PANDUAN PENEMUAN KASUS TB
I.
PENGERTIAN Penemuan Kasus TB merupakan penegakan diagnosa TB. Penemuan pasien
merupakan kegiatan utama dalam program TB dengan prioritas menemukan pasien TB BTA positif. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosa TB dan penentuan klasifikasi penyakit dan type pasien. Dengan ditemukan dan disembuhkannya pasien TB BTA positif (menular), secara bermakna akan dapat menurunkan penularan, angka kesakitan dan angka kematian akibat TB.
II. RUANG LINGKUP Penemuan kasus TB meniputi penemuan kasus TB dewasa, penemuan kasus TB pada anak, dan penemuan kasus TB pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
III. TATA LAKSANA A. Penemuan Kasus TB Dewasa 1. Identifikasi Suspek TB Gejala Klinis TB (Dewasa dan ODHA) yang mungkin akan menunjukkan bahwa yang bersangkutan termasuk suspek: a.
Gejala Utama : Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih
b.
Gejala tambahan yang sering dijumpai :
Gejala respiratorik : Dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan nyeri dada
Gejala sistemik : Badan lemas, nafsu makan menurun, BB turun, kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari 1 bulan
c. Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakitparu selain TB, seperti bronkiektasi, bronkitis kronis, asma, kanker paru dan lain-lain d. Seorang pasien dengan keluhan seperti di atas harus dianggap suspek TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung e. Gejala TB ekstra paru tergantung organ yang terkena, misalnya pada limfadenitis TB akan ditemukan pembesaran kelenjar getah bening f. Pada ODHA yang menderita TB gejala klinis adalah perlu dicari kemungkinan juga menderita TB.
2. Penemuan dan Diagnosa TB a. Penemuan Kasus TB di RS
Prinsip penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan penyuluhan yang aktif, artinya penjaringan suspek pasien dilakukan hanya kepada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Namun penyuluhan kesehatan yang aktif di masyarakat tetap dilakukan
Setiap orang yang berkunjung ke RS dengan gejala batuk berdahak 2-3 minggu atau lebih, tanpa penyebab yang jelas harus diperlakukan sebagai suspek TB
Semua kontak dengan pasien TB paru BTA positif yang mempunyai gejala TB harus diperiksa dahaknya, sedangkan pasien TB anak harus dicari sumber penularannya
b. Diagnosa TB Paru Dewasa
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu minimal 2 hari berturut-turut, yaitu Sewaktu – Pagi – Sewaktu (SPS)
Diagnosa TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan penemuan kuman TB (BTA). Pemeriksaan seperti foto toraks dan biakan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya
Tidak dibenarkan mendiagnosa TB hanya berdasarkan foto toraks. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru sehingga terjadi overdiagnosis atau underdiagnosis.
c. Cara Pembacaan Hasil Sediaan Apus Dahak Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dilakukan menggunakan skala IUATLD sebagai berikut :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut Negatif
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut 1+
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut 2 +, minimal dibaca 50 lapang pandang
Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut 3 +, minimal dibaca 20 lapang pandang
Dalam rangka menegakkan diagnosis TB, jumlah BTA yang ditemukan dapat juga untuk menunjukkan beratnya penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk mencatat gradasi dan jumlah BTA yang benar.
d. Diagnosa TB Ekstraparu Dewasa
Dicurigai TB ektraparu apabila ditemukan gejala-gejala antara lain : 1) Nyeri dada (TB pleura/pleuritis) 2) Pembesaran kelenjar getah bening superfisialis (Limfadenitis TB) 3) Gibbus (spondilitis TB) 4) dll
Diagnosa pasti sering sulit ditegakkan, sedangkan diagnosa kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Katepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik seperti uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dll.
Seorang pasien TB ekstraparu mungkin juga menderita TB paru, oleh karen itu perlu dilakukan pemeriksaan dahak. Jika hasil pemeriksaan dahak negatif, dapat dilakukan foto toraks dan histopatologi.
e. Koninfeksi TB-HIV Pada pasien TB dengan faktor risiko terinfeksi HIV, seperti penggunaan narkoba suntik (IDUs) dan berperilaku seks berisiko perlu dicari kemungkinan ko-infeksi TB-HIV. Beberapa faktor risiko HIV adalah : 1) Transfusi darah 2) Suntik dan tindik sembarangan 3) Pengguna narkotik suntik 4) Tanda bekas suntikan, tatto 5) Hubungan seks dengan penjaja seks komersial atau pasangan pelanggan PSK 6) Hubungan seks bebas 7) Anak dengan orang tua risiko tertular HIV.
