MEWUJUDKAN PARIWISATA KERAKYATAN DI KABUPATEN BADUNG MELALUI PENGEMBANGAN PARIWISATA PEDESAAN Oleh: I Made Bram Sarjana (
[email protected]) & Anak Agung Gede Raka Yuda (
[email protected]) Pemerintah Kabupaten Badung, Provinsi Bali Pembangunan
di
Kabupaten
Badung
dilaksanakan
untuk
mewujudkan
kesejahteran masyarakat, dengan memberdayakan seluruh potensi sosial-ekonomi yang tersedia. Gerak laju pembangunan ini didukung oleh beragam sumberdaya alam berupa pertanian dalam arti luas, peternakan, perikanan, keindahan alam dan lingkungan, sumber daya budaya, serta potensi sumber daya manusia Kabupaten Badung. Secara umum terdapat tiga sektor yang menjadi penggerak utama pembangunan di Kabupaten Badung, yaitu sektor primer berupa sektor pertanian dalam arti luas, sektor sekunder berupa industri kerajinan, serta tersier berupa jasa kepariwisataan. Dalam perkembangannya, struktur perekonomian Kabupaten Badung mengalami perubahan yang cukup drastis, karena mengalami suatu lompatan dari yang sebelumnya didominasi oleh sektor primer, dalam dua dekade berakhir justru langsung
didominasi sektor
tersier, yaitu pariwisata, tanpa terlebih dahulu mengalami fase bertumpu pada sektor sekunder (industri kerajinan). Kini sektor pariwisata bahkan telah menjadi tulang punggung perekonomian daerah dan memiliki pengaruh yang besar terhadap pergerakan sektor pertanian dan industri kerajinan. Akibatnya, penduduk Kabupaten Badung dengan berbagai latar belakang mata pencaharian memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan sektor pariwisata. Sesuai dengan tujuan umum pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Badung, maka pembangunan sektor pariwisata juga ditujukan untuk menjadi penggerak berbagai potensi sosial ekonomi yang ada guna memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan masyarakat. Oleh karena itulah pariwisata yang dikembangkan di Kabupaten Badung
adalah pariwisata budaya yang berbasis masyarakat, serta
memperhatikan aspek pelestarian lingkungan. Hal ini bermakna bahwa pariwisata yang dikembangkan dibangun atas dasar kekuatan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang melindungi lingkungan, serta melibatkan langsung masyarakat sebagai pelakupelaku usaha pariwisata. Pola pengembangan pariwisata seperti itu secara luas di kalangan komunitas keilmuan pariwisata dikenal sebagai pariwisata berkelanjutan yang berbasis masyarakat (sustainable community based tourism).
Pola pengembangan pariwisata seperti itu juga sejalan dengan perkembangan pariwisata di masa kini dan masa depan, yang tidak lagi bercorak pariwisata massal (mass tourism) yang cenderung lebih mementingkan aspek kuantitas, melainkan pariwisata berkualitas (quality tourism) yang berupaya lebih mengedepankan kualitas. Mass tourism ditandai dengan pembangunan sarana akomodasi berskala besar, seperti resort, hotel-hotel berbintang dengan jumlah kamar besar yang tentunya juga hanya dapat dilakukan oleh investor besar, baik dari dalam maupun luar negeri, dengan menggunakan lahan yang cukup besar pula. Dari segi volume besar, namun dari segi daya beli (spending power) tidak sebesar quality tourism. Kondisi inilah yang menyebabkan belakangan ini Bali dicap sebagai destinasi dengan “tarif murah” bila dibandingkan dengan tarif jasa pariwisata di negara asal wisatawan atau di negara lainnya. Berbeda dengan mass tourism, dari segi volume quality tourism tidak terlalu besar, namun dari segi spending power justru lebih besar. Hal ini tidaklah mengadangada, karena berdasarkan survei yang dilakukan