Pandangan Mengenai Profesi Guru Kalau kita mengaku sebagai bangsa Timur, yang berbudaya Timur, apakah yang kurang pada diri kita? Kenapa topangan etis yang selalu kita dengung-dengungkan "bangsa yang bermoral", "bangsa yang menghargai jasa pahlawan" tidak mampu mensejahterakan bangsa ini? Budaya timur yang kita junjung –kalau kita kritis, hanya di Indonesia sajalah yang tidak terimplementasi dengan baik. Kasus Cina, Malaysia, Singapura, bisa bangkit dengan begitu cepatnya ketika terlanda krisis, kenapa Indonesia tidak?. Jawabannya adalah karena kondisi pendidikan mereka yang maju. Namun jawaban inipun melahirkan pertanyaan; bagaimana kondisi pendidikan mereka bisa maju? Penghargaan terhadap profesi guru inilah yang selama ini menjadi pemicu utama kemorosotan dunia pendidikan kita. Padahal profesi ini begitu mulia dan terhormat, sebab bagaimanapun ketika seseorang menjadi guru atau dosen berarti dia memiliki potensi yang berbeda dengan orang lain yang tidak menjadi guru. Guru berbeda dengan profesi lain, tetapi kenapa guru dan dosen sering kali disama-ratakan dengan profesi lain? hanya dianggap sebagai pengemudi dan pengendali anak didik agar terhindar dari kebodohan? Setelah si anak didik mencapai tujuan (pandai dan lulus) lalu mereka (guru dan dosen) hanya diberi ucapan terima kasih dengan gaji (ongkos) yang begitu minim, dan karena saking minimnya gaji ini tersemat "Guru adalah pahlawan
tanpa
tanda
Jasa".
Harus disadari bahwa antara guru dan dunia pendidikan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, pendidikan akan hidup ketika guru mampu menciptakan suasana belajar (learning situation) yang humanis dan demokratis dengan orientasi visi yang jelas. Guru-pun akan memberikan performa yang baik dan akan menjalankan proses instruksional yang optimal
ketika
eksistensinya
betul-betul
‘dihargai’
dalam
institusi
pendidikan.
Sebab,
bagaimanapun guru merupakan salah satu pilar utama keberhasilan dunia pendidikan yang bakal melahirkan out put yang berkualitas, bahkan guru pula-lah yang dapat menentukan maju
dan
hancurnya
sebuah
negara.
Kita dapat menjumpai pelajaran sejarah dunia yakni kasus yang terjadi pasca peledakan Herosima dan Nagasaki di Jepang, Kaisar Jepang saat itu, tidak mengeluhkan luluh-lantahnya dua propinsi Jepang tersebut. Karena ia sadar sikap "cengeng" tidak menyelesaikan masalah. Ia mengevaluasi dan menemukan jawaban bagi bangsanya, bahwa kuncinya ada pada keberadaan guru; masih adakah guru yang tersisa untuk mendidik bangsa? Di sanalah sebuah bangsa
akan
bangkit.
Profesionalisme
Guru
dan
Sertifikasi.
Lahirnya UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003. dan UU RI No 14 tentang Guru dan Dosen dan Sertifikasi merupakan anggitan awal peningkatan mutu dan penghormatan terhadap guru. Anggitan awal ini disertai dengan implementasi uji sertifikasi yang telah dilaksanakan oleh baik DIKNAS ataupun Depag 6 bulan yang lalu. Sertifikasi sendiri apabila diperoleh adalah sebagai wujud peningkatan gaji guru dan dosen, juga demi profesionalisme guru dan dosen. UU Guru memberikan perlindungan hukum dalam hal; profesi, kesejahteraan, jaminan social, hak dan kewajiban. UU ini juga dilengkapi tentang prasyarat sebagai guru bahwa guru harus memiliki, Melihat
kualifikasi idealisme
kompetensi
Isi,
yang Proses
akademik, hendak dan
dicapai
Kelulusan,
kompetensi, yakni sesuai
dan
peningkatan dengan
sertifikat mutu
UU
pendidik.
pendidikan
SISDIKNAS
dengan
2003
dan
membandingkan dengan peliknya profesionalisme guru ini diperoleh, sekilas pikir, kita akan mengatakan Indonesia layak menjadi macan Asia 2030 mendatang. Namun ketika kita korek ke dalam, bahwa uji sertifikasi dilaksanakan dengan model uji Portofolio, harapan ini patut dipertanyakan. Pertama, guru yang memproduksi kita, bahkan yang mendidik mereka yang saat ini menelurkan UU guru dan dosen, juga Tim Sertifikasi Guru, adalah murid dari Guru produk masa lampau, yang saat itu tradisi dokumentasi sangat jarang, yang berimbas pada kemungkinan
lolos
untuk
sertifikasi
mereka
minim.
Kedua, dengan portofolio, mempermudah guru-guru muda mendapatkan sertifikat ini, dengan pemikiran bahwa saat ini IT adalah hal yang sepele, dan berbagai dokumen yang dibutuhkan untuk mendapatkan sertifikat adalah hal sangat mudah. Tidak adanya pembedaan uji sertifikasi antara guru lama (yang hampir pensiun) dengan guru muda adalah permasalahan pertama
peningkatan
mutu
pendidikan
di
Indonesia.
Permasalahan kedua dari peningkatan mutu pendidikan Indonesia adalah Standar pendidikan Indonesia masih kebingungan mencari pola. Standar isi dan kelulusan yang ada sampai saat ini masih mengkopi tradisi negara Orang (Barat), model kelulusan akhir UAN yang melulu kognitif dan standar isi kurikulum yang masih menganut domain Bloom (pengembangan kognitif, psikomotorik, dan afektif siswa), secara praksis tidak aplikable dalam kondisi pendidikan Indonesia. Indonesia adalah negara kepulauan yang rata-rata penduduknya mendiami daerah pedesaan. Konsekuwensi dari standar isi model bloom ini adalah pelapukan desa, warga terdidik lebih senang mencari penghidupan di kota dari pada di desa karena memang mereka hanya dibekali model keilmuan yang seuai dengan perilaku dan paradigma kota,
hingga
potensi
desa
tidak
dapat
dikembangkan.
Memikirkan Indonesia maju adalah memikirkan bagaimana mengembangkan potensi yang ada di desa menjadi tenaga pendorong kemajuan bangsa. Kalau setiap desa di Indonesia mampu mengembangkan diri, maka Indonesia tidak lama lagi bersanding sebagai negara maju yang dapat
turut
mangatur
tata-kehidupan
dunia.
Mamajukan desa, berarti mencegah pelapukan desa terjadi, menjadikan semua warga terdidiknya
mampu
mengembangkan
potensi
yang
ada
di
sekitarnya.
Bagaimanakah
mengembangkan warga terdidik yang sadar tentang potensi yang ada di sekitarnya? Jawabannya
adalah
perombakan
Isi
kurikulum
pendidikan
di
Indonesia.
Kalaupun telah kita temui muatan lokal dalam kurikulum pendidikan Indonesia, hal ini belum memberi jalan cukup. Isi kurikulum pendidikan Indonesia harus mencerminkan kepribadian bangsa, salah satu jalannya adalah tawaran standar isi kuikulum yang berbeda dengan yang ada, tidak cukup dengan mengganti model, dari CBSA, KBK ke KTSP. Pendidikan ini butuh perubahan revolusioner. Kita dapat memulai berpikir tentang menjadikan sistem pendidikan pesantren
sebagai
model
pendidikan
Indonesia.
Berbeda dengan paradigma pendidikan umum, di dalam sistem pendidikan pesantren selain mengembangkan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik, lembaga pendidikan pesantren adalah
gabungan
antara
penguasaan
sumber
ilahi
dan
persemaian
sinergis
dengan
masyarakat. Menurut penelitian M. Dian Nafi', di pesantren mengenal tiga paradigma berbeda dengan pendidikan umum, yakni ranah faqaha' (pemahaman terhadap agama), thabi'ah (pembentukan karakter) dan Kafa'ah (kecakapan operasioanal). Proses pembentukan ranah faqaha' adalah dengan ta'lim (pembelajaran) yang akan menghasilkan kecakapan kognitif (tadlil / mampu menunjukkan alasan), ranah thabi'ah dilalui dengan model belajar taslik (pencarian dan pembuktian), model belajar ini akan menghasilkan uswah (contoh) yang baik, yang selama ini tidak kita miliki. Paradigma Kafa'ah terbentuk melalui tasfiq (mengalih bentukan/praktek) dari ilmu teoritis ke dalam kondisi real masyarakat. Model paradigma ini akan
menghasilkan
keilmuan
yang
dapat
dipertanggung
jawabkan
(syahadah).
Pemikiran tentang peralihan model pendidikan umum ke pesantren ini dengan standarisasi dan kompetensi kelulusannya, untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia ini bukanlah kajian melangit. Mengingat di samping keunggulan di atas, pesantren telah lama memelopori eduacation based comunity, juga aducation based liffe skill. Juga dengan menjamurnya sistem full day school adalah padanan sistem pesantren dalam bentuk lain.Kalaupun ini tidak memberi solusi, setidaknya tawaran menjadikan Indonesia maju melalui pengembangan desa, telah dirintis dari awal oleh pesantren. Terakhir dengan UU SISDIKNAS dan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Setidaknya dengan itu akan mampu memajukan pendidikan di Indonesia, setidaknya dengan UU tersebut guru lebih dihargai.
Langkah-Langkah Strategis Dalam Mewujudkan Guru Sebagai Profesi Written by Harry
friday, 24 august 2007 Last Updated ( Friday, 24 August 2007 )
A. Pendahuluan
Berbagai pihak telah lama menyadari bahwa guru memiliki peran yang sangat sentral dalam pengembangan manusia yang utuh sebagai sumber daya pembangunan yang tangguh. Namun demikian, kesadaran tersebut belum sepenuhnya diikuti oleh pemberian perhatian dan penghargaan yang pantas kepada guru sesuai dengan bebannya yang berat dan penting. Akibatnya, pekerjaan sebagai guru kurang menarik – dalam banyak hal pekerjaan guru merupakan pilihan terakhir. Konsekuensinya adalah bahwa sebagian besar jabatan guru dipegang oleh mereka dengan kapasitas rata-rata. Dampak lain dari kurangnya perhatian dan penghargaan kepada guru adalah rendahnya
kinerja/profesionalitas guru. Karena penghasilan mereka kurang memadai, banyak guru yang terpaksa melakukan pekerjaan sambilan yang sangat potensial. mengakibatkan menurunnya mutu proses pembelajaran. Menyadari akan peran penting guru dan potensi buruk yang dapat timbul sebagai akibat dari kurangnya perhatian dan penghargaan yang selama ini masyarakat dan pemerintah berikan kepada guru, berbagai pihak telah memiliki kesatuan pandangan dan tekad untuk meningkatkan kesejahteraan dan kinerja guru melalui pengakuan bahwa guru sebagai profesi seperti profesi lainnya misalnya dokter, advokat, dsb. Tekad yang kuat dari berbagai pihak itu telah diwujudkan dalam berbagai bentuk, misalnya diselenggarakannya seminar-seminar oleh berbagai institusi dan diterbitkannya artikel-artikel tentang guru sebagai profesi di berbagai media. Kristalisasi dari tekad itu diwujudkan dalam bentuk Deklarasi Guru sebagai Profesi oleh Presiden RI pada tanggal 2 Desember 2004. Selain itu, RUU tentang guru yang telah disusun dan dibahas selama beberapa tahun terakhir ditetapkan sebagai undang-undang pada tanggal 6 Desember 2005 (UU tentang Guru dan Dosen). Dukungan moral dari berbagai institusi dan elemen masyarakat, deklarasi Guru sebagai Profesi oleh Presiden RI, dan ditetapkannya UU tentang Guru dan Dosen tidak cukup untuk menjadikan guru sebagai profesi. Yang diperlukan lebih lanjut adalah langkah-langkah strategis yang tepat, riil, dan realistis yang secara bertahap dapat merealisasikan guru sebagai profesi. Tulisan pendek ini berisi gagasan mengenai langkah-langkah strategis untuk mewujudkan guru sebagai profesi tersebut. B. Langkah-langkah Strategis untuk Mewujudkan Guru sebagai Profesi Setidak-tidaknya ada 6 (enam) langkah pokok yang perlu diambil untuk mengembangkan guru sebagai profesi, yaitu pengembangan sistem penjaminan mutu guru, pembenahan manajemen guru, pembenahan sistem renumerasi guru, pengembangan pola pendidikan profesi guru, pengembangan organisasi profesi guru, dan perumusan kode etik guru sebagai profesi. 1. Pengembangan sistem penjaminan mutu guru Harkat dan martabat suatu profesi ditentukan oleh kualitas layanan profesi yang didukung oleh praktisi profesi yang dapat dijamin mutunya. Oleh karena itu, perlu ditetapkan standar kompetensi guru yang menjadi acuan penilaian kompetensi. Lulusan dari lembaga terakreditasi penyelenggara pendidikan profesi guru yang menempuh dan lulus uji kompetensi akan mendapatkan Sertifikat Kompetensi dan Nomor Register yang sekaligus merupakan pengakuan resmi kemampuannya dan bukti kewenangannya untuk mengajar sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dan/atau bidang studi tertentu. Untuk menjamin pengembangan kemampuan guru sesuai dengan tuntutan perkembangan, sertifikat kompetensi ini perlu diperbaharui oleh guru lima tahun sekali. Sehubungan dengan hal ini perlu dikembangkan sistem penjaminan mutu guru. Terkait dengan penjaminan ini perlu dibentuk badan pelaksana uji kompetensi dalam rangka sertifikasi yang secara bertahap akan dikembangkan menjadi lembaga independen semacam Badan Sertifikasi Nasional untuk Profesi Guru. 2. Pembenahan manajemen guru Proses rekrutmen, pengangkatan, dan penempatan guru selama ini diwarnai oleh KKN. Akibatnya calon yang terseleksi dan diangkat sebagai guru banyak yang kurang berkualitas, dan penempatan guru kurang tepat dan merata. Guru sebagai profesi harus bercirikan pada transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme. Oleh karena itu ke depan seleksi dan penempatan guru harus benar-benar transparan, akuntabel, dan profesional. Selain itu, perlu dibuat perangkat perundangan untuk menjamin sistem pembinaan karir guru sebagai profesi. Perangkat perundangan tersebut harus memberi kepastian kepada guru dalam jaminan perlindungan profesi, penghargaan yang sepadan dengan prestasi dan produktivitas, serta kesempatan untuk berkembang baik melalui studi lanjut, penugasan ke satuan pendidikan atau instansi kependidikan yang dapat memberi peluang pengembangan profesi. Dengan jaminan pembinaan dan pengembangan karir yang jelas serta dibarengi dengan tingkat renumerasi yang memadai, profesi guru akan lebih menarik bagi masyarakat. 3. Pembenahan sistem renumerasi guru Dengan alasan keterbatasan kemampuan keuangan pemerintah, selama ini gaji yang ditetapkan untuk guru rendah dan oleh karenanya jauh dari layak. Hal ini diperburuk oleh sedikitnya/langkanya peluang bagi guru untuk mengembangkan profesionalisme melalui penataran, studi lanjut, dan penugasan lainnya yang berorientasi pada pengembangan karir. Keadaan ini lebih diperburuk lagi dengan sistem penggajian bahwa gaji bagi guru dengan pangkat/golongan dan masa kerja yang sama diberi gaji yang sama tanpa memperhatikan
apakah yang bersangkutan menunjukkan kinerja yang baik. Menyadari sistem renumerasi yang kurang ‘menantang’ dan kurang memperhatikan kinerja (sehingga kurang adil) tersebut, agar profesionalitas guru meningkat perlu dilakukan pembenahan terhadap sistem renumerasi guru. Pembenahan sistem renumerasi guru menyangkut beberapa hal pokok. Pertama, gaji guru harus disesuaikan/ditingkatkan sampai jumlah yang layak bagi kehidupan yang sejahtera. Ke dua, selain pangkat/golongan, besarnya renumerasi seorang guru harus ditentukan oleh kinerja guru yang bersangkutan. Guru yang berprestasi (misalnya ditunjukkan oleh prestasi siswanya) harus menerima imbalan yang lebih tinggi. Ke tiga, pembinaan karir harus merata bagi semua guru. Namun demikian peluang jabatan dan pembinaan karir/profesionalisme harus diutamakan bagi guru yang berprestasi. Pembenahan yang demikian memerlukan komitmen yang tinggi dari pemerintah dan partisipasi masyarakat secara luas. 4. Pengembangan pola pendidikan profesi guru Sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, salah satu konsekuensi dari pengakuan guru sebagai profesi adalah diperlukannya pendidikan profesi yang berbasis pendidikan tinggi. Hal ini sejalan dengan persyaratan kualifikasi guru sebagaimana diatur dalam standar nasional pendidikan. Selain perlunya pendidikan profesi yang berbasis pendidikan tinggi, perlu dikembangkan pola pendidikan yang benar-benar berorientasi pada pengembangan kemampuan profesional. Pola-pola yang dapat diterapkan antara lain pola terpadu, yaitu pendidikan profesi guru yang memberikan bekal keilmuan dalam bidang studi dan kemampuan profesi pada waktu yang bersamaan. Pada akhir masa studinya yang bersangkutan memperoleh gelar kesarjanaan pada bidang studinya dan lisensi/sertifikat guru. Alternatif lainnya adalah pola pendidikan berkelanjutan, yaitu selama periode tertentu (misalnya 4 tahun) pendidikan difokuskan pada ilmu tertentu yang diakhiri dengan diperolehnya gelar kesarjanaan, dan dilanjutkan dengan program profesi selama 1 tahun untuk memperoleh lisensi menjalankan praktek sebagai guru. Untuk menunjang terciptanya pendidikan profesi guru yang baik, perlu dijalin kemitraan yang intensif antara perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi guru dan sekolah. Kemitraan ini harus menguntungkan bagi kedua belah pihak. Misalnya, sementara perguruan tinggi (PT) dapat mengembangkan kemampuan profesional mahasiswanya di sekolah, guruguru di sekolah akan selalu dapat mengikuti perkembangan dunia pendidikan. Untuk menarik minat calon mahasiswa yang berkemampuan tinggi untuk memasuki program pendidikan profesi guru, perlu dikembangkan bentuk-bentuk insentif bagi mahasiswa pendidikan profesi guru misalnya ikatan dinas, sistem sandwich dalam program induksi, dan berbagai penawaran beasiswa lainnya baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dunia usaha/industri atau yayasan. Untuk menjamin mutu pendidikan, PT yang boleh menyelenggarakan pendidikan profesi guru hanyalah PT yang terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Guru baik sebagai lembaga akreditasi tersendiri atau merupakan bagian dari BAN-PT yang sudah ada. 5. Pengembangan organisasi profesi guru Keberadaan organisasi profesi diyakini penting bagi setiap jenis profesi karena organisasi tersebut yang mengkoordinasikan dan mengawasi jalannya suatu praktek profesi sebagaimana diatur dalam kode etik profesi yang dimiliki dan dihayati oleh setiap profesi. Organisasi tersebut juga menangani berbagai kegiatan seperti urusan lisensi, dewan kehormatan profesi, pemantauan pelaksanaan kode etik profesi, dan pengembangan pendidikan dan pelatihan profesi. Karena di Indonesia belum ada organisasi profesi yang benar-benar mencurahkan perhatiannya secara terfokus pada profesi guru, perlu dikembangkan organisasi profesi guru. Organisasi ini dapat dikembangkan dari PGRI, ISPI, dan Organisasi Guru Bidang Studi. 6. Penyusunan kode etik guru sebagai profesi Disahkannya UU Guru dan Dosen merupakan kemajuan yang sangat berarti bagi dunia pendidikan Indonesia. Undang-undang tersebut penting bagi guru antara lain untuk : 1. Memberikan perlindungan profesi bagi pelaksanaan pekerjaan/jabatan guru. 2. Memberikan jaminan perlindungan hukum bagi guru untuk memperoleh hakhaknya sebagai pengemban profesi yang tidak saja layak/manusiawi, tetapi juga sesuai dengan nilai keterampilan dan keahliannya. 3. Sebagai instrumen hukum untuk memberikan sanksi bagi guru yang melanggar hukum atau kode etik. 4. Memberikan jaminan perlindungan hukum bagi guru dalam menghadapi ancaman dan/atau tindakan siswa, orangtua/wali murid, dan anggota masyarakat. 5. Memberikan jaminan kepastian hukum bagi siswa, orangtua/wali murid dan
masyarakat dalam menerima layanan pendidikan yang profesional. 6. Memberikan jaminan pada meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab profesionalisme dalam bekerja. 7. Memberikan jaminan pada dihasilkannya lulusan sebagai SDM yang berkualitas. Selain undang-undang, yang perlu disusun adalah kode etik guru sebagai profesi. Sebagaimana profesi-profesi lainnya seperti dokter dan advokat, guru sebagai profesi memerlukan kode etik dalam menjalankan profesinya. Kode etik yang dimaksud adalah seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi. Kode etik ini merupakan persetujuan bersama yang timbul dari para anggota sesuai dengan nilai-nilai ideal yang mereka harapkan. Kode etik penting bagi guru antara lain dalam hal : 1. Menjaga dan meningkatkan kualitas moral guru. 2. Menjaga dan meningkatkan kompetensi guru sebagai profesi, dan. 3. Perlindungan kesejahteraan terhadap guru. Dalam menjalankan tugasnya, guru harus selalu terikat pada kode etiknya. Guru dengan sendirinya akan menghindarkan dirinya dari melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji atau merugikankan peserta didik. Dengan demikian kualitas layanan pendidikan akan maksimal, kinerja guru optimal, dan mutu lulusan akan sangat baik. C. Penutup Masa depan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia ditentukan oleh kinerja guru. Hanya guru yang profesional dan dapat mengimplementasikan profesionalismenya secara penuh yang dapat mewujudkan bangsa yang cerdas dan berbudi luhur yang pada gilirannya dapat melaksanakan pembangunan di segala bidang, misalnya ekonomi, politik, hukum, dan kesehatan secara efektif dan efisien. Untuk itu sudah saatnya masyarakat dan pemerintah menempatkan dan menghargai jabatan/pekerjaan guru sebagai profesi yang sama atau lebih baik daripada profesi lainnya. Sehubungan dengan hal itu diperlukan suatu kebijakan/langkahlangkah nyata yang secara komprehensif dan berkesinambungan mewujudkan guru sebagai profesi yang antara lain meliputi pengembangan sistem penjaminan mutu, pembenahan manajemen guru, pembenahan sistem penghargaan guru, pengembangan pola pendidikan profesi guru, pengembangan organisasi profesi guru, dan perumusan kode etik guru sebagai profesi. Perlu disadari bahwa pengembangan profesi guru tidak akan optimal tanpa peran serta masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu kepedulian masyarakat pada umumnya perlu ditingkatkan. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pendidikan, implementasi kebijakan pendidikan, evaluasi kebijakan pendidikan, pemutakhiran kompetensi guru, dan peningkatan kesejahteraan guru perlu terus digali dan dioptimalkan. Digunting dari: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0603/27/humaniora/2539642.htm
Jangan Takut Menjadi Guru SUPARMAN
Undang-Undang Guru dan Dosen mengajak
kita percaya bahwa program kualifikasi, sertifikasi, dan pemberian beberapa tunjangan untuk guru akan meningkatkan kualitas guru dan secara otomatis mendongkrak mutu pendidikan. Tentu kita tidak percaya sepenuhnya. Mengapa? Karena ada satu hal yang sering kali terluput dari diskursus tentang rendahnya kualitas guru di Indonesia, yaitu soal birokratisasi profesi guru. Birokratisasi profesi guru di zaman Orde Baru telah menghasilkan mayoritas guru bermental pegawai. Orientasi jabatan sangat kental melekat dalam diri para guru. Jabatan guru utama— sebagaimana layaknya guru besar di perguruan tinggi—tidak lagi dilihat sebagai tujuan puncak karier yang harus diraih seorang guru, melainkan lebih pada jabatan kepala sekolah atau jabatan-jabatan birokrasi lainnya di dinas-dinas pendidikan maupun di departemen pendidikan. Semangat profesionalismenya luntur seiring terjadinya disorientasi jabatan ini.
Birokratisasi juga menciptakan hubungan kerja "atasan-bawahan", yang lambat laun menghilangkan kesejatian profesi guru yang seharusnya merdeka untuk menentukan berbagai aktivitas profesinya tanpa harus terbelenggu oleh juklak dan juknis (petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis) yang selama ini menjadi bagian dari budaya para birokrat. Guru menjadi tidak kreatif, kaku, hanya berfungsi sebagai operator atau tukang dan takut melakukan berbagai pembaruan. Rasa takut itu pada akhirnya semakin memperkokoh kekuasaan birokrasi dengan menjadikan guru sebagai bagian dari pegawai-pegawai bawahan yang harus tunduk patuh pada perintah "atasan". Guru yang berani mengkritik, apalagi memprotes tindakan "atasan" yang tidak benar, dengan mudah diperlakukan sewenang-wenang seperti diintimidasi, dimutasi, diturunkan pangkatnya atau bahkan dipecat dari pekerjaannya. Kasus mutasi Waldonah di Temanggung, kasus mutasi 10 guru di Kota Tangerang, kasus pemecatan Nurlela dan mutasi Isneti di Jakarta, serta beberapa kasus penindasan terhadap guru di berbagai daerah menunjukkan begitu kuatnya proses birokratisasi profesi guru sampai saat ini. Proses yang sama terjadi pula sampai ke dalam kelas. Dalam proses pembelajaran, guru lebih menempatkan diri sebagai agen- agen kekuasaan. Ia memerankan dirinya sebagai pentransfer nilai-nilai ideologi kekuasaan yang tidak mencerahkan kepada anak-anak didiknya daripada membangun suasana pembelajaran yang demokratis dan terbuka. Anak didik dijadikan "bawahan-bawahan" baru yang harus tunduk dan patuh kepada guru sesuai juklak dan juknis atau atas nama kurikulum. Kondisi ini semakin diperparah ketika proses birokratisasi ikut memasuki jejaring organisasi guru. Sebagian pengurusnya dikuasai oleh kalangan birokrasi. Akibatnya, organisasi yang diharapkan mampu membangun komunitas guru yang intelektual-transformatif dan melindungi gerakan pembaruan intelektual guru, justru jadi bagian dari rezim birokrasi yang "mengebiri" kemerdekaan profesi guru. Penunggalan organisasi guru menjadi bagian dari agenda penguatan kekuasaan birokrasi yang tak terlepas dari kepentingan politik kekuasaan yang lebih besar lagi. Bisa dibayangkan, guru menjadi tidak cerdas dan tumpul pemikirannya justru oleh ulah organisasinya sendiri. Sungguh ironis! Debirokratisasi Program kualifikasi, sertifikasi, dan pemberian tunjangan kesejahteraan kepada guru jelas bukan jawaban satu-satunya untuk membangun kualitas guru. Tanpa disertai gerakan debirokratisasi profesi guru, sulit rasanya kesejatian kualitas guru akan terbangun. Oleh karena itu, profesionalisme guru harus dibangun bersamaan dengan dorongan untuk membangun keberanian guru melibatkan diri dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan, bebas menyampaikan berbagai pandangan profesinya, mengkritik, bebas berekspresi dan bebas berserikat sebagai wujud kemandirian profesinya. Bagaimana semua itu dapat diwujudkan? Beberapa pasal dalam UU Guru dan Dosen ternyata menjadikan debirokratisasi profesi guru sebagai bagian penting dari upaya peningkatan kualitas guru. Pasal 14 Ayat 1 Butir (i) menyebutkan: Dalam menjalankan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan. Klausul ini mempertegas hak guru untuk terlibat dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan, mulai dari tingkat sekolah sampai penentuan kebijakan pendidikan di tingkat provinsi maupun pemerintahan pusat. Guru tidak boleh lagi ditempatkan sebagai bawahan yang hanya menerima
berbagai kebijakan birokrasi, tetapi harus duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang partisipatif. Pada pasal yang sama Butir (h) disebutkan: Guru berhak memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi guru. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 41 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa: Guru dapat membentuk organisasi profesi yang bersifat independen, juga Pasal 1 Butir (13) yang menyebutkan: Organisasi profesi guru adalah perkumpulan berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru. Ketiga pasal ini mempertegas kemandirian guru untuk bebas berorganisasi dan melepaskan diri dari kepentingan kekuasaan birokrasi. Pasal 1 Butir (13) mempertegas bahwa siapa pun yang bukan guru tidak dibenarkan mendirikan dan mengurus organisasi guru, seperti yang selama ini banyak dilakukan oleh birokrasi atau bahkan para petualang politik. UU Guru dan Dosen juga memberikan perlindungan hukum kepada guru dari tindakan sewenang-wenang birokrasi, baik dalam bentuk ancaman maupun intimidasi atas kebebasan guru untuk menyampaikan pandangan profesinya, kebebasan berserikat/berorganisasi, keterlibatan dalam penentuan kebijakan pendidikan dan pembelaan hak-hak guru. Pasal 39 Ayat 3 menegaskan bahwa guru mendapat perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi atau pihak lain. Ayat 4 pada pasal yang sama secara tegas memberi perlindungan profesi kepada guru terhadap pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi dan terhadap pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas. UU Guru dan Dosen cukup mendorong proses debirokratisasi profesi guru. Ruang kebebasan guru tanpa harus dibayangi ketakutan pada kekuasaan birokrasi kini mulai terbuka lebar. Birokrasi kekuasaan harus menerima perubahan paradigma yang ditawarkan undang-undang ini. Guru harus berani menempati ruang tersebut. Karena itu, jangan pernah takut lagi untuk menjadi guru yang kreatif! Suparman Guru SMA Negeri 17 Jakarta; Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia Tags: kliping artikel Prev: Puisi Seorang Filsuf Next: Tujuh Ayat Sekolah Unggul
replyshare
10 CommentsChronological Reverse Threaded reply ferryzuljanna wrote on Mar 27, '06 Pendapat kang Arman sendiri sebagai seorang guru bagaimana? How is your personal opinion about to become a teacher, especially in Indonesia? reply armanbelajar wrote on Mar 27, '06, edited on Mar 27, '06 Sebagian pendapat saya ada secara kebetulan sering muncul pada tulisan-tulisan orang lain seperti tulisan di atas ini. Seorang guru memang harus idealis dan profesional. Guru harus kembali bermartabat sebagai agen keshalehan masyarakat. Kembali menjadi panutan di tengah-tengah munculnya berbagai idola. Silakan melihat blog-blog saya yang lain yang berisi pendapat-pendapat yang sejajar dengan pemikiran saya. Terima kasih atas tanggapannya, Pak! reply ferryzuljanna wrote on Mar 28, '06 Boleh saya tulis kembali? Menurut kang Arman, seorang guru itu harus: 1. Idealis dan profesional
2. Bermartabat sebagai agen keshalehan masyarakat 3. Menjadi panutan di tengah berbagai idola Saya yakin penjelasan terhadap tiga hal di atas saja sudah merupakan artikel yang bagus. Saya tunggu artikelnya ya. reply armanbelajar wrote on Mar 28, '06 Hmmm...terima kasih, Pak! Iya, tunggu saja. Lagi sibuk pamitan neeh sama sahabat-sahabat Jepang. Ke perpus akses internet sambil nunggu waktu janjian. Lagi dikembangkan ketiga ide tersebut. Seep!Alhamdulillah. reply ferryzuljanna wrote on Mar 28, '06 Ok bagus sekali. Saya membayangkan, guru yang ideal itu bagaimana ya? Kemudian, apa bedanya dengan guru yang profesional? Wah, nggak sabar nih menunggu artikelnya. reply armanbelajar wrote on Mar 28, '06 Hmm...pertanyaannya menuntun saya membuat kerangka berpikirnya, Pak! Comment deleted at the request of the author. reply agustianwar wrote on Mar 28, '06 Kang Arman, saya termasuk yang prihatin atas keterabaian nasib guru di tanah air. Maklmu juga dari keluarga guru--kakek (alm), paman, bibi, ayah, ibu (alm), adik-adik---banyak yang berprofesi guru/dosen. saya pun selagi sempat, selain sebagai PNS biasa, juga suka mengajar di universitas swasta, karena perasaan tenteram yang diberikan dunia pendidikan, menyumbang sebisanya. Saya kira semangat keguruannya perlu terus diperkuat---kalau bisa sekaligus yang ideal dan profesional, bermartabat saleh dan menjadi panutan (seperti dikutip Mas Ferry di atas). Saya ingat pesan dosen waktu mahasiswa dulu, 'sekali guru tetap guru, tidak ada bekas guru'. Apa yang diberikan guru kita adalah abadi, walaupun pada akhirnya kita bisa lebih tinggi pendidikan dari guru yang dulu, jasa beliau abadi---dan keguruannya tak kan berhenti. Salam, Anwar. reply wyudi70 wrote on Mar 28, '06 Bapak Ibu saya adalah guru SD dengan 7 orang anak. Kami tidak dibesarkan dalam kemewahan hidup, tapi diajarkan untuk cinta pada ilmu. Hampir semua penghasilan digunakan untuk membiyai sekolah anak2nya. Hari ini anaknya yang terakhir di sumpah sebagai seorang dokter. Menurutku guru adalah pekerjaan yang mulia, dan karenanyalah saat smp aku ingin menjadi seorang guru. Dan memang akupun seorang pendidik juga sekarang, meskipun belum berani menyebut diri sebagai seorang guru. Guru, dalam bahasa India, berarti seseorang yang memberi cahaya ketika ada kegelapan. Rasanya aku belum seperti itu. reply diniauliya wrote on Mar 30, '06 sy msh awal banget ...semoga guru2 yg senior bs sering posting jurnal ttg guru...spy jd masukan buat sy sp terus memperbaiki diri sbg guru
http://armanbelajar.multiply.com/journal/item/104/Jangan_Takut_Menjadi_Guru
artikel keguruan - Presentation Transcript 1.
Refleksi Hari Guru Ke-63 Citra guru masa kini SOSOK Ibu Guru Muslimah dalam Film Laskar Pelangi sangat menyentuh hati. Dengan penuh kasih ia didik murid-muridnya, ia terima semua kelebihan dan kekurangan dari murid-murid tersebut. Ia mengajar dengan penuh kelembutan dan dedikasi yang tinggi. Dalam kebimbangan ia mampu menjadi motivator bagi para muridnya. Ketika murid membutuhkan ilmu ia menjadi transformator. Ketika harus menggali kreativitas murid ia menjadi fasilitator. Ketulusan dan kreativitas Guru Muslimah dalam mendidik para muridnya merupakan suatu pelajaran berharga yang patut diteladani, khususnya bagi kaum guru. Seperti apa pun perubahan zaman dan perkembangan teknologi, ketulusan mengabdi seorang guru tetap diperlukan demi masa depan putra-putri bangsa. Walaupun zaman telah berubah, teknologi semakin maju, peradaban semakin berkembang nilai-nilai keluhuran budi harus tetap dipertahankan. Seorang pendidik berkewajiban untuk menumbuhkan nilai-nilai kehidupan, budi pekerti, dan norma-norma pada murid-muridnya. Guru sebagai sosok yang digugu lan ditiru. Dari pameo tersebut tersirat pandangan serta harapan masyarakat terhadap seorang guru. Dalam kedudukan seperti itu guru tidak hanya sebagai pengajar di kelas namun juga tampil sebagai pendidik di sekolah maupun di masyarakat. Harapan ini akan menjadi rancu manakala ada oknum
guru yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Masyarakat menjadi ragu untuk mempercayakan pendidikan putra-putrinya kepada guru. Bagaimana agar citra guru tetap menempati hati masyarakat? Bukan hal mudah untuk menjadi guru yang benar-benar guru, menjadi panutan masyarakat, mampu mengabdikan dirinya dengan tulus. Oleh karena itu dalam rangka menyambut hari guru ke-63 kiranya para guru wajib merenung, introspeksi diri, agar menjadi guru yang mempunyai citra di masyarakat. Kompetensi guru Kualitas guru belakangan ini banyak diragukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Persoalan- persoalan yang menyangkut generasi muda selalu dikaitkan dengan kualitas guru yang pernah mendidiknya. Jika ada siswa tawuran, narkoba, brutal, guru yang pertama disalahkan. Oleh karena itu pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme guru sesuai dengan amanat perundang-undangan guru dan dosen. Berbagai upaya ini antara lain adalah dengan melakukan pelatihan, peningkatan pendidikan bergelar, sertifikasi, dan pemberian tunjangan profesi guru (sambutan Menteri Pendidikan Nasional pada Majalah Suara Guru edisi khusus Hari Ulang Tahun PGRI ke-63). Hal ini sebenarnya merupakan bentuk perhatian pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan citra para guru di hati masyarakat. Profesi guru yang dulu dipandang sebelah mata berangsur-angsur mulai diperhitungkan kembali oleh masyarakat. Guru yang dulunya hanya dikenal sebagai tukang mengajar kini anggapan itu kian terkikis, sebab untuk menjadi guru harus memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional seperti yang tertuang dalam pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kompetensi guru juga tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang 2.
menyatakan bahwa guru perlu menguasai 4 (empat) kompetensi, yakni pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Realitas di lapangan empat kompetensi tersebut belum seluruhnya dikuasai oleh para guru. Sebagai contoh pengembangan kurikulum, guru enggan membuat Program Tahunan (Prota), Program Semester (Promes), silabus bahkan sampai Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Guru lebih senang copy paste perangkat pembelajaran yang sudah ada tanpa mencermati lebih dalam kekurangan dan kelebihan perangkat tersebut. Dalam bidang teknologi guru juga belum banyak yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk pembelajaran. Banyak guru yang masih gaptek (gagap teknologi) sehingga tidak pernah memanfaatkan internet untuk memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan. Tindakan reflektif untuk meningkatkan kualitas belajar wajib dilakukan oleh guru. Kegiatan ini tercermin dalam Penelitian Tindakan Kelas ((PTK). Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru akan lebih baik jika ditulis dalam bentuk karya tulis PTK. Selain untuk memperbaiki kualitas belajar siswa, memperbaiki kualitas pengajaran guru, juga melatih guru untuk berpikir ilmiah. Tujuan yang bagus ini tidak didukung oleh semua guru, lantaran mereka merasa kesulitan menyusun karya tulis, merasa tidak mampu, namun juga tidak mau belajar. Guru memang profesi yang mulia, kepribadiannya pun juga harus mulia. Walaupun masih ada oknum guru yang menentang hukum. Bahkan berita-berita di koran sering memuat tindak asusila yang dilakukan oleh oknum guru. Guru yang semula harus menjadi panutan akhirnya menjadi bahan hinaan masyarakat. Guru yang seperti inilah yang mencoreng citra guru. Upaya pemerintah Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru sudah dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Kegiatan tersebut, antara lain: berbagai bentuk pelatihan, seminar untuk guru- guru mulai dari tingkat gugus hingga tingkat nasional sering diselenggarakan. Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru. Harapannya para guru memperoleh wawasan yang luas dalam mengembangkan karirnya sehingga ilmu-ilmu yang diperolehnya mampu diterapkan di tempat ia bekerja. Guru tidak statis, selalu memperoleh dan mengembangkan ilmunya. Ajang bergengsi untuk guru juga digelar setiap tahun di antaranya lomba keteladanan guru, keteladanan kepala sekolah, lomba keberhasilan guru, dan sejenisnya. Dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat kompetisi tersebut akan mendorong guru untuk meningkatkan kualitasnya, selalu berinovasi, memberikan semangat dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kompetensi guru benar-benar teruji diajang perlombaan tersebut. Fasilitas untuk belajar mengajar yang diberikan pemerintah
juga merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas guru dalam pembelajaran. Fasilitas tersebut akan sangat membantu guru dalam menjalankan tugasnya seperti gedung sekolah, alat peraga, buku-buku, bea siswa, dan sebagainya. Tujuan pembelajaran akan tercapai apabila pembelajaran berlangsung dengan optimal. Pembelajaran akan optimal apabila sarana dan prasarana tercukupi. Oleh karena itu fasilitas belajar mengajar sangat urgen keberadaannya. Sertifikasi bagi guru merupakan bentuk perhatian pemerintah untuk meningkatkan kualitasnya, sebab persyaratan sertifikasi menggambarkan kompetensi guru dalam menjalankan tugasnya. Guru yang memenuhi syarat sertifikasi berhak memperoleh tunjangan profesional. Dengan program semacam ini para guru akan berlomba-lomba meningkatkan kualitas dirinya dalam menjalankan tugas mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Harus diakui bahwa seorang guru yang telah mendapat sertifikat dalam proses sertifikasi harus mampu menunjukkan kinerja lebih optimal. Benarkah sudah demikian? Sebuah pertanyaan yang patut untuk ditindakkritisi dengan 3.
merumuskan seperangkat instrumen penilaian untuk menilai kinerja guru yang sudah tersertifikasi. Sebagai kado HUT Guru ke-63 agaknya kita wajib merenungkan kata-kata William Arthur Ward, “Guru biasa memberitahu, guru baik menjelaskan, guru ulung memperagakan, dan guru hebat mengilhami “. Jadilah guru hebat yang mampu mengilhami siswa sehingga mereka menjadi pemroduksi gagasan bukan pengonsumsi gagasan. Guru yang hebat akan selalu dirindukan oleh murid-muridnya. Pembelajarannya yang bermakna akan selalu ditunggu kehadirannya di sekolah. Ketulusan pengabdiannya akan selalu dikenang di hati masyarakat. Akhirnya, selamat hari guru, selamat berjuang! Embun pagi akan selalu tersenyum menyambut kedatanganmu. R Tantiningsih SPd Guru SDN Anjasmoro Semarang (Dimuat di Koran Sore Wawasan 24 November 2008) BAB I PENDAHULUAN A. LANDASAN 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 butir 6 yang mengemukakan bahwa konselor adalah pendidik, Pasal 3 bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, dan Pasal 4 ayat (4) bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran, dan Pasal 12 Ayat (1b) yang menyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 5 s.d Pasal 18 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah. 3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, yang memuat pengembangan diri peserta didik dalam struktur kurikulum setiap satuan pendidikan difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan. 4. Dasar Standarisasi Profesi Konseling yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2004 untuk memberi arah pengembangan profesi konseling di sekolah dan di luar sekolah.
4.
B. PENGERTIAN Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah/madrasah. Kegiatan pengembangan diri merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian peserta didik yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler. Di samping itu, untuk satuan pendidikan kejuruan, kegiatan pengembangan diri, khususnya pelayanan konseling ditujukan guna pengembangan kreativitas dan karir. Untuk satuan pendidikan khusus, pelayanan konseling menekankan peningkatan kecakapan hidup sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik. Kegiatan pengembangan diri berupa pelayanan konseling difasilitasi/ dilaksanakan oleh konselor, dan kegiatan ekstra kurikuler dapat dibina oleh konselor, guru dan atau tenaga kependidikan lain sesuai dengan kemampuan dan kewenangnya. Pengembangan diri yang dilakukan dalam bentuk kegiatan pelayanan konseling dan kegiatan ekstra kurikuler dapat megembangankan kompetensi dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. C. TUJUAN 1. Tujuan Umum Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat,
kondisi dan perkembangan peserta didik, dengan memperhatikan kondisi sekolah/madrasah. 2. Tujuan Khusus Pengembangan diri bertujuan menunjang pendidikan peserta didik dalam mengembangkan: a. Bakat b. Minat c. Kreativitas d. Kompetensi dan kebiasaan dalam kehidupan e. Kemampuan kehidupan keagamaan 5.
f. Kemampuan sosial g. Kemampuan belajar h. Wawasan dan perencanaan karir i. Kemampuan pemecahan masalah j. Kemandirian D. RUANG LINGKUP Pengembangan diri meliputi kegiatan terprogram dan tidak terprogram. Kegiatan terprogram direncanakan secara khusus dan diikuti oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pribadinya. Kegitan tidak terprogram dilaksanakan secara lansung oleh pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah/madrasah yang diikuti oleh semua peserta didik. Kegiatan terprogram terdiri atas dua komponen: 1. Pelayanan konseling, meliputi pengembangan: a. kehidupan pribadi b. kemampuan sosial c. kemampuan belajar d. wawasan dan perencanaan karir 1. Ekstra kurikuler, meliputi kegiatan: a. kepramukaan b. latihan kepemimpinan, ilmiah remaja, palang merah remaja c. seni, olahraga, cinta alam, jurnalistik, teater, keagamaan E. BENTUK-BENTUK PELAKSANAAN 1. Kegiatan pengembangan diri secara terprogram dilaksanakan dengan perencanaan khusus dalam kurun waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan peserta didik secara individual, kelompok, dan atau klasikal melalui penyelenggaraan: a. layanan dan kegiatan pendukung konseling b. kegiatan ekstra kurikuler.
6.
2. Kegiatan pengembangan diri secara tidak terprogram dapat dilaksanakan sebagai berikut. a. Rutin, yaitu kegiatan yang dilakukan terjadwal, seperti: upacara bendera, senam, ibadah khusus keagamaan bersama, keberaturan, pemeliharaan kebersihan dan kesehatan diri. b. Spontan, adalah kegiatan tidak terjadwal dalam kejadian khusus seperti: pembentukan perilaku memberisalam, membuang sampah pada tempatnya, antri, mengatasi silang pendapat (pertengkaran). c. Keteladanan, adalah kegiatan dalam bentuk perilaku sehari-hari seperti: berpakaian rapi, berbahasa yang baik, rajin membaca, memuji kebaikan dan atau keberhasilan orang lain, datang tepat waktu. BAB II PENGEMBANGAN DIRI MELALUI PELAYANAN KONSELING A. STRUKTUR PELAYANAN KONSELING Pelayanan konseling di sekolah/madrasah merupakan usaha membantu peserta didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kegiatan belajar, serta perencanaan dan pengembangan karir. Pelayanan konseling memfasilitasi pengembangan peserta didik, secara individual, kelompok dan atau klasikal, sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, perkembangan, kondisi, serta peluang-peluang yang dimiliki. Pelayanan ini juga membantu mengatasi kelemahan dan hambatan serta masalah yang dihadapi peserta didik. 1. Pengertian Konseling Konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma- norma yang berlaku. 2. Paradigma, Visi, dan Misi a. Paradigma
7.
Paradigma konseling adalah pelayanan bantuan psiko-pendidikan dalam bingkai budaya. Artinya, pelayanan konseling berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan dan teknologi pendidikan serta psikologi yang dikemas dalam kaji-terapan pelayanan konseling yang diwarnai oleh budaya lingkungan peserta didik. b. Visi Visi pelayanan konseling adalah terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang membahagiakan melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian dukungan perkembangan dan pengentasan masalah agar peserta didik berkembang secara optimal, mandiri dan bahagia. c. Misi 1) Misi pendidikan, yaitu memfasilitasi pengembangan peserta didik melalui pembentukan perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian dan masa depan. 2) Misi pengembangan, yaitu memfasilitasi pengembangan potensi dan kompetensi peserta didik di dalam lingkungan sekolah/ madrasah, keluarga dan masyarakat. 3) Misi pengentasan masalah, yaitu memfasilitasi pengentasan masalah peserta didik mengacu pada kehidupan efektif sehari-hari. 3. Bidang Pelayanan Konseling a. Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan
karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik. b. Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas. c. Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri. d. Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir. 4. Fungsi Konseling 8.
a. Pemahaman, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memahami diri dan lingkungannya. b. Pencegahan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mampu mencegah atau menghindarkan diri dari berbagai permasalahan yang dapat menghambat perkembangan dirinya. c. Pengentasan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mengatasi masalah yang dialaminya. d. Pemeliharaan dan pengembangan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memelihara dan menumbuhkembangkan berbagai potensi dan kondisi positif yang dimilikinya. e. Advokasi, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memperoleh pembelaan atas hak dan atau kepentingannya yang kurang mendapat perhatian. 5. Prinsip dan Asas Konseling a. Prinsip-prinsip konseling berkenaan dengan sasaran layanan, permasalahan yang dialami peserta didik, program pelayanan, serta tujuan dan pelaksanaan pelayanan. b. Asas-asas konseling meliputi asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan, kegiatan, kemandirian, kekinian, kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan, keahlian, alih tangan kasus, dan tut wuri handayani. 6. Jenis Layanan Konseling a. Orientasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah/madrasah dan obyek- obyek yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran peserta didik di lingkungan yang baru. b. Informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan. c. Penempatan dan Penyaluran, yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstra kurikuler. d. Penguasaan Konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terumata kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah, keluarga, dan masyarakat.
9.
e. Konseling Perorangan, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya. f. Bimbingan Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok. g. Konseling Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok. h. Konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik. i. Mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antarmereka. 7. Kegiatan Pendukung a. Aplikasi Instrumentasi, yaitu kegiatan mengumpulkan data tentang diri peserta didik dan lingkungannya, melalui aplikasi berbagai instrumen, baik tes maupun non-tes. b. Himpunan Data, yaitu kegiatan menghimpun data yang relevan dengan pengembangan peserta didik, yang diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematis, komprehensif, terpadu, dan bersifat rahasia. c. Konferensi Kasus, yaitu kegiatan membahas permasalahan peserta didik dalam pertemuan khusus yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik, yang bersifat terbatas dan tertutup. d. Kunjungan Rumah, yaitu kegiatan memperoleh data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik melalui pertemuan dengan orang tua dan atau keluarganya. e. Tampilan Kepustakaan, yaitu kegiatan menyediakan berbagai bahan pustaka yang dapat digunakan peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan sosial, kegiatan belajar, dan karir/jabatan. f. Alih Tangan Kasus, yaitu
kegiatan untuk memindahkan penanganan masalah peserta didik ke pihak lain sesuai keahlian dan kewenangannya. 8. Format Kegiatan 10. a. Individual, yaitu format kegiatan konseling yang melayani peserta didik secara perorangan. b. Kelompok, yaitu format kegiatan konseling yang melayani sejumlah peserta didik melalui suasana dinamika kelompok. c. Klasikal, yaitu format kegiatan konseling yang melayani sejumlah peserta didik dalam satu kelas. d. Lapangan, yaitu format kegiatan konseling yang melayani seorang atau sejumlah peserta didik melalui kegiatan di luar kelas atau lapangan. e. Pendekatan Khusus, yaitu format kegiatan konseling yang melayani kepentingan peserta didik melalui pendekatan kepada pihak-pihak yang dapat memberikan kemudahan. 8. Program Pelayanan a. Jenis Program 1) Program Tahunan, yaitu program pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu tahun untuk masing-masing kelas di sekolah/madrasah. 2) Program Semesteran, yaitu program pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran program tahunan. 3) Program Bulanan, yaitu program pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran. 4) Program Mingguan, yaitu program pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program bulanan. 5) Program Harian, yaitu program pelayanan konseling yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian merupakan jabaran dari program mingguan dalam bentuk satuan layanan (SATLAN) dan atau satuan kegiatan pendukung (SATKUNG) konseling. b. Penyusunan Program 1) Program pelayanan konseling disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik (need assessment) yang diperoleh melalui aplikasi instrumentasi. 2) Substansi program pelayanan konseling meliputi keempat bidang, jenis layanan dan kegiatan pendukung, format kegiatan, sasaran pelayanan, dan volume/beban tugas konselor. 11. (Lampiran 1 dan Lampiran 2a, 2b, 2c, dan 2d) B. PERENCANAAN KEGIATAN 1. Perencanaan kegiatan pelayanan konseling mengacu pada program tahunan yang telah dijabarkan ke dalam program semesteran, bulanan serta mingguan. 2. Perencanaan kegiatan pelayanan konseling harian yang merupakan jabaran dari program mingguan disusun dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG yang masing-masing memuat: a. Sasaran layanan/kegiatan pendukung b. Substansi layanan/kegiatan pendukung c. Jenis layanan/kegiatan pendukung, serta alat bantu yang digunakan d. Pelaksana layanan/kegiatan pendukung dan pihak-pihak yang terlibat e. Waktu dan tempat (Lampiran 3) 3. Rencana kegiatan pelayanan konseling mingguan meliputi kegiatan di dalam kelas dan di luar kelas untuk masing-masing kelas peserta didik yang menjadi tanggung jawab konselor. (Lampiran 1) 4. Satu kali kegiatan layanan atau kegiatan pendukung konseling berbobot ekuivalen 2 (dua) jam pembelajaran. 5. Volume keseluruhan kegiatan pelayanan konseling dalam satu minggu minimal ekuivalen dengan beban tugas wajib konselor di sekolah/ madrasah. C. PELAKSANAAN KEGIATAN 1. Bersama pendidik dan personil sekolah/madrasah lainnya, konselor berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pengembangan diri yang bersifat rutin, insidental dan keteladanan. 2. Program pelayanan konseling yang direncanakan dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis kegiatan, waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terkait. 12. 1. Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Konseling a. Di dalam jam pembelajaran sekolah/madrasah: 1) Kegiatan tatap muka secara klasikal dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan konten, kegiatan instrumentasi, serta layanan/kegiatan lain yang dapat dilakukan di dalam kelas. 2) Volume kegiatan tatap muka klasikal adalah 2 (dua) jam per kelas per minggu dan dilaksanakan secara terjadwal 3) Kegiatan tidak tatap muka dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan konsultasi, kegiatan konferensi kasus, himpunan data, kunjungan rumah, pemanfaatan kepustakaan, dan alih tangan kasus. b. Di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah: 1) Kegiatan tatap muka dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan orientasi, konseling perorangan,, bimbingan kelompok, konseling kelompok, dan mediasi, serta kegiatan lainnya yang dapat dilaksanakan di luar kelas. 2) Satu kali kegiatan layanan/pendukung konseling di luar kelas/di luar jam pembelajaran
ekuivalen dengan 2 (dua) jam pembelajaran tatap muka dalam kelas. 3) Kegiatan pelayanan konseling di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah maksimum 50% dari seluruh kegiatan pelayanan konseling, diketahui dan dilaporkan kepada pimpinan sekolah/madrasah. 4. Kegiatan pelayanan konseling dicatat dalam laporan pelaksanaan program (LAPELPROG). (Lampiran 4). 5. Volume dan waktu untuk pelaksanaan kegiatan pelayanan konseling di dalam kelas dan di luar kelas setiap minggu diatur oleh konselor dengan persetujuan pimpinan sekolah/madrasah (Lampiran 5) 6. Program pelayanan konseling pada masing-masing satuan sekolah/madrasah dikelola dengan memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan program antarkelas dan antarjenjang kelas, dan mensinkronisasikan program pelayanan konseling dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran dan kegiatan ekstra kurikuler, serta mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan fasilitas sekolah/ madrasah. 13. D. PENILAIAN KEGIATAN 1. Penilaian hasil kegiatan pelayanan konseling dilakukan melalui: a. Penilaian segera (LAISEG), yaitu penilaian pada akhir setiap jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling untuk mengetahui perolehan peserta didik yang dilayani. b. Penilaian jangka pendek (LAIJAPEN), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu minggu sampai dengan satu bulan) setelah satu jenis layanan dan atau kegiatan pendukung konseling diselenggarakan untuk mengetahui dampak layanan/kegiatan terhadap peserta didik. c. Penilaian jangka panjang (LAIJAPANG), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu bulan sampai dengan satu semester) setelah satu atau beberapa layanan dan kegiatan pendukung konseling diselenggarakan untuk mengetahui lebih jauh dampak layanan dan atau kegiatan pendukung konseling terhadap peserta didik. 2. Penilaian proses kegiatan pelayanan konseling dilakukan melalui analisis terhadap keterlibatan unsur-unsur sebagaimana tercantum di dalam SATLAN dan SATKUNG, untuk mengetahui efektifitas dan efesiensi pelaksanaan kegiatan. 3. Hasil penilaian kegiatan pelayanan konseling dicantumkan dalam LAPELPROG (Lampiran 4). 1. Hasil kegiatan pelayanan konseling secara keseluruhan dalam satu semester untuk setiap peserta didik dilaporkan secara kualitatif. (Lampiran 6 dan Lampiran 7) E. PELAKSANA KEGIATAN 1. Pelaksana kegiatan pelayanan konseling adalah konselor sekolah/ madrasah. 2. Konselor pelaksana kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah wajib: a. Menguasai spektrum pelayanan pada umumnya, khususnya pelayanan profesional konseling. b. Merumuskan dan menjelaskan peran profesional konselor kepada pihak-pihak terkait, terutama peserta didik, pimpinan sekolah/ madrasah, sejawat pendidik, dan orang tua. c. Melaksanakan tugas pelayanan profesional konseling yang setiap kali dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan, terutama pimpinan sekolah/madrasah, orang tua, dan peserta didik. 14. d. Mewaspadai hal-hal negatif yang dapat mengurangi keefektifan kegiatan pelayanan profesional konseling. e. Mengembangkan kemampuan profesional konseling secara berkelanjutan. (Rincian kewajiban konselor Lampiran 8). 3. Beban tugas wajib konselor ekuivalen dengan beban tugas wajib pendidik lainnya di sekolah/madrasah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. 4. Pelaksana pelayanan konseling a. Pelaksana pelayanan konseling di SD/MI/SDLB pada dasarnya adalah guru kelas yang melaksanakan layanan orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran, dan penguasaan konten dengan menginfusikan materi layanan tersebut ke dalam pembelajaran, serta untuk peserta didik Kelas IV, V, dan VI dapat diselenggarakan layanan konseling perorangan, bimbingan kelompok, dan konseling kelompok. b. Pada satu SD/MI/SDLB atau sejumlah SD/MI/SDLB dapat diangkat seorang konselor untuk menyelenggarakan pelayanan konseling. c. Pada satu SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB/SMK/MAK dapat diangkat sejumlah konselor dengan rasio seorang konselor untuk 150 orang peserta didik. F. PENGAWASAN KEGIATAN 1. Kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah dipantau, dievaluasi, dan dibina melalui kegiatan pengawasan. 2. Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara: a. interen, oleh kepala sekolah/madrasah. b. eksteren, oleh pengawas sekolah/madrasah bidang konseling. 3. Fokus pengawasan adalah kemampuan profesional konselor dan implementasi kegiatan pelayanan konseling yang menjadi kewajiban dan tugas konselor di sekolah/madrasah. 4. Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara berkala dan berkelanjutan.
15. 5. Hasil pengawasan didokumentasikan, dianalisis, dan ditindaklanjuti untuk peningkatan mutu perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah. BAB III PENGEMBANGAN DIRI MELALUI KEGIATAN EKSTRA KURIKULER A. STRUKTUR KEGIATAN EKSTRA KURIKULER 1. Pengertian Kegiatan Ekstra Kurikuler Kegiatan Ekstra Kurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah. 1. Visi dan Misi a. Visi Visi kegiatan ekstra kurikuler adalah berkembangnya potensi, bakat dan minat secara optimal, serta tumbuhnya kemandirian dan kebahagiaan peserta didik yang berguna untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. b. Misi 1) Menyediakan sejumlah kegiatan yang dapat dipilih oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka. 2) Menyelenggarakan kegiatan yang memberikan kesempatan peserta didik mengespresikan diri secara bebas melalui kegiatan mandiri dan atau kelompok. 3. Fungsi Kegiatan Ekstra Kurikuler a. Pengembangan, yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat dan minat mereka. 16. b. Sosial, yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik. c. Rekreatif, yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan suasana rileks, mengembirakan dan menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan. d. Persiapan karir, yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan kesiapan karir peserta didik. 4. Prinsip Kegiatan Ekstra Kurikuler a. Individual, yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang sesuai dengan potensi, bakat dan minat peserta didik masing-masing. b. Pilihan, yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang sesuai dengan keinginan dan diikuti secara sukarela peserta didik. c. Keterlibatan aktif, yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang menuntut keikutsertaan peserta didik secara penuh. d. Menyenangkan, yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler dalam suasana yang disukai dan mengembirakan peserta didik. e. Etos kerja, yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang membangun semangat peserta didik untuk bekerja dengan baik dan berhasil. f. Kemanfaatan sosial, yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat. 5. Jenis kegiatan Ekstra Kurikuler a. Krida, meliputi Kepramukaan, Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS), Palang Merah Remaja (PMR), Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (PASKIBRAKA). b. Karya Ilmiah, meliputi Kegiatan Ilmiah Remaja (KIR), kegiatan penguasaan keilmuan dan kemampuan akademik, penelitian. c. Latihan/lomba keberbakatan/prestasi, meliputi pengembangan bakat olah raga, seni dan budaya, cinta alam, jurnaistik, teater, keagamaan. d. Seminar, lokakarya, dan pameran/bazar, dengan substansi antara lain karir, pendidikan, kesehatan, perlindungan HAM, keagamaan, seni budaya. 6. Format Kegiatan a. Individual, yaitu format kegiatan ekstra kurikuler yang diikuti peserta didik secara perorangan. 17. b. Kelompok, yaitu format kegiatan ekstra kurikuler yang diikuti oleh kelompok- kelompok peserta didik. c. Klasikal, yaitu format kegiatan ekstra kurikuler yang diikuti peserta didik dalam satu kelas. d. Gabungan, yaitu format kegiatan ekstra kurikuler yang diikuti peserta didik antarkelas/antarsekolah/madraasah. e. Lapangan, yaitu format kegiatan ekstra kurikuler yang diikuti seorang atau sejumlah peserta didik melalui kegiatan di luar kelas atau kegiatan lapangan. B. PERENCANAAN KEGIATAN Perencanaan kegiatan ekstra kurikuler mengacu pada jenis-jenis kegiatan yang memuat unsur-unsur: 1. Sasaran kegiatan 2. Substansi kegiatan 3. Pelaksana kegiatan dan pihak-pihak yang terkait, serta keorganisasiannya 4. Waktu dan tempat 5 Sarana (Lampiran 10) C. PELAKSANAAN KEGIATAN 1. Kegiatan ekstra kurikuler yang bersifat rutin, spontan dan keteladanan dilaksanakan secara langsung oleh guru, konselor dan tenaga kependidikan di sekolah/madrasah. 2. Kegiatan ekstra kurikuler yang terprogram dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis kegiatan, waktu, tempat, dan pelaksana sebagaimana telah direncanakan. (Lampiran 11) D. PENILAIAN KEGIATAN Hasil dan proses kegiatan ekstra
kurikuler dinilai secara kualitatif dan dilaporkan kepada pimpinan sekolah/madrasah dan pemangku kepentingan lainnya oleh penanggung jawab kegiatan. (Lampiran 12,13, dan14) 18. E. PELAKSANA KEGIATAN Pelaksana kegiatan ekstra kurikuler adalah pendidik dan atau tenaga kependidikan sesuai dengan kemampuan dan kewenangan pada substansi kegiatan ekstra kurikuler yang dimaksud. F. PENGAWASAN KEGIATAN 1. Kegiatan ekstra kurikuler di sekolah/madrasah dipantau, dievaluasi, dan dibina melalui kegiatan pengawasan. 2. Pengawasan kegiatan ekstra kurikuler dilakukan secara: a. interen, oleh kepala sekolah/madrasah. b. eksteren, oleh pihak yang secara struktural/fungsional memiliki kewenangan membina kegiatan ekstra kurikuler yang dimaksud. 3. Hasil pengawasan didokumentasikan, dianalisis, dan ditindaklanjuti untuk peningkatan mutu perencanaan dan pelaksanaan kegiatan ekstra kurikuler di sekolah/madrasah. No Comments yet... Ditulis dalam Uncategorized Posted by: trieelangsutajaya2008 | Nopember 8, 2008 Internalisasi Paradigma 4 Pilar Pendidikan oleh: Trimo, S.Pd.,M.Pd. (IKIP PGRI Semarang) A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Membicarakan system pendidikan di Indonesia ibarat orang berjalan tanpa ujung tidak ada titik temu. Pejabat lebih senang membuat dan memilih kebijakan baru yang lebih spektakuler agar orang menjadi lupa dan terkonsentrasi terhadap kebijakan barunya. Lupa akan harapan dan tujuan sebuah program yang dirumuskan tentang sistem pendidikan di Indonesia. 19. Hal tersebut merupakan sebuah realita dunia pendidikan. Masih segar dalam ingatan kita tentang pola pengajaran di Indones dari CBSA, PAKEM, Portofolio, ia, MBS, Broad Based Education dan yang terbaru adalah KBK. Penerapan tersebut tentunya menimbulkan permasalahan baru dalam proses belajar-mengajar. Proses belajar-mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu (Usman, 2000:4). Sedangkan menurut Suryosubroto, proses belajar-mengajar meliputi kegiatan yang dilakukan guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu pengajaran (Suryosubroto 1997:19). Mengacu dari kedua pendapat tersebut, maka proses belajar-mengajar yang aktif ditandai adanya serangkaian kegiatan terencana yang melibatkan siswa secara komprehensif, baik fisik, mental, intelektual dan emosionalnya. Dalam konteks pemahaman tentang proses belajar-mengajar, guru dihadapkan pada sesuatu yang secara conditio sine qua non harus diaktualisasikan dalam bentuk pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan. Fenomena yang berkembang di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar guru terbiasa mendesain pembelajaran yang “memenangkan” guru. Artinya, guru lebih senang dianggap sebagai satu-satunya sumber belajar bagi siswa (teacher centered). Pembelajaran didasarkan target kurikulum, juga merupakan refleksi dari saratnya beban dan materi pelajaran sehingga guru cenderung mengejar penyelesaian materi daripada mengoptimalkan substansi dari kristalisasi nilai- nilai yang seyogyanya diaktualisasikan. Artinya, guru kurang peduli dengan pentingnya kecakapan hidup (life skill) yang harus dikuasai siswa, dan lebih mementingkan pencapaian hasil belajarnya. Kondisi tersebut sudah barang tentu rentan akan berbagai dampak negatif yang muaranya pada kualitas pendidikan di mana berada pada ambang batas “kekawatiran”. Problematika yang kompleks dalam dunia pendidikan 20. merupakan tantangan guru, yang harus diupayakan alternatif pemecahannya. Hal ini lantaran stakeholder dalam dunia pendidikan adalah orang tua, guru, masyarakat, institusi, dan para praktisi pendidikan yang diharapkan sumbang sarannya. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa sebagai upaya pencapaian target kurikulum guru cenderung “memaksa” siswa menerima. Pengajaran tanpa mempertimbangkan apakah siswa mampu menguasai serta mengerti dengan apa yang ia pelajari. Kondisi dapat dilihat dari berbagai aktivitas guru, di antaranya: (1) guru memberi les/pelajaran tambahan secara berlebihan dan cenderung menerapkan metode drill, (2) guru hanya menjadi “tukang LKS”, (3) guru memberi pelajaran tidak sistematis, (4) guru memberikan PR dalam jumlah yang tidak sesuai dengan kemampuan siswa, dan (5) pengajaran
tanpa media. Ada beragam teknik yang dapat digunakan guru untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif, kreatif, konstruktif, ceria, dan menyenangkan serta memberi ruang gerak anak untuk berkreasi, sesuai daya imajinasi masing- masing. Apabila kondisi tersebut dapat didesain guru sudah barang tentu akan bersampak pada meningkatnya kualitas pembelajaran. Pembelajaran yang berkualitas pada akhirnya bermuara pada penciptaan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Paradigma tersebut kemudian dikenal dengan istilah PAKEM dan mendapatkan rekomendasi dari UNESCO sebagai satu bentuk pembelajaran efektif, dengan mengacu pada empat pilar pendidikan, yakni belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be). 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka persoalan mendasar yang hendak dibahas adalah: “Bagaimana internalisasi paradigma empat pilar pendidikan dalam proses belajar-mengajar sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan? 3. Tujuan dan Manfaat Penulisan Makalah 21. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk menelaah secara mendalam internalisasi paradigma empat pilar pendidikan dalam proses belajar-mengajar sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan 4. Manfaat Penulisan Makalah Penyusunan makalah ini memiliki manfaat secara teoretis dan praktis. Secara teoretis makalah ini bermanfaat untuk menelaah teori-teori pembelajaran efektif yang direfleksikan dalam paradigma empat pilar pendidikan sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan. Secara praktis, makalah ini bermanfaat untuk: (1) guru, sebagai penggerakan motivasi dalam mendesain pembelajaran bermakna, (2) kepala sekolah, sebagai sarana memberkikan pembinaan bagi guru-guru dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran, dan (3) pengawas sekolah, sebagai masukan dalam meningkatkan profesionalisme guru. B. PEMBAHASAN 1. Interaksi Belajar-Mengajar Lingrend (dalam Usman, 2000:25), mengatakan bahwa ada empat pola komunikasi dalam proses interaksi guru dengan siswa seperti digambarkan dalam diagram berikut ini: Diagram 1 Jenis-Jenis Interaksi Dalam belajar-Mengajar (Lingren, 1976)
Berita
25 Nov 2008 | Komentar: 0
Refleksi Peringatan Hari Guru Nasional Ke-63 Malu kalau Ogah-ogahan Mengajar Hari ini (25/11) adalah Hari Guru Nasional Ke-63. Hari Guru Nasional diperingati bersamaan dengan hari ulang tahun (HUT) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Momen tersebut seharusnya tak sekadar diperingati dengan melaksanakan upacara di sekolah atau seremonial pemberian tanda jasa bagi guru. -----POERWODIONO berkali-kali mengucap syukur. Guru SMAN 15 itu tidak menduga bahwa kepedulian pemerintah terhadap profesi guru makin lama makin baik, termasuk soal peningkatan kesejahteraan. "Sekarang, kesejahteraan guru lebih baik. Gaji dan tunjangan guru sudah cukup banyak daripada dulu," tuturnya. Guru yang telah mengabdi selama 30 tahun tersebut mengaku, dulu, saat awal menjalani profesi pendidik, bayaran yang diperoleh Rp 18.120 per bulan. Dengan gaji sebesar itu, alokasi duit untuk belanja setiap hari hanya Rp 604. "Saat itu gaji yang saya peroleh sebagai PNS jauh lebih kecil daripada gaji seorang guru swasta. Ketika itu gaji guru swasta mencapai Rp 80 ribu sampai Rp 90 ribu," ujarnya. Meski tidak mau menyebut jumlah pasti pendapatan sebagai guru sekarang ini, Poerwodiono mengatakan relatif sudah mencukupi. Yang jelas, jika dibandingkan dengan gaji saat kali pertama menjadi PNS, sudah pasti jumlahnya berlipat-lipat. Apalagi, dia sudah bergolongan IV dan mengikuti sertifikasi untuk kuota 2008. "Pokoknya, banyak bersyukur," terangnya. Tidak hanya perbaikan kesejahteraan. Guru bahasa Inggris tersebut mengakui, sekarang pandangan masyarakat terhadap guru sudah bergeser. Jika dulu profesi guru masih dipandang dengan sebelah mata, kini pandangan tersebut mulai berubah. Karena itu, sudah sewajarnya para guru terus memberikan yang
terbaik bagi anak didik. Di pihak lain, dia tidak menutup mata bahwa masih ada sebagian guru yang belum bernasib baik. Untuk itu, pemerintah harus memperhatikan mereka. Ketua PGRI Jatim Matadjit juga tidak menutup mata bahwa nasib guru sekarang jauh lebih baik. "Insentif guru sekarang mulai diperhatikan. Pemerintah sudah mengabulkan tuntutan anggaran pendidikan yang kami suarakan," ungkapnya. "Karena itu, nanti malam (tadi malam, Red) kami mengadakan tasyakuran," lanjutnya. Karena kesejahteraan relatif jauh lebih baik, pria berusia 69 tahun itu berharap kualitas pendidik juga ditingkatkan. Kualitas guru yang sudah diberi kesejahteraan berlimpah tersebut harus sebanding. "Malu kalau sampai ogah-ogahan mengajar," paparnya. Dia juga mendukung bahwa sudah seharusnya ada audit skill sebagai evaluasi. Program evaluasi bagi guru sangat baik. Sebab, kualitas pendidik dapat terpantau secara pasti. "Audit skill sebagai bahan rotasi guruguru negeri juga dapat berdampak positif. Setidaknya, pemerataan kualitas guru diharapkan bisa terlaksana," tambahnya. Kendati menganggap nasib guru saat ini sudah lebih baik, Matadjit menyatakan masih ada guru yang butuh perhatian. Terutama, para guru tidak tetap (GTT). Sampai saat ini gaji mereka sebagai GTT tidak lebih dari Rp 300 ribu hingga Rp 450 ribu per bulan. "Seharusnya, gaji mereka sesuai dengan UMK atau UMR yang berlaku saat ini," ungkapnya. (may/hud)
http://klubguru.com/v2-index-download.php?do=download
balasan atas komentar saudara syarief terhadap artikel : “menjadi guru (pl) idola” Oleh nofrionsikumbang 3 Komentar Kategori: 1
Tanggapan untuk komentar Syarief pada artikel menjadi guru idola. Terimakasih. Kamis, 28 Mei 2009 syarief, itulah fakta belakangan ini. profesi sebagai guru naik turun dalam pandangan masyarakat. tahun 1970an guru adalah profesi yang sangat bergengsi, untuk bisa masuk SPG dan SGA harus nilai rata-rata 8 lho. malah mereka adalah utusan terbaik dari daerahnya dan mereka diasramakan. tapi setelah itu, karena kebutuhan guru sangat banyak, maka saratnya diperlonggar, akhirnya masuklah dalam dunia guru,,”guru” yang terpaksa menjadi guru atau mereka yang menjadi guru karena tidak ada lagi pilihan yang lain. tapi jangan terlalu bersedih syarif,,,insyaallah guru sekarang akan bisa lebih baik, walau untuk masuk jurusan keguruan lebih mudah dari FK selama ini, tapi data tahun 2008 syarif bisa liat pada situs snmptn, bahwa ternyata Beberapa jurusan keguruan di UNP memiliki tingkat persaingan hampir sama atau malah lebih ketat dari jurusan2 yang menurut sebagain orang favorit selama ini. Jurusan favorit UNP tahun 2008 adalah Pendidikan Bahasa Inggris,
Pendidikan Biologi, Pendidikan Kimia, Pendidikan Fisika, PGSD, termasuk jurusan Pendidikan Geografi (Peminat 1079 daya tampung 75) dan Penjaskesrek. semoga ini bermanfaat. Tapi terlepas dari semua itu, semua mahasiswa jurusan apa saja dan dimana saja, merek PTN/PTS dan Jurusan apapun belum bisa dijadikan jaminan untuk kesuksesan. Semua kembali kepada pribadi Mahasiswanya sendiri, Ibaratnya, Mau jadi harimau tapi ekornya saja, atau kambing tapi kepala???>
3 Tanggapan ke “Balasan Atas Komentar Saudara Syarief Terhadap Artikel : “Menjadi Guru (PL) Idola”” Pengumpan untuk Entri ini Alamat Jejakbalik
1.
1Syariif
Mei 29, 2009 pukul 4:55 AM
Terima kasih atas tanggapannya bg Dion.. memang betul bg.., tp apakah dgn angka2 tsb sudah mencerminkan grade yg tinggi? apakah SNMPTN memakai nilai batas minimal? kalo sudah memakai nilai batas minimal mgkin bisa kita bisa berbangga. tp kalo hanya sekedar kita berpatokan dgn angka jumlah peminat, mgkin kita belum bisa mengatakan itu suatu keberhasilan. mungkin kualitas dulu perlu di tingkatkan, baru kita bisa mengatakan kuantitas itu adalah suatu yg patut kita banggakan bg. mungkin suatu perbandingan saja bg dgn PT di jawa.., yg relatif penduduknya 2 kali lipat dibandingkan dn luar jawa. UNJ Jakarta = 28 Unsyiah = 28 UPI Bandung = 50 Unimed = 80 UNS Semarang = 25 UNP = 75 UNY Yogyakarta = 30 Unila = 50 UNM Malang = 45 233 175 (belum termasuk angka jml mahasiswa non reguler dan PMDK) Mungkin itu hanyo angka nyo bang. tp dgn jumlah penduduk yg 2x lipat lebih dari penduduk luar jawa dan pastinya jumlah sekolah yg jauh lebih banyak dari pada daerah luar jawa . Mungkin perlu sedikit di pertimbangkan pembukaan kelas yg banyak bg. karena pada
dasarnya jurusan keguruan.., diharapkan semuanya jadi guru.., kalo ka jadi pengusaha ancak lah di jurusan ekonomi kuliah bg.., hehehe Mohon maaf bg.., mungkin ado kato2 yg indak pas di tampeknyo bg. itu dulu bg.., bilo2 di sambuang baliak.. wassalam… Balas
2.
2nofrionsikumbang
Mei 29, 2009 pukul 10:27 AM
sampai detik ini kita belum bisa berbuat banyak. kita sukuri aja apa yang ada. sebelum tahun 2008 minat orang masuk geografi dan jurusan keguruan masih minim. ke geografi aja hanya berkisar 300-400 orang saja tiap tahun, sekarang 1000an. walaupun belum memakai sistem PAP, tapi minimal dengan perbandingan jumlah kursi dengan peminat yang makin ketat, cukuplah sebagai langkah awal seleksi menuju penyempurnaan. ini proses yang panjang syarif. kita semua harus bisa membantu dan memberikan kontribusi untuk perubahan panjang ke arah yang lebih baik itu, kita semua! terimakasih,
ORGANISASI PROFESI GURU DAN PERLINDUNGAN BAGI GURU[1] Oleh : Suparman[2] Dalam menjalankan tugas profesinya guru tidak jarang mengalami persoalanpersoalan yang terkait dengan profesinya. Sebut saja persoalan diskriminasi, PHK secara sepihak, imbalan yang tidak wajar, itimidasi oleh birokrasi, ketiadaan jaminan untuk kesehatan dan keselamatan kerja serta persoalan-persoalan lain. Jika ini semua terjadi apakah guru mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan dan siapa yang wajib memberikan perlindungan bagi guru untuk mengatasi persoalan-persoalannya? Pasal 14 ayat (1) butir c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugas keprofesionalan guru behak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektualnya. Yang dimaksud dengan hak perlindungan guru menurut pasal 39 meliputi
perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Perlindungan hukum tersebut mencakup perlindungan hukum terhadap tindakan kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain. Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja mencakup perlindungan terhadap resiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja dan/atau resiko lain. Secara yuridis sesungguhnya guru telah memiliki payung hukum untuk memperoleh perlindungan dalam menjalankan tugasnya, baik perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Tetapi apakah guru sudah memperoleh itu semua? Dalam kenyataannya masih ditemukan sejumlah kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak dan perlakuan diskriminatif terutama untuk guru-guru swasta, guru honorer maupun guru sukarelawan. Masih banyak diantara mereka yang memperoleh penghasilan dibawah penghasilan pekerja pabrik (buruh) yang tidak saja kurang untuk memenuhi keperluan hidup pribadi para guru tetapi juga tidak cukup untuk memenuhi berbagai keperluan profesi apalagi keperluan keluarga. Keikutsertaan guru dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan di tingkat satuan pendidikan sampai di tingkat nasional masih mengalami hambatan. Di tingkat satuan pendidikan penyusunan rencana kegiatan sekolah, khususnya yang terkait dengan penyusunan rencana anggaran / biaya pendidikan di sekolah masih terlihat serba dibatasi. Guru yang menyampaikan kritik terhadap penganggaran sekolah sering dianggap tidak memiliki kesetiaan terhadap korps guru. Beberapa kasus malah menyebabkan guru-guru dimutasi ke sekolah lain karena mempertanyakan penggunaan dana sekolah oleh kepala sekolah. Tidak jarang keputusan kepala sekolah untuk mendiamkan guru-guru yang kritis ini didukung oleh kebijakan birokrasi melalui para pengawas sekolah baik secara langsung maupun tidak langsung. Di kalangan birokrasi pendidikan masih terlihat pandangan bahwa kebijakan pendidikan dibuat tanpa perlu megikutsertakan para guru baik secara langsung maupun melalui perwakilannya. Guru masih diposisikan sebagai komunitas yang harus menerima begitu saja berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat oleh para birokrasi pendidikan, termasuk yang langsung menyangkut kepentingan guru. Pendapat / pandangan guru disejumlah daerah dan pusat pemerintahan masih terasa dibatasi. Bahkan beberapa kasus menunjukkan adanya intimidasi/ancaman secara tidak langsung terhadap guru yang
mencoba menyampaikan pandangannya berupa kritik atau pendapat dengan mutasi terhadap guru yang bersangkutan, atau dengan cara mengingatkan posisi guru yang bersangkutan sebagai pegawai negeri, bahkan menyodorkan aturan disiplin PP 30 tahun 1980 yang belum tentu isinya diketahui dan dipahami secara utuh oleh birokrasi tersebut dengan tujuan mengendurkan niat guru yang bersangkutan. Pembatasan dalam bentuk larangan-larangan lain juga kerap masih terjadi yang menyebabkan guru tidak berani melakukan kreatvitas. Guru secara birokratis terpaku pada pola-pola pembelajaran yang harus disesuaikan dengan kepentingan birokrasi. Aktivitasnya sehari-hari lebih didominasi oleh pekerjaan-pekerjaan administrasi yang mengurangi ruang profesionalitasnya untuk mengembangkan kreativitasnya dalam mengembangkan berbagai pembaruan pendidikan. Kebebasan berserikat dalam organisasi profesipun yang juga merupakan bagian dari tugas keprofesionalannya masih terasa dihambat oleh keharusan memasuki satu organisiasi guru saja. Keinginan sejumlah guru untuk mendirikan dan mengurus organisasi guru yang baru masih terhambat oleh pandangan tersebut baik di kalangan para kepala sekolah maupun di kalangan birokrasi. Tidak jarang pula aktivitas organisasi para guru tersebut dihambat dengan cara mengaitkan antara tugas keprofesionalan didalam organisasi dengan sulitnya memperoleh izin sewaktu-waktu meninggalkan sekolah. Padahal antara tugas di sekolah dengan tugas organisasi profesi secara profesional keduanya saling memberikan dukungan positif. Apa yang dilakukan organisasi profesi pada dasarnya adalah bagian dari usaha pengembangan profesi diri para guru sekaligus sebagai usaha untuk memperbaiki pendidikan menjadi lebih baik kedepan termasuk usaha perbaikan kegiatan pendidikan di sekolah-sekolah/satuan pendidikan. Dari aspek keselamatan dan kesehatan kerja gurupun masih jauh dari harapan. Sejumlah kasus menunjukkan belum terpenuhinya keselamatan kerja untuk guru-guru didaerah terpencil dan daerah bencana. Hal itu yang menyebabkan banyaknya guru yang terpaksa harus meninggalkan tugas yang diembannya di daerah tersebut. Masih banyak ditemukan guru yang tidak terjamin kesehatannya kala menderita sakit, baik untuk dirinya apalagi untuk keluarganya. Guru-guru swasta, honorer dan sukarelawan masih harus bersusah payah mengongkosi biaya kesehatannya dari kantongnya sendiri sementara satuan pendidikan tempatnya bertugas apalagi pemerintah/pemerintah daerah tidak juga memberikan jaminan kesehatan. Fenomena diatas menunjukkan bahwa perlindungan terhadap guru baik dari sisi hukum , perlindungan profesi, keselamatan dan kesehatan kerjanya masih sebatas aturanaturan normatif yang implementasinya masih jauh dari harapan. Tugas untuk memenuhi harapan guru akan perlindungan profesinya menurut Undang-Undang berada di tangan pemerintah, pemerintah daerah, organisasi profesi dan masyarakat. Untuk memenuhi itu semua guru tentunya tidak dapat melakukannya secara pribadi, yang tepat adalah
memanfaatkan organisasi profesi guru. Melalui organisasi profesi, guru dapat menghimpun kebersamaan untuk memperoleh perlindungan baik yang menjadi haknya yang semestinya diterima dari pemerintah dan pemerintah daerah maupun bagian yang semestinya diterima dari keanggotaannya dalam organisasi profesi. Membangun profesionalisme guru tidak cukup hanya dengan ’memaksakan’ guru untuk memiliki kulifikasi akademik, kompetensi dan memiliki sertifikat pendidik. Tanpa pemberian perlindungan yang jelas dan pasti kepada guru dalam menjalankan tugas profesinya, baik perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja maka keinginan untuk membangun profesionalisme guru sama artinya dengan membangun mimpi setiap saat. [1] Disampaikan dalam Seminar Nasional Perlindungan Bagi Profesi Guruu pada tanggal 25 Mei 2008 di Aula Mahkamah Konstitusi-Jakarta, yang diselengarakan oleh Federasi Guru Independen Indonesia (FGII). [2] Penulis adalah Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Guru SMAN 17 Jakarta.
http://www.jakartateachers.com/782.html
Konsep Kepribadian Guru: Perspektif Historis Diposting oleh rulam Tanggal: July 16th, 2009 | Kategori: Artikel | dilihat 12 Kali |
Oleh: Isti’anah Abubakar Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang (UIN) Malang
1.
A. Pendahuluan
Guru merupakan profesi yang mengalami pasang surut dalam percaturan dunia keprofesian. Kalaulah dulu guru dianggap profesi sakral, membanggakan yang terlihat ketika dengan bangganya seorang yang bermantukan seorang guru, tapi saat ini disinyalir menjadi profesi yang termarginalkan. Ini terlihat dari banyaknya generasi penerus yang sedikit bercitacitakan seorang guru. Mereka cenderung menjadikan dokter, insinyur, pilot sebagai pilihan profesi di masa depan. Ada berbagai macam alasan yang dikemukakan akibat ketidakmauan mereka, namun yang jelas kesejahteraanlah yang menempati urutan pertama bagi seseorang untuk tidak memilih guru sebagai profesinya. Fenomena di atas disebabkan adanya pergeseran dalam memaknai profesi seorang guru. Pergeseran ini disebabkan beberapa faktor, baik faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal diantaranya: 1.
Adanya sebagian pandangan masyarakat bahwa siapapun dapat menjadi guru asal dia berpengetahuan.
1.
Kekurangan guru di daerah terpencil memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian (mendidik) untuk menjadi guru.
1.
Banyak guru yang belum menghargai profesinya apalagi berusaha mengembangkan profesinya tersebut.
Sedangkan faktor internal yang dimaksud adalah adanya kelemahan yang terdapat pada diri guru itu sendiri diantaranya rendahnya kompetensi profesional mereka. Kesemuanya itu telah menjadi wacana umum yang terus dicari pemecahannya, terutama di akhir 2005 dengan akan disahkannya UU profesi guru dan dosen. Namun demikian perlu disadari bersama, bahwa UU tersebut bukan satusatunya solusi yang dapat mendongkrak popularitas profesi guru. Naiknya popularitas guru hanya akan terjadi bila guru secara pro aktif meningkatkan kapasitasnya sebagai guru. Artinya, UU tersebut tidak akan berdaya guna secara maksimal bila guru sendiri kurang greget dalam meningkatkan kualitas dia sebagai seorang guru.
B. Pembahasan Kepribadian guru mempunyai kelebihan sendiri bila diterapkan dalam kelas karena ia akan memberikan kecenderungan dan kesenangan yang berbeda kepada murid. Namun ada juga yang mengatakan bahwa kepribadian guru sulit ditemukan kadarnya dan tidak mudah untuk dicari batasannya serta sulit juga untuk didefinisikan secara jamik dan manik. Kepribadian juga diibaratkan sebagai magnit, listrik dan radio yang tidak bisa diketahui kecuali setelah tahu bekasnya atau pengaruhnya. Kepribadian ialah kumpulan sifat-sifat yang aqliah, jismiah, khalqiyah dan iradiah yang biasa membedakan seseorang dengan orang lain (Slamet Yusuf:37). Dikatakan guru yang mahir adalah guru yang mampu untuk menundukkan hati mereka dan mempengaruhi mereka dengan baik sehingga ia dapat memerintah mereka dan berbicara dengan mereka. Maka dengan kepribadian itu memungkinkan untuk mengarahkan mereka pada jalan yang lurus. Umar bin Utbah (dalam Slamet Yusuf:39), berkata pada guru dari anaknya sebagai berikut: “Hendaklah perbaikan pertama-pertama yang engkau lakukan terhadap anak saya dilakukan dengan perbaikan dirimu maka mereka akan tertuju padamu, yang mereka anggap naik adalah apa yang engkau tinggalkan. Menurut Mr. Norman Mc. Munn (Slamet Yusuf:41), kepribadian itu didapatkan dari latihan yakni dari kebiasaan dan pendidikan yang sungguh-sungguh. Tokoh pendidikan dari Inggris, Sir T. percy Nunn mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mendidik kepribadian (Andreas Hafera, 2000). Kepribadian itu bisa membangkitkan semangat, tekun dalam menjalankan tugas, senang memberi manfaat kepada murid menghormati peraturan sekolah sehingga membuat murid bersifat lemah lembut memberanikan mereka, mendorong pada cinta pekerjaan, memajukan berfikir secara bebas tetapi terbatas yang bisa membantu membentuk pribadi menguatkan kepribadian menguatkan kehendak membiasakan percaya pada diri sendiri. Suksesnya seorang guru tergantung dari kepribadian, luasnya ilmu tentang materi pelajaran serta banyaknya pengalaman. Tugas seorang guru itu sangat berat, tidak mampu dilaksanakan kecuali apabila kuat kepribadiannya, cinta dengan tugas, ikhlas dalam mengerjakan, memelihara waktu murid, cinta kebenaran, adil dalam pergaulan. Ada yang mengatakan bahwa masa depan anak-anak di tangan guru dan di tangan gurulah terbentuknya umat. Ditulis Athiyah Al-Abrosy (dalam Slamet Yusuf:42) bahwasannya sifat-sifat yang seyogyanya dimiliki seorang guru: Guru harus menjadi bapak sebelum ia menjadi pengajar. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Hubungan guru dengan murid harus baik. Guru harus selalu memperhatikan murid serta pelajaran mereka. Guru harus peka terhadap lingkungan sekitar murid. Guru wajib menjadi contoh/teladan di dalam keadilan dan keindahan serta kemuliaan. Guru wajib ikhlas di dalam pekerjaannya. Guru wajib menghubungkan masalah yang berhubungan dengan kehidupan. Guru harus selalu membaca dan mengadakan penyelidikan. Guru harus mampu mengajar bagus penyiapannya dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya. Guru harus sarat dengan ide sekolah yang modern. Guru harus punya niat yang tetap. Guru harus sehat jasmaninya. Guru harus punya pribadi yang mantap.
1.
Guru ditempatkan pada tempat yang mulia sesuai dengan hadits Nabi.
Pada suatu hari, Rasulullah keluar rumah kemudian beliau melihat 2 majelis. Majelis yang satu terdiri dari orang yang berdoa kepada Allah dan mengharap kepadanya. Majelis yang kedua terdiri dari orang yang mengajarkan agama kepada manusia. Beliau bersabda adapun yang itu (yang pertama) mereka memohon kepada Allah jika Dia berkenan mereka akan diberi dan Dia juga berkenan untuk tidak memberi. Dan yang itu (kedua) mereka mengajari manusia, dan bahwasannya aku diutus hanya untuk mengajar. Kemudian beliau maju dan ikut duduk pada kelompok yang kedua. Dengan demikian Nabi yang mulia telah membuat sebaik-baik contoh buat kita agar menjadi pengajar dan pendorong dalam mengajar dan mengakui keutamaannya. Demikian juga yang dikatakan Martin Luther: “jika aku diberi waktu untuk meninggalkan tugas memberi nasihat dan memberi petunjuk pasti aku akan memilih profesi sebagai pengajar.
Ucapan Bismark: “sungguh kami telah dipengaruhi oleh guru.” Senada dengan itu Iramus dalam ucapannya: “berilah aku kantor untuk guru dan aku berjanji dengan hati seorang berilmu.” Sedangkan Syauki Bik: “berdiri dan hormatilah guru dan berilah ia penghormatan.”Hampir-hampir saja seorang guru itu merupakan utusan. “Hai Ben Sherira, curahkanlah segenap tenagamu untuk mengajar anak-anakmu sewaktu masih kecil dan berikanlah hadiah kepada guru atas jasanya karena apa yang kamu beriakan adalah diberikan untuk anak-anakmu,” ungkap Ustadz Al Alim Al Muhiqq Ahmad Amin, Mengajar adalah pekeejaan yang memayahkan, tidak mendatangkan harta dan tidak memperoleh pangkat. Mengajar itu hanya pantas dan bagus bagi orang yang Qona’ah terhadap masalah dunia dengan hidup sederhana dan dalam pembagian rizki yang sangat sempit. Guru yang fasid adalah guru yang menjadikan harta dan pangkat sebagai tujuan utama dan mengharapkan keduniaan. Mengajar adalah pekerjaan jiwa. Guru itu menciptakan dirinya dan amalnya ke langit, keluarganyalah yang menariknya ke bumi dengan kekerasan. Apakah dia rela berkorban seperti berkorbannya tentara? Apakah dia siap menerima kenyataan untuk betapa seperti pendeta? Apakah dia siap berhibur dengan harta ma’nawi untuk meninggalkan yang materi dan membentuk dirinya sebagai orang berilmuu yangqona’ah serta menempatkan kelezatan-kelezatan akal dan kelezatan rohani pada kelezatan badan?” Seorang penulis Inggris (dalam Slamet Yusuf:32) mengatakan: “kurikulum, peraturan sekolah, bangunan-bangunan yang besar dan megah dalam pendidikan dan pengajaran tidaklah lebih penting dari guru, karena guru mempunyai pengaruh besar di hadapan siswa dari ilmunya, etikanya, perbuatannya dan keterampilannya. Fesyar pernah menyerukan tahun 1017 (dalam Slamet Yusuf: 35) bahwa guru seharusnya sudah tidak merasa kesulitan lagi dalam masalah keuangan atau kebutuhan hidupnya karena tugas pokok mereka adalah mengelola pendidikan, bagi guru yang sudah kawin hendaknya mempunyai kondisi sosial ekonomi yang sudah mapan sehingga mampu mendidik keluarganya dengan baik. Seorang guru yang susah, begitu juga seorang guru yang miskin akan mendapat kesan yang kurang baik di tengah-tengah masyarakat. Tugas guru dapat disimpulkan mempunyai 3 tugas pokok, yaitu: (1) tugas dalam bidang profesi yang meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Tugas guru dalam hal ini dituntut untuk selalu mengembangkan profesionalitas diri sesuai dengan perkembangan IPTEK, (2) tugas dalam bidang kemanusiaan, memposisikan dirinya sebagai orang tua kedua (Usman: 2002: 7), (3) tugas dalam bidang kemasyarakatan dalam hal ini pembelajaran seperti dikutip Usman dari Adfams dan Decey dalam “Basic Principles of Student” meliputi: (a) guru sebagai demonstrator, (b) sebagai pengelola kelas, (c) sebagai mediator dan fasilitator, (d) sebagai evaluator. Sedangkan menurut Djamarah (2000: 44) meliputi: (a) sebagai inspirator, (b) sebagai informatory, (c) sebagai organisator, (d) sebagai motivator, (e) sebagai inisiator, (f) sebagai pembimbing, (g) sebagai uswah (teladan atau model), (h) sebagai penasihat.
1.
Kompetensi: kepribadian
Kompetensi secara bahasa diartikan kemampuan atau kecakapan. Hal ini diilhami dari KKBI dimana kompetensi diartikan sebagai wewenang atau kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan suatu hal. Sedangkan menurut Partanto (1994), dalam Kamus Ilmiah Populer, kompetensi diartikan sebagai kecakapan, wewenang, kekuasaan dan kemampuan. Sedangkan secara terminologis, sebagai berikut: Menurut Broke dan Stone, gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak sangat berarti. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Mc Leod dalam Usman (2001), keadaan berwenang atau memenuhi syarat menuntut ketentuan hokum. Jhonson, perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang diprasyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Pengertia lain diartikan sebagai kemampuan dasar yang mengaflikasikan apa yang seharusnya dapat dilaksanakan oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Menunjuk pada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Hitami dan Sahrodi (2004), pemilikan nilai, silap dan keterampilan yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. McAshan dalam Mulyasa (2003: 38) sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Finch dan Crunkilton (1979: 222) merupakan penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.
Aspek kompetensi menurut Gordon dalm Mulyasa (2003: 39):
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pengetahuan Pemahaman Kemampuan Nilai Sikap Minat
Jenis kompetensi, meliputi diantaranya: (a) kompetensi personal, (b) kompetensi professional, (c) kompetensi meiputi (a) terampil berkomunikasi dengan orang lain (b) bersikap simpatik terhadap siswa dan masyarakat (c) dapat bekerjasama dengan orang lain, (d) pandai bergaul. Kompetensi personal, yaitu sikap pribadi guru yang dijiwai oleh agama dan filasafat pancasila yang akan mengagungkan moral dan budaya. Dan ini mencakup kemampuan dan integritas pribadi, peka terhadap perubahan dan pembaharuan, berfikir alternatif, adil, jujur, obyektif, disiplin, ulet, tekun, simpatik, menarik, luwes, terbuka, kreatif dan berwibawa. Kompetensi personal bisa diidentikkan dengan kepribadian dan kepribadian yang baik akan berpengaruh terhadap hidup dan kebiasaan belajar para siswa. Untuk memiliki kepribadian yang baik ini guru dituntut memiliki kematangan dan kedewasaan pribadi serta jasmani dan rohani, dan cirinya adalah sebagai berikut: (1) memiliki pedoman hidup, (2) mampu melihat segala sesuatu secara obyektif, (3) mampu bertanggung jawab. Ciri guru yang profesional dikutip dalam Jurnal Educational Leadership (1998): (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan pelajaran yang diajarkannya serta metode pelajaran yang relevan, (3) bertanggung jawab dalam memantau hasil belajar melalui berbagai cara evaluasi, (14) mampu merpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya. Yang mempengaruhi rendahnya profesionalisme guru, menurut Akadum (1999) (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma etika profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah, dll. Jihad oleh Muhaimin (2003: 230-231) diartikan sebagai makna kesediaan bekerja keras dengan mencurahkan segala kemampuan, baik fisik/materi maupun totalitas dirinya menuju jalan Allah, mempunyai sikap ketelitian dan kecermatan, serta terbuka terhadap kritik dari luar, mempunyai kebanggaan terhadap pekerjaan yang bermutu (bukan asal kerja) dan mempunyai wawasan jangka panjang (harapan masa depan). Mengenai kesejahteraan guru menurut Komball Wiles (dalam Bafadal, 2003: 101-102), ada 8 hal yang diinginkan guru melalui kerjanya: (1) adanya rasa aman dan hidup layak, (2) kondisi kerja yang menyenangkan, (3) rasa diikutsertakan, (4) perlakuan yang wajar dan jujur, (5) rasa mampu, (6) pengakuan dan penghargaan atas sumbangan, (7) ikut ambil bagian dalam pembuatan kebijakan sekolah, (8) kesempatan mengembangkan self respect. Pembahasan diatas semakin mempertajam adanya keterkaitan yang kuat antara kompetensi dan kepribadian guru. Keduanya secara bersamaan mencoba untuk merealisasikan profil guru ideal dari berbagai sudut pandang baik personal, sosial dan akademik.
1.
Kepribadian guru dalam perspektif historis.
1.
Profil guru di masa dulu
Secara singkat telah dijelaskan di atas bahwa profesi guru di masa dulu merupakan profesi idaman, dimana semua orang ingin menjadi guru, kalau toh tidak berhasil sekedar bermantukan seorang guru saja pun sudah bangga. Kebanggaan yang mendarah daging di masa lalu ini merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji, ada apa dengan guru sehingga menjadi profesi yang sangat diminati? Padahal kalau dilihat secara kasat mata, dari kesejahteraan sangat jauh dari kurang, namun demikian mereka selalu mendapatkan tempat tertinggi dalam tatanan masyarakat pada waktu itu. Guru benar-benar diposisikan dan dihargai. Bila bukan dari aspek kesejahteraan, pastilah ada aspek yang sangat fenomenal dalam profesi guru iru sendiri. Sosok Ki Hajar Dewantara merupakan sosok yang mewakili profil guru di masa lalu. Artinya, bila ingin mengetahui secara detail tentang profil guru di masa lalu, maka amatilah kepribadian beliau. Sosok guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa benarbenar dapat diamati, tak ada batasan waktu, tempat dalam mengajarkan ilmu dan yang paling penting mereka betulbetul ideal model. Apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan sejalan yang secara tidak langsung menimbulkan kewibawaan sejati dalam diri beliau.
Kepribadian semacam inilah yang kemudian menjadikan murid-murid beliau termotivasi untuk menjadi guru sekaliber Ki Hajar Dewantara. Ini sesuai dengan statement yang mengatakan bahwa pribadi guru itu besar sekali pengaruhnya terhadap keberhasilan darma baktinya dan guna berpengaruh pada muridnya. Namun demikian harus juga dipahami juga bahwa bukan hanya kepribadian saja yang menentukan keberhasilan tugasnya sebagai guru tetapi juga harus dilengkapi dengan ilmu khusus, kebudayaan tertentu dan persiapan pelayanan yang teratur. Artinya bisa dikatakan profil guru di masa lalu adalah profil guru ideal, dimana mereka mumpuni dan matang dalam aspek kepribadian, keilmuan dan perilaku yang semua itu kemudian dilengkapi dengan semangat pengabdian atau menurut Muhaimin identik dengan semangat jihad. Jihat boleh diartikan sebagai makna bekerja keras (dengan mencurahkan segala kemampuan, baik fisik/materi maupun totalitas dirinya) menuju jalan Allah, mempunyai sikap ketelitian dan kecermatan, serta terbuka kritik dari luar, mempunyai kebanggaan terhadap pekerjaan yang bermutu (bukan asal kerja) dan mempunyai wawasan jangka panjang (harapan masa depan). Secara lebih dalam, profil guru masa lalu bisa diamati dalam sajak berikut ini: Siapa guru bangsa ini? Anda dan saya! Yang berarti kita. Semua tak terkecuali Termasuk pak Lurah adalah guru bangsa ini ketika Dengan senyum membuatkan KTP bagi si Bejo Tanpa rasa pamrih. Juga pak Darmo yang sopir bus Adalah guru bangsa ini ketika mempersilahkan Kendaraan lain yang mau menyalip untuk mendahului. Demikian pak Budi yang pengusaha adalah guru bangsa ini Ketika membuang limbah tanpa merusak lingkungan. Tak terkecuali pak Edi, pejabat yang senantiasa Lebih dulu memberi salam selamat pagi kepada Bawahannya, dia adalah guru bangsa ini. Atau si Udin, adalah guru bangsa ini ketika membuat sumur Tidak pernah menipu soal kedalaman sumurnya. Mereka semua adalah guru bagi bangsanya. Termasuk anda dan saya. Kalau bukan kita siapa lagi yang mau membimbing Negeri ini agar lebih baik dan lebih maju. Perlukah kita mendatangkan guru-guru dari negara lain?
Relakah kalau kita digurui oleh bangsa-bangsa lain? Atau maukah kita terus-terusan menjadi murid bagi bangsa ini? Kita semua wajib menjadi guru bagi kemajuan bangsa ini. (dikutip dari Tilaar, 1999:333) b. Profil guru di masa kini dan akan datang. Kemerosotan profesi guru baik di dalam minat pemuda kita untuk memasukinya maupun oleh masyrakat yang kurang memberi perhatian atau penghargaan terhadap profesi guru menunjukkan adanya keharusan untuk mencari paradigma baru supaya profesi guru memenuhi tuntutan masyarakat baru dalam milenium ketiga. Perlu disadar bahwa fungsi dan peranan guru bisa berubah tapi profesi akan tetap selalu dibutuhkan. Sebelum menganaslisa tentang profil atau kepribadian guru masa kini dan akan datang maka perlu diketahui karakteristik masyarakat yang dihadapi yang notabene merupakan konsumen atau pengguna jasa pendidikan. Menurut Tilaar (1999: 281), ada 3 karaktristik masyarakat masa kini dan akan datang (= masyarakat milenium 21), yaitu: 1) Masyarakat teknologi, dimana kemajuan teknologi sangat berkembang pesat sehingga membuat dunia menjadi satu, sekat-sekat yang membatasi bangsa-bangsa, pribadi-pribadi menjadi hilang sehingga bentuk-bentuk komunikasi umat manusia akan berubah. 2) Masyarakat terbuka, pada jenis ini dibutuhkan manusia yang mampu mengembangkan kemampuan dan yang mampu berkreasi untuk peningkatan mutu kehidupannya serta sekaligus mutu kehidupan bangsa dan masyarakatnya. 3) Masyarakat madani, yaitu masyarakat yang saling menghargai satu dengan yang lain, yang mengakui akan hakhak manusia yang menghormati akan prestasi dari para anggotanya sesuai dengan kemampuan yang dapat ditunjukkannya bagi masyarakat. c. Deskripsi profil guru masa kini. Untuk memahami posisi guru masa kini, dapat dipahami dari sajak-sajak berikut: Sejuta batu nisan Guru tua yang terlupakan sejarah Terbaca torehan darah kering Disini berbaring seorang guru Semampu membaca buku usang Sambil belajar menahan lapar (Kompas, 26 Desember 2006). Dari puisi diatas dapat dipahami ada 3 pesan global yang disampaikan Winarno, yaitu: 1) Adanya kecenderungan profesi guru terlupakan. Senada dengan ini, Tilaar juga mengatakan bahwa profesi guru diambang kematian karena bukan saja tidak diminati putra bangsa yang terbaik juga masyarakat sendiri tidak memberikan penghargaan yang wajar terhadap profesi guru. (Tilaar: 1999: 285). Padahal untuk mengatasi itu semua diperlukan suatu penghargaan masyarakat, karena suatu profesi akan hidup dan berkembang apabila tersebut dihargai oleh masyarakat. Dan ini ditunjukkan dengan adanya keinginan masyarakat untuk memilihprofesi guru sebagai unggulan. (Tilaar: 1999: 291) 2) Kemampuan finansial yang amat memprihatinkan. Tilaar dalam hal ini mengatakan bahwa imbalan ekonomis dalam sektor modern lebih besar daripada profesi yang tua seperti guru dan petani. 3) Pentingnya mengembalikan guru sebagai profesi suci, mengingat banyak guru yang terjangkiti perilaku instan dan praktis.
Setelah kita melihat profesi guru Indonesia dewasa ini tentunya tidak dapat kita harapkan masyarakat kita dapat dibawa untuk memasuki masyarakat abad 21 yang kompetitif. Masyarakat kompetitif yang dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi khususnya teknologi komunikasi. Untuk itu profil guru yang dibutuhkan adalah: 1)
Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang (mature and developing personality)
2) Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat, hal ini diilhami dari surat Az-Zumar ayat 9: ”Katakanlah apakah sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui? Bahwasannya yang dapat mengambil pelajaran itu adalah orang yang mempunyai akal.” Dan juga surat Ash-Shaf ayat 2-3: “Hai orang-orang yang beriman mengapa kau mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian Allah karena kau mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat.” 3)
Keterampilan membangkitkan minat peserta didik.
4)
Pengembangan profesi yang berkesinambungan.
C. Analisis Uraian diatas menjelaskan secara kongkrit bagaimana meningkatkan popularitas profesi guru di masa kini dan akan datang. Bila diklasifikasikan, maka penjelasan diatas hanya berkutat atau ditekankan pada aspek, (1) performansi (penampilan luar) seorang guru, (2) akademik, dimana guru dituntut untuk selalu belajar dfan meneliti, (3) kesejahteraan guru. Ketiga hal diatas tidak balancesehingga yang terjadi protes akan rendahnya gaji yang diterima seorang guru sehingga harus ngompreng sana ngompreng sini. Dari klasifikasi diatas, maka dapat langsung dikatakan bagaimana sebenarnya profil guru kita ini. Namun demikian, kesalahan tidak terletak pada guru sebagai person, tetapi semua itu telah termasukkan dalam sistem yang sangat kuat sehingga diperlukankontinuitas untuk memperbaikinya. Dari pembahasan tentang profesi guru diatas, penekanan yang diperjuangkan hanyalah pada masalah materiil sehingga sangatlah wajar bila kemudian salah satu pengajar UIN Jakarta dalam Swara Cendekia mengatakan bahwa sistem pendidikan kita sudah termatrialisasikan, artinya semuanya harus ada pelicin. Dan ini berimbas pada guru, dimana kita jumpai sangat minimnya jiwa pengabdian yang ada dalam diri guru, apalagi yang berada di perkotaan. Selain minimnya semangat pengabdian=jihad, minim pula sifat qona’ah seorang guru sehingga terjadilah malapraktik pendidikan, baik dengan menjual nilai, nggompreng buku atau sampai jualan narrkoba. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa guru kita miskin kreativitas atau kurang lincah dalam menangkap peluang yang ada. Sehingga kita tidak menyalahkan jika ada statement bahwa pekerjaan guru itu berat untuk itu dibutuhkan komitment tinggi untuk melakoninya. Artinya jika profesi guru sudah menjadi pilihan kita, maka pastilah sudah disadari sejak awal bagaimana plus-minusnya profesi guru. Jika ini disadari secara mendalam, maka tidak akan ada protes sampai turun ke jalan hanya untuk sekedar untuk memperjuangkan hak, padahal bila ditanyakan ulang sudahkah seorang guru melakukan kewajiban, karena notabene hak bisa diambil bila sudah melakukan kewajiban, baik kewajiban mengajar atau mendidik. Ini juga pernah dilakukan Socrates, dimana ia menolak gaji (Hasan: 1998: 187). Menyikapi hal ini, hendaklah kita melakukan apa yang dikatakan Maslow sebelum hidupnya berakhir dengan mengatakan, ini senada dengan piramid Maslow yang telah dibalik, karena diakhir hidupnya Maslow mengatakan Every one should self actualize as a first priority then for themselves people will be valued by others, loved by others, feel secure and survive. Bila dianalogikan, maka setidaknya guru harus melakukan sesuatu terlebih dahulu untuk dapat dihargai (mis, baik itu dengan mengajar dengan maksimal). Bila ini sudah dilakukan maka secara otomatis, masyarakat ataupun pemerintah tanpa diminta pun akan menaikkan kesejahteraan guru. Masalah pengertian kepribadian guru dari waktu ke waktu dapat diperjelas dari tabel berikut ini:
NO 1. 2. 3. 4.
DULU Tanpa pamrih Komitmen tinggi Istiqomah Qona’ah
KINI, AKAN DATANG No pamrih no service Komitmen angin-anginan Istiqomahnya tergantung Kurang Qona’ah
Keterangan: Bila mau dikomparasikan, maka ke-3 hal diatas adalah profil guru di masa dulu dengan guru di masa kini dan akan datang. Dan bila dipahami lebih lanjut, perbedaan terletak pada ruh pendidikan itu sendiri. Artinya pendidikan yang notabene lapangan pengabdian, seorang guru menggunakan paradigma yang berbeda. Bila dahulu paradigma yang digunakan adalah amal jariyah ansich. ini semua termotivasi dari hadits nabi tentang 3 amalan kekal yang salah satunya adalah amal jariyah, serta hikmah arab: Sedangkan paradigma guru masa kini dan masa akan datang (merupakan prediksi, artinya bisa terjadi dan tidak), berpatokan pada mencari rejeki sebanyak-banyaknya. Karena rejeki yang dicari maka bila mendapatkan rejeki kecil akan kebingungan dan mencari obyekan lain. Protes gaji dan demo-demo lainmerupakan akibat logis dari paradigma yang digunakan tersebut. Selain itu bila seseorang telah memilih menjadi guru maka ia akan terjun total dalam bidang yang telah dipilihya sehingga perilaku, ucapan dan tindakan selalu disesuaikan dengan profesi yang telah dipilihnya. Sedangkan saat ini statemen ibarat guru kencing berdiri, maka murud kencing berlari merupakan dampak kurang diaplikasikannya ruh guru oleh guru tersebut. Misalnya, betapa banyak guru melarang rokok muridnya namun ia sendiri merokok dan masih banyak lagi yang lainnya. Untuk masa kini dan masa akan datang dimana keadaan dunia dan zamat sangat global, terjangkitnya paradigma materialis dan hedinisme maka yang paling membedakan antara guru dulu dengan sekarang dan mungkin masa yang akan datang adalah sifatqona’ah yang dimiliki oleh seorang guru. Ada fenomena guru dulu tidak mau menerima gaji (Arabiah Baina Yadaik, h,103), dan keadaan ini tidak merata. Memang kita masih menjumpai guru yang bersifat qona’ah plus jiwa pengabdian yang tinggi namun itu hanya bisa dijumpai di daerah-daerah pedalaman dan hampir bisa dipastikan mereka menyadari komitmen sebagai seorang guru. Sedangkan di daerah kebanyakan, adalah sebaliknya. D. Tawaran solusi Melihat fenomena kepribadian guruyang kian hari kian bergeser dan melemah, maka diperlukan usaha untuk dapat memperbaiki keadaan ini yang nantinya secara tidak langsung akan mendongkrak profesi guru itu sendiri. Diantara yang dapat kita tawarkan di sini adalah: 1. mempertebal sifat qona’ah Guru di masa kini dan masa akan datang haruslah memahami betul agar dapat bersikap qona’ah, bersikap menerima tapi bukan pasif keadaan yang bangsa yang sulit ini bukanlah harus ditangisi, tapi dijadikan tantangan untuk dapat mengeksplorasi kreativitas guru. Hal ini sudah terjadi di sektor kehidupan yang lainnya seperti ekonomi. Naiknya harga BBM malah menjadikan seseorang lebih kreatif untuk membuat kompor yang berbahan bakar rendah ekonomis. Guru sendiri juga bisa bila mau, misalnya bagaimana seorang guru bertindak seminim mungkin namun tetap tujuan pembelajaran tercapai. Artinya mengajar jangan hanya dimaknai sebagai pelajaran yang melelahkan, namun enjoy. Partisipasi guru dalam kegiatan penelitian (dalam hal ini penelitian tindakan kelas) seharusnya dijadikan salah satu cara untuk dapar meningkatkan ekonomi guru. Itupun kalau jeli melihat peluang seperti yang dilakukan oleh guru Bahasa Indonesia MTsN Malang I. 2. mempertebal komitmen Ketika seseorang memilih profesi guru, maka saat itu juga harus disadari bahwa guru adalah pekerjaan mengabdi bukan lahan bisnis. Bila ini disadari secara total maka akan tercipta sosok guru yang sangat qona’ah berkomitmen tinggi. Untuk merealisasikan hal ini maka diperlukan seleksi yang ketat dalam penerimaan mahasiswa keguruan dan penyeleksian di saat akan mengabdikan ilmunya dalam lapangan pendidikan. Komentar: Ada beberapa hal yang sebaiknya kita bahas lebih lanjut, diantaranya adalah: 1. 2. 3.
4.
Profesi guru yang sudah tidak lagi mendapat tempat di masyarakat, yang salah satunya disebabkan rendahnya kemampuan ekonomi guru di Indonesia pada masa ini dan rendahnya kompetensi guru saat ini. Kompetensi guru yang dimaksud adalah kepribadian guru. Perbandingan guru di masa lalu dengan guru di masa ini dan akan datang. Yang penulis menyatakan bahwa guru di masa dulu lebih baik dari pada guru di masa ini dan akan datang. Tawaran solusi bagi guru dengan memperdalam sifat qona’ah dan mempertebal komitmen.
Hal-hal diatas menimbulkan beberapa pertanyaan, diantaranya: 1. 2. 3. 4.
Siapakah sebenarnya guru itu? Benarkah profesi guru sudah tidak mendapat tempat di masyarakat kita saat ini? Kalau benar, apakah penyebabnya? Sudah cukupkah solusi-solusi diatas?
Di dalam tulisan singkat ini kami akan mencoba membahas lebih dalam mengenai hal-hal diatas. a. Siapakah sebenarnya guru itu? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru diartikan sebagai orang yg pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Dalam hal ini berarti guru itu adalah orang yang melakukan tindakan mengajar sebagai pekerjaannya, dengan kata lain dia mengajar dan mendapat imbalan dari kegiatan mengajar tersebut. Dengan demikian seorang pengajar yang tidak mendapat imbalan dari kegiatan mengajarnya tidak dinamakan guru. Sehingga ustadzustadz di pondok-pondok pesantren, kiai-kiai di kampung-kampung yang mengajar anak-anak kecil membaca Al-Quran tanpa imbalan bukanlah dinamakan seorang guru atau seorang artis yang mengajarkan gaya hidup kepada masyarakat dengan metode yang berbeda, itu juga bukanlah guru yang dimaksud. Tetapi hal ini berbeda dengan pernyataan Ali R.A yang termasuk sahabat Nabi SAW yang menyatakan bahwa orang yang mengajari kamu sesuatu walaupun hanya satu huruf hijaiyah (huruf di dalam bahasa arab) itu adalah guru kamu. Sehingga di dalam pengertian ini, maka ustadz-ustadz, kiai-kiai adalah seorang guru. Dengan demikian yang dimaksud guru di dalam tulisan diatas adalah tepatnya guru formal. b. Benarkah profesi guru sudah tidak mendapat tempat dalam masyarakat dan apakah penyebabnya? Kalau kita mengacu pada pengertian guru adalah profesi, maka hal ini memang benar. Bahwa profesi guru sudah bukan lagi profesi yang sakral. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana masyarakat menempatkan seorang guru di dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan selain faktor kepribadian guru itu sendiri seperti yang telah diuraikan di dalam tulisan diatas, juga disebabkan oleh posisi sekolah sebagai institusi guru formal di tengah-tengah masyarakat. Posisi sekolah di tengah-tengah masyarakat saat ini sangatlah berbeda dengan posisi lembaga pendidikan lain di masa Hindu-Buddha dan masa pendidikan Islam. Dan ini sangat dipengaruhi oleh sistem yang berlaku. Dari sini ada baiknya kita ketahui dulu bagaimana sistem pendidikan pada saat itu. Uraian tentang sejarah di bawah ini kami kutip dari artikel berjudul ” Sedikit Uraian Sejarah Pendidikan Indonesia” dalam situs: http://tinulad.wordpress.com. Pada masa Hindu-Buddha Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990). Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala. Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa lebih sedikit atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja. Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru. Pada masa Islam Sistem pendidikan yang ada pada masa Hindu-Buddha kemudian berlanjut pada masa Islam. Bisa dikatakan sistem pendidikan pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antara sistem pendidikan patapan Hindu-Buddha dengan sistem pendidikan Islam yang telah mengenal istilah uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti kaum agamawan Hindu-Buddha, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan
permukiman (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada masa Islam sistem pendidikan itu disebut dengan pesantren atau disebut juga pondok pesantren. Berasal dari kata funduq (funduq=Arab atau pandokheyon=Yunani yang berarti tempat menginap). Bentuk lainnya adalah, tentang pemilihan lokasi pesantren yang jauh dari keramaian dunia, keberadaannya jauh dari permukiman penduduk, jauh dari ibu kota kerajaan maupun kota-kota besar. Beberapa pesantren dibangun di atas bukit atau lereng gunung Muria, Jawa Tengah. Pesantern Giri yang terletak di atas sebuah bukit yang bernama Giri, dekat Gersik Jawa Timur (Tjandrasasmita, 1984—187). Pemilihan lokasi tersebut telah mencontoh ”gunung keramat” sebagai tempat didirikannya karsyan dan mandala yang telah ada pada masa sebelumnya (De Graaf & Pigeaud, 1985: 187). Seperti halnya mandala, pada masa Islam istilah tersebut lebih dikenal dengan sebutan ”depok”, istilah tersebut menjadi nama sebuah kawasan yang khas di kota-kota Islam, seperti Yogyakarta, Cirebon dan Banten. Istilah depok itu sendiri berasal dari kata padepokan yang berasal dari kata patapan yang merujuk pada arti yang sama, yaitu “tempat pendidikan. Dengan demikian padepokan atau pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang merupakan kelanjutan sistem pendidikan sebelumnya. Dari sini kita ketahui bahwa kedua sistem lama tersebut sama-sama memposisikan lembaga pendidikan di tempat yang tinggi. Sehingga masyarakatpun memandang lembaga pendidikan pada masa itu dengan pandangan yang berbeda. Dan sistem tersebut bisa dikatakan berhasil, bisa kita lihat sekarang bahwa Islam adalah agama terbesar di Indonesia yang hal itu merupakan hasil dari sistem yang diterapkan wali Songo di dalam dakwahnya. Hal ini berbeda dengan yang terjadi sekarang. Sebagaimana kita ketahui bahwa kita mengadopsi sistem pendidikan dari barat yang dibawa oleh Belanda. Dan pada perkembangannya sistem tersebut telah berubah sedemikian rupa seperti saat ini. Perbedaan yang paling mencolok salah satunya adalah posisi sekolah di tengah masyarakat. Dimana sekarang ada yang dinamakan pendidikan formal yaitu sekolah, yang mana sekolah ini bukan lagi tempat sakral tempat dididiknya seseorang, tetapi sekolah lebih berarti tempat disampaikannya ilmu dari guru ke murid. sehingga sekolah sekarang terkesan hanya sekedar “formalitas” belaka. Memang sekarangpun masih ada pondok pesantren yang merupakan warisan dari sistem lama. Tetapi tanpa ada legalisasi (mis: ijazah pondok pesantren setara dengan ijazah SMU) dan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, maka semakin lama lembaga ini akan terkikis atau bahkan punah dari bumi Indonesia. Dampak langsung terhadap profesi guru adalah pada pertanyaan siapakah guru itu? Kalau di masa Hindu-Buddha dan Islam guru adalah orang suci dengan segala kompetensi yang dimiliki, maka sekarang guru itu adalah orang yang bekerja secara formal dan mendapatkan gaji dari pekerjaan tersebut. Sehingga orientasi keduanya sudah jauh berbeda. Kalau tulisan oleh Isti’anah Abubakar diatas menyatakan bahwa profesi guru tidak lagi digemari karena faktor ekonomi, maka hal itu benar sekali dan itu adalah konskuensi logis dari sistem yang diberlakukan di Indonesia saat ini. Kesimpulanya beberapa faktor yang menjadikan profesi guru tidak lagi digemari masyarakat saat ini, 1. 2.
Rendahnya kompetensi guru di Indonesia sesuai dengan pemaparan dalam tulisan Isti’anah Abubakar. Penerapan formalisasi sistem pendidikan Indonesia.
3.
b. Solusi
Pada dasarnya kami setuju dengan solusi yang ditawarkan Isti’anah Abubakar diatas, tetapi kami ingin menambahkan sedikit yaitu perlunya sistem yang mendukung seorang guru untuk melakukan sifat-sifat qona’ah dan tebalnya komitmen. Dan sistem tersebut untuk saat ini yang paling realistis adalah dukungan total terhadap pondok-pondok pesantren. Dukungan tersebut bisa berupa penggalian atas khazanah-khazanah sistem pendidikan di pondok pesantren terlebih lagi pondok pesantren salaf yang keberadaannya sudah seperti lembaga pendidikan asing yang tidak menjanjikan apa-apa. Sedikit tambahan bahwa ustadz-ustadz pondok pesantren sampai saat ini masih mendapatkan posisi yang tinggi di dalam masyarakat. Lebih khusus lagi ustadz-ustadz pondok pesantren salaf. Kontributor Luqman Ahsanul Karom, Jurusan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Universitas Islam Malang. Sumber Jurnal “El-Harakah” Vol V, Universitas Islam Negeri Malang
http://www.infodiknas.com/konsep-kepribadian-guru-perspektif-historis-2/
Guru Madrasyah Dalam Pandangan Saya .:. Oleh: Ahmad Tanaka, S.Ag, M.Pd Sabtu, 15 November 2008 16:47:28 - oleh : admin Iftitah Judul artikel ini mengarahkan saya untuk pertama, menyampaikan persepsi dan refleksi pribadi penulis dalam memandang profil guru madrasah. Kedua, mendorong saya menginterpretasikan kata “Guru Madrasah” pada judul ini untuk melihat konsep diri dalam dua aspek. 1) People who watch things happen (diri sebagai penonton). Artinya, saya seolah berada di luar habitat guru madrasah lalu saya menyampaikan kesan saya atas mereka. 2) People who make things happening (diri sebagai pelaku). Artinya, sebagai seorang guru madrasah yang ikut merasakan asam-garamnya lalu saya menyampaikan apa yang saya rasakan sebagai guru madrasah. Hal-hal tersebutlah yang akan mewarnai materi tulisan ini. Profil Untuk mendiskripsikan profil guru madrasah dalam pandangan saya, penulis mengemukakan dua buah ilustrasi. Pertama: Seorang petani menemukan telur elang dan menempatkannya bersama telur ayam yang dierami induknya. Setelah menetas elang itu hidup dan berprilaku persis anak ayam, karena mengira dirinya anak ayam. Pada suatu hari, ia melihat seekor elang yang dengan gagahnya terbang mengarungi angkasa. “Woh, luar biasa!! Siapa dia?” katanya penuh kekaguman. “Itulah elang, raja segala burung!” sahut ayam sekitar. “kalau saja kita bias terbang, ya? Luar biasa!”. Para ayam menjawab, “Ah jangan mimpi, dia makhluk angkasa sedang kita hanya makhluk bumi. Kita hanya ayam”. Demikianlah, elang itu makan, minum, menjalani hidup dan akhirnya mati sebagai seekor ayam. Kedua: Seorang anak kota yang ingin serba tahu, bertanya tentang guru madrasah kepada kakeknya, seorang direktur eksekutif perusahaan. Sang kakek mengatakan, “kelilinglah di suatu daerah tertentu. Kalau melihat sekolah yang retak-retak tak terurus, plafondnya sobek terurai, catnya pudar, sengnya berkarat dan bocor. Kemudian perhatikan, bila ada seorang berkopiah lusuh dan kekuning-kuningan, berbaju dinas yang tidak matching, sepatunya tidak berikat dan tidak memakai kaos kaki dan rim. Tidak lain itulah guru madrasah. Ilustrasi pertama menggambarkan falsafah hidup kebanyakan guru madrasah. Sedang yang ilustrasi kedua menggambarkan performance madrasah sekaligus gurunya. Guru madrasah, khususnya di tingkat madrasah ibtidayah, menganggap dirinya sebagai orang yang ditakdirkan untuk lahir, bekerja dan pensiun sebagai guru madrasah. Karenanya mereka tidak perlu meningkatkan diri. Toh yang dihadapi adalah anak-anak yang apapun diberikan tidak menjadi masalah. Sehingga meningkatkan kapasitas diri menjadi hal yang tidak penting, baik jenjang dan kualifikasi pendidikan maupun wawasan keguruan secara mandiri. Sebuah realita yang menyedihkan dengan kenyataan bahwa hanya 20% guru madrasah yang masuk kategori layak, 20% masuk kategori mis-match, dan sisanya 60% masih dalam kategori belum layak. Demikian pula dengan performance guru. Ilustrasi tersebut mungkin berlebihan, tetapi paling tidak kurang lebih begitulah persepsi “orang luar” kepada kita. Dan kenyataan bahwa sikap under-estimate terhadap madrasah masih sangat terasa. Penilaian terhadap performance guru madrasah baik fisik maupun non-fisik mempengaruhi pilihan mereka untuk menyekolahkan anaknya di madrasah, terutama diambil bagi kalangan menengah ke atas. Ironisnya, sikap yang sama juga diambil oleh sebagian besar pegawai di lingkungan Departemen Agama, sehingga guru madrasah kadang harus mengelus dada seraya bertanya dalam hati, “siapa lagi yang menghidupkan madrasah kalau mereka saja menghindari madrasah”. Demikian pula halnya dengan kurangnya pemahaman terhadap regulasi dan perundang-undangan yang ada. Masih banyak pengambil kebijakan yang menomorduakan guru madrasah. Undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 yang dengan jelas menuntut kesetaraan SD dan MI dan seterusnya ke atas, ternyata masih belum dipahami dan diaplikasikan dalam hal kebijakan, mulai dari Diknas Provinsi, kabupaten hingga kecamatan. Ironis memang, sekaligus menjadi tugas guru madrasah untuk keluar dari situasi ini. Solusi Alternatif Realitas yang harus disadari oleh setiap guru madrasah. Kata kuncinya hanya satu tingkatan kualitas! Kalau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi adalah sesuatu yang hight cost, paling tidak ada upaya keras untuk mengembangkan kapasitas potensi diri. Kenyataan bahwa persaingan global menuntut sumber daya manusia (SDM) yang mampu mengembangkan potensi dirinya secara maksimal baik potensi Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ). dalam rangka pengembangan itu diperlukan usaha sadar dan terencana untuk mengantisipasi kemajuan dunia pada umumnya dan perkembangan dunia pendidikan pada khususnya. Pertanyaannya adalah, seberapa besar kita menggunakan potensi yang dianugerahkan Allah kepada kita? Psikolog, Wiliams James mengatakan bahwa manusia baru memanfaatkan kira-kira 10% dari potensinya. Dan
potensi yang belum tergali adalah 90% dapat dikembangkan dengan menggunakan teknik-teknik yang sesuai. Manusia (termasuk guru madrasah) dapat mengubah hidupnya dengan mengubah cara berpikirnya. Menurut pandangan Islam, manusia lahir telah dibekali dengan berbagai potensi yang dibawa sejak lahir dalam kandungan ibu. Sebagaimana dijelaskan Al-Qu’ran dalam surat As-Sajadah ayat 9: “Kemudian Dia Menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) roh (ciptaan) Nya dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan af’idah, (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur” Bersyukur berarti memanfaatkan potensi dengan sebaik-baiknya, dan mengabaikan sama saja dengan tidak mensyukuri. Potensi lahiriah tersebut selanjutnya dipengaruhi oleh lingkungan dan kesadaran diri sendiri untuk mengembangkannya melalui berbagai cara dan firmanNya lain, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum ia mengubah dirinya sendiri”. Salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah starata atau jenjang pendidikan guru madrasah (khususnya di tingkat Ibtidayah), kebanyakan adalah Diploma II, itupun karena telah “didongkrak” oleh pemerintah melalui program penyetaraan, yang sebelumnya kebanyakan dari PGA atau UGA di era tahun 1960-an. Adalah patut diacungkan jempol, kebijakan pemerintah yang “memaksa” guru madrasah pada semua tingkatan untuk meningkatkan kualifikasinya. Dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 29 (2), (3), dan (4), dicantumkan bahwa: Pendidik pada SD/ MI, SMP/MTs, SMA/MA atau bentuk lain yang sederajat memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum Diploma IV (D-IV), atau Sarjana (S-I). Sikap pro-aktif, kreatif dan mandiri perlu dilakukan, menunggu policy pemerintah untuk mengadakan proyek kualifikasi seperti dulu, butuh waktu dan political will. Berat memang, tetapi itulah tantangan dan tuntutan zaman yang harus disikapi. Bila tidak mau bertindak maka anda akan tertindas! Namun, hendak pula dipahami bahwa yang dimaksud guru madrasah, bukan saja mereka yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), tetapi juga mereka yang mengabdikan dirinya sebagai guru honorer. Perbedaan posisi ini ikut juga mempengaruhi stratifikasi guru madrasah, baik dari segi financial, performance maupun Self of confidence. Penulis mencoba mengelompokkannya sebagai berikut : -------------------------------------------------------------------------------------------------No. Status Pegawai Status Sekolah Stratifikasi Jumlah --------------------------------------------------------------------------------------------------1. Negeri Negeri **** * 2. Negeri Swasta *** ** 3. Honorer Negeri ** *** 4. Honorer Swasta * **** --------------------------------------------------------------------------------------------------Status kepegawaian dan sekolah berpengaruh sangat besar dalam upaya meningkatkan kualitas. Di madrasah, status sekolah swasta berkisar antara 70% - 95,2%. Di tingkat MI yang berstatus sekolah swasta bejumlah 95,2%, di tingkat MTs 75%, dan MA sebesar 70%. Kondisi ini berbanding terbalik dengan sekolah-sekolah di lingkungan Depdiknas. Dengan status sekolah yang berkisar 70% - 95 % swasta, maka dapat diprediksi bahwa guru yang mengabdikan dirinya pada madrasah berkisar pada angka itu juga dibanding guru negeri. Sebuah angka yang sangat besar. Kondisi inilah yang seharusnya menjadi bahan pemikiran dan kebijakan pemerintah untuk tidak lagi menciptakan dikotomi antara guru negeri dan honorer. Demikian pula terhadap sekolah negeri dan sekolah/madrasah swasta. Menciptakan kesenjangan dan mengesampingkan madrasah (termasuk gurunya) yang kebanyakan swasta/honorer sama dengan melupakan sejarah dan melecehkan profesi guru madrasah. Namun bagaimanapun suka atau tidak suka, siap atau tidak siap perubahan terus dan terus terjadi. Bukan saja perubahan dunia pendidikan. Guru madrasah harus menyikapinya dengan dengan pro-aktif, kreaktif dan inovatif. Pemanfaatan wadah pembinaan guru semacam KKG menjadi alternatif yang baik, tetapi juga yang tak kalah pentingnya adalah meningkatkan strata jenjang pendidikan, disamping terus mengikuti issu terbaru dunia pendidikan. Tiada pilihan lain kecuali maju, sebab “When you not change you will be leave behind”. Harapan yang tersisa Siapapun boleh dan berhak memberikan penilaian terhadap guru madrasah sesuai dengan versinya masingmasing. Tetapi yang tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat masih percaya bahwa madrasah sebagai “benteng moral”. Ini berarti bahwa di tangan guru madrasah masih tersimpan harapan besar. Harapan masyarakat terhadap pendidikan agama di sekolah dinyatakan oleh para orang tua dengan ungkapan yang sederhana. “anaknya menguasai dasar-dasar agama termasuk kemampuan membaca al-Qur’an dan berdo’a, anaknya taat beribadah (shalat, puasa, zakat) dan berakhlak yang baik”. Dan madrasah menjadi benteng bagi semua itu. Jadi, kalau madrasah adalah “benteng” maka guru madrasah adalah “prajurit dan panglimanya”. Tawuran antar pelajar yang sering terjadi, sejauh yang saya tahu, baca dan dengar belum pernah melibatkan siswa madrasah. Pakaian ketat yang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh adalah hal yang jauh dari siswi madrasah. Rambut gondrong, cat rambut, telinga beranting dan tindik rasanya belum pernah saya lihat, baca dan dengar. Motivasi keagamaan berupa keinginan agar anak-anak mereka mendapatkan pendidikan agama yang baik di samping pengetahuan umum, masih menjadi harapan yang tersisa. Kalaupun harapan inipun tidak lagi kita
“tangkap” dan dimiliki oleh guru madrasah, maka eksistensi kitapun sebagai guru patut dipertanyakan. Karena keberadaan kita sama dengan ketiadaan kita. Wallahu Al’am Bi shawab. (**) * Kepala Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN) Kolaka, Sultra. Alumni Jurusan Tarbiyah STAIN Kendari Tahun 1999, Jurusan Bahasa Inggris STIKIP Kolaka Tahun 2004 dan Pascasarjana UNHALU, Calon penerima Beasiswa Ford Foundation untuk jenjang S3. kirim ke teman | versi cetak
Guru Dilarang "Nyambi" Diposting oleh admin Tanggal: July 6th, 2009 | Kategori: Berita | dilihat 29 Kali |
SURYA, Kamis, 19 Maret 2009. Cakasek Lolos Seleksi Awal. Para guru PNS tak boleh ‘nyambi’ di sekolah swasta. Pemkot Surabaya akan menarik semua PNS yang mengajar di sekolah swasta untuk dikembalikan ke sekolah negeri sesuai surat tugas. Selanjutnya, posisi mereka di swasta diisi guru tidak tetap (GTT). Larangan ‘nyambi’ ini diputuskan dalam rapat dengar pendapat (hearing) antara Asisten IV (Bidang Kesejahteraan Rakyat) Sekkota Tri Siswanto, Kabid Ketenagaan Dindik Surabaya Yusuf Masruh, Kepala Pembinaan dan Pengembangan Pegawai BKD Surabaya Bergas Tjahjono, perwakilan GTT, dan Komisi D DPRD Surabaya, Rabu (18/3). Rapat ini menyikapi SE Kadindik Sahudi 800/2008 yang mewajibkan guru GTT mengajar 24 jam seminggu sebagai prasyarat untuk mendapatkan tunjangan fungsional dan mengikuti sertifikasi. Padahal, kenyataannya, para GTT hanya mendapat jam mengajar 8, 10, hingga 18 jam seminggu. SE ini membuat sekitar 3.000 GTT Surabaya terancam PHK. Seperti yang dirasakan Panji Asmoro, GTT. “Kasek saya mengatakan kalau sampai Juni 2009 (tahun ajaran baru) saya tidak mendapatkan 24 jam akan dikeluarkan dari sekolah. Ini juga dialami sekolah-sekolah lain. Padahal, cari sekolah swasta itu sangat sulit, karena sudah diisi guru-guru negeri,” kata Ketua Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia Surabaya ini, Rabu (18/3). Menanggapi hal ini Sekretaris Komisi D DPRD Kota Surabaya M Alyas meminta pemkot turun tangan. “Harus ada perlindungan GTT. Jangan sampai ada PHK dengan iming-iming sertifikasi. Jadi, Dindik harus menarik seluruh guru negeri ke sekolah negeri, dan menyalurkan guru GTT ke sekolah swasta,” kata Alyas. Permintaan ini langsung disepakati Asisten IV Sekkota Tri Siswanto. Tri meminta Kadindik meluncurkan ketentuan mengajar yang isinya melarang guru PNS mengajar di sekolah swasta. Pelarangan ini adalah kewajiban dan tidak boleh ditolak. Tri bahkan berharap hal ini sudah diselesaikan di akhir tahun ajaran ini. “Kadindik harus mengatur kepala sekolah dan guru-gurunya. Intinya pemkot akan memberi kebijakan untuk peningkatan kesejahteraan GTT. Ketika GTT tidak punya sertifikat kan kasihan tidak dapat tunjangan apa-apa. Ketika dapat sertifikat kan dapat satu kali gaji,” tandasnya. Kabid Ketenagaan Dinas Pendidikan Kota Surabaya Ir Yusuf Masruh MM juga menyanggupi pengembalian guru PNS ke sekolah negeri. Tapi, untuk membuat GTT diterima di sekolah swasta, hal itu sulit dilakukan. “Pemkot intervensi ke swasta itu sulit, sifatnya hanya imbauan saja. Tapi, kami akan upayakan,” janjinya. 147 Cakasek Lolos Sementara itu, 147 calon kepala sekolah (cakasek) dinyatakan lolos seleksi awal jabatan. Mereka berhak mengikuti proses seleksi berikut, yakni ujian tulis Sabtu (21/3). Mereka terdiri dari 88 cakasek SD, 33 SMP, 21 SMA, dan 5 SMK. Mereka telah menyisihkan lumayan banyak pesaing. Saat pendaftaran 10 Maret – 13 Maret 2009, untuk SD dilamar 132 cakasek, SMP 117, SMA 51, dan SMK 33. Mereka yang telah mendaftar ini mengikuti seleksi awal berupa pemeriksaan kelengkapan administratif dan portofolio. Yang lolos seleksi awal ini (147 cakasek) akan mengikuti tes tertulis. “Dalam ujian tulis ini, mereka harus mendapat nilai minimal 69,” tegas Kepala Bidang Ketenagaan Dindik Surabaya Yusuf Masruh, Rabu (18/3). Usai ujian tulis, mereka masih harus mengikuti tes wawancara serta uji kelayakan dan kepatutan. “Kami memang ingin mendapatkan calon kepala sekolah terbaik,” ungkap Yusuf. Seperti diketahui dalam sistem perekrutan kasek secara terbuka ini Dindik Surabaya menyediakan total 96 jabatan kasek mulai dari tingkatan pendidikan SD hingga SMA dan SMK. uus/rey. SUMBER: http://www.surya.co.id/2009/03/19/guru-pns-dilarang-nyambi-hanya-boleh-mengajar-di-negeri/
PROFESI GURU DI INDONESIA Oleh : Kelvin Djajalaksana
Guru, mendengar kata tersebut kira-kira apa yang ada pada benak anda? Yah, tentunya bisa beragam yah, tentu semua yang anda pikirkan bisa saja berbeda dengan apa yang saya pikirkan. Tapi ada satu persamaan yaitu profesi guru adalah mengajar dan mendidik murid. Namun sangat disayangkan bahwa profesi ini kerap kali mendapat pandangan negatif atau istilah nya kebanyakan orang hanya melihat sebelah mata mengenai profesi tersebut. Misalnya saja “Kalau ingin kaya jangan menjadi guru” atau “Jangan jadi guru, hidupmu bakal susah” mungkin juga anda yang sedang berprofesi sebagai guru pun berpikir seperti “Saya menjadi guru karena terpaksa, karena tidak mendapatkan pekerjaan lain”. Padahal kita seharusnya bisa melihat dengan cara dan sudut pandang yang berbeda. Baik, pertama-tama disini ada satu hal yang ingin saya luruskan yaitu bahwa untuk memahami, menghargai dan memaknai suatu hal terutama mengenai profesi / pekerjaan tidak cukup jika hanya dengan motivasi imbalan uang yang diterima atau bermodalkan pengetahuan dan dalam hal ini keterampilan mengajar, melainkan lebih penting dari kedua hal tersebut yaitu adalah keyakinan positif tentang profesi itu sendiri. Secara umum kondisi pendidikan di Indonesia dan secara khusus kualitas guru-guru di Indonesia adalah sebuah komulasi dari hasil pikiran masyarakat Indonesia tentang pendidikan dan kualitas guru itu sendiri. Bahkan bisa saja guru-guru sendiri memiliki kontribusi terbesar dalam mewujudkan kondisi seperti ini yakni dengan pikiranpikiran negatip mereka. Sebagian besar masyarakat berpikir, berpendapat dan meyakini bahwa pendidikan di Indonesia sedang dalam kondisi terpuruk. Keyakinan tersebut memang apa adanya dan bisa kita lihat sendiri melalui maraknya opini, pendapat, tulisan-tulisan juga media yang biasanya mendeskripsikan pendidikan di Indonesia dan secara khusus kondisi guru yang negatif. Berdasarkan indikator tersebut, maka dengan mudah dapat diprediksikan bahwa banyak masyarakat termasuk para guru sudah, sedang dan akan terus berpersepsi, berpikiran negatip tentang pendidikan dan kualitas guru di indonesia. Hal ini sangat berbahaya jika tidak dihentikan dan diubah saat ini, terlebih bagi para guru. Bagaimana tidak? Tentu akan sangat sulit kualitas guru di ubah, dan ditingkatkan jika para guru sendiri tetap berpikiran negatif tentang profesinya. Hal ini sangat penting mengingat kualitas guru / pendidik sangat mempengaruhi kondisi pendidikan di suatu negara. Tadi seperti yang sudah kita bahas, bahwa kondisi pendidikan dan kualitas guru saat ini merupakan hasil pemikiran masa lalu. Pemikiran masyarakat, pemikiran pemerintah dan pemikiran para guru sendiri. Menurut James Arthur Ray, bahwa pikiran adalah
sebuah zat tak berbentuk yang mengisi dan menembus seluruh ruang dan waktu dan menurut fisika kuantum bahwa dalam tingkat kuantum, semua hal terbuat dari bahan yang sama, yakni energi. Pikiran adalah energi yang memiliki frekuensi sangat tinggi. Ketika Anda berpikir maka otak Anda akan memancarkan frekuensi itu ke segala arah, menembus ruang dan waktu ke alam semesta. Kekuatan alam semesta akan merespon dan mengembalikan kepada Anda persis seperti yang Anda pikirkan. Jadi ketika kita, masyarakat, pemerintah, dan para guru berpikiran bahwa pendidikan di indonesia tidak berkualitas, guru-gurunya tidak memiliki kompetensi, menjadi guru tidak bisa kaya, profesi guru bukan profesi pilihan dan sebagainya, maka saya jamin akan terjadi persis seperti yang Anda pikirkan. Dan saat ini pikiran itu telah menjadi kenyataan. Perlu di ingat bahwa selama guru masih berpikir bahwa hidupnya tidak pernah akan sejahtera, murid-muridnya tidak memiliki motivasi belajar, sebagian besar siswanya adalah anak-anak bodoh, sarana sekolah dan pendukung proses pembelajaran sangat minim, temanteman guru lain tidak pernah mendukung ide-idenya, kepala sekolah sibuk dengan urusan bisnisnya sendiri, pemerintah tidak mau memperhatikan profesi guru dan sebagainya, maka terjadilah demikian. Para guru biasanya terjebak oleh opini / pandangan di luar dirinya, sehingga pemikiran negatif itu terus tetap bertahan. Bagaimana mengubahnya? Hanya ada satu cara, yaitu mengubah cara berpikir kita. Berpikir bahwa kehidupan guru sejahtera, berpikir bahwa setiap siswa memiliki potensi tak terbatas, berpikir bahwa semua siswa bersemangat belajar, berpikir bahwa alam menyediakan media belajar berlimpah dan sebagainya. Kehidupan dan keberhasilan dalam hidup kita sangat tergantung oleh pikiran kita. Begitu juga dengan keberhasilan para murid di kelas, sangat tergantung oleh pikiran guru. Hanya guru yang memiliki harap tinggi kepada murid-murid nya yang akan mengajar mereka dengan penuh kesabaran. Guru yang mempercayai murid-muridnya memiliki potensi tak terbatas, maka ia akan mengajar dengan penuh totalitas. Hanya guru yang visioner, yang bisa melihat sukses besar murid-muridnya ke depan. Guru yang demikian akan memiliki gairah yang menggebu untuk mendidik dan mengajar serta melatih muridmuridnya. Hanya guru yang bukan sekedar bekerja untuk mencari uang/makan melainkan panggilan kasih kepada sesama, maka ia akan memiliki komitmen. Ada pepatah bijak mengatakan “Berpikirlah anda gagal, maka anda akan bertindak / berperilaku gagal. Berpikirlah bahwa anak murid anda gagal, maka anda tidak akan pernah berhasil mengajar mereka.” Yah itu betul dan bisa saja terjadi, atau dengan kata lain “Tetaplah membiarkan pikiran negatif anda dalam pikiran anda sama
artinya anda membangun hambatan besar untuk masa depan anda. Tetaplah anda berpikir bahwa murid anda tidak akan pernah berhasil, maka sama artinya anda telah ‘membunuh’ masa depan mereka.” Tapi tentunya memupuk kepercayaan dan keyakinan yang positif tidaklah semudah membalikkan telapak tangan apalagi jika memiliki keterbatasan-keterbatasan. Namun demikian ketika Anda bisa mengubah pikiran Anda, bisa mengubah pikiran anak murid Anda, maka apapun yang Anda targetkan akan tercapai. Hati-hati Anda berpikir, berpikir tentang diri kita sendiri, berpikir tentang anak-murid, ataupun berpikir tentang apa saja. Pikiran Anda akan memancar ke alam semesta dan alam semesta akan merespon semua yang Anda pikirkan, berikut akan me-realita-kan dan mengirimkan kepada Anda apa yang Anda pikirkan itu. Salah satu hukum alam senantiasa akan bekerja kepada Anda, yakni hukum sebab-akibat. Hukum tabur-tuai, Hukum Garbage In Garbage Out. Buah pikiran Anda akan menjalar ke segala arah di sela-sela ruang alam semesta, dan getaran pikiran itu akan beresonansi dengan materi atau kenyataan yang memiliki frekuensi sama, dan akhirnya materi atau kenyataan itu akan terkirim balik kepada Anda. Demikian juga dengan apa yang Anda pikirkan tentang pendidikan anak murid Anda, tentang kualitas profesi Anda, tentang kesuksesan hidup Anda, tentang masa depan anak-anak didik Anda. ”Hati-hati berpikir, karena pikiran akan mendorong tindakan, berikut menghasilkan persis seperti yang dipikirkan”. Carl Roger salah satu pemikir pendidikan, mengatakan bahwa; “ Saya tahu bahwa saya tidak bisa mengajar apapun, saya hanya bisa menyediakan lingkungan dimana siswa dapat belajar”. Kiranya penyataan ini dapat dijadikan sebuah keyakinan bagi para guru jika tidak ingin tejebak pada kesombongan diri dan merasa paling pintar dihadapan pada murid-muridnya. Ketika semua guru memiliki pikiran dan keyakinan seperti ini, maka perilaku guru, cara mengajar guru, cara bersosialisasi guru dan cara melayani murid-muridnya akan berubah total. Guru memiliki kesadaran bahwa setiap siswa memerlukan sebuah lingkungan belajar yang aman, yang bervariasi, yang merangsang siswa berekplorasi. Guru memiliki fungsi merancang, mengatur dan menjadikan lingkungan tersebut sebagai tempat murid menggali pengalaman baru. Sependapat dengan Carl Roger, Konstruktivisme dalam pendidikan dapat dijadikan sebuah dasar paradigma pembelajaran yang dapat mengembangkan manusia muda (murid) menjadi manusia dewasa yang mandiri, utuh sesuai talenta mereka. Konstruktivisme merupakan jembatan antara dunia emipirisme dan dunia rasionalisme, yang meyakini bahwa pengetahuan anak dibangun oleh dirinya sendiri berdasarkan pengetahuanpengetahuan, pengalaman-pengalaman yang sudah dimilikinya dan pengetahuan-pengetahuan serta pengalaman-pengalaman baru yang
diperolehnya dari luar dirinya. Dengan kata lain guru tidak bisa memberikan pengetahuan kepada anak, melalui proses belajarmengajar. Pengetahuan anak dibangun oleh faktor dari dalam sekaligus dari luar, yakni pengetahuan terdahulu dan lingkungannya/pengalamannya. Karena itu peran guru tidak lagi sebagai “Sage on the Stage” tetapi harus diubah menjadi “Guide on the Side”. Hal ini bisa terjadi hanya bila guru memiliki keyakinan dan paradigma baru yakni konstruktivisme dan jika hal ini bisa dijadikan ”keyakinan” para guru dalam tanggung jawabnya sebagai guru, maka niscaya anak akan mencapai potensinya. Jadi saya harapkan kita semua bisa berpikir dengan cara dan sudut pandang yang berbeda mengenai profesi guru tersebut. Karena bagaimanapun juga guru membawa tanggung jawab yang besar bagi kemajuan pendidikan dan masa depan anak-anak kita maka sudah sepantasnya istilah “pahlawan tanpa jasa” ditujukan untuk guru. Dan setelah kita memahami dan menyadari bahwa cara kita berpikir, apa yang kita pikirkan, dan menyadari betapa hebatnya kekuatan pikiran mempengaruhi hasil maka sangat diharapkan guru berani untuk mengimplementasikannya.
“Jika hari ini seorang Perdana Menteri berkuasa Jika hari ini seorang Raja menaiki takhta Jika hari ini seorang Presiden sebuah negara Jika hari ini seorang ulama yang mulia Jika hari ini seorang peguam menang bicara Jika hari ini seorang penulis terkemuka Jika hari ini siapa sahaja menjadi dewasa; Sejarahnya dimulakan oleh seorang guru biasa Dengan lembut sabarnya mengajar tulis-baca.” (‘guru oh guru’ Usman Awang 1979)
Dari berbagai sumber JalaL 63 Posts
korewa 95 Posts
Posted - 01/12/2009 : 19:57:51
artikel yg bagus bung korewa.. sering2 posting dong hehehe Posted - 01/13/2009 : 08:46:50 quote: Originally posted by JalaL artikel yg bagus bung korewa.. sering2 posting dong hehehe
Trimz... Nanti akan saya post lagi artikel nya...
elshintagroup Indonesia 138 Posts
Posted - 01/13/2009 : 10:33:04
Tulisan lanjutan Bung Kelvin dipindahkan dikolom GURU ini : MENJADI GURU PROFESIONAL Oleh : Kelvin Djajalaksana Seperti yang sudah dibahas di bagian sebelumnya, guru adalah seseorang yang berprofesi sebagai pengajar dan pendidik. Bisa dikatakan secara langsung guru menentukan kualitas dan mutu pendidikan di suatu negara. Tentu idealnya semua dari kita sangat menginginkan kualitas dan mutu pendidikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Oleh sebab itu peningkatan kualitas guru adalah hal yang mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Tanpa adanya peningkatan kualitas guru, maka upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kucuran dana yang besar-besaran akan siasia semua. Istilah “profesional” sering kali kita dengar. Misalnya ada petinju amatir dan ada juga petinju profesional. Ada pencopet amatir dan ada juga pencopet profesional. Yah dan tentunya juga ada guru amatir dan ada guru profesional. Sebenarnya apa sih arti “profesional” ? Saya secara pribadi mengartikannya sebagai sifat atau perilaku seseorang dalam melakukan pekerjaan apakah perilakunya tersebut didasari atas pengertian yang benar mengenai hal yang harus dilaksanakan dan pengertian tersebut dilengkapi dengan kemahiran yang tinggi. “Tindakan yang lahir dari gabungan kedua sifat itu, mencerminkan lebih kurang tingkat profesionalisme yang diharapkan dimiliki seseorang” (Winarno Surakhmad) Namun lagi-lagi sangat disayangkan kembali, profesi guru banyak dinilai tidak profesional. Banyak lulusan sekolah guru yang memberi kesan seolah-olah mereka tidak pernah melalui pendidikan keguruan. Padahal guru diharapkan melaksanakan tugas kependidikan yang tidak semua orang dapat melakukannya, artinya hanya mereka yang memang khusus telah bersekolah untuk menjadi guru, yang dapat menjadi guru profesional. Lalu bagaimana aplikasi profesionalisme guru dalam pembelajaran ? Semenjak pendidikan guru, seorang calon guru sudah harus berupaya membekali diri dengan ilmu, sikap dan keterampilan yang diperlukan untuk mengajar dan mendidik siswa. Ilmu bisa didapat dengan selalu membaca, bertanya dan upaya lainnya. Keterampilan bisa dikembangkan dengan mempelajari, mencoba dan mempraktikkan metode mengajar baru. Guru juga harus mampu mendesain kurikulum dan membuat lesson plan untuk ke depannya. Guru wajib mengetahui ”keteraturan dunia anak”, guru harus peka terhadap tanda-tanda dan suara hati yang bisa menuntun
perilakunya sebagai guru sejati. Pertanyaannya sekarang adalah mampukah kita mejadi profesional ? Memang, kita tentu tidak bisa berharap seketika untuk bisa menjadi profesional. Menjadi profesional sangatlah berat. Tanpa motivasi yang kuat dan stamina moral yang tinggi tidak mungkin kita bisa menjadi profesional. Satu hal penting kira-kira darimanakah motivasi seorang profesional mendapatkan motivasinya sehingga ia dapat bertahan, bahkan berkembang ? Pasti tidak dari sekadar uang saja meskipun dunia profesional berlimpah dengan uang. Saya rasa pertanyaan tersebut sebaiknya anda jawab dalam hati diri anda sendiri. Bagaimana hal tersebut bisa terlaksana di sekolah-sekolah ? Hanya ada dua faktor, intern dan ekstern. Faktor intern apa ada minat dari guru itu sendiri untuk menjadi profesional, sedangkan faktor ekstern apa lingkungan juga mendukung nya, misalnya adanya seminarseminar / workshop untuk menambah wawasan dan sebagainya. Dan sejatinya profesionalisme tidak hanya berhenti pada satu titik pencapaian saja. Memang profesionalisme bukanlah sebuah istilah baku. Juga bukan berharga mati. Profesionalisme adalah konsep yang dinamis, berkembang sepanjang masa. Dengan itu kita harus mengerti bahwa adalah tidak mungkin untuk menetapkan standar profesi yang berlaku sepanjang masa, di dalam keadaan yang bagaimanapun. Maukah anda menjadi seorang guru profesional ? Dari berbagai sumber NB : Semoga bisa bermanfaat untuk rekan-rekan se-profesi...
http://www.elshinta.com/v2003a/forum/topic.asp?TOPIC_ID=2025
REORIENTASI PENGEMBANGAN PROFESIONALITAS GURU DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN ISLAMI DI KABUPATEN PIDIE JAYA Written by M. Jamil Yusuf | IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh Wednesday, 29 April 2009 08:46
ABSTRAK Pendidikan Islami sebagai suatu sistem pendidikan di REPRO ESP Aceh mengandung berbagai komponen yang antara satu dengan lainnya saling berkaitan. Komponen dimaksud meliputi landasan,
tujuan, kurikulum, kompotensi dan profesionalitas guru, pola hubungan guru-murid, evaluasi, metodologi pengajaran, sarana dan prasarana, pendanaan dan sebagainya. Berbagai komponen tersebut seringkali berjalan apa adanya, bersifat alamiah dan tradisional, tanpa didukung oleh konsep manajerial yang handal dan terukur. Akibatnya mutu pendidikan Islam kadang kala memperlihatkan hasil yang tidak dapat dihandalkan. Oleh karena itu, dalam hal peranan guru sebagai pendidik profesional dengan sendirinya menghendaki guru mampu bekerja secara profesional. Reorientasi pengembangan profesionalitas ini dalam rangka penerapan pendidikan Islami di Aceh pada prinsipnya mencakup aspek: (1) kemampuan memahami al-Qur’an dan mengintegrasikannya ke dalam proses belajar mengajar serta mensucikan jiwa dari dosa dan kemungkaran; (2) keterampilan komunikasi yang efektif antara guru dan muridnya; (3) menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan guru untuk mengajar; (4) mengoptimalkan pengaruh lingkungan sekolah untuk peningkatan mutu lulusan; dan (5) penerapan teknologi informasi dalam proses pembelajaran. A. Pendahuluan Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini dan di Aceh pada khususnya adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan tersebut telah diupayakan, di antaranya: (1) pengadaan buku dan alat pelajaran; (2) berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru; (3) perbaikan, pengadaan sarana/prasarana pendidikan; dan (4) peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun, dilihat dari berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Mulyani AN menyebut bahwa pendidikan di Indonesia secara kuantitatif dapat dikatakan telah mengalami kemajuan. Indikatornya dapat dilihat pada kemampuan baca tulis masyarakat yang mencapai 67.24%.[1] Hal ini sebagai akibat dari program pemerataan pendididikan, terutama melalui Inpres SD yang dibangun pada masa Orde Baru. Sedangkan keberhasilan dari segi kualitatif pendidikan di Indonesia belum berhasil membangun karakteristik bangsa yang cerdas dan kreatif, apalagi yang unggul. Banyaknya lulusan pendidikan formal, baik pada tingkat sekolah menengah dan perguruan tinggi, terlihat belum mampu mengembangkan kreativitas dalam kehidupan mereka. Lulusan sekolah menengah masih sukar bekerja di sektor formal karena belum memiliki keahlian khusus. Bagi sarjana, yang dapat berperan secara aktif di sektor formal terbilang hanya sedikit. Keahlian dan profesionalisasi yang melekat pada lembaga pendidikan tampaknya hanya simbol belaka, lulusannya tidak profesional. Lembaga industri (swasta, BUMN dan pemerintah) sering menuntut persyaratan tertentu terhadap lulusan pendidikan formal untuk bekerja di lembaga tersebut. Penguasaan bahasa Inggris, keterampilan komputer dan pengalaman kerja merupakan persyaratan utama yang diminta. Sementara ijazah yang diperoleh para lulusan setelah menempuh pendidikan selama 20 atau 25 tahun dari lembaga pendidikan formal terabaikan. Hal ini memberikan indikasi bahwa kualitas lulusan pendidikan belum layak pakai. Melihat kenyataan ini, dapat diduga bahwa terjadi kesenjangan antara tujuan pendidikan yang hendak dicapai dalam menghasilkan output pendidikan formal dengan pengelolaan pendidikan dalam peningkatan mutu lulusannya. Di samping itu, dilihat dari segi aktualisasinya pendidikan merupakan proses interaksi antara guru (pendidik) dengan siswa (peserta didik) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Guru, siswa dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuktriangle, yang jika hilang salah satunya, maka hilang pulalah hakikat pendidikan. Namun demikian, dalam situasi tertentu tugas guru dapat dibantu oleh unsur lain, seperti media
teknologi tetapi tidak dapat digantikan. Oleh karena itulah, tugas guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional.[2] Peranan guru sebagai pendidik profesional akhir-akhir ini mulai dipertanyakan eksistensinya secara fungsional karena munculnya fenomena para lulusan pendidikan yang secara moral cenderung merosot dan secara intelektual akademik juga kurang siap untuk memasuki lapangan kerja atau bahkan dalam bersaing untuk memasuki dunia pendidikan tinggi. Jika fenomena ini dijadikan tolok ukur, maka peranan guru sebagai pendidik profesional baik langsung maupun tidak langsung menjadi dipertanyakan. Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui seminar dengan tema "Membangun Budaya Pendidikan yang Berorientasi Islami secara Kaffah” yang diselenggarakan oleh Lembaga Mitra Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Pidie Jaya ini, hendaknya dilihat sebagai upaya revitalisasi peran guru, yaitu mewujudkan apa yang harus dikerjakan sebagai guru yang profesional. Dengan revitalisasi peran guru ini diharapkan adanya peningkatan mutu pendidikan secara signifikan. Dasarnya adalah UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini dinyatakan bahwa otonomi pendidikan berasaskan desentrasilasi, dengan pendekatan manajemen bebasis sekolah (MBS). Pendekatan MBS dimaksudkan untuk menumbuhkan kemandirian dan kreatifitas kepemimpinan kepala sekolah dan guru bidang studi yang kuat dan efektif. Oleh karena itu amanat dalam UU tersebut harus menjadi dasar dan arah dalam pengembangan profesionalitas guru masa depan.[3] Dalam penerapan konsep MBS untuk meningkatkan mutu pendidikan menuntut profil kepala sekolah dan guru bidang studi yang aktif, kreatif dan inovatif dengan perubahan paradigma pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik, --di mana sebagian besar urusan persekolahan menjadi urusan sekolah yang bersangkutan, yakni oleh kepala sekolah, dewan guru dan masyarakat. Dengan memperhatikan beberapa pokok pikiran di atas, maka reorientasi pengembangan profesionalitas guru menjadi peluang yang amat terbuka dan amat urgen dilakukan, terutama dilihat: (1) dengan semakin kompleksnya tuntutan tugas guru bidang studi, yang menghendaki dukungan kinerja yang semakin efektif dan efesien; (2) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang diterapkan dalam pendidikan di sekolah juga cenderung bergerak maju semakin pesat, sehingga menuntut penguasaannya secara akademik-profesional; (3) setiap guru dihadapkan pada tantangan untuk melaksanakan pengembangan pendidikan secara terarah, berencana dan berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan; dan (4) khususnya di Provinsi Aceh, termasuk Kabupaten Pidie Jaya di dalamnya wajib menerapkan Pendidikan Islami sesuai dengan amanat UU PA yang telah disahkan beberapa waktu yang lalu. Oleh karena itu, dipandang perlu adanya reorientasi pengembangan profesionalitas guru di Provinsi Aceh pada umumnya dan di Kabupaten Pidie Jaya pada khususnya, terutama aspek: (1) integrasi penguasaan pengetahuan agama ke dalam tugas pokok bidang studi; (2) keterampilan membangun komunikasi yang efektif; (3) menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk mengajar; (4) pemahaman dan penguasaan karakteristik sekolah di perkotaan dan pedesaan; dan (5) penguasaan dan penerapan teknologi informasi dalam proses pembelajaran. Dalam proses reorientasi ini harus berpegang pada prinsip “teguh mempertahankan nilai-nlai lama yang baik dan bersungguh-sungguh pula mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”.[4] Hal ini menjadi penting supaya sistem pendidikan yang digunakan tidak ketinggalan zaman berbaringan dengan munculnya paradigma baru pendidikan. B. Reorientasi Pengembangan Profesionalitas Guru Sejalan dengan peranan guru sebagai pendidik profesional, maka dengan sendirinya guru harus bekerja secara profesional. Bekerja sebagai seorang
profesional berarti bekerja dengan keahlian dan keahlian ini hanya diperoleh melalui pendidikan khusus. Di sini, guru tentunya telah mengikuti pendidikan profesional melalui LPTK. Keahlian dalam bidang pendidikan ditandai dengan diberikannya sertifikat atau akta mengajar. Pertanyaannya adalah, apakah benar guru telah bekerja secara profesional dan bagaimana guru yang profesional dalam proses pembelajaran? Dalam makalah ini hendak dikemukakan beberapa aspek penting reorientasi pengembangan profesionalitas guru dalam rangka penerapan pendidikan Islami di Kabupaten Pidie Jaya pada khususnya serta di Provinsi Aceh pada umumnya. Pertama, Imam Al-Ghazali menyebut bahwa makhluk yang paling mulia di muka bumi ini ialah manusia. Sebaik-baik dari bagian tubuh manusia itu ialah qalbunya. Guru atau pendidik selalu menyempurnakan, mengagungkan dan mensucikan qalbu itu serta menuntunnya untuk selalu dekat kepada Allah Swt. Seseorang yang berilmu dan kemudian ia bekerja dengan ilmunya itu, maka orang itulah yang dinamakan orang besar di bawah kolong langit ini. Ia bagaikan matahari yang mencahayai orang lain, sedangkan ia sendiri pun bercahaya. Ia ibarat minyak kasturi yang harumnya dinikmati oleh orang lain dan dinikmati pula oleh dirinya sendiri.[5] Di sini dapat dipahami bahwa tenaga pendidik merupakan profesi yang paling mulia. Dengan profesi yang mulia itu, bahkan guru dipandang sebagai perantara antara manusia, --dalam hal ini muridnya,-- dengan Penciptanya, yakni Allah Swt. Rasulullah Saw sendiri sebagai guru pertama dalam Islam (muallimul awwal fil Islam) bertugas membacakan dan mengajarkan ayat-ayat Allah (al-Qur’an) kepada manusia, mensucikan diri dan jiwa dari dosa, menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram, menceritakan tentang manusia di zaman silam, mengkaitkannya dengan kehidupan pada zaman sekarang ini.[6] Dengan demikian, tampaklah bahwa pendidik itu betugas dan bertanggung jawab sebagai pewaris para rasul. Dalam konteks tugas kerasulan, semua pendidik wajib dapat bertugas membacakan dan mengajarkan ayat-ayat Allah (al-Qur’an) kepada manusia, mensucikan diri dan jiwa dari dosa, menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram, menceritakan tentang manusia di zaman silam, mengkaitkannya dengan kehidupan pada zaman sekarang ini. Di sini pendidik tidak terikat dengan bidang keilmuwan secara khusus yang harus diajarkannya, yang terpenting dari pendidik itu ialah mengantarkan dan menjadikan muridnya menjadi manusia terdidik yang mampu menjalankan tugas-tugas kemanusiaan dan tugas-tugas ketuhanan. Pendidik tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan tahap-tahap pekembangan siswa dan sesuai bidang keahliannya, tetapi semua pendidik bertanggung jawab pula memberikan dasar-dasar pendidikan kesusilaan atau akhlak mulia dan pendidikan itu dipandang sebagai suatu proses memanusiakan manusia. Kedua, bahwa antara mengajar dan belajar merupakan dua hal yang berbeda. Yang paling menonjol dari perbedaan ini adalah mengajar dilakukan oleh satu orang sedangkan belajar dapat terjadi pada setiap orang. Suatu hal yang perlu dipertimbangkan di sini adalah proses belajar mengajar hanya terlaksana dengan efektif jika ada hubungan yang unik antara dua organisme—suatu “hubungan”, mata rantai atau jembatan antara guru dan muridnya.[7]Keterampilan berkomunikasi yang diperlukan, sebenarnya tidaklah rumit, --tidak sukar bagi guru untuk mengerti,-- meskipun diperlukan latihan dan kesungguhan, sama halnya dengan keterampilan lainnya, misalnya menjahit, memahat, bermain ski, bernyaji atau keterampilan menggunakan alat musik. Inti keterampilan komunikasi ini pada dasarnya adalah melibatkan ”keterampilan berbicara”, sebagai sesuatu yang sudah lazim dilakukan dan dapat dipraktekkan dengan mudah. Dengan kekuatan berbicara itu, sesungguhnya dapat memperbaiki hubungan antar manusia dan dapat mendekatkan atau pun dapat
menjauhkan hubungan antara pendidik dan muridnya, bahkan dapat merusak hubungan pribadi dan memutuskan tali persaudaraan. Di samping itu, berbicara itu juga tergantung dari kualitas topik pembicaraan dan pemilihan topik pembahasan yang sesuai untuk situasi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, cara-cara untuk menjadi pendidik yang efektif itu dibangun berdasarkan aktivitas-aktivitas mendasar yang setiap hari telah dikerjakan oleh pendidik. Yang diperlukan di sini hanyalah seperangkat keterampilan, kepekaan dan kepandaian tambahan saja mengenai beberapa hal, seperti keterampilan memberikan pujian dan keterampilan mendengar. Setiap orang tua dan pendidik tahu bagaimana memberikan pujian kepada seorang anak muda. Menjadi pendidik yang efektif yang ditawarkan di sini adalah dibangun berdasarkan konsep pujian itu juga. Yang penting di sini adalah bagaimana pujian pendidik dapat membuat murid memandang pendidik sebagai seorang yang sangat manusiawi, tulus dan benar-benar penuh perhatian. Jika pendidik memuji anak didiknya, maka jangan sampai dengan pujian itu murid merasa tidak dipahami dan merasa dipermainkan. Di samping itu, banyak sekali hasil penelitian menunjukkan betapa pentingnya mendengar untuk mempermudah proses belajar mengajar. Setiap orang tua dan pendidik, dengan beberapa pengecualian, secara biologis telah dipersiapkan dan terlatih untuk mendengarkan apa yang dikomunikasikan oleh anak-anak mereka atau anak didiknya. Walaupun demikian, banyak hal yang mereka menduga telah mereka dengar, ternyata bukan hal yang sebenarnya yang dikomunikasikan oleh anak atau anak didik itu. Di sini pendidik perlu mengetahui cara-cara sederhana agar dapat meneliti kembali ketepatan pendengaran untuk memastikan bahwa apa yang pendidik dengar itu adalah sesuatu yang sungguh-sungguh dimaksudkan oleh anak didik. Pada saat yang bersamaan, hal ini akan membuktikan kepada murid bahwa pendidik tidak saja mendengarkan, tetapi juga memahaminya. Ketiga, menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk mengajar. Bila guru tidak efektif dalam berhubungan dengan murid, sebaiknya jangan mengabaikan pengaruh sistem organisasi sekolah yang diterapkan. Ketika guru tidak efektif dalam mempermudah proses belajar mengajar, untuk sebagian dari kegagalan mereka harus dikaitkan dengan faktor-faktor organisasi sekolah yang membatasi peran seorang guru. Kadang-kadang ada kecenderungan guru diharapkan mampu memenuhi kebutuhan murid sekalipun kebutuhan mereka sendiri tidak terpenuhi. Dalam penerapan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) untuk meningkatkan mutu pendidikan menuntut profil kepala sekolah yang aktif, kreatif, dan inovatif dalam mengelola sekolah dengan perubahan paradigma pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik. Di antara tujuan yang hendak dicapai dengan penerapan MBS ini adalah mengembangkan kultur sekolah yang kondusif, yakni menjadikan sekolah sebagai tempat sumber belajar yang menyenangkan bagi anak didik dari aspek fisik maupun psikologisnya.[8] Untuk mengembangkan kultur sekolah yang kondusif, kepala sekolah juga harus berperan aktif dalam menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan guru untuk mengajar. Tugas mengajar harus menjadi sumber utama mata pencaharian dan kehidupan guru bertumpu pada pekerjaannya itu. Dengan kata lain, pekerjaan mengajar menjadi sumber utama kesejahteraan guru. Namun demikian, peningkatan kesejahteraan guru di masa depan mungkin saja akan terjadi pergeseran. Pengandalan kenaikan gaji dan tunjangan khusus secara berkesinambungan mungkin pada satu saat nanti akan terkendala pada kemampuan pemerintah yang terbatas dan tidak mampu lagi memberikan peningkatan kesejahteraan yang signifikan. Dalam keadaan demikian, kesejahteraan guru berbasis modal maya perlu digalakkan. Modal maya adalah modal yang tidak berwujud material. Beberapa modal maya yang sangat diperlukan untuk mewujudkan kesejahteraan hidup guru adalah modal intelektual, modal sosial,
kredibilitas dan semangat.[9] Modal maya ini sebenarnya melekat pada setiap individu guru sebagai potensi yang perlu digali dan amat besar kekuatannya. Peran modal maya ini tidak berwujud fisik material, namun dalam perkembangannya semakin besar dan dapat dilipatgandakan. Dalam banyak hal, erat hubungannya antara kualitas kepala sekolah dengan berbagai aspek pengembangan modal maya guru. Semakin besar kekuatan pengembangan modal maya ini, maka semakin besar pula peluang menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan guru untuk mengajar, sekaligus mengantarkan sekolah tersebut ke peringkat sekolah unggul. Keempat, pengaruh lingkungan sekolah dan masyarakat terhadap mutu pendidikan di Aceh nampaknya merupakan salah satu fokus yang penting diperbincangkan. Ace Suryadi menyebut mutu pendidikan pada negara-negara maju cenderung lebih mampu diterangkan oleh variabel-variabel masyarakat, antara lain sosial ekonomi, aspirasi keluarga, interaksi anak dan orang tuanya. Sebaliknya, mutu pendidikan pada negara-negara berkembang cenderung lebih mampu diterangkan oleh variabel-variabel sekolah, antara lain mutu guru, buku paket dan alat-alat belajar. Studi tentang mutu pendidikan dasar di Indonesia menunjukkan bahwa mutu pendidikan yang lebih tinggi di daerah perkotaan ditandai dengan lebih besarnya efek faktor luar sekolah dibandingkan dengan faktor sekolah, sedangkan di pedesaan mutu pendidikannya cenderung lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor sekolah.[10] Gambaran pengaruh lingkungan sekolah dan masyarakat terhadap mutu pendidikan di atas, ada kesamaannya dengan mutu pendidikan di Aceh, terutama dilihat dari perbedaan kualitas pendidikan di desa (gampong) dan kota. Kalau diamati pada kondisi proses pendidikan di gampong-gampong dalam Provinsi Aceh dewasa ini, menunjukkan bahwa “efek” dari faktor-faktor sekolah terhadap prestasi belajar tampaknya memiliki keterbatasan, yakni sejauh atau sebesar yang dapat ditentukan oleh kelengkapan fasilitas pendidikan. Perbedaan prestasi belajar murid di perkotaan lebih banyak diterangkan oleh faktor luar sekolah, di antaranya aspirasi pendidikan, pengalaman pendidikan di TK dan keadaan sosial ekonomi orang tuanya. Jika perbedaan ini dipersempit lagi, maka prestasi belajar murid di kota banyak ditentukan oleh peran orang tua mereka, sedangkan di gampong-gampong banyak ditentukan oleh peran guru. Oleh karena itu, komitmen dan profesionalitas guru untuk memaksimalkan pemanfaatan buku paket, alat-alat pelajaran dan kualitas kehadiran guru dalam mengajar menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan. Kelima, penerapan teknologi dalam proses pendidikan. Yang terjadi selama ini, proses pembelajaran cenderung berpusat pada guru dan kurang mendorong proses berpikir kreatif, proses inkuiri (penyelidikan) serta proses pemecahan masalah. Di samping itu, proses pembelajaran cenderung belum menggunakan teknologi informasi. Guru harus dapat meletakkan information technology sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses pendidikan. Hal ini berarti mulai dari tingkat pendidikan rendah sampai perguruan tinggi di mana pun lembaga tersebut berada merupakan jalur linier pendidikan, pengenalan, pemahaman dan pengamalan ilmu dan teknologi di lembaga pendidikan. Dengan demikian, guru dan segenap warga sekolah tidak ketinggalan dengan percaturan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekolah secara terjadwal hendaknya membuat program belajar dengan TVEdukasi yang sudah dipopulerkan oleh Mendiknas. C. Penerapan Pendidikan Islami di Kabupaten Pidie Jaya Menurut al Qur’an, semua pengetahuan datangnya dari Allah. Sebagian dari pengetahuan itu diwahyukan oleh Allah Swt kepada orang yang dipilih-Nya, sebagian lain diperoleh manusia dengan menggunakan indera, akal dan qalbunya. Pengetahuan yang diwahyukan itu mempunyai kebenaran absolut (mutlak), sedangkan pengetahuan yang diperoleh manusia, kebenarannya tidak mutlak. Dalam
kenyataan sejarah, kedua macam pengetahuan ini selalu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Pengetahuan yang diwahyukan disebutpengetahuan naqliyah dan pengetahuan yang diperoleh manusia disebutpengetahuan aqliyah. [11] Ketika pemikiran dan teknologi telah begitu maju, maka hubungan antara pengetahuan naqliyah dengan pengetahuan aqliyah mulai terganggu sehingga muncul keterpisahan antara keduanya. Dalam berbagai buku, juga dalam pembicaraan sehari-hari, sering kali dijumpai istilah pengetahuan umumdan pengetahuan agama. Dari istilah ini kemudian berkembang pula istilah lainnya, seperti sekolah umum dan sekolah agama, guru umum dan guru agama. Bahkan muncul pula kategori masalah dunia (masalah pengetahuan umum) dan masalah akhirat (masalah pengetahuan agama). Keterpisahan ini sebenarnya menimbulkan konflik, baik dalam diri individu maupun dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, keterpisahan ini seharusnya diakhiri, keduanya harus disatukan lagi dalam satu sistem penerapan yang terpadu dan harmonis. Secara sederhana pendidikan Islami diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta dalam pemikiran para ulama dan dalam praktek sejarah umat Islam.[12] Berbagai komponen pendidikan mulai dari tujuan, kurikulum, guru, metode, pola hubungan guru-murid, evaluasi, sarana dan prasarana dan lingkungan pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam. Jika semua komponen ini membentuk suatu sistem yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam, maka sistem tersebut selanjutnya disebut sistem pendidikan Islami. Ajaran Islam yang dijumpai dalam al-Qur’an dan al-Hadits telah meletakkan dasar-dasar yang khas tentang berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek sosial, politik, ekonomi, hubungan antar umat beragama, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, cakupan pendidikan Islami harus diarahkan untuk memenuhi berbagai aspek kehidupan ini, dan inilah yang menjadi cita-cita Islam untuk berbagai aspek kehidupan, di antaranya: a. Dalam bidang sosial, Islam mencita-citakan suatu masyarakat yang egaliter, yakni sistem sosial yang didasarkan kesetaraan dan kesederajatan sebagai makhluk Allah Swt. Atas dasar ini, kedudukan dan kehormatan manusia adalah sama di hadapan Allah Swt, bukan didasarkan atas perbedaan suku, ras, golongan, bahasa, pangkat, keturunan dan sebagainya. b. Dalam bidang politik, Islam mencita-citakan suatu kehidupan negara yang dipimpin oleh orang yang adil, jujur, amanah, dan demokratis, sehingga ia tidak menyalahgunaan kekuasaan, menciptakan kemakmuran dan memperhatikan aspirasi rakyatnya. c. Dalam bidang ekonomi, Islam mencita-citakan sistem ekonomi yang didasarkan pada pemerataan, anti monopoli dan saling menguntungkan. d. Dalam bidang hubungan sosial, Islam mencita-citakan suatu sistem masyarakat yang didasarkan pada ukhuwah yang kokoh, hubungan yang harmonis, saling tolong menolong sesama manusia. e. Dalam bidang hukum, Islam mencita-citakan tegaknya supremasi hukum yang didasarkan pada keadilan, tidak pilih kasih, manusiawi, konsisten dan obyektif yang diarahkan untuk melindungi seluruh aspek HAM yang meliputi hak hidup, hak beragama, hak memiliki dan memanfaatkan harta, hak memiliki keturunan, hak mengembangkan cita-cita dan memperoleh ilmu pengetahuan. f. Dalam bidang ilmu pengetahuan, Islam mencita-citakan pengembangan ilmu pengetahuan yang integrated antara ilmu naqliyah dan ilmuaqliyah.
Sedangkan dalam bidang budaya, Islam membolehkan masuknya budaya baru sepanjang tidak bertentangan dengan aqidah dan akhlak Islam. Gambaran tentang cita-cita Islam dalam berbagai lapangan kehidupan di atas selain harus disosialisasikan kepada umat Islam melalui jalur pendidikan, juga sekaligus menjadi prinsip dasar dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. 1. Ciri-Ciri Pendidikan Islami Untuk lebih mudah mengenal pendidikan Islami, terlebih dahulu dipandang penting disebutkan ciri-ciri yang melekat padanya. Ciri-ciri pendidikan Islami adalah sifat-sifat yang melekat pada pendidikan Islami yang membuat ia berbeda atau sama dengan pendidikan konvensional pada umumnya. Dalam pemahaman ini, penamaan pendidikan Islami sebenarnya merupakan sebuah upaya untuk secara langsung menggambarkan karakteristik dan identitas pendidikan berdasarkan ajaran Islam. Di samping itu, pembahasan mengenai ciri-ciri ini juga merupakan suatu ajakan serius untuk memikirkan komponen-komponen penting yang menjadi unsur-unsur utama pendidikan Islami. Hal ini mengingat pendidikan Islami sebagai wadah yang masih menanti kelengkapan isi dan masih memerlukan kajian lebih lanjut untuk memantapkan jati dirinya. Jati diri pendidikan Islami secara konseptual harus menggambarkan secara spesifik nilai-nilai etik ajaran Islam. a. Pandangan mengenai Hakikat Manusia Ciri utama pendidikan dapat dikatakan Islami ialah senantiasa berpegang teguh pada penjelasan Allah Swt mengenai hakikat manusia dan menjadikan penjelasan Allah Swt itu sebagai rujukan utama di mana pun dan kapan pun pendidikan itu dilaksanakan. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt, yakni berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.[13] Lebih lanjut Ahmad Tafsir menyebut perbedaan pandangan itu karena masyarakat Barat pada umumnya berpegang pada hasil rasio manusia tentang hakikat manusia, sedangkan di kalangan masyarakat Muslim senantiasa berpegang teguh pada penjelasan Sang Penciptanya mengenai hakikat manusia dan menjadi penjelasan Sang Pencipta sebagai rujukan utama para ilmuwan Muslim di mana pun mereka berada. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt, yakni berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.[14] Di antara ciri-ciri pendidikan Islami yang perlu dikembangkan akibat perbedaan pandangan mengenai hakikat manusia, yakni jika dalam pendidikan konvensional pada umumnya hanya mengakui semata-mata tri-dimensional raga (organo-biologis), jiwa (psiko-edukasi) dan lingkungan sosial-budaya (sosio-kultural) sebagai penentu utama perilaku dan kepribadian manusia, maka dalam pendidikan Islami mengakui dimensi Ruhani sebagai dimensi inti dalam sistem kejiwa-ragaan manusia. b. Pandangan mengenai Aspek Akidah, Ibadah dan Akhlak Ciri kedua pendidikan Islami ialah menempatkan permasalahan ”konstan” aspek akidah, ibadah dan akhlak sebagai fondasi pendidikan. Sekiranya aspek konstan ini bukan bersumber dari ajaran Islam, maka ia tidak bisa dikatakan sebagai pendidikan Islami. Oleh karena itu, pendidikan Islami harus mempunyai landasan yang kuat menurut ajaran Islam, terutama dalam hal: 1) Landasan pendidikan Islami harus bertumpu pada akidah, ibadah dan akhlak, yakni: (a) landasan akidah dalam Islam adalah meng-Esakan Allah Swt, mengimani malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, qadha dan qadar sampai pada keyakinan bahwa alQur'an adalah kebenaran yang mutlak dan harus menjadi landasan, wawasan dan sumber ilhami bagi pendidikan Islami; (b) landasan ibadah yang benar terhadap Allah sesuai ajaran Islam, dimulai dengan melaksanakan rukun Islam, melaksanakan ibadah dalam arti luas seperti berlaku adil dan ihsan, menyeru kepada kebaikan, melaksanakan yang makruf dan mencegah dari yang munkar, berjihad
di jalan Allah sampai dengan mewujudkan perubahan-perubahan positif pada setiap diri individu yang berangkat dari perintah dan larangan Allah Swt; dan (c) landasan akhlak mulia, yakni mengembangkan perbuatan-perbuatan terpuji dan menjauhi perbuatan-perbuatan buruk atau tercela. Dengan demikian, pendidikan Islami secara konsisten diarahkan untuk membina manusia bermoral. 2) Pendidikan Islami dalam tujuan dan proses-prosedur interaksi antar sesama manusia harus sesuai dengan syariat Islam, yakni memperlakukan setiap individu sesuai perintah dan larangan Allah Swt, mensucikan dirinya dengan amal ibadah dan taubat, mendekatkan kepada Allah Swt dan mengerjakan segala amal perbuatan wajib dan amal-amal sunah. Konsep interaksi antara sesama manusia sesuai syariat Islam termasuk kepada mereka yang non-muslim, di mana Islam melarang tindakan seseorang muslim yang dapat menggangu dan merugikan pihak non-muslim. Bahkan sampai pada tingkat tidak boleh memaksakan mereka untuk memeluk Islam dengan menggunakan kekerasan, intimidasi dan sebagainya. c. Pandangan mengenai Perubahan dan Perkembangan Zaman Ciri ketiga pendidikan Islami ialah mampu berinteraksi dengan perkembangan dan perubahan yang ada, yakni adanya fleksibilitas dan berwawasan luas, mempunyai pandangan komprehensif dan mendalam terhadap berbagai permasalahan kehidupan manusia yang selalu berubah-ubah. Oleh karena itu, kemampuan dalam berinteraksi terhadap perkembangan ini adalah sebuah pandangan yang menerima suatu perkembangan atau kemajuan jika tidak bertentangan dengan Islam, dan menolak segala perkembangan kehidupan, baik pemikiran, kebudayaan, keilmuwan, politik, ekonomi, sosial, jika bertentangan dengan Islam. Dengan demikian, pendidikan yang tidak bisa berinteraksi dengan perkembangan, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai pendidikan Islami. d. Pandangan mengenai Keterbukaan dan Kebebasan Berpikir Ciri keempat pendidikan Islami adalah terbuka terhadap pergulatan pemikiran manusia. Manusia selalu memiliki dorongan untuk berkarya dan bercita-cita. Dalam setiap karya yang dilakukan oleh seseorang Muslim terdapat dua bagian, yakni bagian yang harus dikerjakan dan bagian yang harus ditinggalkan. Sedangkan citacita ialah yang bisa memberikan motivasi bagi hidup. Pendidikan Islami haruslah memberikan peluang kepada akal untuk berpikir, hak untuk belajar dan hak untuk berkreasi dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini merupakan gambaran kebebasan berpikir yang diberikan oleh Islam kepada manusia, sebagai penghargaan dan penghormatannya. 2. Program Aksi Penerapan Pendidikan Islami Tantangan yang dihadapi umat Islam saat ini dalam bidang pendidikan Islami ialah belum memiliki teori pendidikan Islami yang komprehensif dan integral dalam membentuk pribadi Muslim yang diharapkan dan bagaimana menemukan teori pendidikan Islami itu menjadi praktis dan aplikatif. Namun demikian, jika dicermati perkembangannya, Islamisasi disiplin ini merebak kuat dan karenanya perbincangan tentang Islamisasi disiplin ilmu menguat tajam. Dalam perkembangan sekarang ini, telah muncul Islamic Anthropology yang dipelopori oleh Merril Wynn Davies dan Akbar S. Akhmad, Islamic Economy yang dipelopori oleh Muhammad Anwar dan Muhammad Najatullah Siddiqie, Islamic Sociology diprakarsai oleh Ilyas B. Yunus dan Muhammad al-Mubarrak, Psikologi Islami (Islamic Psychology) digerakkan oleh Malik B. Badri, Muhammad Utsman Najati dan Hanna Djumhana Bastaman
dan terakhir ini sedang diperbincangkan adalah pendidikan Islami (Islamic Education). Mencermati perkembangan di atas, maka ada sejumlah program aksi yang diperlu diperbincangkan untuk pengembangan profesionalitas guru dan unggul dalam menerapkan pendidikan Islami di Aceh. Beberapa program aksi yang mendesak untuk dikembangkan, di antaranya: Pertama, mewujudkan keunggulan dalam mutu lulusan. Masa depan umat manusia di abad 21 sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia mampu eksis secara fungsional di tengah-tengah kehidupan global yang amat kompetitif. Dalam situasi tersebut manusia yang akan surviveadalah yang dapat mengubah tantangan menjadi peluang dan dapat mengisi peluang tersebut dengan produktif. Sementara itu, faktor kepribadian atau moralitas yang baik akan menjadi salah satu daya tarik dalam berkomunikasi dengan sesama manusia. Masa depan membutuhkan manusia-manusia kreatif, inovatif, dinamis, terbuka, bermoral baik, mandiri atau penuh percaya diri, menghargai waktu, mampu berkomunikasi dan memanfaatkan peluang serta menjadikan orang lain sebagai mitra yang saling menguntungkan. Dengan memperhatikan keunggulan kompetitif masa depan di atas, maka lulusan pendidikan Islam hendaknya senantiasa memiliki sikap berpegang teguh kepada nilai-nilai spiritual yang bersumber pada ajaran agama semakin dibutuhkan masyarakat masa depan. Hal yang demikian diperlukan untuk mengatasi berbagai kegoncangan jiwa atau stress akibat kekalahan, kelelahan atau keterbatasan daya dalam bersaing dengan orang lain untuk memperebutkan kesempatan atau sebagai akibat dari kehidupan sekuler-materialistik yang semakin merajalela.[15] Kedua, beberapa indikator keunggulan lulusan pendidikan Islam yang perlu diperjuangkan, yakni: (1) secara akademik, lulusan pendidikan Islam dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, terutama pada PTN terkemuka; (2) secara moral, lulusan pendidikan Islam dapat menunjukkan tanggung jawab dan kepeduliannya kepada masyarakat sekitarnya; (3) secara individual, lulusan pendidikan Islam semakin meningkat ketakwaannya; (4) secara sosial, lulusan pendidikan Islam dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya; dan (5) secara kultural, lulusan pendidikan Islam mampu menginterpretasikan ajaran agamanya sesuai dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, dimensi kognitif intelektual, afektif emosional, psikomotorik-praktis dan kultural dapat terbina secara seimbang dan selaras. Inilah indikator-indikator yang dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat ketepatan strategi penerapan pendidikan Islam yang diterapkan. Ketiga, pengembangan profesionalitas guru. Pengembangan profesionalitas guru di satu pihak mengacu kepada sikap guru terhadap profesinya, dan di satu pihak lagi adalah derajat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki guru dalam rangka melakukan pekerjaannya sebagai guru. Ada dua hal yang sangat inti dalam pengembangan profesionalitas ini, yakni panggilan hidup dan keahlian. a. Guru hendaknya menyadari benar bahwa profesi yang disandangnya adalah sebagai pemenuhan panggilan hidupnya. Artinya itulah lapangan pengabdiannya dan itulah lapangan kehidupannya. Kriteria ”panggilan hidup” mengacu kepada pengabdian, sekarang orang lebih senang menyebutnya dengan ”dedikasi”. b. Guru hendaknya menyadari benar bahwa profesi guru yang disandangnya adalah diperoleh dengan suatu keahlian khusus. Oleh karenanya, kriteria ”keahlian khusus” mengacu kepada mutu layanan yang tercermin dalam proses belajar mengajar. Jika demikian halnya, maka persoalan ”dedikasi” dan ”keahlian” guru itulah yang secara sungguh-sungguh hendak dikembangkan profesionalitasnya. Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara
profesional, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional. Karena adanya pendidik profesional itu, maka sekolah-sekolah unggul bernuansa Islami-lah yang dilirik dan menjadi alternatif pilihan masyarakat di masa kini dan masa depan, Insya Allah. D. Penutup Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Jadi, guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertangung jawab dalam mendidik, mengajar dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar, memahami dan mengamalkan ilmunya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Peningkatan mutu pendidikan Islami sangat ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan serta kualitas kehadiran guru dalam proses belajar mengajar. Salah satu aspek penting dalam reorientasi pengembangan profesionalitas guru di sini adalah terletak pada kemampuannya meningkatkan modal intelektual, modal sosial, kredibilitas dan semangatnya dalam mengemban tugas sebagai guru. Ada tiga tugas utama guru, yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan dan tugas dalam bidang kemasyarakatan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik dalam arti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar dalam arti meneruskan dan mengembangkan IPTEK, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan pada peserta didik. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi bahwa di sekolah harus dapat menjadi orang tua kedua, dapat memahami peserta didik dengan tugas perkembangannya mulai dari sebagai makhluk bermain (homoludens), sebagai makhluk remaja/berkarya (homopither), dan sebagai makhluk berpikir/dewasa (homosapiens). Guru juga bertugas membantu peserta didik dalam menstransformasikan dirinya sebagai upaya pembentukan sikap dan mengidentifikasikan diri sebagai peserta didik [] Daftar Pustaka Abidin Ibnu Rusn, (1998), Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abuddin Nata, (2003), Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana PreAceha Media Group. Ace Suryadi dan Wiana Mulyana, (1992), Kerangka Konseptual Mutu Pendidikan dan Pembinaan Kemampuan Profesional Guru, Bandung: Candimas Metropole. Achmad Mubarok, (2000), Al-Irsyad an Nafsi: Konseling Agama Teori dan Kasus, Jakarta: Bina Rena Pariwara. Achmad Mubarok, (2000), Al-Irsyad an Nafsi: Konseling Agama Teori dan Kasus, Jakarta: Bina Rena Pariwara. Ahmad Tafsir, (2006), Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: Remaja Rosdakarya. Ahmad Tafsir, (2007), Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya. Ahmad Tafsir, (1995), Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati. Ahmad Tafsir, (1995), Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati.
M. Quraish Shihab, (2000), Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Volume 2, Ciputat Jakarta: Lentara Hati. Mulyani A.N., (1999), Pokok-Pokok Pikiran mengenai Implikasi Pelaksanaan UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, Makalah disajikan pada Semiloka di UNJ pada tanggal 3 November 1999 di UNJ Jakarta. Nana Syaodih Sukmadinata, (1997), Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya. Rahman, (Editor), (2006), Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan, Jatonangor Bandung: Alqaprint Jatinangor. Thomas Gordon dan Noel Burch, (1997), Teacher Effectiveness Training (Menjadi Guru Efektif), (Alih bahasa: Aditya Kumara Dewi), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
∗Makalah disampaikan pada Seminar Pendidikan dengan tema: "Membangun Budaya Pendidikan yang Berorientasi Islami secara Kaffah”, Diselenggarakan oleh Lembaga Mitra Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Pidie Jaya, tanggal 12 April 2009, Di Meureudu Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh. [1]Mulyani A.N., (1999), Pokok-Pokok Pikiran mengenai Implikasi Pelaksanaan UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, Makalah disajikan pada Semiloka di UNJ pada tanggal 3 November 1999 di UNJ Jakarta. [2]Nana Syaodih Sukmadinata, (1997), Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 191. [3]Rahman, Editor, (2006), Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan, Jatonangor Bandung: Alqaprint Jatinangor, hal. 2.
[4] M. Quraish Shihab, (2000), Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Volume 2, Ciputat Jakarta: Lentara Hati, hal. 165. [5]Abidin Ibnu Rusn, (1998), Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hal. 63. [6]Lihat al Qur’an, Surat al-Baqarah, ayat 151. [7]Thomas Gordon dan Noel Burch, (1997), Teacher Effectiveness Training (Menjadi Guru Efektif), (Alih bahasa: Aditya Kumara Dewi), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hal. 3. [8]Rahman, Editor, (2006), Peran Strategis ..., hal. 3. [9]Ibid., hal. 44. [10]Ace Suryadi dan Wiana Mulyana, (1992), Kerangka Konseptual Mutu Pendidikan dan Pembinaan Kemampuan Profesional Guru, Bandung: Candimas Metropole, hal. 1. [11]Ahmad Tafsir, (2007), Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 8. [12]Ahmad Tafsir, (1995), Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, hal. 15.
[13]Achmad Mubarok, (2000), Al-Irsyad an Nafsi: Konseling Agama Teori dan Kasus, Jakarta: Bina Rena Pariwara, hal. 6-7. [14]Ahmad Tafsir, (2006), Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 7. [15]Abuddin Nata, (2003), Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana PreAceha Media Group, hal. 170-171. Tentang penulis: Dr. M. Jamil Yusuf, M.Pd, lahir 10 Agustus 1958 di Woyla, Kabupaten Aceh Barat adalah dosen tetap pada Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry. Setelah menyelesaikan sarjana (S1) pada Fakultas Tarbiyah (1984), melanjutkan studi S2 pada Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Program Studi Bimbingan dan Konseling (lulus tahun 2000) dan melanjutkan ke Program S3 pada universitas dan program studi yang sama (lulus
September 2007). Selain menjadi peneliti, menulis di beberapa Jurnal, juga aktif menyajikan makalah dalam beberapa seminar, di antaranya: (1) Pengembangan Ilmu Konseling Islami pada Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia, disajikan pada Seminar Internasional, Kerjasama IAIN Ar-Raniry dengan Jabatan Usuluddin & Falsafah, Fakulti Pengajian Islam UKM Malaysia (2008); dan (2) Kebijakan Penerapan Konseling Islami dalam Seting Pendidikan Sekolah, disajikan pada Seminar Internasional “Islamic Value-Based Education” yang diselenggarakan oleh Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Provinsi NAD (2008).
Hak Cipta Terlindungi © Copyrights by The Aceh Institute | Dilarang keras mengutip, mengacu, mendownload, menggunakan, dan menyebarluaskan isi website ini tanpa seizin penulis asli dan "Aceh Institute" sebagai sumber. Review Film: Inkheart »
132009
Mar
nurmaya
PERUBAHAN GAYA HIDUP PUSTAKAWAN (LIBRARIAN’S LIFE STYLE CHANGING): TRADISIONAL MENUJU METRO-DIGITAL Posted at 8:20 am under Uncategorized
Oleh: Nurmaya Prahatmaja Guru merupakan profesi yang banyak dicita-citakan oleh sebagian masyarakat kita menurut sebuah hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas pada akhir tahun 2008 yang lalu. Profesi tersebut banyak dipilih oleh sebagian besar responden sebagai pilihan karirnya kelak dan dinilai paling ideal dibandingkan profesi yang lain, seperti dokter, pengacara, serta desainer. Kenapa bisa seperti itu padahal beberapa tahun sebelumnya, profesi guru sempat menjadi pilihan terakhir masyarakat untuk berkarier kelak? Bukankah pada saat ini juga masih banyak Bapak Ibu guru di tanah air yang hidup secara tidak layak, terpinggirkan, dan memprihatinkan? Tentu pertanyaan ini memerlukan jawaban yang logis dan tentunya memerlukan uraian yang cukup panjang dan lebar dari berbagai sudut pandang. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengangkat hal tersebut, namun hanya dimaksudkan untuk menggambarkan proyeksi sebagian masyarakat kita terhadap profesi yang umum dikenal oleh masyarakat. Lalu bagaimana dengan profesi pustakawan? Profesi pustakawan atau orang yang bekerja di perpustakaan dan berbagai unit informasi – dokumentasi malah tidak disebut dalam jajak pendapat tersebut. Harapan saya, profesi pustakawan disebut oleh sebagian kecil masyarakat sebagai sebuah profesi yang layak mereka pertimbangkan ketika memilih karier pekerjaannya kelak, walaupun kecil. Minimal dipilih sekira 0,00001 persen responden. Saya pikir apa yang saya harapkan tersebut berasalan karena sampai dengan awal tahun 2009 ini, sudah tidak terhitung banyaknya jumlah alumni atau mahasiswa yang mengambil studinya di jurusan perpustakaan dan informasi. Malah di Indonesia sudah terdapat sekira sepuluhan perguruan tinggi negeri maupun swasta yang menyelenggarakan pendidikan bidang itu.
Kembali ke hasil jajak pendapat dari Kompas tersebut. Walaupun belum mewakili seluruh masyarakat Indonesia, hasil dalam polling tersebut sedikit banyak memberikan gambaran pada kita bahwa penerimaan masyarakat terhadap profesi ini masih kurang. Bahkan sebagian anggota masyarakat terdidik kita (baca: akademisi) juga masih ada yang memandang profesi pustakawan dengan sebelah mata. Sebagian yang lain berpandangan bahwa untuk menjadi seorang pustakawan tidak harus menempuh jenjang pendidikan tinggi, seperti sarjana dan pascasarjana, namun cukup lulusan sekolah menengah dengan tambahan mengikuti kursus kepustakawanan selama satu atau dua tahun. Malah ada yang lebih ekstrim lagi cukup dengan mengikuti satu dua seminar/pelatihan/workshop kepustakawanan dan dengan bekal satu dua sertifikat saja. Berbagai pandangan masyarakat tersebut tidak dapat dibenarkan maupun disalahkan. Namun untuk “membuka” pandangan masyarakat terhadap profesi ini kiranya dapat melalui ilustrasi kekinian mengenai profesi pustakawan beserta lika-liku dan perubahan gaya hidup mereka di bawah ini. Jika masyarakat mau sedikit “melihat” perkembangan profesi pustakawan pada saat ini, terlebih dahulu harus mau untuk “keluar” dari persepsi yang sudah sekian lama melekat dalam benaknya. Anggap saja kita belum mengenal profesi ini. Kita tidak tahu seperti apa rupa mereka, dimana mereka bekerja, apa pekerjaan mereka, serta bagaimana mereka bekerja, bergaul, bermasyarakat. Walaupun terkesan mudah, tapi saya yakin sangat sulit bagi sebagian masyarakat kita untuk meninggalkan anggapan lama yang biasanya mempersepsikan profesi pustakawan dengan kaca mata tebal, lirikan tajam dari penjaga buku yang terkesan galak, seram, tidak modis, kuno, tidak sedap dipandang mata, serta serangkaian kesan negatif lainnya. Dengan kata lain, profesi pustakawan menurut versi sebagian masyarakat kita tidak lain dan tidak bukan hanyalah seorang penjaga buku seperti seekor makhluk buas berkepala tiga dalam serial Harry Potter yang menduduki batu bertuah, The Sorcerer Stone dan siap menerkam siapa saja yang ingin mendekatinya itu. Tentu saja kiasan saya itu terlalu berlebihan, namun bisa jadi ada sebagian dari masyarakat kita yang memiliki pengalaman buruk (trauma) terhadap pustakawan. Lalu bagaimana gambaran pustakawan sebenarnya yang saya sebut metro-digital itu? Metro-digital merupakan istilah yang saya sebut dan pergunakan untuk menggambarkan dua sisi profesi pustakawan. Sisi pertama, pustakawan sebagai seseorang/individu yang merupakan anggota masyarakat (yang punya mata dan punya hati) yang harus bergaul, mengikuti trend, mode yang berkembang dan lagi in pada saat ini. Mulai dari bagaimana mereka tinggal, dimana, lingkungan seperti, dimana harus bekerja, bagaimana bergaul, pakaian dan potongan gaya rambut mana yang harus mereka pakai dan lain sebagainya. Hmm, kedengarannya sepele namun pada kenyataannya apa yang saya utarakan tadi ada buktinya. Lulusan ilmu informasi dan perpustakaan (penyebutan bidang ini di berbagai perguruan tinggi sangat beragam, namun yang ditekuni tetap sama, yakni informasi dan perpustakaan) pada saat ini sangat banyak, bahkan cenderung jenuh. Dan biasanya sistem pendidikan di bidang ini memungkinkan mereka untuk lulus menjadi sarjana muda/sarjana dalam waktu yang relatif singkat. Untuk tingkat diploma atau sarjana muda, biasanya sekira 2,5 – 3 tahun. Sedangkan untuk jenjang S1 sekira 3,5 – 5 tahun. Dengan demikian, lulusan ini terhitung masih berumur cukup muda ketika mereka masuk ke dunia pekerjaan. Biasanya antara 21 – 25 tahun. Sebagian dari lulusan ini ada yang langsung bekerja di bidang perpustakaan maupun berbagai bidang yang lainnya yang
relevan atau malah sama sekali berbeda dengan ilmunya. Jika ada yang memiliki biaya untuk meneruskan pendidikan, diantaranya malah selepas menamatkan pendidikan jenjang S1-nya akan terus langsung mengambil pendidikan S2 (pascasarjana) selama 1 – 2 tahun lagi di beberapa perguruan tinggi penyelenggara pendidikan ini di tanah air. Diantaranya UI, Unpad, dan UGM. Lulusan jenjang yang teakhir ini juga terhitung muda ketika mereka memutuskan berkarier. Lalu apa konsekuensinya terhadap perubahan gaya hidup pustakawan (librarian’s lifestye changing)? Anak-anak muda ini, dengan jiwa muda dan semangat kemudaannya akan membawa serta euforia muda mereka di tempat kerja mereka. Ditambah lahan kerja lulusan bidang perpustakaan dan informasi masih sangat terbuka lebar dan sangat beragam. Sebut saja selain di perpustakaan (yang konvensional seperti di perpustakaan umum, perpustakaan daerah, maupun perpustakaan perguruan tinggi) mereka juga dapat memasuki ranah kerja bidang yang lainnya seperti: di media massa cetak (koran, majalah, tabloid); media massa elektronik (seperti di televisi, radio); media massa digital (portal berita, digital content provider); BUMN (Badan Usaha Milik Negara – seperti di Departemen Pertambangan dan Mineral, BPPT, Pertamina, dan lain sebagainya); kantorkantor pemerintahan (seperti LIPI, BMG, LAPAN, KPK); badan-badan/lembaga internasional yang membuka afiliasinya di tanah air (WWF, WHO, PBB, ASEAN, Kedutaan Negara lain); lembaga swasta (Lawyer, Lembaga Survei, Biro Periklanan); maupun di berbagai NGO (Non Government Officer) dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Tentu pilihan yang beragam bukan? Ibaratnya, Anda mau kerja dimana, skala lokal, nasional, bahkan multinasional pun tersedia jika Anda memilih bekerja dan menekuni bidang ini. Serta merta, pilihan lapang pekerjaan dan jenis lembaga yang bisa “dimasuki” alumni bidang perpustakaan dan informasi tersebut menjadi warna tersendiri dalam profesi ini. Bukan saja dalam bagaimana mereka bekerja, melakukan apa saja dalam pekerjaan mereka, bagaimana bergaul dan bagaimana harus bersikap, namun juga harus bagaimana harus berinteraksi dengan teknologi. Beberapa teman dan alumni ilmu ini membuktikan hal tersebut. Dan menurut hemat saya, perlu ada penelitian khusus mengenai keterserapan termasuk tracer-study lulusan ini di lapangan kerja. Mengacu pada kata metro-digital seperti yang sebutkan pada judul tulisan ini, kata metro lazim dipergunakan untuk mengistilahkan seseorang yang sudah bekerja dan mapan (biasanya digambarkan sebagai seorang eksekutif) yang bukan saja berpenampilan menarik, namun juga mampu mengikuti perkembangan zaman, modis, high-technology (hitech), akrab dengan suasana dan hiruk pikuk kota metropolis dan tentu bekerja di sektor yang keren (bonafid). Lalu apakah gambaran itu sudah ada pada profesi pustakawan yang sedang kita bahas saat ini? Jawabannya bisa ya dan bisa tidak. Anak muda dengan semangat dan euforia muda, serta bekerja di kota besar (media massa, kantor pusat pemerintahan/negara, dan lembaga lainnya biasanya menempati wilayah perkotaan, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya) akan sangat menguatkan tesis tersebut. Mereka tidak saja bekerja dan bersosialisasi dengan suasana metropolis seperti itu, namun memiliki komunitas sosial tersendiri. Biasanya mereka tergabung dengan beragam kegiatan penunjang, seperti komunitas fotografi, komunitas perbukuan, taman bacaan anak, pecinta perpustakaan, komunitas kuliner, komunitas pecinta kereta Api, petualang alam (PA), klub kebugaran, maupun komunitas lainnya yang mereka ikuti di sela-sela waktu luang mereka. Sungguh asyik bukan?
Selain mengikuti beragam komunitas sosial secara nyata dalam lingkungannya, biasanya para pustakawan ini memiliki profesi dan menyebut profesi mereka sendiri dengan cara yang sangat bervariasi, seperti: librarian, cyberian, spesialis dokumentasi, spesialis patent, dokumentalis, information broker, information consultant, library consultant, penggiat literasi baca, dan banyak sebutan yang lainnya. Selain itu, biasanya mereka juga memiliki lembaga sosial yang digeluti (juga di sela-sela waktu luangnya) seperti: 1001 Buku, Pustakawan Membaca, Masyarakat Literasi Indonesia, Bibliophile, dan sebagainya. Banyak diantara pekerja muda bidang informasi dan perpustakaan ini memiliki pergaulan sosial di dunia maya. Mereka ikut dan aktif di berbagai jejaring pertemanan sosial, seperti di Friendster, FaceBook, GoodReads, Multiply. Dan berbagai aktivitas pribadi, lembaga, maupun sosial mereka sehari-hari dengan mudahnya dapat kita baca dan lihat di berbagai blog, seperti di Wordpress, Blogspot, dan lain sebagainya. Terkadang sarana pertemanan ini juga menjadi ajang promosi dan layanan baru bagi lembaga yang mereka kelola, seperti perpustakaan yang memiliki blog sendiri, memiliki banyak kemajuan dan interaksi dengan user-nya melalui jejaring ini. Hebat bukan profesi ini? Secara sekilas saya gambarkan bahwa pekerja dan pekerjaan di bidang ini tidak melulu soal buku, namun lebih dari itu. Pustakawan (kalau pun Anda masih ingin memanggil dan menggunakan dengan istilah itu) bekerja di depan komputer, lebih tepatnya melalui internet. Mereka memiliki jaringan intranet dan internet yang mendukung kinerja perpustakaan (itupun juga jika Anda masih ingin memakai istilah ini; istilah lainnya juga sangat beragam). Jadi, mereka datang ke kantornya, ke meja kerja, menghidupkan komputer, membuka portal perpustakaan, sambil mengecek email dan membaca berika terbaru pagi itu, melakukan klasifikasi dan organisasi koleksi, mencari buku-buku terbaru, membuat abstrak dan intisari informasi, meng-upload informasi tersebut ke dalamwebsite perpustakaan, mengaktifkan Yahoo Messenger (YM!),”mengobrol” dan berinteraksi dengan para pengguna serta pustakawan lain di berbagai belahan penjuru dunia, memperbaharui halaman dan konten website/blog pribadi, ikut serta dalam euforia citizen journalismdengan menulis berita di sekitar lingkungan kerja dan tempat tinggalnya, serta masih banyak pekerjaan lainnya yang sungguh mengasyikkan. Saya kira masih banyak lagi keasyikan lain ketika kita memutuskan untuk bekerja atau menekuni bidang ini. Beragam lapang pekerjaan dan lembaga tentunya memiliki keasyikan dan keunikan tersendiri. Tertarik? Sisi kedua, apa yang mereka kelola dan di dunia apa (bagaimana) mereka tinggali. Pekerjaan ditangani oleh profesi pustakawan pada dasarnya adalah bagaimana mengelola informasi dengan baik (cepat, tepat, efisien) sehingga dapat dipergunakan oleh seseorang untuk menyelesaikan pekerjaannya atau memenuhi ekspektasinya pada saat yang tepat. So, yang dikelola itu berupa informasi, kawan. Bukankah informasi itu merupakan barang abstrak? Tidak bisa dibawa kemana-mana? Bukankah sungguh hebat informasi itu, apalagi orang-orang yang mentasbihkan dirinya sebagai penjaga, pengelola, atau manajer informasi itu sendiri? Ia tidak saja berkewajiban mengumpulkan, menyeleksi, mengolah, menyimpan, melestarikan, dan kemudian menyebarkannya ke orang yang tepat untuk kepentingan estafet ilmu pengetahuan. Bayangkan saja kalau transfer informasi dan pengetahuan ini mandeg di tengah jalan, tidak ada orang yang menggawanginya, bagaimana dengan nasib peradaban dan kebudayaan manusia? Profesi yang mulia bukan?
Perkembangan terbaru dari profesi ini yakni adanya Knowledge Management, alias bagaimana memetakan pengetahuan manusia, dari awal perkembangan sejarah peradaban manusia sampai dengan saat ini ketika ilmu dan pengetahuan berkembang sangat pesatnya. Ditambah lagi dengan hadirnya teknologi komunikasi dan informasi yang memudahkan manusia di semua lini kehidupannya. Kajian mengenaiknowledge management ini juga menjadi perhatian penting ilmuwan barat, dan didukung sepenuhnya oleh perusahaan mesin pencari terbesar, Google. Google memprakarsai upaya digitalisasi dokumen dan informasi di beberapa perpustakaan Amerika yang menyimpan koleksi yang sangat berharga. Selain untuk melestarikan informasi, juga sebagai salah satu bagian untuk merealisasikan proyek ambisius mereka, membuat metadata informasi yang lengkap. Loh, bukannya itu juga bagian dari pekerjaan kita? Tentu kawan, information studies juga merupakan lini ilmiah yang dilakukan oleh Google, sehingga Anda pun sebenarnya dapat memberikan kontribusi atau bahkan bekerja disana. Jadi informasi baik yang terekam dalam berbagai bentuknya maupun yang masih belum berwujud itulah sebenarnya yang dikelola oleh pustakawan. Dengan format digital akan memudahkan pustakawan maupun penggunya untuk dapat memanfaatkan semaksimaloptimal mungkin. Kenapa harus digital? Karena dengan berupa digital pula informasi itu dapat terlestarikan, termanfaatkan, dan tersebarkan ke semua orang pada saat yang bersamaan, serta dapat dialihbentukkan secara cepat, mudah, dan murah pada banyak orang. Wuih… Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (TIK) disertai dengan tersedianya infrastruktur jaringan yang ada membuat aksesibilitas informasi menjadi semakin luas. Bahkan di satu bisa dibuat murah, namun di sisi lain memunculkan sebuah peluang baru dalam bidang manajemen informasi, yakni pengemasan dan pemasaran informasi (information packacging and information marketing). TIK juga memungkinkan terjadinya konvergensi media, aksesibilitas informasi menjadi semakin murah-meluas dan muncul-berkembangnya aplikasi web.2.0. Menangkap peluang ini, banyak provider telekomunikasi dandigital content corporate yang berlomba memanfaatkan informasi. Sehingga bukan hal yang mustahil jika banyak juga pustakawan dan perpustakaan digital yang turut memasuki ranah konvergensi media ini. Layanan dan jaringan digital mereka memungkinkan seorang pengguna memanfaatkan layanan dan mengakses informasi melalui gadget mungil yang mereka miliki. Dengan demikian, hal ini menjadi tuntutan baru sekaligus tantangan baru bagi dunia kepustakawanan untuk me-manage informasi, mempromosikan dirinya, dan menyediakan layanan informasi kepada penggunanya dengan sebaik mungkin. Dan itu artinya adalah sebuah profesi lainnya bagi pustakawan: digital content manager! Penutup Ketika masyarakat sudah mau “melihat” secara utuh citra pustakawan seperti yang saya gambarkan diatas dan masyarakat kita mengetahui seluk beluk pekerjaan seorang pustakawan serta gaya hidup keseharian mereka di tempat kerja, saya mulai berharap dan bermimpi lagi: pada satu masa di tahun tertentu, para akademisi, peneliti dan jurnalis di sebuah negara itu sedang menyajikan hasil jejak pendapat besar-besaran (terakbar yang pernah ada). Mereka dengan bangganya menyatakan bahwa sebagian besar responden (hampir seluruhnya – 80%?) memilih pustakawan/cyberian/dokumentalis/digital content
manager/information consultant and manager sebagai profesi yang mereka idolakan/pilih sebagai profesi bidang kariernya kelak. Mungkinkah?
Mahasiswa Program S2 Manajemen Informasi dan Perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta, Angkatan tahun 2008/2009
Beberapa waktu yang lalu (tahun 2008) pernah diteliti tentang keterserapan lulusan bidang perpustakaan dan informasi di dalam dunia kerja yang dilakukan oleh lembaga independent asing. Hasilnya sungguh mencengangkan, yakni menempatkan jurusan ini kedalam empat besar bidang yang sangat prospektif untuk ditekuni. Namun kajian lebih komprehensif dan spesifik lainnya masih diperlukan untuk memperkuat hasil yang sudah ada, terutama dalam konteks Indonesia.
http://nurmayaprahatmaja.blog.ugm.ac.id/?p=13
Refleksi Hari Guru Ke-63, Citra guru masa kini Posted on November 25th, 2008 in Features
Oleh: R Tantiningsih SPd (Guru SDN Anjasmoro, Semarang) SOSOK Ibu Guru Muslimah dalam Film Laskar Pelangi sangat menyentuh hati. Dengan penuh kasih ia didik muridmuridnya, ia terima semua kelebihan dan kekurangan dari murid-murid tersebut. Ia mengajar dengan penuh kelembutan dan dedikasi yang tinggi. Dalam kebimbangan ia mampu menjadi motivator bagi para muridnya. Ketika murid membutuhkan ilmu ia menjadi transformator. Ketika harus menggali kreativitas murid ia menjadi fasilitator. Ketulusan dan kreativitas Guru Muslimah dalam mendidik para muridnya merupakan suatu pelajaran berharga yang patut diteladani, khususnya bagi kaum guru. Seperti apa pun perubahan zaman dan perkembangan teknologi, ketulusan mengabdi seorang guru tetap diperlukan demi masa depan putra-putri bangsa. Walaupun zaman telah berubah, teknologi semakin maju, peradaban semakin berkembang nilai-nilai keluhuran budi harus tetap dipertahankan. Seorang pendidik berkewajiban untuk menumbuhkan nilai-nilai kehidupan, budi pekerti, dan norma-norma pada murid-muridnya. Guru sebagai sosok yang digugu lan ditiru. Dari pameo tersebut tersirat pandangan serta harapan masyarakat terhadap seorang guru. Dalam kedudukan seperti itu guru tidak hanya sebagai pengajar di kelas namun juga tampil sebagai pendidik di sekolah maupun di masyarakat. Harapan ini akan menjadi rancu manakala ada oknum guru yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Masyarakat menjadi ragu untuk mempercayakan pendidikan putraputrinya kepada guru.
Bagaimana agar citra guru tetap menempati hati masyarakat? Bukan hal mudah untuk menjadi guru yang benar-benar guru, menjadi panutan masyarakat, mampu mengabdikan dirinya dengan tulus. Oleh karena itu dalam rangka menyambut hari guru ke-63 kiranya para guru wajib merenung, introspeksi diri, agar menjadi guru yang mempunyai citra di masyarakat. Kompetensi guru Kualitas guru belakangan ini banyak diragukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Persoalan-persoalan yang menyangkut generasi muda selalu dikaitkan dengan kualitas guru yang pernah mendidiknya. Jika ada siswa tawuran, narkoba, brutal, guru yang pertama disalahkan. Oleh karena itu pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme guru sesuai dengan amanat perundang-undangan guru dan dosen. Berbagai upaya ini antara lain adalah dengan melakukan pelatihan, peningkatan pendidikan bergelar, sertifikasi, dan pemberian tunjangan profesi guru (sambutan Menteri Pendidikan Nasional pada Majalah Suara Guru edisi khusus Hari Ulang Tahun PGRI ke-63). Hal ini sebenarnya merupakan bentuk perhatian pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan citra para guru di hati masyarakat. Profesi guru yang dulu dipandang sebelah mata berangsur-angsur mulai diperhitungkan kembali oleh masyarakat. Guru yang dulunya hanya dikenal sebagai tukang mengajar kini anggapan itu kian terkikis, sebab untuk menjadi guru harus memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional seperti yang tertuang dalam pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kompetensi guru juga tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang menyatakan bahwa guru perlu menguasai 4 (empat) kompetensi, yakni pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Realitas di lapangan empat kompetensi tersebut belum seluruhnya dikuasai oleh para guru. Sebagai contoh pengembangan kurikulum, guru enggan membuat Program Tahunan (Prota), Program Semester (Promes), silabus bahkan sampai Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Guru lebih senang copy paste perangkat pembelajaran yang sudah ada tanpa mencermati lebih dalam kekurangan dan kelebihan perangkat tersebut. Dalam bidang teknologi guru juga belum banyak yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk pembelajaran. Banyak guru yang masih gaptek (gagap teknologi) sehingga tidak pernah memanfaatkan internet untuk memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan. Tindakan reflektif untuk meningkatkan kualitas belajar wajib dilakukan oleh guru. Kegiatan ini tercermin dalam Penelitian Tindakan Kelas ((PTK). Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru akan lebih baik jika ditulis dalam bentuk karya tulis PTK. Selain untuk memperbaiki kualitas belajar siswa, memperbaiki kualitas pengajaran guru, juga melatih guru untuk berpikir ilmiah. Tujuan yang bagus ini tidak didukung oleh semua guru, lantaran mereka merasa kesulitan menyusun karya tulis, merasa tidak mampu, namun juga tidak mau belajar. Guru memang profesi yang mulia, kepribadiannya pun juga harus mulia. Walaupun masih ada oknum guru yang menentang hukum. Bahkan berita-berita di koran sering memuat tindak asusila yang dilakukan oleh oknum guru. Guru yang semula harus menjadi panutan akhirnya menjadi bahan hinaan masyarakat. Guru yang seperti inilah yang mencoreng citra guru. Upaya pemerintah Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru sudah dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Kegiatan tersebut, antara lain: berbagai bentuk pelatihan, seminar untuk guru-guru mulai dari tingkat gugus hingga tingkat nasional sering diselenggarakan. Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru. Harapannya para guru memperoleh wawasan yang luas dalam mengembangkan karirnya sehingga ilmu-ilmu yang diperolehnya mampu diterapkan di tempat ia bekerja. Guru tidak statis, selalu memperoleh dan mengembangkan ilmunya. Ajang bergengsi untuk guru juga digelar setiap tahun di antaranya lomba keteladanan guru, keteladanan kepala sekolah, lomba keberhasilan guru, dan sejenisnya. Dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat kompetisi tersebut akan
mendorong guru untuk meningkatkan kualitasnya, selalu berinovasi, memberikan semangat dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kompetensi guru benar-benar teruji diajang perlombaan tersebut. Fasilitas untuk belajar mengajar yang diberikan pemerintah juga merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas guru dalam pembelajaran. Fasilitas tersebut akan sangat membantu guru dalam menjalankan tugasnya seperti gedung sekolah, alat peraga, buku-buku, bea siswa, dan sebagainya. Tujuan pembelajaran akan tercapai apabila pembelajaran berlangsung dengan optimal. Pembelajaran akan optimal apabila sarana dan prasarana tercukupi. Oleh karena itu fasilitas belajar mengajar sangat urgen keberadaannya. Sertifikasi bagi guru merupakan bentuk perhatian pemerintah untuk meningkatkan kualitasnya, sebab persyaratan sertifikasi menggambarkan kompetensi guru dalam menjalankan tugasnya. Guru yang memenuhi syarat sertifikasi berhak memperoleh tunjangan profesional. Dengan program semacam ini para guru akan berlomba-lomba meningkatkan kualitas dirinya dalam menjalankan tugas mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Harus diakui bahwa seorang guru yang telah mendapat sertifikat dalam proses sertifikasi harus mampu menunjukkan kinerja lebih optimal. Benarkah sudah demikian? Sebuah pertanyaan yang patut untuk ditindakkritisi dengan merumuskan seperangkat instrumen penilaian untuk menilai kinerja guru yang sudah tersertifikasi. Sebagai kado HUT Guru ke-63 agaknya kita wajib merenungkan kata-kata William Arthur Ward, “Guru biasa memberitahu, guru baik menjelaskan, guru ulung memperagakan, dan guru hebat mengilhami “. