Pastor Paroki &
Pengelolaan Keuangan Paroki oleh: Evaristus Angwarmase MSC
Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng 1
Pendahuluan Uang bukanlah segalanya. Tetapi segala sesuatu butuh uang. Termasuk untuk urusan penyelamatan jiwa-jiwa, sebuah tujuan yang diwariskan kepada Gereja universal pada umumnya dan Gereja lokal-setempat (paroki) pada khususnya. Tulisan bertemakan pengelolaan keuangan paroki ini berusaha memahami wajah Gereja lokal yakni paroki dengan penanggung jawab utama pastor parokinya. Untuk selanjutnya menelaah segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam paroki. Pada bagian akhir tulisan ini akan disajikan catatan-catatan kritis. 1. Paroki: Memahami Sejarah dan Gagasan Teologisnya 1.1 Paroki dalam Kitab Suci Kata ‘paroki’ dalam bahasa Latin parochia berasal dari bahasa Yunani paroikia. Akar kata dari paroikia adalah paroikos yang berarti tetangga atau bisa juga orang asing, yakni orang yang tinggal di sebuah negara atau kota dan memiliki hak-hak yang dilindungi oleh negara sekalipun bukan warga negara. Kata kerja dari kata ini adalah paroikein di satu pihak berarti hidup bersama-sama dan di lain pihak berarti hidup sebagai orang asing. Kitab Suci berbahas Yunani terutama menggunakan istilah paroikia berdasarkan pengertian yang lebih tua, yakni paroikos yang berarti tetangga atau orang asing seperti di atas. Dalam Kitab Suci terjemahan Septuaginta, kata paroikein diterjemahkan sebagai hidup dalam negeri asing, dan kata paroikos berarti orang asing yang hidup dalam privilese tetapi tidak memiliki hak penuh sebagai warga negara. Contoh paling kongkrit yang dapat ditemukan dalam Kitab Suci adalah Abraham yang disebut orang asing atau seorang parokial di Mesir (bdk. Kej. 12:10), di Palestina (bdk. Kej. 21:34), di Kanaan (bdk. Kej. 17:8). Tokoh lain yang dapat disebut yaitu Lot yang disebut orang asing di Sodom (bdk. Kej. 19:9). Juga Ishak di Kanaan (bdk. Kej. 26:3) dan anak-anak Yakub yang dapat disebut membentuk paroki di negeri Mesir. Jika dikaji secara lebih dekat kisah Abraham, menjadi amat kelihatan bahwa Abraham dan keturunannya sejak semula memelihara hidup religiusnya sebagai orang 2
asing di tempat yang bukan milik mereka sendiri. Dalam arti itu dapat dikatakan paroki (Abraham dan keturunannya) terbentuk sebagai jemaat yang berziarah ke suatu tujuan sebagaimana yang disabdakan Yahwe yakni Tanah Terjanji. Maka jelas bahwa istilah paroki dalam Kitab Suci tidak mengandung arti yuridis-sosiologis, namun lebih mengandung arti religius semata. Berziarah menuju ke tanah yang dijanjikan Yahwe, itulah tujuan religius mereka.1 Seluruh pengertian paroki dalam Perjanjian Lama (PL) tidak lain berhubungan dengan qahal (bahasa Ibrani) dan ekklesia (Yunani) yang berarti kumpulan atau jemaat. Ciri pertama dari jemaat itu adalah adanya panggilan bersama sebagai umat Allah (bdk. 1 Raj. 8:1-2). Dalam pertemuan jemaat itu mereka pertama-tama mendengarkan sabda Allah (bdk. Ul. 31:1-12) yang disertai penjelasan tentang sabda itu agar iman seluruh jemaat dinyatakan (bdk. Ul. 27:14-26). Semua itu harus disertai tindakan religius berupa ritus pengorbanan yang disatukan dengan doa syukur dari pemimpin upacara. Kemudian
pemimpin
upacara
mengakhiri pertemuan
itu
dengan
pengutusan.