oleh Green Globe 21, sebuah lembaga sertifikasi untuk pariwisata yang ramah lingkungan, wisatawan di negara-negara kaya justru bersedia membayar beberapa dolar lebih mahal daripada harga standar untuk suatu jasa kepariwisataan yang ramah lingkungan. Bagi mereka, melaksanakan aktivitas kepariwisataan yang ramah lingkungan justru menjadi nilai tambah tersendiri. Untuk itu kita perlu mempelajari, produk-produk seperti apa dan kondisi-kondisi seperti apa pula yang perlu diciptakan untuk dapat menarik wisatawan bertipe quality tourism ini. Pola pembangunan pariwisata massal telah tidak mampu membuat pariwisata menjadi faktor leverage peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Kabupaten Badung secara optimal, karena hanya membuat masyarakat lokal berada di pinggiran sistem. Masyarakat tidak menjadi pelaku/pemilik usaha, hanya menjadi pekerja, sehingga mereka hanya menikmati bagian terkecil dari transaksi ekonomi yang terjadi dalam industri pariwisata. Kemajuan-kemajuan ekonomi yang terjadi akibat perkembangan pariwisata lebih bersifat ilusi, karena bagian terbesar keuntungan yang didapatkan dari industri pariwisata kembali kepada para pemilik modal di luar negeri maupun dari luar daerah. Kondisi ini nyata terjadi di Kabupaten Badung, dimana usaha-usaha jasa pariwisata yang besar, baik hotel, restoran, biro perjalanan wisata, sebagian besar dimiliki oleh pelaku usaha dari investor asing maupun Jakarta, bukan masyarakat lokal. Dampak merugikan lainya juga muncul dari aspek tata ruang akibat terjadinya konversi peruntukkan tata ruang. Dengan pola ini pula, teori trickle down effect tidak terjadi, karena yang terjadi bukanlah efek rembesan yang selanjutnya mendorong kemajuan di tingkat lokal, melainkan hanya tetesan-tetesan kepada masyarakat lokal. Mengutip hasil survei tim asesor Tri Hita Karana Awards & Accreditations (THK Awards) bidang pawongan seperti diterangkan Asrama (2006), hanya 1,79% orang Bali 2
(Hindu) yang menduduki posisi pimpinan, pekerja luar Bali berada di peringkat kedua, sedangkan pekerja asing adalah yang teratas yang 70% berada di posisi puncak. Kondisi tersebut hanyalah untuk usaha perhotelan. Sedangkan secara umum untuk berbagai bidang usaha kepariwisataan di Bali pekerja asing menempati posisi teratas (85,71%), luar Bali (kedua), sedangkan pekerja lokal Bali berada pada posisi terbawah (3,53%). Ini tentu suatu ironi, mengingat nilai investasi dan penyerapan tenaga kerja di sektor pariwisata yang terbesar terdapat pada sektor perhotelan, dengan jumlah trilyunan dan menyerap belasan ribu tenaga kerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat lokal belum merasakan manfaat yang optimal dari keberadaan pariwisata. Berdasarkan atas pengalaman-pengalaman di masa lalu tersebut, maka kini Pemerintah Kabupaten Badung tengah berupaya memformulasikan suatu program untuk mengembangkan pembangunan pariwisata entah apapun namanya, yang diarahkan untuk dapat lebih ramah lingkungan, memberdayakan potensi masyarakat lokal, serta meminimalkan perubahan tata ruang sesuai dengan tuntutan quality tourism. Salah satu upaya yang tengah dirintis adalah dengan mengembangkan pariwisata pedesaan (village tourism) melalui keberadaan desa-desa wisata. Pariwisata pedesaan yang dimaksud di sini adalah pengembangan aktivitas kepariwisataan di daerah pedesaan dengan mengelola suasana kehidupan sosial ekonomi pedesaan sebagai daya tarik wisata. Pariwisata pedesaan tidak mengubah wajah desa yang sebenarnya, karena justru ”menjual” aktivitas keseharian masyarakat sebagai