Paper Mikrobiologi

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Paper Mikrobiologi as PDF for free.

More details

  • Words: 6,461
  • Pages: 27
PAPER MIKROBIOLOGI

PROSEDUR DIAGNOSTIK DENGAN METODE KLASIK DAN METODE MOLEKULER

oleh : SURYATI C151070061

MAYOR ILMU AKUAKULTUR SEKOLAH PASCASARJANA FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

PENDAHULUAN

Virus merupakan agensia infeksi non-seluler dan hanya dapat melakukan multiplikasi dalam sel inang. Virus berukuran sangat kecil yaitu bervariasi dari 18 – 200 nm, sehingga hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop elektron. Berbeda dengan parasit intraseluler lainnya, virus menggunakan sel inang sepenuhnya untuk reproduksinya karena virus tidak memiliki organela.

Untuk dapat bertahan di

lingkungan, virus harus mampu berpindah dari inang satu ke inang lainnya, menginfeksi dan replikasi pada inang yang sesuai. Karena ukuran virus sangat kecil, menyebabkan virus sulit dideteksi.

Ada

sejumlah teknik yang biasanya digunakan untuk identifikasi awal virus, yaitu : 1. menggunakan mikroskop elektron untuk memvisualisasi virus di dalam sel-sel jaringan. 2. Menumbuhkan virus di laboratorium menggunakan cell line, yaitu melakukan kultur sel jaringan ikan di laboratorium (in vitro). 3.

Identifikasi virus menggunakan teknik serologi, menggunakan serum dari hewan inang yang mengandung antibodi spesifik terhadap virus tertentu. Dengan demikian manakala virus (sebagai antigen) kontak dengan serum akan terjadi aglutinasi sebagai respon antibodi terhadap antigen.

4. Menggunakan PCR dan sequencing DNA. 5. Secara imunokimia/imunositokimia. Virus seringkali bersifat spesifik pada jaringan tertentu atau spesies tertentu. Keadaan ini menyebabkan kesulitan dalam penggunaan cell lines karena hingga saat ini jenis jaringan dan ikan yang dikultur selnya secara in vitro terbatas pada jenis-jenis yang sangat berarti secara ekonomis, misalnya ikan trout pelangi (Oncorhynchus mykiss) dan salmon atlantik (Salmo salar). Saat ini penelitian mengenai pengembangan mengenai primary cell lines dari ikan mas (Cyprinus carpio) dan koi (C.carpio ssp. Koi) telah dilakukan di Indonesia sebagai respon wabah koi herpes virus yang menimbulkan kerugian yang sangat besar pada tahun 2002. Penggunaan teknik serologi untuk pengenalan inveksi virus menghadapi kendala karena antibodi baru dapat tersedia manakala virus dapat diisolasi dan dikembangkan

3

melalui cell lines. Dengan demikian pengenalan bahwa wabah berasal dari infeksi virus umumnya dikenali melalui pengamatan dengan elektron mikroskop sekaligus pengamatan karakter atau gejala-gejala yang ditunjukkan oleh hewan.

Bentuk

pengenalan lain yang dapat dilakukan yaitu penggunaan PCR serta imunokimia.

PROSEDUR DIAGNOSTIK A. METODE KLASIK 1. Melihat gejala klinis Material sample untuk pengujian virus tergantung pada ukuran hewan maupun tujuan dari pengujian, misalnya diagnosis overt diseases (penyakit yang gejala klinisnya nyata) atau deteksi ikan pembawa penyakit (carier(tanpa gejala)). Sunarto et al., (2005) menyatakan gejala klinis ikan terinfeksi adalah latergik, hilangnya keseimbangan dan megap-megap.

Gejala umum meliputi epitel

terkelupas dengan kehilangan mukus dan kulit tampak kasar, atau lesi mirip melepuh pada kulit, pendarahan (haemorages) pada operculum, sirip, ekor dan perut dan beberapa kerusakan insang. Gejala eksternal serangan KHV tampak pada ikan sakit seperti pembengkakan dan nekrosis filamen insang, produksi mukus berlebihan atau adanya bercak warna pada kulit dan eksoptalmus. Secara internal terjadi pembesaran ginjal dan limpa ikan (Hedrik, et al., 2005). Menurut Tauhid et al (2004) bahwa serangan koi herves virus menunjukkan gejala-gejala yaitu : (1). Produksi lendir (mucus) berlebih sebagai respon fisiologis terhadap kehadiran patogen, selanjutnya produksi lendir menurun drastis sehingga tubuh ikan terasa kasat,(2). Insang berwarna pucat dan terdapat bercak putih atau coklat (sebenarnya adalah kematian sel-sel insang atau nekrosis insang), selanjutnya menjadi rusak, geripis pada ujung tapis insang dan akhirnya membusuk. Secara makroskopis menunjukkan adanya kerusakan jaringan yang serius serta kematian sel yang berat, (3). Pendarahan (haemorage) disekitar pangkal dan ujung sirip serta permukaan tubuh lainnya,(4). Adanya kulit melepuh, (5). Hati berwarna pucat selanjutnya menjadi rusak, (6). Ginjal (anterior dan posterior) berwarna pucat.

4

Jika ditemukan gejala-gejala klinis adanya infeksi, maka selain dari bagian isi perut, organ lainnya yang diambil adalah ginjal anterior, limpa (spleen) dan enchepalon untuk kegiatan pemeriksaan virus. Sampel dari sepuluh ekor ikan yang terinfeksi diambil dan digabungkan sehingga membentuk kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 ekor ikan (maksimum). Jumlah material adalah sekitar 1,5 gram/kelompok material yang terdiri dari 5 ekor ikan. Untuk mendeteksi ikan yang mungkin menjadi media pembawa penyakit (carier) sampel dapat digabungkan ke dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 5 ekor ikan (maks) per kelompok dengan total material sekitar 1,5 gram/kelompok. Kelompok sampel yang berupa cairan ovarian dari lima ekor induk ikan tidak boleh melebihi total volume 5 ml, misalnya 1 ml/induk ikan. Sampel cairan ovarian ini harus diambil secara individual dari setiap induk betina, dan tidak boleh diambil setelah ovumnya di pool. Setelah secara aseptis dikeluarkan dari ikan, sampel organ dan atau cairan ovarium masing-masing dipisahkan jika sampel ini akan digunakan untuk pemeriksaan virus.

2. Pengujian langsung dengan mikroskopis Pengamatan organ tubuh inang dengan cara pembedahan terhadap inang yang terkena virus lalu dilakukan pengamatan dengan mikroskop untuk melihat peradangan (hemorhagik dan pembengkakan pembuluh darah), pertumbuhan jumlah sel yang berlebihan (tumor), degenerasi (intoksikasi dan defisiensi) dan pembentukan yang salah (traunata dan pembengkakan anomatrik). Menurut Hendrik et al (2000) penyakit KHV menyebabkan kematian yang besar dan bersifat sporadis pada ikan koi dan mas. Hasil penelitian menggunakan mikroskop menunjukkan bahwa ikan mas yang terinfeksi memperlihatkan adanya kelainan pada insang dan organ internal sepeprti ginjal, limfa, jantung dan saluran pencernaan. Pada insang terjadi hipertropi, hiperlasia dan fusi pada lamela sekunder insang.