Demikianlah pertemuan itu menjadi gambaran dari suatu kebersamaan yang bersifat universal dan demi masa depan. Gambaran itu akan mencapai kepenuhannya di dalam Kristus yang akan memanggl dan menyatukan semua menjadi kesatuan yang baru, yakni paroki universal. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru (PB) kata paroikos (bdk. Kis. 7:6; Ef. 2:19; 1 Ptr. 1:17; 2:11) dan paroikia (bdk. Kis. 13:17) serta paroikein (bdk. Luk. 24:18; Ibr. 11:9) mempunyai arti yang sama dengan pengertian dalam Kitab Suci PL. Baik dalam PL maupun PB “berziarah” memiliki makna yang penting. Hal itu jelas tampak dari peziarahan bangsa Israel dari Mesir ke tanah yang dijanjikan. Di sana Israel berhasil membentuk sebuah kerajaan yang kuat yang mencapai puncaknya ketika dipimpin oleh Salomo. Pada waktu itulah Bait Alah di mana Tabut Perjanjian disimpan secara terhormat dibangun. Seterusnya bangsa Israel selalu mengarahkan pandangannya ke Sion, kota Yerusalem, sebab Tabut Perjanjian ditempatkan di sana. Di kota suci ini mereka sebagai bangsa keturunan pengembara membentuk umat Allah, 1
JB. Mardikartono, Paroki Sepanjang Masa (Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 1989), hlm. 7. 3
qahal Yahwe. Dan ketika mereka berada di tanah pembuangan, perjalanan kembali ke Yerusalem memperlihatkan bahwa diri mereka adalah orang asing di tengah bangsabangsa. Sebab hanya Yerusalem yang menjadi tanah air mereka dan yang selalu menjadi tujuan perjalanan mereka. Di dalam PB Yesus sendiri mengadakan perjalanan dua kali menuju Yerusalem (bdk. Luk. 2:22-51; 19: 28-38). Para pengarang Injil memperlihatkan bahwa pelayanan Yesus selalu menuju dan berakhir di Yerusalem. Di sana puncak pewartaan-Nya terpenuhi dalam penyerahan diri-Nya kepada Bapa di atas kayu salib. Akhir dari peziarahan-Nya di dunia ini pun terjadi di Yerusalem yakni ketika Ia naik di ke surga. Dalam arti itu, paroki dalam Kitab Suci dimengerti bukan sebagai jemaat yang berkumpul di sekitar tempat ibadah atau wilayah tertentu. Paroki lebih-lebih dimengerti sebagai jemaat beriman yang berziarah sebagai orang asing di dunia ini menuju tempat tinggal abadi di surga.2 1.2 Paroki dalam Sejarah Paroki sudah muncul pada abad IV pada zaman Kaisar Konstantinus. Mulai pada abad ini paroki sebagaimana artinya dalam Kitab Suci mengalami pergeseran. Paroki pada waktu itu dimengerti sebagai sebuah lembaga gerejani. Ini disebabkan oleh agama Katolik ditetapkan oleh kaisar sebagai agama negara. Sebagai agama negara, penekanan pada unsur eskatologisnya perlahan menghilang. Akibatnya, Gereja dalam hal ini paroki dipahami sebagai tidak lagi menjadi asing atau hidup di tanah asing dan sementara berziarah. Paroki cenderung dipahami secara yuridis sebagai lingkungan territorial. Namun jauh sebelumnya ketika gereja-gereja setempat tumbuh dan memiliki struktur pelayanan ke luar dan ke dalam, bentuk paroki sudah ada. Yang dimaksud gereja-gereja setempat adalah Gereja perdana yang diwariskan oleh para Rasul. Gereja-gereja setempat tersebut dipimpin oleh seorang uskup yang disebut paroikias. Paroikias ini dibagi menjadi beberapa wilayah yang lebih kecil dan diketuai
2
Ibid, hlm. 9-10 4
oleh seorang imam atau beberapa imam. Tetapi uskuplah yang menjadi pemersatu seluruh Gereja setempat dalam pelayanannya.3
1.3 Paroki dalam Dokumen Konsili Vatikan II Membincang paroki dalam dokumen Konsili Vatikan II tidak bisa tidak harus dimulai dengan membincang refleksi iman Gereja tentang identitas Gereja itu sendiri terutama sebagaimana tertuang dalam Konstusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium, LG) yang dilengkapi dengan Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (GS). Kedua dokumen ini memperlihatkan perubahan pandangan tentang Gereja itu sendiri. Gereja prakonsili dipandang terutama sebagai badan sosial yang memiliki pengurus, kuasa mengajar, dan hirarki—bahkan karenanya Gereja diidentikkan dengan uskup dan para imam. Konsili Vatikan II merombak pandangan itu dengan menempatkan Gereja pertama-tama sebagai perwujudan karya keselamatan Allah di dunia. Tekanan kini pada gambaran Gereja yang mengumat, Gereja yang ada di tengah dunia dan terlibat dengan masalah-masalah yang timbul di dalam dunia. Ciri khas Gereja yang mengumat adalah Gereja yang membangun communion, artinya Gereja ingin membangun persekutuan dan partisipasi hidup orang beriman dengan saling menyokong, menerima dan membagi dalam persaudaraan. Gereja bukan lagi menjadi tujuan bagi dirinya. Sebaliknya, Gereja menjadi persekutuan yang terbuka terhadap yang lain. Gereja yang demikian adalah Gereja yang mau melibatkan dirinya dengan berbagai permasalahan masyarakat. Dalam Konstusi Liturgi Sacrosantum Consilium (SC) paroki disebut secara eksplisit. Konstitusi Liturgi memandang paroki sebagai kelompok orang beriman yang menonjol yang dipimpin oleh seorang gembala sebagai wakil uskup dan mewakili Gereja secara Nampak (Gereja yang dimaksudkan di sini adalah Gereja sebagai yang direfleksikan dalam dokumen LG dan GS di atas). Pembentukan paroki pertama-tama dilihat atas kepentingan uskup dan demi perwujudan Gereja yang kelihatan. Namun sebagai bentuk perwujudan Gereja atau pengelompokkan umat beriman, paroki tidak