objek dan daya tarik wisata. Wisatawan yang menikmati atraksi wisata pedesaan mengikuti dan menikmati secara langsung suasana kehidupan di desa setempat. Berbagai potensi dan keunikan yang dimiliki masyarakat desa dikelola dengan suatu manajemen yang jelas, sehingga muncul suatu prasyarat dasar terjadinya suatu aktivitas wisata, yaitu adanya something to see (sesuatu objek keindahan/daya tarik untuk dilihat), something to do (suatu aktivitas yang dilakukan), something to buy (sesuatu untuk dibeli), dan tentu saja something to memorize (suatu pengalaman tak terlupakan untuk dikenang). Dengan demikian, masyarakat desa setempat tidak akan mengubah gaya dan pola hidupnya. Penggiat usaha tani tetap bertani, peternak tetap beternak, perajin menjadi tetap perajin. Demikian pula aktivitas seni budaya dan adat, tetap berjalan seperti biasa. Wisatawan yang datang menjadi pengamat (observer) sekaligus pelaku (participant) aktivitas peri kehidupan masyarakat setempat. Dalam aktivitas wisata pedesaan ini tidak pula dibangun akomodasi wisata berskala besar. Sesuai dengan hakekatnya untuk menjadikan masyarakat lokal sebagai pelaku usaha serta tidak mengubah wajah desa, maka bila melalui wisata pedesaan ini selanjutnya muncul kebutuhan terhadap adanya akomodasi wisata, baik berupa penginapan atau rumah makan, maka rumah-rumah penduduklah yang dikelola dan dikembangkan sebagai akomodasi. Dalam hal ini tentu saja harus dilakukan penyesuaian3
penyesuaian, agar suasana permukiman tradisional masyarakat setempat tetap terjaga, namun aspek-aspek kualitas layanan, higienis, sanitasi, ketertiban dan kenyamanan juga terpenuhi. Untuk mengembangkan pariwisata pedesaan ini aspek perencanaan pariwisata (tourism planning) tentu perlu diperhatikan, agar pengembangan yang dilakukan dapat mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Inskeep, seorang ahli perencanaan pariwisata World Tourism Organization (WTO) merumuskan tahap-tahap perencanaan pariwisata sebagai berikut: Tourism Planning Process (WTO: 2004)
Study preparation
Analysis and synthesis
Determination of objectives
Survey of all elements
Formulation of other recommendations
Policy and plan formulation
Implementation and monitoring
Selanjutnya untuk mengembangkan wisata pedesaan di Kabupaten Badung konsep Inskeep ini tidak sepenuhnya diadaptasi, namun dilakukan sejumlah penyesuaian sesuai kondisi dan kebutuhan. Oleh karena itu tahap-tahap kegiatan yang dilaksanakan yaitu: 1. Penyusunan kriteria. Pada tahap ini dilakukan penelusuran/studi literatur yang berkenaan dengan wisata pedesaan guna mencari kriteria-kriteria apa yang diperlukan keberadaanya untuk pengembangan wisata pedesaan. Misalnya aspek aksesibilitas, infrastruktur (jalan,listrik,air,telepon), sosial budaya, psikologi masyarakat setempat, keamanan dan ketertiban, kebersihan & kelestarian lingkungan, dll. Pada tahap ini dapat dilibatkan pula tenaga ahli dari perguruan tinggi/lembaga penelitian. 2. Observasi dan inventarisasi terhadap potensi wilayah setempat. Pemerintah dalam hal ini Dinas Pariwisata melakukan observasi terhadap desa-desa di wilayah Kabupaten Badung yang memiliki kriteria dan potensi sesuai kriteria dari studi literatur di atas. Dalam tahap ini juga dilakukan kajian terhadap pembuatan zonasi di wilayah desa setempat mengenai di mana boleh membangun apa, merujuk pada tata ruang desa dan kecamatan. Kondisi-kondisi yang ditemukan dalam observasi ini selanjutnya dimasukkan dalam Daftar Inventarisasi Masalah sebagai dasar persiapan pengembangan wisata pedesaan.