3. Mengisolasi dan mengkulturkan

5

Material dan produk biologis yang diperlukan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi pathogen ikan. Virus-virus ikan a. Cell line ikan Jenis-jenis cell line ikan yang diperlukan untuk pengujian pathogen pada ikan yang masuk dalam daftar OIE antara lain adalah :  Bluegill fry (BF-2)  Channel Catfish Ovary (CCO)  Chinnok Salmon Embryo (CHSE-214)  Epitheluoma Populosum Cyprini (EPC)  Rainbow Trout Gonad (RTG-2) Informasi teknis mengenai penggunaan cel line ini untuk mengisolasi pathogen ikan yang termasuk dalam daftar OIE dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Informasi teknis mengenai cell line ikan yang paling sesuai untuk mendeteksi agen-agen virus yang masuk dalam daftar OIE.

Karakteristik Morfologi sel

BF-2 Fibrola stik

CCO Fibrola

Jenis Cell Line CHSE-214

RTG-2

EPC

Epitheloid

Fibrola stik

Epitheloid

stik/Epitheloid Kisaran suhu (ºC) Suhu Pertumbuhan Optimum (ºC) Inoculum (∑ sel x 10 4/cm²) Densitas Saturasi

15 - 28

15 -35

4 – 25

4 – 25

10 – 33

20

30

20

20

30

20

35

50

40

30

150

300

300

200

300

6

(∑ sel x 104/cm)

b. Media Kultur Jenis medium paling umum digunakan untuk pembiakan sel kultur ikan adalah Eagle’s minimal essential medium (MEM) yang terdiri dari garam Earle (Earle’s salt) yang ditambah dengan 10 % fetal calf serum, antibiotic dan 2 mM L-glutamine. Medium stoker yang merupakan modifikasi MEM memiliki konsentrasi asam amino dan vitamin yang dua kali lebih kuat dianjurkan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan sel dengan menggunakan suplemen yang sama dengan MEM dan ditambah dengan 10 % trytose phosphate. Medium-medium ini dibuffer baik dengan sodium bikarbonat, 0,16 M trishydroxymethyl aminomethane (Tris) HCL atau dengan 0,02 M asam N-2hydroxyethil-piperazine-N-2-ethanesulfonic

(HEPES).

Penggunaan

sodium

bicarbonate saja, hanya terbatas pada kultur sel yang dibuat dalam botol yang tertutup rapat. Untuk pertumbuhan sel, pada umumnya digunakan sekitar 10 % serum fetal bovine pada medium, tetapi untuk pengisolasian atau produksi virus jumlah ini dapat dikurangi hingga 2 %. pH medium untuk pembiakan sel adalah sekitar 7,2 – 7,4 sedangkan untuk kegiatan pengisolasian atau produksi virus nilai pH ini diubah menjadi sebesar 7,6. Penyiapan kontrol positif dan antigen virus : 1. Nama Virus -

Epizootic haemotopoietic necrosis virus (EHNV)

-

European Catfish Virus (ECV)

-

European Sheatfish Virus (ESV)

-

Infectios Haemotopoietic Necrosis Virus (IHNV)

-

Oncorhynchus Masau Virus (OMV) (alias Salmonid herpesvirus tipe-21)

-

Spring Viraemia of carp virus (SUCV)

-

Viral Haemorragic Septicaemia Virus (VHSV) (alias Egtved virus)

2. Produksi Virus

7

Untuk proses produksi virus, sel kultur harus diinokulasi dengan multiplisitas infeksi (multiplicities of infection/m.o.i) yang sangat rendah, misalnya pada 10² 10³ plague forming unit (PFU) tiap sel. Selain itu hasil yang paling baik untuk produksi OMV dapat diperoleh dengan inokulasi sisa-sisa/hancuran sel dari kultur monolayer yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus. 4. Preparasi histologis dan histokimia Pengamatan terhadap darah inang yang terenfeksi virus dalam hal menentukan nilai parameter-parameter darah berupa Hb, Het, total protein plasma dan antibodi. Metode Pembuatan Preparat Histologi : 1. Fiksasi Larutan fiksasi yang digunakan adalah larutan formalin berpenyangga (pH 7.0). Organ tubuh ikan yakni insang, daging dan ginjal dipisahkan dari tubuh, kemudian difiksasi dalam larutan formalin Tabel 2. Komposisi Larutan Formalin berpenyangga fosfat (pH 7.0) Bahan kimia

Jumlah

Formalin

100 ml

NaH2PO4-H2O (natrium hidrogenfosfat)

4g

Na2PO4 (dinatrium hidrogenfosfat)

6.5 g

Akuades

900 ml

2. Dehidrasi dan Pengisian Paraffin Spesiemen dibilas dengan air mengalir selama 15-30 menit untuk mencuci formalin. Pindahkan jke dalam setiap larutan untuk dehidrasi dan pengisian paraffin. Larutan dan waktu perendaman yang digunakan sesuai tabel berikut : Tabel 3. Larutan dan waktu perendaman dehidrasi dan embedding. Larutan

Waktu Perendaman

Ethanol 70%

1-2 jam

Ethanol 80%

1-2 jam

Ethanol 90%

1-2 jam

8

Ethanol 95%

1-2 jam

Ethanol 100%

1-2 jam

Ethanol 100%

1-2 jam

Xylel

1-2 jam

Xylel

1-2 jam

Xylel

1-2 jam

Parafin (pada suhu 60oC) o

1-2 jam

Parafin (pada suhu 60 C)

1-2 jam

Parafin (pada suhu 60oC)

1-2 jam

3. Bloking Letakkan tempat jaringan (cetakan untuk blok paraffin) pada hot plate suhu 65oC dan isi dengan parafin yang telah dilelehkan. Letakkan organ pada dasar cetakan lalu taruh ke atas es untuk sedetik. Setelah itu letakkan kaset jaringan tersebut diatas cetakan. Tambahkan paraffin pada cetakan secukupnya. Blok parafin ini diletakkan pada papan es sampai parafin membeku. Kemudian lepaskan blok arafin dari cetakan lalu dipotong 2-3 mm dari tepi organ. Pembuatan preparat sediaan Blok parafin dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4 µm. Jaringan yang dipotong melekat pada pisau mikrotom diambil dengan menggunakan kertas karton yang agak basah dan pindahkan ke wadah yang telah diisi air. Setelah itu, pindahkan ke atas kaca preparat dan letakkan dalam air hangat pada waterbath suhu 50oC selama 5 detik guna mengembangkan parafin. Letakkan kaca preparat tersebut diatas slide warmer suhu 55oC selama 1 jam untuk merekatkan jaringan tersebut pada kaca preparat. a. Pewarnaan H & E - Deparafinasi 1. Rendam dalam xylel-1 selama 10 menit 2. Rendam dalam xylel-2 selama 10 menit 3. Rendam dalam etanol absolut-1 selama 5 menit 4. Rendam dalam etanol absolut-2 selama 5 menit