f. Alur Diagnosis TB Paru Dewasa Alur diagnosis TB paru dewasa seperti pada bagan berikut :
g. Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks Penjaringan pertama suspek TB dilakukan melalui pemeriksaan dahak mikroskopis. Pada sebagian besar TB paru, diagnosis ditegakkan hanya dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis, dan tidak memerlukan foto toraks. Pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan, dengan indikasi : 1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks diperlukan untuk mendukung diagnosa TB paru BTA positif 2) Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS pertama hasilnya negatif, setelah pemberian antibiotika non OAT 2 minggu tidak ada perbaikan dan pemeriksaan dahak ulangnya tetap negatif 3) Pasien yang mengalami komplikasi antara lain : sesak nafas berat (penumotoraks, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleura) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan brokiektasi atau aspergiloma).
h. Indikasi Pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan Pemeriksaan biakan bukan merupakan pemeriksaan rutin dalam mendiagnosa TB karena belum menjadi kebijakan program penanggulangan TB nasional. Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan diindikasikan pada kasus: 1) Gagal terapi 2) TB Kronik 3) TB-HIV 4) TB BTA Negatif
i. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat determinan yaitu :
Lokasi atau organ yang sakit : paru atau ekstraparu
Bakteriologi : BTA positif atau BTA negatif
Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat
Riwayat pengobatan TB sebelumnya : baru atau sudah pernah berobat
1) Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: a) TB Paru : Adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru tidak termasuk pleura dan kelenjar pada hilus b) TB Ekstraparu: Adalah TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericard), kelenjar getah bening lain, tulang, sendi, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll
2) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis a) TB paru BTA posistf bila :
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 pemeriksaan SPS hasilnya BTA posiitif
Satu (1) pemeriksaan dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks menunjukkan proses specifik
Satu (1) pemeriksaan dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif
Satu (1) atau lebih pemeriksaan dahak SPS ulang hasilnya BTA positif setelah 3 pemeriksaan dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT
b) TB paru BTA negatif, bila :
Pemeriksaan 3 pemeriksaan dahak SPS hasilnya negatif; Setelah pemberian antibiotika non OAT (bukab golongan kuinolon) tidak ada perbaikan klinis dan pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif didukung oleh foto toraks yang menunjukkan gambaran proses spesifik
Atas pertimbangan dokter untuk diberi pengobatan
3) Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit a) TB Paru BTA negatif foto toraks menunjukkan gambaran proses spesifik dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakit, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambaran foto toraks menunjukkan gambaran kerusakan paru yang luas dan atau keadaan pasien buruk.
b) TB ekstraparu dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
TB ekstraparu ringan, misalnya: kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal
TB ektraparu berat, misalnya meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, tulang belakang, usus, saluran kencing dan alat kelamin
Catatan : Bila seorang pasien TB juga mempunyai TB ekstraparu, maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB Paru Bila seseorang pasien dengan TB ekstraparu pada beberapa organ maka dicatat sebagai TB ekstraparu pada organ yang penyakitnya paling berat.
j.
Tipe Pasien Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu: 1) Kasus Baru : Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan 2) Kambuh (Relaps) : Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, diagnosis kembali dengan BTA positif atau biakan positif 3) Kasus Lalai Berobat (Default) : Pasien yang telah berobat lebih dari sebulan dan putus berobat 2 bulan atau lebih, datang lagi dengan BTA positif 4) Kasus Gagal: Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan (AP) Pasien BTA negatif dan foto toraks menunjukkan gambaran proses spesifik setelah diobati pada akhir tahap awal menjadi BTA positif 5) Kasus Pindahan (Transfer In) Pasien yang pindah berobat dari RS/UPK atau kabupaten/kota yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya
6) Lain-lain : Semua kasus TB yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk TB Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang.
B. Penemuan Kasus Tb Pada Anak 1. Gejala Gejala dan tanda TB pada anak sangat bervariasi : a.
Anoreksia (nafsu makan tidak ada)
b.
Masalah BB :
BB turun tanpa sebab yang jelas
BB tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi yang adekuat (gagal tumbuh)
c.
BB naik tapi tidak sesuai dengan grafik tumbuh.
Demam lama (≥ 2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang jelas; dapat disertai keringat malam dengan demam yang umumnya tidak tinggi (subfebris)
d.
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang biasanya multipel, saling melekat dan tidak nyeri tekan
e.
Batuk lama ≥ 3 minggu dan sebab lain telah disingkirkan
f.
Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
2. Diagnosis a. Untuk diagnosis TB pada anak mengacu pada Pedoman Nasional Tuberkulosis pada Anak yang telah dibuat oleh IDAI, menggunakan sistim skoring yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Diagnosis dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang lainnya seperti:
Pemeriksaan mikrobiologi (BTA, PCR dan kultur M. Tuberculosis) dengan specimen bilas lambung, pungsi pleura, pungsi lumbal, pungsi asites
Patologi Anatomi : sitologik dan histopatologik (kelenjar getah bening atau jaringan lainnya)
Pencitraan : USG, Radiologik dan CT Scan, termasuk foto tulang dan sendi
Funduscopi, bronkoskopi
b. Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini : 1) Tanda Bahaya:
Kejang, kaku kuduk
Penurunan kesadaran
Kegawatan lain misalnya sesak nafas
2) Foto toraks menunjukkan gambaran millier, cavitas, efusi pleura 3) Gibbus, koksitis
c. Setelah anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skoring: 1) Jika jumlah skor ≥ 6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (Obat Anti Tuberkulosis) 2) Jika skor ≤ 6 tetapi secara klinis dicurigai TB maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti di atas.
3. PENEMUAN KASUS TB PADA ORANG DENGAN HIV-AIDS (ODHA) Pada orang dengan HIV positif (ODHA) sulit menemukan kasus TB dengan cara-cara seperti biasa. Angka kematian ODHA dengan TB jauh lebih tinggi daripada pasien TB yang HIV negatif, oleh karena itu penegakan diagnosis TB pada ODHA tidak boleh terlambat supaya pengobatan TB dapat segera dimulai. Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA Rawat jalan dan ODHA Rawat Inap sebagaimana bagan berikut ini:
IV.
DOKUMENTASI 1. Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sumedang Nomor: 445/ Kep.
/MDG’s/2013 tentang Kebijakan Pelayanan TB dengan Strategi DOTS.
2. Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sumedang Nomor: 445/ Kep.
/MDG’s/2013 tentang Pedoman Manajerial Pelayanan TB dengan Strategi
DOTS. 3. Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sumedang Nomor: 445/ Kep.
/MDG’s/2013 tentang Pedoman Pengorganisasian Pelayanan TB dengan
Strategi DOTS. 4. Format Permintaan Pemeriksaan Radiologi dan Laboratorium 5. Dokumen Rekam Medis Pasien
PANDUAN PENGOBATAN TB DI RUMAH SAKIT
I.
Pengertian Pedoman untuk pemberian Obat Anti tuberkulosis (OAT) bagi pasien Tuberkulosis (TB).
II. Ruang Lingkup Pemberian OAT bagi : 1. Pasien baru TB Paru BTA Positif 2. Pasien TB paru BTA negatif disertai foto toraks dengan gambaran proses spesifik 3. Pasien TB ekstraparu
III. Tata Laksana A. Tujuan dan Prinsip Pengobatan 1. Tujuan Pengobatan : a. Menyembuhkan pasien b. Mencegah kematian c. Mencegah kekambuhan d. Memutuskan rantai penularan e. Mencegah terjadinya kekebalan terhadap OAT f. Mengurangi dampak sosial dan ekonomi
2. Prinsip Pengobatan a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari menggunakan monoterapi. Pemakaian OAT – Kombinasi Dosis Tetap (KDT) akan lebih menguntungkan. b. Untuk menjamin kepatuhan pasien dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) c. Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap : 1) Tahap Awal
Pada tahap awal pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat
Bila pengobatan tahap awal tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan
2) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. harus diberikan dalam bentuk kombinasi
B. Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Obat yang digunakan Program Penanggulangan TB adalah obat lini pertama, terdiri dari : a. Isoniazid / INH (I)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pengobatan
Obat ini sangat efektif terhadap kuman yang sedang berkembang
Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan tahap lanjutan 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB
b. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman persisten yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid
Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk obat harian maupun tahap lanjutan 3 kali seminggu
c. Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam
Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan tahap lanjutan 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB
d. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid
Pasien berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 g/hr, sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 g/hr
e. Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik
Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan tahap lanjutan 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB
C. Paduan Obat dan Peruntukannya 1. Kategori – 1 KDT : 2 (RHEZ)/4 (HR)3 Paduan OAT ini diberikan untuk : a. Pasien baru TB Paru BTA Positif b. Pasien TB paru BTA negatif disertai foto toraks dengan gambaran proses spesifik c. Pasien TB ekstraparu Dosis Kategori 1 KDT : Berat Badan
Tahap Awal
Tahap lanjutan
Setiap hari
3 kali seminggu
(56 dosis)
Selama 16 minggu (48 dosis)
30 – 37 kg
2 kaplet 4 KDT
2 tablet 2 KDT
38 – 54 kg
3 kaplet 4 KDT
3 tablet 2 KDT
55 – 77 kg
4 kaplet 4 KDT
4 tablet 2 KDT
≥ 71 kg
5 kaplet 4 KDT
5 tablet 2 KDT
2. Kategori 2 KDT : 2 (HRZE) S/ (HRZE)/ 5 (HR) 3E3 Paduan obat ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya : a. Pasien kambuh b. Pasien gagal c. Pasien dengan pengobatan setelah default Dosis Kategori 2 KTD : Berat Badan
Tahap Awal
Tahap lanjutan
Setiap hari
3 kali seminggu
56 dosis
28 dosis
selama 20 minggu (60 dosis)
30 – 37 kg
2 kaplet 4 KDT + 500
2 tablet 2 KDT
2 tablet 2 KDT +
mg Streptomisin inj 38 – 54 kg
3 kaplet 4 KDT + 750
+ 2 tab Etambutol 3 tablet 2 KDT
mg Sterptomisin inj 55 – 77 kg
4 kaplet 4 KDT + 1000
tab Etambutol 4 tablet 2 KDT
mg Streptomisin inj ≥ 71 kg
5 kaplet 4 KDT + 1000
3 tablet 2 KDT + 3
4 tablet 2 KDT + 4 tab Etambutol
5 tablet 2 KDT
mg Streptomisin inj
5 tablet 2 KDT + 5 tab Etambutol
Catatan : Untuk pasien usia 60 tahun ke atas dosis maksimal streptomisin adalah 500 mg.
3. OAT Sisipan KDT (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap awal aktegori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari) Dosis sisipan KDT : Berat Badan
Pemberian setiap hari selama 28 hari (28 dosis)
30 – 37 kg
2 kaplet 4 KDT
38 – 54 kg
3 kaplet 4 KDT
55 – 77 kg
4 kaplet 4 KDT
≥ 71 kg
5 kaplet 4 KDT
4. Kategori Anak (2RHZ/ 4RH) Prinsip dasar pengobatan TB anak adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari. Baik pada tahap awal maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan BB anak. a. Dosis Anak Kombipak : Jenis
BB
BB
BB
< 10 Kg
10 – 19 Kg
20 -33 Kg
Isoniasid
50 mg
100 mg
200 mg
Rifampisin
75 mg
150 mg
300 mg
Pirasinamid
150 mg
300 mg
600 mg
b. Dosis Anak KDT BB (Kg)
2 bulan tiap hari
4 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150 mg)
RH (75/50 mg)
5–9
1 tablet
1 tablet
10 – 14
2 tablet
2 tablet
15 – 19
3 tablet
3 tablet
20 – 32
4 tablet
4 tablet
Catatan : 1) Bila BB ≥ 33 Kg, dosis disesuaikan dengan tabel 2 2) Bila BB < 5 KG, tidak menggunakan OAT KDT Anak, tetapi menggunakan obat lepas dengan dosis dihitung berdasarkan BB. 3) OAT anak KDT tidak boleh diberikan setengah dosis tablet 4) Perhitungan pemberian tablet diatas sudah memperhatikan kesesuaian dosis per kg BB.
D. Pengobatan Pencegahan untuk anak (Kemoprofilaksis) Sekitar 50-60% balita yang tinggal serumah dengan pasien TB Paru BTA positif,akan terinfeksi TB. Kira-kira 10% dari yang terinfeksi tersebut akan sakit TB. Infeksi TB pada balita beresiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksi untuk mencegah saki TB.
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontrak erat dengan pasien TB BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan :
Bila anak mempunyai gejala-gejala seperti TB harus dilakukan pemerikaan lebih lanjut sesuai dengan alur deteksi dini TB anak
Bila anak balita tidak mempunyai gejala-gejala seperti TB (sehat) dan balita tersebut mendapat nilai < 5 pada sistem pembobotan harus diberikan pengobatan pencegahan dengan isoniasid (INH) dengan dosis 5-10 mg per kg berat badan per hari selama 6 bulan Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberi BCG setelah pengobatan pencegahan dengan INH selesai.
IV. Dokumentasi 1. Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sumedang Nomor: 445/Kep.
/MDG’s/2013 tentang Kebijakan Pelayanan TB dengan Strategi DOTS.
2. Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sumedang Nomor: 445/Kep.
/MDG’s/2013 tentang Pedoman Manajerial Pelayanan TB dengan
Strategi DOTS. 3. Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sumedang Nomor: 445/Kep.
/MDG’s/2013 tentang Pedoman Pengorganisasian Pelayanan TB
dengan Strategi DOTS. 4. Formulir dan Pencatatan TB: a. TB. 01
: Kartu Pengobatan pasien TB
b. TB. 02
: Kartu identitas pasien TB
c. Tb. 03 UPK
: Register pasien TB di UPK
d. TB. 04
: Register laboratorium TB
e. TB. 05
:
Formulir
permohonan
laboratorium
TB
pemeriksaan dahak f. TB. 06
: Buku daftar tersangka pasien (suspek) TB
g. TB. 09
: Formulir rujukan / pindah pasien TB
h. TB. 10
:Formulir hasil akhir pengobatan pasien pindah
5. Dokumen Rekam Medis Pasien.
untuk