4
3. Penetapan desa-desa pengembangan. Desa-desa yang memenuhi kriteria selanjutnya
ditetapkan
sebagai
desa-desa
pengembangan
sebagai
prototipe/proyek percontohan untuk pengembangan pola yang sama di lokasi lainnya di masa datang. 4. Pelatihan, pembinaan kepada warga di desa terpilih. Pada tahap ini dilakukan pembinaan dan pelatihan teknis kepada masyarakat guna menyiapkan masyarakat terhadap muncul aktivitas kepariwisataan di lingkungannya. Pelatihan dan pembinaan ini meliputi materi seperti pemahaman bahasa asing, komunikasi lintas budaya (cross cultural communication), pemahaman budaya lokal, kewirausahaan lokal (penginapan, rumah makan/warung makan, usaha pijat, pengobatan tradisional/usadha, kursus tari, kursus masakan tradisional, kursus membuat banten, kursus mematung, kursus melukis, kursus mekidung, kursus menabuh, warung telekomunikasi/internet, atraksi membajak sawah, atraksi bercocok tanam, dll), sanitasi dan higienis, dll. Juga dilakukan pembentukan kelompok sadar wisata dari masyarakat setempat sebagai forum untuk bertukar pikiran, berlatih, serta mengembangkan dan memberikan pemahaman mengenai aspek-aspek budaya wisata kepada anggota masyarakat lainnya di wilayah setempat. Kelompok ini bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan aparat desa juga menyusun profil wisata desa setempat sebagai bahan panduan dan tawaran aktivitas bagi wisatawan yang akan berwisata ke daerah tersebut. Pada tahap ini juga dirancang pola koordinasi yang berkenaan dengan pengamanan dan ketertiban desa dengan akan munculnya aktivitas pariwisata, yang merujuk pula awig-awig desa setempat, agar aktivitas kepariwisataan nantinya tidak berseberangan dengan norma adat/budaya, aturan-aturan setempat. Pada tahap ini dapat dilibatkan pula tenaga ahli dari perguruan tinggi/lembaga penelitian atau praktisi pariwisata. 5. Penataan desa. Ini dilakukan untuk mempercantik wajah desa sehingga memiliki nilai tambah, misalnya pembersihan lingkungan, penataan jalan, perumahan, dll. Penataan ini dilakukan dalam beberapa kali kegiatan sesuai kondisi setempat sehingga tidak ada wilayah yang berpotensi menyebarkan penyakit bagi wisatawan, termasuk juga untuk memproteksi masyarakat desa sendiri dari ancaman penyakit akibat perilaku hidup yang tidak sehat (kolera, disentri, demam berdarah, flu burung, chikungunya, penyalahgunaan narkoba dan mikol, HIV/AIDS, dll). 6. Pembentukan desa wisata. Setelah beberapa langkah persiapan tersebut selanjutnya
desa-desa
terpilih
ditetapkan
sebagai
Desa
Wisata,
untuk
mewujudkan suasana baru, sekaligus kesiapan fisik dan psikologis masyarakat untuk menerima kedatangan wisatawan/munculnya aktivitas kepariwisataan di 5
wilayahnya. Tahap ini menjadi bagian dari penguatan institusi di tingkat setempat yang akan membantu pengembangan dan pengelolaan aktivitas kepariwisataan di desa. 7. Promosi dan Pemasaran. Pemerintah membantu menjalin keterhubungan antara desa-desa wisata yang telah dibentuk dengan biro-biro perjalanan wisata. Berdasarkan kajian/observasi yang telah dilakukan pemerintah menyodorkan informasi lengkap perihal tawaran daya tarik/aktivitas yang dapat dilakukan wisatawan pada desa-desa wisata setempat. Berdasarkan langkah-langkah perencanaan tersebut di atas, saat ini telah terindentifikasi beberapa desa yang berpotensi dikembangkan menjadi desa wisata, sebagai lokasi aktivitas wisata desa. Desa-desa tersebut adalah Desa Pelaga di Kecamatan Petang, Desa Bongkasa Pertiwi, khususnya Banjar Karang Dalem di Kecamatan Abiansemal, Desa Sangeh di Kecamatan Abiansemal, Desa Kapal dan Gulingan di Kecamatan Mengwi. Ragam aktivitas yang dapat dilaksanakan wisatawan di desa-desa tersebut amat beragam, seperti cross country di seputar desa dengan menggunakan wahana All Terrain Vehicle (ATV) seperti yang telah mulai berkembang di Banjar Karang Dalem I, Desa Bongkasa Pertiwi, Abiansemal. Banyak kegiatan lainnya yang diangkat langsung dari kehidupan sehari-hari masyarakat juga dapat dikembangkan lebih lanjut seperti atraksi bercocok tanam, berkebun, memanen hasil tani, kursus masakan dan tari, belajar membuat alat barang-barang kerajinan khas desa setempat, yang pada intinya mengarahkan wisatawan untuk berpartisipasi, tidak sekadar menjadi pengamat. Dengan pola seperti ini maka diharapkan unsur kenangan dan pengalaman yang didapatkan wisatawan yang berkenaan dengan wisata desa ala Bali menjadi daya tarik yang utama. Terkait dengan isu promosi dan pemasaran seperti tercantum pada tahap pengembangan nomor 7 di atas, Dinas Pariwisata tengah mengupayakan adanya kerja sama antara pengelola hotel/villa dan biro perjalanan wisata dalam memasarkan produk pariwisata desa ini. Dalam hal pengisian akomodasi misalnya, saat terjadi kondisi fully booked pada hotel maupun Villa, limpahan wisatawan yang tidak tertampung ini diarahkan untuk dapat memanfaatkan rumah-rumah penduduk di desa wisata dimaksud untuk menginap. Ini tentu sebagai entry point saja. Selanjutnya bila masyarakat setempat dapat mengelola potensi desanya dengan baik sehingga daya tariknya kian meningkat, maka wisata desa ini akan semakin terpromosikan. Bila wisata pedesaan ini telah dapat berjalan, maka di masa depan nampaknya pola sertifikasi semacam THK Awards seperti yang telah diterapkan pada hotel dan objek wisata juga dapat diterapkan, guna memastikan aktivitas kepariwisataan yang dilaksanakan di desa tidak menimbulkan dampak negatif, serta sesuai dengan prinsip-prinsip Tri Hita Karana yang memang menjadi roh pelaksanaan pembangunan segala bidang di Kabupaten Badung.