9

5. Rendam dalam etanol 90% beberapa menit 6. Rendam dalam etanol 80% beberapa menit 7. Rendam dalam etanol 70% beberapa menit 8. Bilas dengan air mengalir selama 1 menit 9. Bilas dengan akuades selama beberapa detik - Pewarnaan 1. Rendam dalam larutan hematoksilin selama 4 menit 2. Bilas dengan air mengalir selama 15 menit 3. Rendam dalam akuades selama 1 detik 4. Rendam dalam larutan eosin selama 5-6 menit 5. Rendam dengan akuades selama sedetik - Dehidrasi 1. Rendam dalam etanol 70% selama 1 detik 2. Rendam dalam etanol 80% selama 1 detik 3. Rendam dalam etanol 90% selama beberapa detik 4. Rendam dalam etanol 95% selama 5 menit 5. Rendam dalam etanol absolut-1 selama 10 menit 6. Rendan dalam etanol absolut-2 selama 15 menit - Penetrasi 1. Rendam dalam Xylel-1 selama 10 menit 2. Rendam dalam Xylel-2 selama 10 menit 3. Rendam dalam Xylel-3 selama 10 menit - Penutupan jaringan 1. Ambil 1 tetes zat perekat (bioleit) dan letakkan ditengah-tengah kaca penutup segera letakkan penutup diatasnya. 2. Ambil preparat sediaan yang masih terendam dalam larutan xylel lalu segera letakkan penutup diatasnya. 3. Tekan keluar udara yang terdapat diantara kaca preparat dan kaca penutup dengan menggunakan forcep.

10

5. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron Mikroskop elektron adalah sebuah mikroskop yang mampu untuk melakukan pembesaran objek sampai 2 juta kali, yang menggunakan elektro statik dan elektro magnetik untuk mengontrol pencahayaan dan tampilan gambar serta memiliki kemampuan pembesaran objek serta resolusi yang jauh lebih bagus dari pada mikroskop cahaya. Mikroskop elektron ini menggunakan jauh lebih banyak energi dan radiasi elektro magnetik yang lebih pendek dibandingkan mikroskop cahaya. Pemeriksaan virus dengan menggunakan mikroskop elektron dilakukan dengan dua cara yaitu : a. TEM (Transmission Electron Microscope) : Mikroskop transmisi elektron (Transmission electron microscope-TEM) adalah sebuah mikroskop elektron yang cara kerjanya mirip dengan cara kerja proyektor slide, dimana elektron ditembuskan ke dalam obyek pengamatan dan pengamat mengamati hasil tembusannya pada layar. TEM ini berguna untuk : 1. Mempelajari struktur internal dalam sel dengan cara memerlukan thin section. 2. Mengamati struktur berukuran molekuler berupa protein dan asam nukleat. 3. Mengganti dari cahaya elektromagnet berfungsi sebagai lensa. 4. Sistem kerja pada kondisi vakum. b. SEM (Scanning Electron Microscope) : Mikroskop pemindai elektron (SEM) yang digunakan untuk studi detail arsitektur permukaan sel (atau) struktur jasad renik lainnya, dan obyek diamati secara tiga dimensi. SEM ini berguna untuk : 1. Mempelajari struktur ekstranal sel (permukaan suatu objek) dan thin section tidak diperlukan. 2. Melapisi spesimen dengan lapisan film tipis atau logam berat. 3. Mengarahkan spesimen pada elektron beam untuk menscan objek/sel secara melintang maju mundur. 4. Mengaktifkan elektron-elektron yang dipancarkan oleh lapisan metal akan dikumpulkan pada layar, pemantauan untuk menghasilkan image 3

11

dimensi. 5.Menggunakan kisaran pembesaran elektron 15 kali hingga 100.000 kali.

TEKNIK PEMBUATAN PREPARAT PADA MIKROSKOP ELEKTRON Teknik yang digunakan dalam pembuatan preparat ada berbagai macam tergantung pada spesiemen dan penelitian yang dibutuhkan antara lain :  Cryofixation yaitu suatu metode persiapan dengan menggunakan teknik pembekuan spesiemen dengan cepat yang menggunakan nitrogen cair ataupun helium cair, dimana air yang ada akan membentuk kristal-kristal yang menyerupai kaca. Suatu bidang ilmu yang disebut mikroskopi cryo-elektron (Cryo-electron microscopy) telah dikembangkan berdasarkan tehnik ini.

Dengan pengembangan dari

mikroskopi cryo-elektron dari potongan menyerupai kaca (Viteous) atau disebut cryo-electron microccopy of vitreous sections (CEMOVIS), maka sekarang telah dimungkinkan untuk melakukan penelitian secara virtual terhadap specimen biologi dalam keadaan aslinya.  Fiksasi- yaitu suatu metode persiapan untuk menyiapkan suatu sampel agar tampak realistik

(seperti

kenyataannya)

dengan

menggunakan

glutaraldehyde

en:glutaraldehydedan osmium tetroxide (en:osmium tetroxide)  Dehidrasi- yaitu suatu metode persiapan dengan cara menggantikan air dengan bahan pelarut organik sepeprti misalnya ethanol atau aceton.  Penanaman (Embedding)- yaitu suatu metode ppersiapan dengan cara menginfiltrasi  Pembelahan (en:Sectioning)- yaitu suatu metode persiapan untuk mendapatkan potongan tipis dari spesimen sehingga menjadikannya semi transparan terhadap elektron.

Pemotongan ini bisa dilakukan dengan ultramicrotome dengan

menggunakan pisau berlian untuk menghasilkan potongan yang tipis sekali. Pisau kaca juga biasa digunakan oleh karena harganya lebih murah.  Pewarnaan (Staining)-yaitu suatu metode persiapan dengan menggunakan metal berat seperti timah, uranium, atau tungsten (en:tungsten) untuk menguraikan elektron gambar sehingga menghasilkan kontras antara struktur yang berlainan dimana khususnya materi biologikal banyak yang warnanya nyaris transparan terhadap elektron (objek fase lemah).

12

 Pembekuan faktur (Freeze-fracture)-yaitu suatu metode persiapan yang biasanya digunakan untuk menguji membran lipid.

