidak AFASS sehingga bayi menjadi kurang gizi, diare, atau pneumonia. Konseling pemberian makan bayi pada ibu HIV dapat membantu ibu HIV menentukan pilihan yang terbaik untuk bayinya.
Tabel 1. Faktor Risiko Potensial untuk Transmisi HIV-1 melalui ASI Kategori
Faktor risiko
Durasi menyusui
Durasi yang lebih lama
Karakteristik Ibu
Umur muda Paritas tinggi CD4+ yang rendah Viral load darah perifer yang tinggi Abnormalitas payudara (abses payudara, mastitis, nipple lesions)
Karakteristik bayi
Candidiasis oral
Karakteristik ASI /human Viral load yang tinggi milk
Konsentrasi substansi antiviral yang rendah (contoh: lactoferin, lysozyme, SLPI, epidermal growth factor) Konsentrasi limfosit T spesifik-virus sitotoksik Sekkresi IgA yang rendah IgM yang rendah Mixed breastfeeding
ASI eksklusif Dikarenakan penularan HIV-1 melalui proses menyusui selalu ada terjadi, dan karena menghindari proses menyusui adalah sulit dilakukan dalam banyak situasi tertentu, maka penting untuk mengidentifikasi faktor risiko guna merancang rencana intervensi untuk mencegah transmisi sesuai dengan faktor risiko. Lakukan konseling pada ibu tentang pilihan pemberian minum kepada bayinya. i. Hargai dan dukunglah apapun pilihan ibu. Ijinkan ibu untuk membuat pernyataan sendiri tentang pilihan yang terbaik untuk bayinya. j. Terangkan kepada ibu bahwa menyusui dapat berisiko menularkan infeksi HIV. Meskipun demikian, pemberian susu formula dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian, khususnya bila pemberian susu formula tidak diberikan secara aman karena keterbatasan fasilitas air untuk mempersiapkan atau karena tidak terjamin ketersediaannya oleh keluarga.
k. Terangkan pada Ibu tentang untung dan rugi pilihan cara pemberian minum susu formula. Susu dapat diberikan bila mudah didapat, dapat dijaga kebersihannya dan selalu dapat tersedia. l. Dalam beberapa situasi, kemungkinan lain adalah untung dan rugi pilihan cara pemberian minum ASI : -
Memeras ASI dan menghangatkannya waktu akan diberikan;
-
Pemberian ASI oleh ibu susuan (”Wet Nursing”) yang jelas HIV negatif;
-
Memberi ASI peras dari Ibu dengan HIV negatif.
m. Bantu ibu menilai kondisinya dan putuskan mana pilihan yang terbaik, dan dukunglah pilihannya. -
Bila ibu memilih untuk memberikan susu formula atau menyusui, berikan petunjuk khusus (lihat bawah). Untuk Pemberian susu formula : Ajari ibu cara mempersiapkan dan memberikan susu formula dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum. Anjurkan ibu untuk memberi susu formula 8 kali sehari, dan beri lagi apabila bayi menginginkan. Beri ibu petunjuk secara tertulis cara mempersiapkan susu formula. Jelaskan mengenai risiko memberi susu formula dan cara menghindarinya.
-
ASI Eksklusif dapat segera dihentikan bila susu formula sudah dapat disediakan. Hentikan ASI pada saat memberikan susu formula;
-
Rekomendasi yang biasa diberikan adalah memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan, kemudian dilanjutkan ASI ditambah makanan padat setelah umur 6 bulan.
-
Bayi akan diare apabila tangan ibu, air atau alat-alat yang digunakan tidak bersih dan steril, atau bila susu yang disediakan terlalu lama tidak diminumkan;
-
Bayi tidak akan tumbuh baik apabila : Jumlah tiap kali minum terlalu sedikit; Frekuensi pemberiannya terlalu sedikit; Susu formula terlalu encer; Bayi mengalami diare.
n. Nasihati ibu untuk mengamati apakah terdapat tanda bahaya pada bayinya, seperti : -
Minum kurang dari 6 kali dalam sehari atau minum hanya sedikit;
-
Diare;
-
Berat badan sulit naik.
o. Nasihati ibu untuk melakukan kunjungan tindak lanjut : -
Kunjungan rutin untuk memonitor pertumbuhan;
-
Memberi dukungan cara-cara menyiapkan formula yang aman;
-
Nasihati ibu untuk membawa bayinya bila sewaktu-waktu ditemukan tanda bahaya
p. Apapun pilihan ibu, berilah petunjuk khusus : -
Apabila memberikan susu formula, jelaskan bahwa selama 2 tahun ibu harus menyediakannya termasuk makanan pendamping ASI;
-
Bila tidak dapat menyediakan susu formula, sebagai alternatif diberikan ASI secara eklusif dan segera dihentikan setelah tersedia susu formula;
-
Semua bayi yang mendapatkan susu formula, perlu dilakukan tindak lanjut dan beri dukungan kepada ibu cara menyediakan susu formula dengan benar.
-
Jangan memberikan minuman kombinasi (misal selang-seling antara susu hewani, bubur buatan, susu formula, disamping pemberian ASI), karena risiko terjadinya infeksi lebih tinggi dari pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif.
Tatalaksana Di Ruang Perawatan Dan Setelah Pulang Pemeriksaan darah PCR DNA/RNA dilakukan pada umur 1, 2, 4, 6 dan 18 bulan. Diagnosis HIV ditegakkan apabila pemeriksaan PCR DNA/RNA HIV POSITIP dua kali berturut selang satu bulan, bila keadaan demikian ditemukan, mulai diberikan pengobatan Antiretrovirus. Koordinasi petugas Kesehatan Rumah Sakit dengan petugas setempat, karena bayi-bayi tersebut rawan untuk terjadinya infeksi. a.
Setelah lahir hari 1
1.) Tidak diberi ASI, berikan susu formula biasa. 2.) Pengobatan profilaksis (a.)
Bila ibu mendapat pengobatan antiretrovirus (ARV) semasa hamil dan intrapartum, AZT diberikan untuk bayi mulai usia 12 jam selama 6 minggu.
(b.)
Bila ibu mendapat pengobatan ARV intrapartum saja, atau tidak mendapat ARV, selain AZT untuk bayi diberi juga nevirapin (NVP) dosis tunggal dalam masa usia 48-72 jam.
(c.)
Dosis ARV untuk bayi sesuaikan dengan Tabel 2.
(d.)
Lapor tim BIHA IKA
Tabel 2. Dosis obat Antiretrovirus
Menurut laporan studi yang dilakukan Connor dkk, pada wanita hamil dengan penyakit HIV bergejala ringan dan tidak ada pengobatan sebelumnya dengan obat antiretroviral selama kehamilan, pemberian obat yang terdiri dari AZT yang diberikan ante partum dan intra partum pada ibu dan bayi baru lahir selama enam minggu mengurangi risiko penularan HIV ibu-bayi dengan sekitar dua pertiga. b. Sebelum bayi dipulangkan 3.) Pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap (Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit) 4.) Imunisasi rutin kecuali BCG, bila terdapat tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberikan vaksin polio hidup
c. Usia = 4 minggu 6.) Pemeriksaan laboratorium (a.) Enzim fungsi hati : SGOT/SGPT (b.) PCR DNA/RNA HIV pertama, bila hasil positif langsung konfirmasi dengan PCR RNA 7.) Profilaksis AZT dihentikan setelah pemberian 6 minggu bila hasil PCR DNA HIV negatif. 8.) Bila PCR RNA positif berarti infeksi HIV, diberi terapi ZDV, 3TC dan NVP 9.) Pengobatan profilaksis Pneumocytis carinii dengan kotrimoksazol diberikan setelah usia 5 minggu sampai dinyatakan infeksi HIV (-). Dosis lihat tabel 10.)
Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin
polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA d. Usia 2-4 bulan 3.) Pemeriksaan fisis 1 x per bulan (a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistemik, tumbuh kembang (b.) Bila ada kelainan klinis infeksi HIV, rujuk ke Tim BIHA (c.) Pemeriksaan laboratorium sesuai klinis 4.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA. e. Usia = 4 bulan 3.) Pemeriksaan laboratorium PCR DNA kedua bila sebelumnya PCR DNA negatif. Bila negatif berarti tidak terinfeksi HIV, bila positif, langsung dikonfirmasi dengan PCR RNA. Bila PCR RNA konfirmasi positif, berarti terinfeksi HIV, diberikan terapi AZT, 3TC dan NVP. Pemeriksaan lain sesuai indikasi 4.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA f. Usia 6 bulan 7.) Pemeriksaan fisis (a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistemik, tumbuh kembang (b.) Bila ada kelainan klinis, rujuk ke Tim BIHA
8.) Pemeriksaan laboratorium (a.) Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit (b.) Faal hati : SGOT/SGPT (c.) PCR RNA HIV untuk konfirmasi bila pemeriksaan PCR RNA sebelumnya negatif 9.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA 10.) Bila sebelumnya tidak dilakukan pemeriksaan PCR RNA, periksa serologi HIV dengan 3 reagen yang berbeda. 11.) Bila hasil serologi HIV positif, diulang 1 bulan kemudian untuk konfirmasi. Bila keduanya negatif, maka tidak terinfeksi HIV 12.) Profilaksi kotrimoksasol dihentikan bila 2 kali pemeriksaan PCR negatif, bila salah satu hasil PCR positif, profilaksis diberikan sampai usia 12 bulan g. Usia 12 bulan 7.) Pemeriksaan fisis (a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh kembang (b.) Bila ada kelainan klinis, rujuk ke Tim BIHA 8.) Pemeriksaan laboratorium (c.) Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit (d.) Serologi antiHIV 9.) Bila serologi antiHIV (-) dan klinis baik: dapat dianggap bukan infeksi HIV. Rencana pemeriksaan serologi anti HIV umur 18 bulan untuk konfirmasi. 10.) Bila serologi HIV (+) dan klinis baik, ulangi serologi pada usia 18 bulan 11.) Bila serologi HIV (+) dan terdapat kelainan klinis, rujuk ke Tim BIHA untuk evaluasi. 12.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA. h. Usia 18 bulan 6.) Pemeriksaan fisis (a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh kembang (b.) Bila ada kelainan klinis, rujuk ke Tim BIHA 7.) Pemeriksaan laboratorium (a.) Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit
(b.) Serologi anti HIV 8.) Serologi antiHIV (-) : konfirmasi bukan infeksi HIV 9.) Serologi antiHIV (+) : dianggap infeksi HIV, rujuk ke Tim BIHA untuk pengobatan ARV 10.)
Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin
polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA.
Gambar 4. Algoritma uji HIV berdasarkan PCR DNA pada bayi dari ibu HIV+. Klasifiikasi Klinis Klasifikasi Infeksi HIV Pada Anak Berdasarkan Kategori Klinis 1. Kategori N (tanpa gejala) Tidak terdapat tanda dan gejala klinis akibat infeksi HIV, atau hanya terdapat satu gejala kategori A 2. Kategori A (gejala klinis ringan) Terdapat dua atau lebih berikut tanpa gejala kategori B dan C g) Limfadenopati (= 0,5 cm lebih dari satu tempat, bilateral dianggap 1 tempat)
h) Hepatomegali i) Splenomegali j) Dermatitis k) Parotitis l) Infeksi saluran napas atas, sinusitis, atau otitis media berulang atau menetap 3. Kategori B (gejala klinis sedang) Terdapat gejala klinis lain selain gejala kategori A atau C r) g. Anemia (<8 g/dl), neutropenia (<1000/mm3), atau trombositopenia (<100.000/mm3) menetap = 30 hari s) Meningitis bacterial, pneumonia, atau sepsis (episode tunggal) t) Kandidiasis orofarings menetap >2 bulan pada anak usia >6 bulan u) Kardiomiopati v) Infeksi sitomegalovirus dengan onset < usia 1 bulan w) Diare berulang atau kronik x) Hepatitis y) Stomatitis herpes simpleks (HSV) berulang (>2 episode dalam setahun) z) Bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis HSV dengan onset usia <1tahun aa) Herpes zoster pada paling sedikit dua episode berbeda atau >1 dermatom bb) Leiomiosarkoma cc) Pneumonitis interstisial limfoid atau kompleks hyperplasia limfoid paru dd) Nefropati ee) Nokardiosis ff) Demam>1 bulan gg) Toksoplasmosis dengan onset usia <1 bulan ee) Varisela diseminata (cacar air dengan komplikasi) 2. Kategori C (gejala klinis berat) Semua anak yang memenuhi kriteria AIDS, kecuali untuk pneumonitis interstisial limfoid yang masuk dalam kategori B
Klasifikasi Infeksi HIV Pada Anak Menurut Kategori Status Imunosupresi Berdasarkan Jumlah Dan Persentase Sel T CD4 Menurut Usia
Tabel 3 Klasifikasi Infeksi HIV Pada Anak Menurut Kategori Status Imunosupresi dan rekomendasi pengobatan antiretrovirus pada anak
Indikasi pengobatan antiretrovirus pada anak 6.) Diagnosis infeksi HIV (+) 7.) Gejala klinis kategori A, B, C 8.) Imunosupresi kategori 2 atau 3 (Tabel 2) 9.) Semua bayi dengan diagnosis HIV (+) usia <12 bulan 10.) Usia = 1 tahun tanpa gejala klinis (asimtomatik) dan status imun normal a) opsi 1) beri terapi antiretrovirus b) opsi 2) terapi antiretrovirus bila risiko progresivitas klinis tinggi, bila risiko progresivitas rendah lebih baik antiretrovirus ditunda sambil memonitor status klinis, imunitas, dan virology untuk melihat perubahan risiko progresivitas klinis Faktor yang harus dipertimbangkan untuk memulai terapi ARV Pada anak dengan diagnosis infeksi HIV asimtomatik dan status imun normal harus dipertimbangkan : 1.) Jumlah kopi RNA HIV tinggi atau meningkat 2.) Jumlah atau rasio CD4 cepat menurun 3.) Perkembangan gejala klinis cepat Rekomendasi utama antiretrovirus inisial pada anak 4.) Satu inhibitor protease sangat aktif nelfinavir (NFV, Viracept®), atau ritonavir (RTV,Novir®) + dua NRTI 5.) NNRTI efavirenz (EFV, Sustiva TM) + dua NRTI, untuk anak > 3 tahun 6.) Dua NRTI + Nevirapin (NVP) Berdasarkan tatalaksan yang diberikan pada kasus ini sudah tepat sesuai teori, yang mana Berdasarkan diagnosis kasus BIHA dengan infeksi oppurtunistik bronkopneumoni dimana pasien datang dalam keadaan dipsneu sehingga terapi awal yang diberikan adalah
untuk menagani dipsneu sebagai kegawatan yaitu dengan pemberian oksigenasi masker 6 liter/ menit dan selanjutnya adalah penanganan terhadap infeksi oppurtunistik yaitu Bronkopneumoni dengan pemberian antibiotic; cefotaxime dan Gentamicin, dexamethasone, cotrimoxazole dan nebulizer combivent. Sedangkan terapi BIHA diberikan profilaksis cotrimoxazole untuk profilaksis terhadap PCP (pneumocystis carinii) 2 dosis tiga hari berturut- turut setiap minggu.
BAB III KESIMPULAN 1. Bronkopneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru yang terbatas pada alveoli kemudian menyebar secara berdekatan ke bronkus distal terminalis. Pada pemeriksaan histologis terdapat reaksi inflamasi dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi. Berbagai spesies bakteri, klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit dapat menjadi penyebab. 2. Bronkiolitis merupakan suatu peradangan bronkiolus yang bersifat akut, menggambarkan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan pernafasan cepat, retraksi dinding dada dan suara pernafasan yang berbunyi. Penyakit ini merupakan penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang menggambarkan terjadinya obstruksi pada bronkiolus. 3. Batasan bayi baru lahir dari ibu pengidap HIV adalah bayi baru lahir dari Ibu yang diketahui mengidap HIV selama kehamilannya. Ibu sudah diskrining menggunakan pemeriksaan serologis. 4. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien tersebut didiagnosis bronkopneumoni, bronkiolitis, dan BIHA 5. Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan yang tepat sesuai dengan Pedoman Tata Laksana masing-masing diagnosis.