6
Sedangkan untuk promosi, Dinas Pariwisata Kabupaten Badung akan berupaya mempromosikannya dalam berbagai ajang promosi pariwisata baik di dalam maupun di luar negeri, serta melalui pemanfaatan teknologi informasi berupa website informasi kepariwisataan Kabupaten Badung yang tengah diupayakan pembuatannya oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, maupun melalui suatu website komunitas, yang nantinya dibuat dan dikelola sendiri oleh kelompok-kelompok sadar wisata di desa-desa wisata di Badung. Melalui pengembangan wisata pedesaan ini diharapkan masyarakat lokal akan semakin mendapatkan manfaat optimal dari keberadaan pariwisata. Pola seperti ini nampaknya juga sejalan dengan tren quality tourism, yaitu suatu aktivitas kepariwisataan yang amat mengapresiasi keunikan dan kekhasan khasanah budaya lokal, aspek pelestarian lingkungan, serta aspek kemanfaatan bagi masyarakat setempat. Melalui wisata pedesaan ini maka terdapat sejumlah sasaran yang dapat dicapai secara bersamaan yaitu pariwisata kerakyatan guna mengurangi kemiskinan, pariwisata berkelanjutan yang ramah lingkungan sehingga tidak berdampak buruk bagi masa depan, serta berkualitas karena dapat mendorong penguatan sosial ekonomi budaya masyarakat. Hal ini tentu tidaklah mudah untuk diwujudkan, karena diperlukan persiapanpersiapan dan kajian-kajian lebih lanjut yang matang terhadap aspek sosial-ekonomi budaya, dan psikologi masyarakat desa yang akan mengembangkan diri menjadi objek wisata pedesaan, agar pariwisata pedesaan ini di kemudian hari tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru di pedesaan atau justru hanya memindahkan persoalan yang telah terjadi di wilayah urban ke pedesaan. Inovasi-inovasi melalui pembuatan produk-produk pariwisata yang baru memang harus dilakukan, agar pariwisata di Kabupaten Badung yang menjadi tulang punggung perekonomian dapat berjalan secara berkelanjutan. Konsep siklus hidup pariwisata oleh Butler (Butler’s tourism life cycle) mengajarkan pada kita bahwa pada ujung kurva S, sebuah destinasi setelah memasuki fase stagnation akan dihadapkan pada fase rejuvenate (peremajaan) sehingga dapat berjalan terus atau decline (pelemahan) sehingga akhirnya perlahan-lahan mati. Kita berharap semua stakeholder pariwisata dapat melakukan langkah-langkah inovatif ini, demi masa depan masyarakat Kabupaten Badung dan masa depan pariwisata itu sendiri.
7
Aktivitas wisatawan menyusuri jalan desa (cross country) di Banjar Karang Dalem I, Desa Bongkasa Pertiwi dengan All Terrain Vehicle (ATV). (Foto koleksi: Diparda Kab. Badung).
Rumah masyarakat di Desa Karang Dalem I yang telah dibenahi sehingga dapat difungsikan sebagai sarana akomodasi bagi wisatawan peminat wisata pedesaan (Foto: koleksi Diparda Kab. Badung).
8