Jaringan atau sel segar didinginkan

dengan cepat (cryofixed) kemudian dipatah-patahkan atau dengan menggunakan microtome sewaktu masih berada dalam keadaan suhu nitrogen (hingga mencapai100% Celsius). Pengamatan dengan menggunakan mikroskop elektron pada ikan yang terkena serangan koi herpes virus, menunjukkan adanya hipertropi dan perpindahan kromatin sel dan ditemukan nucleokasid virus berbentuk hexagonal dengan diameter 110 nm. Melalui mikroskop elektron virion herpesviridea memilik inner kapsid dengan simetri isosadektahedron berdiameter 100-110 nm (Hedrik et al., 2005). 6. Test Serologis dan Immune Sare Test serologis digunakan untuk menghitung partikel virus dalam hal mempelajari replikasi virus, penggunaan mikroskop medan terang dan mikroskop elektron yang memiliki keterbatasan, menghitung virus berdasarkan pada pengaruh terhadap inang yang diinfeksikan dan untuk menentukan unit virus infectious maupun unit terkecil yang menyebabkan suatu efek terdeteksi ketika ditempatkan pada inang yang rentan. Pendekatan perhitungan partikel virus dilakukan dengan metode : a. Plaque assay, yaitu menunjukan zona lisis/penghambat pertumbuhan, untuk mengisolasi virus yang murni (secara genetis identik). b.

Efisiensi plating, yaitu sistem efisiensi pencawanan (virion menginfeksi sel inang < 100 %) tetapi bukan jumlah virion, misalnya untuk mengekspresikan konsentrasi suspensi virus (titer) yang akurat PFU (Plaque Forming Unit).

c. Infektivitas sel inang, yaitu infeksi yang dapat mematikan pada seluruh sel inang dengan cara; melekukan pengenceran serial (10 x), menginjeksikan sampel setiap pengenceran terhadap sejumlah hewan yang sensitif, perbandingan/fraksi hewan yang mati dan hidup pada setiap pengenceran dibuat dalam bentuk tabulasi dan hasil pengenceran dihitung 50 % dari seluruh hewan mati (end poin).

13

B. METODE MOLEKULAR 1. Test Serologis dengan Antibodi Monoklonal a. Antibodi flouresens Test serologis dengan antibodi monoklonal adalah untuk melihat bekas serangga patogen mikroorganisme (virus) selama kejadian dalam tempat tertentu melalui mikroskop dengan cara : 1. Mengkonsentrasikan bekas polyhedra dari tempat serangan dalam yodium pospat. 2. Menentukan jumlah berdasarkan tingkat pengenceran dua pase sistem. 3. Mengkonstrasikan perbedaan penggunakan sentrifugal. 4. Mengatur

proses

dalam

antibodi

zat warna bersamaan

dengan

perawarnaan immunoglobulin G. b. Antibodi monoklonal Bila antigen tertentu dimasukkan ke dalam system imun hewan percobaan, semua sel B yang mengenal banyak epitop pada antigen akan dirangsang dan memproduksi antibodi. Darah yang diambil dari hewan, tersebut akan mengandung antibodi yang multiple yang akan bereaksi dengan setiap epitop. Serum tersebut disebut poliklonal oleh karena mengandung produk yang berasal dari banyak klon sel B. Memurnikan antibodi yang diperlukan dari serum tersebut sangatlah sulit. Klon adalah segolongan sel yang brasal dari satu sel dan karenaya identik secara genetik. Antibodi monoklonal adalah antibodi yang diproduksi oleh sel-sel yang berasal satu klon sel.

Kloning dapat dilakukan dengan mengencerkan larutan sel

sedemikian rupa sehingga dalam biakan sel diperoleh sumur yang hanya mengandung satu sel. Protein mieloma adalah protein /imunoglobin yang dproduksi neoplasma sel plasma.

Tumor ini tumbuh tanpa kontrol dan immunoglobulin tersebut ditemukan

dalam jumlah besar pada pasien dengan mieloma. Bila sel B tunggal menjadi ganas, semua antibodi adalah identik.

14

Sel plasma yang diambil dari darah tidak akan tumbuh dalam biakan jaringan dan akan mati dalam beberapa hari. Sebalkinya sel meioma akan tumbuh terus menerus dalam biakan jaringan. Satu sel plasma dan satu sel meioma dapat difusikan menjedi satu sel yang disebut hibridoma yang mempunyai sifat dari kedua sel asalnya dan akan membentuk antibodi monoclonal.

Dalam antibodi monoklonal semua molekulnya

adalah identik. Antibodi monoklonal merupakan bahan standar yang dapat digunakan dalam laboratorium untuk identifikasi berbagai jenis sel, typing darah dan menegakkkan diagnosis berbagai penyakit.

Kemajuan sekarang telah memungkinkan untuk

memproduksi antibody monoclonal manusia melalui rekayasa genetika dalam jumlah yang besar untuk digunakan dalam terapi berbagai penyakit.

Antibodi monoklonal tikus untuk virus dan bakteri ikan Selama tahun-tahun terakhir ini, telah banyak dikembangkan berbagai antibodi monoklonal untuk jenis virus-virus ikan.

Beberapa diantaranya, baik satu atau

kombinasi 2 atau 3 MAbs telah dikembangkan menjadi reagen-reagen biologis yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok virus (IPN, VHS, IHN). Jenis MAbs lainnya baik secara individual atau sebagai komponen-komponen panel penyusun Ab, dapat digunakan untuk secara akurat menentukan jenis VHSV dan IHNV. Antibodi-antibodi monoklonal-monoklonal ini dapat diperoleh dari laboratoriumlaboratorium referensi yang terdapat dalam Manual Diagnostic of Aquatic Animal Diseases. Produksi MAbs untuk bakteri juga telah diketahui, Antibodi ini merupakan hasil dari pengembangan diagnostik kit komersial untuk Renibacterium salmoninarum, tetapi kebanyakan masih terbatas untuk laboratorium-laboratorium khusus. Secara teori, IgGs monoklonal dari tikus dapat diproses dan disimpan sebagai IgGs polyclonal. Akan tetapi, reaktifitas MAbs tertentu dapat rusak oleh proses-proses enzymatik atau radio-labelling, atau lyophilisation sehingga diperlukan pengujian berbagai MAbs sesuai kondisi-kondisi penggunaannya. c. Elisa

15

Enzyme Linket Immuno Sporbent Assay (ELISA) adalah teknik dasar antibodi dalam menentukan langsung sampel lingkungan.

Keuntungan bersama dalam

pengumpulan data menggunakan teknik ELISA adalah sampel lingkungan langsung dapat menggunakan peralatan yang sesuai ukuran (melewati ukuran yang kecil dapat menghasilkan sesuai standar yang ditentukan) dan juga dapat memanipulasi dari sampel utama yang tidak menguntungkan dari teknik kepekaan.

Deteksi antigen virus dengan Elisa Deteksi virus pada jaringan hewan biasanya dilakukan dengan mengisolasi agens penyebabnya dengan menggunakan hewan percobaan, telur berembrio dan atau system biakan sel.

“Cara klasik” ini masih penting dan sentral karena biasanya

diperlukan sebagai tambahan pengujian untuk menilai sifat biologis penting virus seperti penentuan patotipe, untuk memastikan seberapa pentingnya isolat virus yang didapat. Namun, system kultivasi mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat dipakai untuk diagnosis cepat karena memerlukan waktu untuk menumbuhkan dan mengidentifikasi virus, di samping mungkin juga adanya gangguan yang ditimbulkan oleh kontaminasi jamur dan atau bakteri, atau virus perolehan. Selain itu terdapat virus-virus yang tidak dapat dengan cepat ditumbuhkan seperti beberapa virus enteric, dan virus demikian, harus menggunakan cara lain untuk menunjukkannya.

Konsekwensinya, banyak timbul minat untuk mengembangkan

teknik yang memungkinkan secara langsung menunjukkan adanya suatu virus atau antigennya dalam suatu spesimen klinis yang tidak hanya untuk alas an praktis seperti mengurangi waktu yang diperlukan untuk identifikasi, tetapi juga untuk penghematan biaya.

Terdapat minat besar untuk mengembangkan metode cepat yang tidak

bergantung kepada hewan untuk menguji sifat-sifat virus seperti patogenisitasnya. Cara pengujian demikian akan mempercepat karakterisasi virus seperti virus Nescastle disease yang penting bagi usaha pencegahannya nanti setelah informasi tentang patogenitas suatu isolat diketahui. Sejumlah prosedur yang berbeda-beda telah digunakan untuk uji langsung specimen klinis termasuk penggunaan mikroskop electron, fiksasi komplemen, imunofluoresensi, radioimunoasai RIA), enzim imonoasai (EIA) dan berbagai tipe

16

penyidik (probe) asam nukleat. Sistem yang dipilih berlainan untuk satu penyakit ke penyakit yang lain jika toh virusnya memang dapat dideteksi dengan teknik pengujian langsung. Meskipun demikian, EIA terutama telah digunakan secara luas sebab cara ini menggabungkan sensivitas, spesifisitas, kecepatan dan kenyamanan. Namun, beberapa EIA membutuhkan modal awal yang cukup besar untuk peralatannya. Asai enzim pada dasarnya terdiri atas dua hal : reaksi imunologi dan reaksi berikutnya yang merupakan reaksi indicator enzimatik untuk menunjukkan ada tidaknya interaksi antigen/antibody. Spesifisitas EIA berasal dari sifat inheren penggabungan secara imunologi, terutama apabila digunakan antibodi monoklonal, sementara sensitivitas tergantung kepada penguatan reaksi enzimatik. Pengembangan prosedur yang memungkinkan produksi reaktan imun berkisaran luas dengan aktivitas imunologis dan enzimatik telah merupakan kunci meningkatnya penggunaan EIA dalam virology kedokteran hewan. Secara praktis, asai enzimatik dapat dibagi atas dua golongan: EIA histokimiawi dan EIA kuantitatif. EIA HISTOKIMIAWI Pada prinsipnya, EIA histokimiawi sama seperti pengecatan antibobi flouresen dalam artian suatu jaringan yang difiksasi direaksikan secara langsung, atau tidak langsung, dengan antibody tergandeng (conjugated) enzim untuk menghasilkan reaksi yang dapat dideteksi. paling

banyak

imunoperoksidase”.

Peroksidase horse-radish merupakan enzim tergandeng yang

digunakan

sebagai

pengujiannya

disebut

“pengecatan

Studi perbandingan menunjukkan bahwa pada umumnya EIA

histokimiawi lebih peka dibanding pengecatan antibodi fluoresen walaupun mungkin kelebihan yang terpenting adalah bahwa reaksi indicator enzimatik dapat dilihat dengan mata telanjang atau dengan mikroskop cahaya normal. Inilah kelebihannya yang utama dibanding dengan system fluoresen mengingat mikroskop fluoresen sangat mahal dan sering kali sulit perawatannya. Keuntungan lain EIA histokimiawi ialah bahwa konjugat biasanya digunakan pada pengencera yanglebih tinggi disbanding dengan konjugat fluoresen yang serupa, sehingga pemakaiannya lebih ekonomis dan preparat yang telah dicat dapat disimpan untuk ditelaah kembali kelak. EIA histokimiawi dengan demikian agak lebih fleksibel

17

disbanding system fluoresen dengan membutuhkan peralatan khusus yang lebih sedikit. EIA histokimiawi biasanya dapat digunakan dalam semua keadaan yang menggunakan system fluoresen, meskipun kemungkinan adanya reaksi tidak spesifik dari aktivitas peroksidase endogen harus juga dipertimbangkan. Masalah ini biasanya dapat diatasi dengan menggunakan berbagai strategi pengeblokan yang tidak banyak mengurangi spesifitas antigenik virus yang nyata. EIA histokimiawi dapat dilakukan secara langsung, tidak langsung atau menggunakan prosedur peroksidase-antiperoksidase. kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Tiap-tiap cara mempunyai

Cara langsung dipakai untuk diagnosis

cepat, tetapi kepekaannya lebih rendah dibanding cara tidak langsung. Metode tidak langsung dapat digunakan untuk mendeteksi beberapa antigen virus yang berbeda dengan hanya menggunakan satu konjugat enzim saja asalkan antibody virus berasal dari satu spesies. Hal demikian menyebabkan lebih ekonomis dan memungkinkan dilakukannya pembakuan prosedur. Metode peroksidase antiperoksidase sangat sensitif namun membutuhkan langkah-langkah kerja yang lebih banyak sehingga tidak sering digunakan untuk diagnosis. Sensivitas cara ini terjadi karena enzim tidak akan berubah dengan adanya konjugasi kimiawi sehingga aktivitas murninya tetap terjaga. EIA histokimiawi dapat digunakan untuk mendeteksi antigen virus dalam jaringan hewan yang terinfeksi dan jaringan hewan yang terpengaruhi, dan untuk mendeteksi virus dan antigen virus pada biakan sel yang terinfeksi. Sebagai contoh penggunaan yang khas pada jaringan adalah untuk mendeteksi antigen virus rabies dalam jaringan yang diawetkan dengan formalin atau aseton dalam jaringan yang disimpan dalam formalin atau tertanam dalam paraffin selama bertahun-tahun (Palmer et al., 1985: Fekadu et al., 1988). Hasil yang didapat dengan jaringan saraf bercat peroksidase serupa dengan hasil yang diperoleh dengan cara fluoresen. Namun system peroksidase telah mendeteksi virus pada bagian jaringan yang bukan merupakan jaringan saraf ketika uji fluoresen menunjukkan hasil negatif.

EIA KUANTITATIF Pembacaan reaksi enzimatik dengan mata telanjang pada EIA histokimiawi mungkin sudah cukup memadai untuk tujuan tertentu, tetapi apabila tujuan pengujian

18

menginginkan untuk mendapatkan nilai yang akurat, harus digunakan cara lain sehingga hasilnya dapat terukur ( menggunakan spektrofotometer atau fluorometer). Jenis asai demikian disebut pengujian kuantitatif dan dilakukan dengan elisa biasa., meskipun penentuan kuantitatif demikian tidaklah selalu merupakan bagian pengujian. Banyak sekali dijumpai pustaka yang membicarakan teknik asai ini dengan sejumlah perbedaan dalam hal metodologi, konfigurasi fase padat, sistem pengeblokan, komponen enzim dan substrat yang digunakan. Titik tolak yang berfaedah dalam membicarakan ELISA, atau system baru lainnya adalah meninjau apa keuntungan yang diperoleh bilanmenggunakan system tersebut atau menggunakan suatu uji terteentu. Hal ini penting terutama dalam uji diagnosis yang setiap uji atau system baru ini penting terutama dalam uji diagnosis yang setiap uji atau system baru harus dibandingkan dengan seluruh uji yang ada untuk memastikan keuntungan relative sehingga hasil pengujiannya dapat dipahami.

Sebagaicontoh,

Edwars et al. (1983) mendapatkan bahwa ELISA untuk mendapatkan virus IBR pada sekresi hidung jauh kurang peka disbanding isolasi virus dalam biakan berlapis tunggal sekunder sel ginjal pedet.

Meskipun demikian, system deteksi ELISA masih

bermanfaat walaupun kurang sensitif dibanding isolasi virus. ELISA gagal mendeteksi beberapa specimen terinfeksi, bila digunakan sebagai uji skrining pendahuluan. Namun cara ini spesifik dan dapat digunakan sebagai penguji contoh untuk menentukan contoh yang tidak perlu diuji dengan menggunakan sel. Berikutnya, Edwars et al (1987) memaparkan suatu ELISA yang 50 kali lebih sensitif karena penguatan reaksi enzimatik. Meskipun demikian, uji ini masih tidak sesensitif isolasi. Sisi lain yang penting mengenai hasil yang akan dicapai oleh ELISA ialah saat pengambilan specimen selama penyakit berlansung karena hal ini akan mempengaruhi

kuantitas

virus

yang terdapat

dalam

sampel.

Kami

telah

membandingkan jumlah kasus positif yang diperoleh dengan ELISA dan uji CF pada specimen yang kumpulkan dan secara empiris digolongkan atas baru atau lama berdasar pada pengamatan klinis terhadap luka FMD. Uji CF mendeteksi adanya virus di 55 % sampel yang berasal dari hewan yang terserang FMD dengan luka yang akut (baru), tetapi hanya 9 % hewan FMD dengan luka yang akan sembuh (lama). Elisa mampu

19

mendeteksi 86 % virus dalam luka baru dan 91 % virus dalam luka lama hewan-hewan yang terkena FMD, sehingga sensifitas ELISA lebih tinggi dlam mendeteksi virus. Namun, konfirmasi dengan isolasi virus FMD menunjukkan bahwa sampel-sampel jaringan yang diambil dari luka lama hasilnya rendah; Hal ini menunjukkan bahwa untuk tujuan diagnosis contoh yang lebih disukai adalah dari hewan yang keadaan penyakitnya akut. Karenanya jika dapat ditaksir kandungan virus dalam sampel maka hal ini akan berguna dalam memutuskan jumlah pengujian yang harus digunakan, dan dalam menafsirkan hasilnya. Pemakaian khasanah antibodi monoklonal yang ditujukan untuk berbagai epitope virus dengan cara yang serupa dengan penentuan profil galur menggunakan penggunaan antibodi poliklonal , dapat menghasilkan apa yang disebut “analisis sidik jari” virus itu sehingga mempunyai potensi yang penting dalam penelitian epizootiologis.

Karenanya, telah berhasil dikenali galur virus rabies yang dapat

beradaptasi pada spesies hewan tertentu, seperti rabies raccoon, virus bluetongue Australia galur virus Newscastle disiese yang beradaptasi pada burung dara : telah dapat dengan cepat membedakan kolera babi dan virus BVD serta menganalisis perubahan pada lentivirus selama infeksi, misalnya arthritis ensefalitis kambing. Beberapa prosedur tersebut sekarang telah demikian mantap sehingga dapat diikutkan dalam prosedur deteksi virus seperti penentuan seriotipe virus FMD, diferensiasi kolera babi dan virs BVD, atau dapat ditambahkan segera setelah identifiksi identifikasi awal seperti menentukan profil virus dengan antiserum poliklonal pembeda galur virus FMD. Dengan demikian EIA kuantitatif merupakan tambahan yang bermanfaat dan berkemampuan tinggi kepada teknik-teknik yang sudah tersedia bagi ahli virology, dan potensi terapannya bertambah lama bertambah luas dengan mudahnya diperoleh reagens yang makin banyak dan tinggi kualitasnya bersama-sama dengan mtodologi dan produk baru. Namun untuk keadaan tertentu teknik lain masih dapat diterapkan dan memadai, serta tekni ini jangan disingkirkan hanya karena akan menggunakan imunoasai, seperti uji HI untuk mengukur antibodi serum terhadap Newcastle disease. Kelebihan EIA yang jelas ialah untuk identifikasi berbagai virus, dan dalam serodiagnosis, mengharuskan ahli virology untuk memahami secara lengkap potensi asai untuk

20

diagnosis dan pemantauan penyakit, manfaatnya dalam kaitannya dengan uji-uji lain yang ada. Ini tidak berarti tidak saja menengok ke belakang tetapi juga melihat ke depan, karena prosedur baru seperti amplikasi DNA dan RNA dengan menggunakan reaksi polymerase berantai (PCR- Polymerase Chain Reaction) yang mampu mendeteksi genotype virus dalam jumlah sangat sedikit sedang dikembangkan dan ini berarti era baru dalam deteksi mikrobia hampir lahir. 2. Amplifikasi Gen Target dengan PCR Aplikasi gen target dengan PCR dilakukan melalui seleksi primer, dalam menentukan periparat primer dari rangkaian salah satu hasil penelitian adalah nucliat acid yang merupan rangkaian dari areal DNA atau RNA dari permerhati virus. Kumpulan-kumpulan tempat primer sangat terlalu spesipik dari satu individu gene karena hanya ada satu kemungkinan, bentuknya unik pada satu organisme, bersifat universal dan dapat memperluas kenyataan rangkaian silang taksonomi famili atau king dum bersifat terbatas.

Penjumlah tergantung pada penjelasan tambahan simbolik dan

bermacam-macam kumpulan primer bisa bersama lari dari sekumpulan ke arah selatan primer. Sedangkan target rangkaian dari kumpulan ketiga sangat komplek dan bisa lebih sedikit atau lebih sulit menjelaskannya karena struktur geometri berakhir pada rangkaiannya. PCR adalah reaksi memperbanyak DNA secara in vitro dengan memanfaatkan cara replikasi DNA dengan bantuan enzim DNA polimerase dan perubahan sifat fisik DNA terhadap suhu (Lisdiyanti, 1977). Muladno (2002) menyatakan bahwa PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk mennggandakan jumlah molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler. DNA murni virus dengan jumlah memadai dapat diperoleh dengan cara mengisolasi DNA dari inang kemudian mengamplifikasinya. Erlich (1989) menyatakan bahwa PCR adalah sebuah metode in vitro yang digunakan untuk mensintesa DNA tertentu secara enzimatis dengan menggunakan dua primer oligonukleotida yang menghibridisasi pita yang berlawanan dan mengapit daerah target DNA. Proses PCR untuk memperbanyak DNA melibatkan serangkaian siklus temperatur yang berulang dan masing-masing siklus terdiri dari tiga tahapan.

Tahapan yang

pertama adalah denaturasi cetakan DNA (DNA template) pada temperatur 94-96oC,

21

yaitu pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal. Sesudah itu, dilakukan penurunan temperatur pada tahap kedua sampai 45-60oC yang memungkinkan terjadinya penempelan (annealing) atau hibridisasi antara oligonukleotida primer dengan utas tunggal cetakan DNA. Primer merupakan oligonukelotida utas tunggal yang sekuens-nya dirancang komplementer dengan ujung fragmen DNA yang ingin disalin; primer menentukan awal dan akhir daerah yang hendak disalin. Tahap yang terakhir adalah tahap ekstensi atau elogansi (elongation), yaitu pemanjangan primer menjadi suatu utas DNA baru oleh enzim DNA polimerase. Temperatur pada tahap ini bergantung pada jenis DNA polimerase yang digunakan. Pada akhirnya, satu siklus PCR akan menggandakan jumlah molekul cetakan DNA atau DNA target, sebab setiap utas baru yang disintetis akan berperan sebagai cetakan pada siklus selanjutnya. Yuasa et al. (2003) menyatakan bahwa metode PCR umumnya digunakan untuk mendeteksi virus. Dibandingkan dengan kultur sel, PCR dapat memperjelas hanya bagian dari DNA/RNA virus, sehingga virus dapat dideteksi meskipun pada kondisi yang tidak murni. Shariff et al. (2000) menyatakan bahwa PCR merupakan teknik diagnosik molekuler terkini, yang memiliki sensitifitas yang mampu untuk mengamplifikasi bahkan dari molekun tunggal DNA, juga sangat spesifik sesuai dengan oligonukleotida primer yang dibutuhkan untuk proses amplifikasi. PCR juga cepat dan hanya dalam hitungan menit jutaan copi segmen DNA tunggal diproduksi. Optimalisasi parameter uji PCR diperoleh melalui sukuensing DNA target dari virus yang dimurnikan dari hasil pengujian atau yang secara alami menyerang koi. Kondisi amflifikasi yang terbaik pada fragmen spesifik 484 bp dengan pencampuran 2mM MgCl2, 1 x buffer, 400 µM deoxynukleotida tripospat, 30 pmol primer, 1 U Taq polymerase, template 70 sampai 100 mg DNA; kondisi siklus suhu awal 95oC selama 5 menit, siklus suhu 35 kali, denaturasi 94oC selama 1 menit, annealing 68oC selama 1 menit, elongase 72oC selama 30 detik, dan akhir siklus 72oC selama 7 menit. Primer foward KHV9/5F : 5Ӛ- GACGACGCCGGAGACCTTGTG-3ӭ dan primer riverse 5Ӛ CACAAGTTCAGTCTGTTCCTAAC-3Ӛ (Gilad et al 2002). Pemanfaatan teknik-teknik molekuler untuk pengujian konfirmasi dan diagnosis.

22

Biologi molekular atau biologi molekul merupakan salah satu cabang biologi yang merujuk kepada pengkajian mengenai kehidupan pada skala molekul. Ini termasuk penyelidikan tentang interaksi molekul dalam benda hidup dan kesannya, terutama tentang interaksi berbagai system dalam sel, termasuk interaksi DNA, RNA, dan sintesis protein, dan bagaimana interaksi tersebut diatur. Bidang ini bertumpang tindih dengan bidang (dan kimia) lainnya, terutama genetika dan biokimia. Polymerase chain reaction (“Reaksi berantai polymerase”, PCR) merupakan teknik yang sangat berguna dalam membuat salinan DNA.

PCR memungkinkan

sejumlah kecil sekuens DNA tertentu disalin (jutaan kali) untuk diperbanyak (sehingga dapat dianalisis), atau dimodifikasi secara tertentu.

Sebagai contoh, PCR dapat

digunakan untuk menambahkan situs enzim restriksi, atau untuk memutasikan (mengubah) basa tertentu pada DNA. PCR juga dapat digunaka untuk mendeteksi keberadaan skuens DNA tertentu dalam sampel. Teknik-teknik molekular termasuk DNA probe dan polymerase Chain reaction (PCR) telah dikembangkan untuk mengidentifikasi berbagai pathogen pada hewanhewan akuatik.

Akan tetapi sebagaimana pada beberapa teknik diagnosis lainnya,

keunggulan dalam hal sensifitasnya seringkali dibatasi oleh permasalahan teknik dalam penginterpretasiannya. Metode-metode yang didasarkan pada pembuatan kultur atau serologi relatif baik hasilnya, sedangkan PCR sangat tergantung pada kondisi penggunaannya dan sangat mudah terkontaminasi oleh hasil-hasil PCR sebelumnya sehingga menghasilkan hasil yang palsu. Oleh karena itu, dalam manual ini beberapa teknik DNA probe dan PCR digunakan sebagai metode konfirmasi atau diagnosis, sedangkan teknik lainnya yang sudah ada (misalnya isolasi virus) dikhususkan sebagai metode pengujian standard. Penggunaan metode molekular ini harus dilakukan secara hati-hati dan didukung dengan kontrol positif dan negatif yang memadai.

PCR memanfaatkan enzim DNA polymerase yang secara alami memang berperan dalam perbanyakan DNA dalam proses replikasi. Namun demikian, tidak seperti pada organisme hidup. Proses PCR hanya dapat menyalin fragmen pendek DNA, biasanya sampai dengan 10 kb (kb = kilo base pairs = 1.000 pasang basa). Fragmen tersebut dapat berupa suatu gen tunggal, atau hanya bagian dari suatu gen.

23

Proses PCR untuk memperbanyak DNA melibatkan serangkaian siklus temperatur yang berulang dan masing-masing siklus terdiri atas tiga tahapan.

Tahapan yang

pertama adalah denaturasi cetakan DNA (DNA template) pada temperature 94 – 96 ºC, pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal.

Sesudah itu, dilakukan

penurunan temperatur pada tahap kedua sampai 45 – 60 ºC yang memungkinkan terjadinya penempelan (annealing) atau hibridisasi antara oligonukleotida primer dengan utas tunggal cetakan DNA. Primer merupakan oligonukleotida utas tunggal yang sekuensnya dirancang komplementer dengan ujung fragmen DNA yang ingin disalin; priner menentukan awal dan akhir daerah yang hendak disalin. Tahap yang terakhir adalah tahap eksistensi atau elongasi (elongation), yaitu pemanjangna primer menjadi suatu utas DNA baru oleh enzim DNA polymerase. Temperatur pada tahap ini bergantung pada jenis DNA polymerase yang digunakan. Pada akhirnya, satu siklus PCR akan menggandakan jumlah molekul cetakan DNA atau DNA target, sebab setiap utas baru yang disintesis akan berperan sebagai cetakan pada siklus selanjutnya. 3. Pelacak Gen, Terlabel dengan Radioaktif maupun non radioaktif Hibridisasi dot blot Hibridisasi dot blot bersifat universal dan sebagai petunjuk yang pasti bahwa daerah r RNAs adalah tempat bekas mengukur total rRNA untuk mendapatkan kembali dari lingkungan sampel.

Misalkan hibridisasi pada bagian yang melengkapi daerah

rangkaian dekat posisi 1400 dalam 16S rRNA dapat dilihat kembali hasil pengukuran total 16S rRNA dalam persen nucliat acid ekstrak dari perubahan lingkungan. Nilai untuk mendapatkan kembali dapat memperlihatkan kelimpahan lebih dari specipik 16S rRNA, terget keleompok pecah atau persentase dari total 16S rRNA dapat kembali.

Metode biomolekuler dengan dot blot hybridization Metode dot blot hybridization adalah salah satu cara yang mudah

dilakukan

dengan system dua fase, umumnya diketahui adalah filter hybridization dalam bentuk yang sederhana dan hybridization dot blot DNA atau RNA yang diekstraksi dari virus ada sel yang terinfeksi dan telah didenaturasi lalu dispotted di atas nilon atau membrane

24

intro sellular dan memberi instruksi pada untaian DNA atau RNA untuk merapat dengan mengeluarkan serbuk. Untaian tunggal DNA ataupun RNA yang dihibridization diperiksa dengan gen target in situ asam nukleat pada membran, dan tidak dijilid selanjutnya diselidiki untuk dicuci dan dibuang. Sinyal adalah adanya perpindahan gen dengan pemeriksaan ukuran autoradiography dan penyelidikan radioaktif, atau formasi terhadap lapisan berwarna enzim yang digunakan.

Untaian RNA yang sensitif dan dan dapat berimprofisasi

memberikan reduksi yang positif ataupun negative dipulihkan dengan filter RNA sebelum pemotongan. Hibridisasi dot blot bersifat universal dan sebagai petunjuk yang pasti bahwa daerah r RNAs adalah tempat bekas mengukur total rRNA untuk mendapatkan kembali dari lingkungan sampel. Misalkan hibridisasi pada bagian yang melengkapi daerah rangkaian dekat posisi 1400 dalam 16S rRNA dapat dilihat kembali hasil pengukuran total 16S rRNA dalam persen nucliat acid ekstrak dari perubahan lingkungan. Nilai untuk mendapatkan kembali dapat memperlihatkan kelimpahan lebih dari specipik 16S rRNA, terget keleompok pecah atau persentase dari total 16S rRNA dapat kembali. Metode biomolekuler in situ hybridization Metode in situ hybridization telah digunakan secara luas oleh para ahli pathologi untuk memeriksa pasien dengan infeksi parasit dengan infeksi persistent.

Untuk

menunjukkan adanya genom viral yang terintegrasi maupun yang tidak terintegrasi. Potongan beku pada kaca objek yang diperiksa yang digambarkan seperti pada dot blok hybridisasi dengan lokasi intraseluler dan rangkaian virus dinyatakan dengan autobiografi atau imunoperoksida sitokhemistry. Biasanya dalam penularan dari demam virus dalam lingkungan sampel adalah memeriksa suntikan pada sampel dalam budidaya dari salah satu manusia atau binatang berupa sel pada periparat dalam laboratorium, sebagai lawan suntikan hidup binatang. Metode dari penggunaan tanda peringatan pembentukan assay adalah untuk mendapatkan bakteriophages dalam lingkungan sampel untuk memberikan suatu

25

gambaran kejadian.

Secara umum tindakan penularan bekas demam virus adalah

alternatif dari tipe penyebab kuman virus dan teknik assay adalah sebagai gambarannya.

26

DAFTAR PUSTAKA Burgess GW. 1995. Teknologi Elisa dalam Diagnosis Dan Penelitian. Gadjah Mada University Press. David O. Frank J Fenner. 1994. Medical virology. Academic Press. Erlich, AE. 1998. Basic Methodology. Pages 1-6 in Erlich, AE (editor) PCR Technology. Principles and aplications for DNA amplification. USA. Stocton Press. Gilad O, Yun S, Andre KB, Adkison MA, Zlotkin A, Bercoand vier H, Eldar A and Hendrick R. 2003. Initial Characteristic of Koi Herpesvirus and Development of Polymerase Chain Reaction assay to detect the virus ini Koi, Cyprinus carpio. Dis Aquat org. 48: 101 – 108. Hedrick RP, Gilad O, Yun S, Spangerberg JV, Marty GD, Norddhausen RW, Kebus MJ, Bercovier H and Eldar A. 2000. A herpesvirus associated with mass mortality of juvenile and adult koi, a stain of common carp. American Fisheries Society. Journa of Aquatic Animal Health 12 : 44-57. Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Karnen G.B. 2006. Imunologi Dasar. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Lisdiyanti P. 1997. Polymerase Chain Reaction. Cara mudah memperbanyak DNA. Warta Biotek Tahun XI No.3: 1-3. Muladno, 2002., Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Bogor : Pustaka Wira Usaha Muda. Shariff M. Soon, S. Lee, KL and LT Tan. 2000. Practical Problems With PCR Detection in Asia The Importance of Standardization. In DNA-Based molecular diagnostic techniques : Research Needs for Standardization and Validation of the detection of aquatic animal pathogens and disease. Walker and subasinghe (edt). FAO Fisheries technical papers 396. http://www.fao.org/docrep/005/x4946e/x494eoo. Htm Solihin,DD. 2006. Polymerase Chain Reaction (PCR). Bahan pelatihan teknik diagnostik untuk peningkatan produksi peternakan dan perikanan di kawasan Timur Indonesia. 10-23 September 2006. Pusat Studi Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Sunarto A, Rukyani A and Itami T. 2005. Indonesia experience on the outbreak of koi herpesvirus in koi and carp (Cyprinus carpio). Bulletin of fisheries Research Agency. Yokohama-Japan. 86 : 15-21

27

Tauhid, Sunarto A, Koeshani I, Supriyadi H dan Gardenia L. 2004. Strategi pengendalian penyakit koi herpes virus (KHV) pada ikan mas dan koi. Makalah workshop pengendalian penyakit koi herpes virus (KHV) pada budidaya ikan air tawar,Bogor. Yuasa K, Panigoro N, Bahnan M dan Kholidin EB. 2003. Panduan Diagnosa Penyakit Ikan Jambi. Budidaya Air Tawar (BBAT). Jambi.

28

Related Documents