3
Ibid, hlm. 12-13. 5
bisa dikatakan sebagai satu-satunya cara atau bentuk meski bentuk paroki adalah yang paling menonjol. Dalam dekrit tentang tugas kegembalaan para uskup, Christus Dominus (CD), kata paroki disebutkan sembilan belas kali. Di dalamnya dimuat kemungkinan adanya bermacam-macam paroki seperti paroki karena terbentuk oleh ritus yang sama, paroki dengan bahasa yang sama (CD 23.3) atau supraparoki baik yang menyangkut wilayah dioses tertentu maupun yang menyangkut jenis karya khusus (CD 29). Di dalamnya juga diketengahkan tugas, kerja sama dan kehidupan pastor paroki sebagai pembantu uskup dalam rangka menunaikan tugas mengajar, menguduskan dan memimpin sedemikian rupa sehingga umat beriman dan masyarakat paroki benar-benar merasa dirinya sebagai anggota baik dari dioses maupun dari seluruh Gereja universal. Akhirnya diingatkan pula dalam dekrit ini bahwa tugas paroki adalah kepentingan keselamatan jiwa-jiwa (CD 31). Dikatakan bahwa tugas penyelamatan jiwa-jiwa ini pulalah yang menjadi alasan didirikan atau ditiadakannya paroki-paroki dan perubahan sejenis dilakukan oleh uskup berdasarkan wewenangnya sendiri (CD 32).4
1.4 Paroki dalam Kitab Hukum Kanonik Dalam Kitab Hukum Kanonik, paroki dimengerti sebagai komunitas kaum beriman kristiani tertentu yang dibentuk secara tetap dalam Gereja partikular yang reksa pastoralnya di bawah otoritas Uskup diosesan, dipercayakan kepada pastorparoki sebagai gembalanya (Kan. 515). Pengertian paroki yang demikian memiliki beberapa unsur yang penting yang patut digarisbawahi. Pertama, anggota sebuah paroki adalah umat beriman kristiani dan bukan yang lainnya. Kedua, paroki berada pada ruang dan waktu yang jelas dan pasti, yakni pada wilayah tertentu (sebuah dioses) dan terdiri dari anggota-anggota umat beriman di wilayah itu. Ketiga, pemimpin paroki susah langsung ditentukan secara yuridis yakni pastor paroki dan bukan seorang atau beberapa orang awam. Keempat, paroki berada di bawah uskup. Dengan penegasan bahwa paroki berada di bawah otorita uskup diseosan maka pendirian sebuah paroki pun pembubarannya otomatis berada di bawah wewenang uskup. 4
Ibid, hlm. 24-27 6
1.5 Refleksi Teologis Dari penjelasan tentang paroki di atas, tiga prinsip teologis dapat disarikan. Pertama, paroki dilihat sebagai perwujudan Gereja setempat yang secara kongkret dan pada tempat tertentu hadir. Kedua, sebagai gereja setempat paroki mempunyai tugas perutusan struktur dasar yang tidak jauh bedanya dengan Gereja universal. Ketiga, karena paroki pada hakekatnya sama dengan Gereja, dan demikian halnya dengan tugas perutusannya, maka juga model hakekat dan tugas perutusan Gereja membentuk paroki. 2. Pastor Paroki: Memahami Keberadaannya Telah disebutkan di atas bahwa pemimpin sebuah paroki adalah pastor paroki. Mengenai pemimpin paroki ini, Kitab Hukum Kanonik menggariskan bahwa pastorparoki adalah gembala parokinya sendiri yang diserahkan kepada dirinya dan menunaikan reksa pastoral jemaat di bawah otoritas uskup diosesan yang dipanggil mengambil bagian dalam pelayanan Kristus untuk menjalankan tugas mengajar, menguduskan dan memimpin bagi jemaat itu, dengan kerja sama juga dengan imamimam lain atau diakon dan juga bantuan kaum umat beriman kristiani awam menurut norma hukum (Kan. 519). Dari pengertian tentang siapa pastor-paroki di atas menjadi nyata alasan keberadaan sekaligus fungsi dan peran dari seorang pastor paroki. Alasan keberadaan seorang pastor paroki adalah sebagai perpanjangan tangan uskup. Sementara fungsi dan peran yang dijalankan olehnya adalah fungsi dan peran pastoral, yakni pelayanan bagi penyelamatan jiwa-jiwa. Di dalam Sacrosantum Consilium (SC) alasan keberadaan, fungsi dan peranan pastor paroki ini pun ditegaskan. Bahwa pastor-paroki ada semata-mata sebagai perpanjangan tangan Uskup diosesan untuk maksud pastoral. Dengan begitu pemberian dan pemberhentian jabatan pastor-paroki merupakan hak sepenuhnya Uskup diosesan (Kan. 523 dan 538). Adapun syarat-syarat seseorang layak menjadi pastor paroki adalah (lih. Kan. 521): 1. Ia harus sudah ditahbiskan menjadi imam 7
2. Ia harus unggul dalam ajaran sehat dan moral 3. Ia harus memiliki perhatian pada jiwa-jiwa dan keutamaan-keutamaan lain 4. Ia harus mempunyai kualitas yang dituntut hukum universal dan partikular untuk membina paroki yang bersangkutan. 5. Sudah ada kepastian tentang kecakapannya menurut cara yang ditentukan oleh Uskup diosesan 6. Sudah ada kepastian tentang kecakapannya dari ujian-ujian akademik Sedangkan tugas-tugas utama yang dipercayakan kepada seorang pastor paroki adalah (lih. Kan. 528 dan 529): 1. Mengusahakan agar sabda Allah diwartakan secara utuh kepada orang-orang yang tinggal di parokinya 2. Mengusahakan agar Ekaristi menjadi pusat jemaat parokial kaum beriman 3. Mengenal kaum beriman yang dipercayakan kepada reksanya 4. Secara aktif mengembangkan peranan khas yang dimiliki umat awam dalam tugas pengutusan Gereja di tengah masyarakat. Selain tugas-tugas utama tersebut sebagai misi yang harus dilaksanakan oleh seorang pastor-paroki, ada juga fungsi-fungsi khusus yang dipercayakan kepadanya sebagai reksa pastoral. Fungsi-fungsi itu adalah (lih. Kan. 530): 1. Pelayanan baptis 2. Pelayanan sakramen penguatan kepada mereka yang berada dalam bahaya mati 3. Pelayanan viatikum (bekal suci) dan juga pengurapan orang sakit 4. Peneguhan nikah dan pemberkatan perkawinan 5. Penyelenggaraan upacara pemakaman 6. Pemberkatan bejana baptis di masa Paskah, memimpin prosesi di luar gereja, dan juga pemberkatan meriah di luar gereja 7. Memimpin perayaan Ekaristi pada hari-hari minggu dan hari-hari raya wajib.
8
3. Keuangan Paroki Setelah memahami paroki berikut hakekatnya sebagai tanda keselamatan Allah di tengah dunia dan pastor paroki sebagai pemimpinnya berikut reksa pastoral yang dipercayakan padanya, pertanyaan fundamental yang mencuat adalah bagaimana semuanya itu bisa dilaksanakan secara maksimal, efektif dan berdaya guna? Sudah barang tentu tugas-tugas perutusan paroki sebagai Gereja setempat di tengah masyarakat dan reksa pastoral pastor-paroki bisa terlaksana jika tersedia sarana pendukung yakni uang. Maka beberapa pertanyaan pantas diajukan, yakni adakah dasar yuridis yang menjamin keharusan adanya keuangan paroki? Dari mana sumber pendapatan paroki? Bagaimana pastor-paroki mengelolanya? Apakah umat awam bisa dilibatkan dalam pengelolaannya? Mana landasan teologis atau spiritualitas dari pengelolan keuangan paroki? Deretan pertanyaan ini akan dijawab pada bagian ini. 3.1 Dasar Yuridis Keuangan Paroki Buku Lima dari Kitab Hukum Kanonik yang mengatur harta benda Gereja tidak secara eksplisit dan spesifik menyebut keuangan paroki. Yang diatur di sana adalah harta benda Gereja dan pengelolaannya. Pertanyaannya di mana posisi keuangan paroki? Pada refleksi teologis paroki (lih. 1.5) telah disebutkan bahwa paroki adakah Gereja setempat yang kongkrit sehingga hakekat dan tugas perutusan Gereja universal menjadi juga hakekat dan tugas perutusan paroki. Sementara keuangan sendiri dapat dipandang sebagai salah satu bagian dari harta benda Gereja. Dengan demikian apa yang diatur dalam Buku Lima bisa diterapkan dalam lingkup paroki. Maka dasar yuridis dari pengadaan keuangan paroki adalah “Gereja Katolik mempunyai hak asli, tidak tergantung pada kuasa sipil, untuk memperoleh, memiliki, mengelola dan mengalihmilikkan harta benda guna mencapai tujuan-tujuannya yang khas” (Kan. 1254 § 1). Selain itu, “Gereja dapat memperoleh harta benda dengan semua cara yang adil baik menurut hukum kodrat maupun menurut hukum positif, sama seperti yang diperbolehkan bagi semua orang lain” (Kan. 1259). 9
3.2 Dasar Biblis Jika Gereja secara yuridis dalam hal ini paroki memiliki hak asli atas keuangan dan sah mengusahakan dan mengelolanya secara baik dan benar, maka manakah dasar biblisnya? Dalam Perjanjian Baru diceritakan bahwa Yesus dan para Rasul-Nya memiliki pundi-pundi untuk memenuhi kebutuhan mereka dan membantu orang miskin (Yoh. 12:6;13:29). Dalam Kisah Para Rasul juga terdapat kisah mengenai jemaat Kristen awal yang memperlakukan harta milik masing-masing sebagai milik bersama, atau mempersembahkan hasil penjualan tanah atau rumah mereka kepada para Rasul (Kis. 2:44-45; 4:34-35). Selain itu, Rasul Paulus pernah membawa sumbangan yang dikumpulkan oleh umat Makedonia dan Akhaya untuk membantu mereka yang miskin di Yerusalem (Kis. 15:25-28). Kisah-kisah ini mengindikasikan bahwa jalannya karya perutusan dan pelayanan baik Yesus dan para Rasul-Nya maupun Gereja perdana ditunjang oleh adanya materi dalam hal ini uang. Maka memiliki dan mengelola uang yang diperuntukkan bagi tugas perutusan adalah sebuah keniscayaan. Tetapi Kitab Suci terutama Perjanjian Baru tidak hanya berkisah tentang pentingnya materi dalam tugas perutusan. Terdapat juga dalam Injil kisah-kisah kontradiktif. Misalnya, Yesus yang melarang para murid-Nya membawa emas, perak atau tembaga dalam ikat pinggang selama mereka menjalankan tugas perutusan. Bahkan, lebih ekstrim lagi, para Rasul diminta untuk tidak membawa bekal, dua helai baju, kasut atau tongkat (Mat. 10:9-10 par). Yesus bahkan pernah meminta seorang pemuda kaya untuk menjual seluruh harta miliknya, membagikannya kepada kaum miskin dan mengikuti Yesus (Luk. 18:22 par). Yesus juga pernah bersabda bahwa barangsiapa tidak melepaskan diri dari harta miliknya, tidak dapat menjadi murid-Nya (luk. 14:33). Singkatnya, di suatu waktu Yesus berbicara dan menunjukkan dengan tindakan bahwa memiliki materi penting bagi tugas perutusan tetapi di waktu lain Ia menuntut semangat kemiskinan dari pengikut-Nya. Bagaimana memahami kenyataan ini?
10
Mengenai sikap Yesus dan cara hidup jemaat perdana sehubungan dengan kepemilikan harta benda ini, bisa ditarik tiga aspek fundamental yang bisa dijadikan legitimasi atau justifikasi bagi kepemilikan dan pengelolaan keuangan paroki. Pertama, perlu ada semangat dan mentalitas dasar yang benar, yakni kemiskinan dan pelayanan. Kedua, harus ditetapkan cara-cara yang legitim dan tepat untuk memiliki dan mengelola keuangan paroki. Ketiga, harus dirumuskan tujuan yang benar bagi setiap pemilikan dan pengelolaan keuangan paroki. Tiga aspek ini imperatif sifatnya dalam hal pemilikan dan pengelolaan keuangan paroki. Paroki memiliki dan mengelola keuangan atas dasar semangat pelayanan sambil tetap mempertimbangkan model kemiskinan injili. Dalam mengumpulkan dana, mengelola dan menyalurkannya pun harus dengan cara-cara yang baik dan benar. Dan kesemuanya ditujukan demi tercapainya tujuan-tujuan khas dari paroki sebagai tanda dan sarana keselamatan Allah di tengah masyarakat. 5
3.3 Asal-Usul Keuangan Paroki Dari mana sumber keuangan paroki? Gereja dalam hal ini paroki adalah sebuah institusi dengan roda pelayanan yang terus bergerak, dan karenanya membutuhkan sarana-sarana duniawi (dalam hal ini uang) untuk menggerakan secara terus menerus roda tersebut. Tetapi kenyataan ini tidak bisa dipakai sebagai legitimasi untuk mengais dana dari umat. Sebaliknya, pemenuhan kebutuhan paroki akan keuangan adalah hak dan kewajiban umat, yang bersumber secara langsung dan spontan dari rahmat sakramen inisiasi (baptis, krisma, dan ekaristi) yang mereka terima. Hukum Gereja secara secara jelas menggariskan bahwa semua umat beriman krisiani, tanpa terkecuali, melalui pembaptisan dipanggil untuk menjalankan perutusan yang dipercayakan Allah kepada Gereja sesuai dengan kedudukan mereka masingmasing. Dengan pembaptisan yang sama, seseorang sekaligus digabungkan dengan Gereja dan berpartisipasi dalam karya perutusannya. Selain itu, pembaptisan menempatkan umat beriman pada kedudukan yang setara dalam martabat dan dalam tugas membangun Gereja Kristus sesuai dengan kondisi khas dan tugas masing5
Lih. Ibid, hlm. 112-113. 11
masing (Kan. 208). Berdasarkan kesamaan martabat dan kebersamaan dalam tugas dan tanggung jawab itulah kaum beriman kristiani memiliki hak dan kewajiban fundamental untuk membantu memenuhi kebutuhan Gereja agar tersedia bagi mereka apa yang untuk ibadah ilahi, karya kerasulan dan amal kasih serta penghidupan yang wajar bagi para pelayan Gereja (Kan. 222 § 1). Bahkan, hal itu merupakan hak umat sendiri yang bisa mereka laksanakan secara bebas tanpa pembatasan apapun dari otoritas sipil (Kan. 1261 § 1). Jadi, hak dan kewajiban ini bersumber secara langsung dan spontan dari rasa menggereja (sensus ecclesiae) atau rasa komunitas yang sejati, yang diwujudkan dalam tanggung jawab bersama, partisipasi dan solidaritas.6 Sekalipun hak dan kewajiban itu seharusnya dihayati secara spontan oleh umat, namun sering terjadi sebagian dari mereka lupa atau lalai. Maka, tidak ada salahnya jika, otoritas gerejawi, yakni uskup diosesan, sebagaimana diatur dalam Kitab Hukum Kanonik, wajib memperingatkan umat mengenai kewajiban mereka itu, bahkan mendesak dengan cara yang tepat agar kewajiban itu mereka penuhi (Kan. 1261 § 2). “Cara yang tepat” mengandaikan analisis yang teliti dan tepat lebih dahulu mengenai kebutuhan, sumber daya, dan dana yang tersedia atau yang bisa disediakan. Cara itu tidak menggunakan model yang pemaksaan dengan kekerasan, melainkan model persuasif yang ditimba dari nilai-nilai kristiani.7 3.4. Fungsi Keuangan Paroki Dalam Kitab Hukum Kanonik (Kan. 1254 § 2) digariskan fungsi keuangan paroki, yakni: 1. Mengatur ibadah ilahi 2. Memberi sustentasi yang layak kepada klerus serta pelayan-pelayan lain 3. Melaksanakan karya-karya kerasulan suci serta karya-karya amal kasih, terutama terhadap mereka yang berkekurangan 6
Lih. Alf. Catur Raharso, Pr., “Partisipasi Umat dalam Pengelolaan Harta Benda Paroki” dalam Demokratisasi dalam Paroki: Mungkinkah?, Al. Andang Binawan (Peny.), (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 117. 7
Ibid. 12
Tujuan-tujuan khas ini jelas sekali menunjukkan bahwa kepemilikan dan pengelolaan keuangan dalam paroki semata-mata mempunyai fungsi instrumental dan sosial. Fungsi instrumental berarti bahwa harta benda [termasuk keuangan] tidak pernah menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, tetapi melulu sebagai sarana dan alat untuk mengejar tujuan-tujuan tertentu yakni mengemban dengan setia dan murni perutusan khas yang diberikan Kristus kepada Gereja… Fungsi sosial berarti bahwa kepemilikan dan pengelolaan harta benda dalam Gereja [dalam hal ini paroki] ditujukan untuk menumbuhkembangkan kehidupan dan aktivitas paguyuban umat Allah sendiri serta untuk melayani orang miskin.8
4. Pastor Paroki sebagai Pengelola Keuangan Paroki 4.1 Mengapa Pastor Paroki? Menurut hukum gereja, paroki yang didirikan secara legitim adalah badan hukum (Kan. 515 § 3). Sebagai badan hukum, paroki mengelola keuangannya melalui aktivitas pribadi-pribadi fisik yang bekerja entah secara individual maupun kolektif, yang disebut “organ” badan hukum. Hukum Gereja menegaskan bahwa pada dasarnya kompetensi untuk mengelola harta benda gerejawi dimiliki oleh orang yang secara langsung memimpin badan yang memiliki harta itu. Hanya sebagai kekecualian, hokum particular atau statuta atau kebiasaan yang legitim menentukkan lain dengan tetap berlaku wewenang ordinaris untuk campur tangan apabila pengelola lalai (Kan. 1279 § 1). Berdasarkan aturan ini, tanggung jawab pengelolaan keuangan otomatis berada di tangan pastor paroki. Ini mengingat reksa pastoral paroki diserahkan oleh uskup diosesan kepadanya. Dan reksa pastoral tersebut tidak hanya meliputi aspek sakramental, liturgis, kateketis dan karitatif saja, tetapi juga dari aspek sipil, administratif dan pidana (Kan. 515 §1). Selanjutnya hukum menentukkan bahwa yang mewakili badan hukum publik dan bertindak atas namanya ialah orang yang kewenangannya diakui oleh hukum universal atau partikular atau dalam statutanya sendiri (Kan. 118). Orang yang dimaksud itulah pastor paroki yang dalam semua urusan yuridis mewakili badan hukum paroki, menurut ketentuan hukum (Kan. 532). Dengan demikian, pastor 8
Ibid, hlm. 114-115. 13
paroki adalah organ individual atau administrator yang bertindak untuk dan atas nama badan hukum paroki. Sekalipun pengelolaan keuangan paroki berada di dalam tangan pastor paroki, keuangan paroki tetaplah menjadi milik paroki bersangkutan. Dalam hal ini, pastor paroki hanya menjalankan fungsi administrator.9 4.2 Model Pengelolaan Keuangan Paroki Dalam Buku Lima Kitab Hukum Kanonik terutama pada Kan. 1281-1288 telah diatur cara pengelolaan harta benda gerejawi termasuk keuangan paroki. Pastor paroki sebagai administrator keuangan paroki wajib menaati ketentuan tersebut. Misalnya, sebelum memulai tugasnya ia harus berjanji di bawah sumpah di hadapan ordinaris atau orang yang dikuasakan bahwa ia akan mengelola keuangan paroki dengan baik dan setia (Kan. 1283, 1º). Setelah itu yang harus dilakukan oleh seorang pastor paroki adalah: a. Mengawasi agar harta benda (dalam hal ini keuangan) yang dipercayakan kepada reksanya janganlah hilang atau mengalami kerugian dengan cara apapun; kalau perlu, untuk tujuan itu, dengan membuat kontrak asuransi b. Mengusahakan agar pemilikan harta benda gerejawi diamankan dengan caracara yang sah secara sipil c. Mengindahkan ketentuan-ketentuan hokum, baik kanonik maupun sipil, atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pendiri, atau penderma, atau otoritas yang legitim, dan terutama harus menjaga agar Gereja jangan mengalami kerugian karena tidak diindahkannya undang-undang sipil d. Menuntut secara cermat dan pada waktu yang tepat hasil harta benda serta keuntungannya; menyimpannya dengan aman dan menggunakan sesuai dengan maksud pendiri atau norma-norma yang legitim e. Membayar pada waktunya bunga pinjaman atau hipotek yang harus dibayarkan dan mengusahakan dengan baik pengembalian modal itu
9
Lih. Ibid, hlm. 118-121. 14
f. Dengan
persetujuan
ordinaris,
memanfaatkan
uang
yang
tersisa
dari
pengeluaran dan menginvestasikannya secara berguna untuk tujuan-tujuan badan hukum g. Memelihara dengan baik buku-buku pemasukan dan pengeluaran h. Membuat laporan pengelolaan pada akhir tahun i. Mengatur dan memelihara dalam arsip yang rapi dan serasi dokumen-dokumen serta barang-barang bukti yang memberikan dasar hak-hak Gereja ataupun lembaga terhadap harta bendanya; jika dapat dilakukan dengan mudah, berkasberkas yang otentik haruslah disimpan dalam arsip kuria (Kan. 1284 §1-2). Catatan penting dalam model pengelolaan keuangan paroki ini adalah pastor paroki dituntut menjadi administrator yang handal. Maka sudah sewajarnya jika seorang pastor paroki memperluas keterampilan pastoralnya sehingga bukan hanya kemahiran berkotbah saja yang dimilikinya tetapi juga keterampilan dalam managemen keuangan. Dengan managemen dimaksudkan bahwa pastor paroki harus terampil memainkan fungsi-fungsi yang melekat di dalamnya terkait pengelolaan keuangan paroki seperti perencanaan anggaran, penyusunan dan atau pengaturan anggaran, penggerakan dan pengarahan, pengawasan (termasuk di dalam fungsi terakhir ini yaitu pencegahan penyelewengan) dan pelaporan.10 Kalau pastor paroki mengelola dengan buruk maka resiko yang akan dihadapinya sesuai ketentuan hukum adalah diberhentikan dan dicabut jabatan. Kelengahan yang mengandung kesalahan, melakukan atau melalaikan perbuatan kuasa, pelayanan ataupun tugas gerejawi secara tidak legitim berkaitan dengan pengelolaan keuangan paroki dapat berujung juga pada pemberhentian dan pencabutan jabatan (Kan. 1741, 5º dan 1389 §2).
10
Lih. CH. Melchers, SJ, Management Paroki, (Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta: 1979), hlm. 6-10. 15
4.3 Peran Serta Awam Jika pastor paroki secara legitim dan sah menjadi administrator keuangan paroki, bagaimana posisi kaum awam dalam paroki tersebut? Apakah kaum awam bisa dilibatkan dalam pengelolaannya? Hukum secara jelas mengisyaratkan bahwa kaum awam mendapat tempat juga dalam pengelolaan keuangan paroki. “Di setiap paroki hendaknya ada dewan keuangan yang diatur oleh hukum universal juga oleh normanorma yang dikeluarkan uskup diosesan; dan dalam dewan keuangan itu kaum beriman kristiani dipilih menurut norma-norma itu, hendaknya membantu pastor-paroki dalam mengelola harta benda paroki, dengan tetap berlaku ketentuan kanon 532” (Kan. 537). Dari ketentuan bisa ditarik beberapa hal penting untuk digarisbawahi. Pertama, dengan kanon ini Gereja institusional menghargai peran dan martabat awam yang sejajar karena sakramen-sakramen inisiasi untuk terlibat dalam pengelolaan keuangan paroki sebagai Dewan Keuangan Paroki (DKP). Nilai komunal sebagai satu kesatuan umat Allah hendak dikedepankan di sini. Kedua, tetapi keterlibatan ini tidak serta merta atau otomatis. Syaratnya adalah sesuai dengan ketentuan atau norma yang berlaku entah itu secara universal ataupun lokal (keuskupan). Pun tidak semua umat beriman terlibat, hanya mereka yang dipilih atas dasar kompetensi yang dimiliki saja. Syarat lainnya adalah tingkat keterlibatan itu bersifat membantu dan dengan demikian bisa ditafsirkan sebagai suara konsultatif belaka. Karena sifatnya yang konsultatif, maka pastor-paroki bebas untuk menerima atau menolak pertimbangan yang diberikan oleh DKP. Konsekwensi logis di balik ini adalah pastor paroki dan DKP adalah tim kerja dalam hal pengelolaan keuangan paroki tetapi tidak berada dalam derajat yang sama. Peranan dan fungsi pastor paroki dan DKP berbeda dan tersusun secara hirarkis. Dalam hal pengambilan keputusan, DKP memberikan pertimbangan dan penilaian untuk selanjutnya dikonfirmasi dan disetujui oleh pastor paroki. Jadi, pengambilan keputusan tidak dilaksanakan dengan model voting. Model pengambilan keputusan seperti ini juga mencerminkan dimensi komunal dari Gereja.11
11
Bdk. Alf. Catur Raharso, Pr., “Partisipasi Umat dalam Pengelolaan Harta Benda Paroki”, hlm. 123-132. 16
5. Catatan Kritis Setelah menelaah konsep-konsep, ajaran-ajaran dan ketentuan-ketentuan gerejawi tengtang pengelolaan keuangan di paroki, beberapa catatan kritis pantas diangkat. Catatan kritis ini lebih sebagai hasil pengamatan kami selama bertahun pastoral tentang praktek pengelolaan keuangan di paroki. Karena itu catatan kritis ini bisa dibaca sebagai masukan tetapi juga sekedar menyebut tantangan riil di medan pastoral a. Umat sangat terbatas kemampuan finansialnya sehingga tingkat partisipasinya pun amat rendah dan minim. Pastor paroki ‘terpaksa’ secara kreatif mengusahakan sendiri keuangan paroki, tak jarang melalui jalur bisnis. Soalnya adalah cara tak jarang menjadi problematis karena tujuannya amat terbuka terhadap pemenuhan kepentingan-kepentingan yang bukan bersifat parochial. b. Ketidaksiapan para imam terutama pastor paroki untuk memegang kendali sebagai administrator keuangan paroki. Ketidaksiapan ini baik dalam hal mental. Bisa jadi ini disebabkan oleh ketidakbiasaan mengelola uang dalam jumlah yang relatif besar sekaligus. Tetapi juga ketidaksiapan dalam hal teknis management. Jelas ini terjadi karena pendidikan formal untuk mempersiapkan calon imam dalam bidang management keuangan. Dengan sendirinya tantangan ini menjadi masukan bagi Sekolah Tinggi untuk memasukan kurikulum management ke dalam silabus semester mahasiswa. c. Ketidakselarasan
antara
semangat
pelayanan
dan
kemiskinan,
cara
mengumpulkan dana dan pengelolaannya dan tujuannya pemakaiannya untuk penyelamatan jiwa-jiwa. Tak jarang ditemukan ada penyelewengan keuangan oleh pastor paroki untuk kepentingan tertentu yang bukan untuk kebaikan paroki. d. Pengelolaan keuangan di paroki oleh pastor paroki masih bersifat tertutup, rahasia, dan “disimpan sendiri semua laporannya alias umat tidak perlu tahu”. Seyogyanya (jika tidak seharusnya) diterapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan paroki.
17
e. Pastor paroki tidak memberdayakan secara maksimal kompetensi yang dimiliki Dewan Keuangan Paroki sehingga kesannya ‘single fighter’. Keberadaan DKP pun dirasakan hanya formalitas belaka. f. Di sisi lain, peran DKP bisa jadi terlalu dominan bahkan mendominasi sehingga suara DKP tidak lagi bersifat konsultatif, pengambilan keputusan ditempuh dengan cara voting dan tidak mengindahkan konfirmasi dan persetujuan pastor paroki. Peran DKP menjadi sangat superior terhadap pastor paroki. Karena itu perlu dibuat statute yang lebih tegas dan jelas mengenai posisi hirarkis, pembagian peran dan tanggung pastor paroki dan DKP.
Penutup Pada awalnya adalah seorang beriman yang dipanggil untuk menjelajah negeri asing dan tinggal di sana. Dari sana cikal bakal paroki lahir. Setelah mengalami sejumlah pergeseran makna dan bentuk, kini Gereja tampil dalam wajah yang mengumat dan memasyarakat. Tujuan utamanya adalah demi penyelamatan jiwa-jiwa. Dan tujuan luhur itu tentu saja membutuhkan sarana-sarana duniawi, yakni uang untuk memungkinkan berjalan lancar. Paroki sebagai badan hukum secara legitim bisa memiliki dan mengelola sendiri di bawah koordinasi penuh pastor paroki. Tentu saja di depan mata masih terbentang tantangan-tantangan yang menghadang. Bahkan tak jarang menghambat dan menghentikan gerak maju Gereja lokal dalam tugas penyelamatan jiwa. Tugas berat ke depan adalah mempersiapkan imam-imam yang mempuni di bidang pengelolaan keuangan dan menyadarkan umat akan peran sertanya dalam gerak pelayanan Gereja. Hanya dengan demikian tujuan Gereja sebagaimana diidealkan dapat terlaksana.
18
Daftar Pustaka Catur Raharso, Pr. Alf. “Partisipasi Umat dalam Pengelolaan Harta Benda Paroki”. Dalam Demokratisasi dalam Paroki: Mungkinkah?, Al. Andang Binawan. Peny. Yogyakarta: Kanisius, 2005. Konferensi Waligereja Indonesia. Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia, 2006. Mardikartono, JB. Paroki Sepanjang Masa. Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 1989. Melchers, SJ, CH. Management Paroki. Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta: 1979.
19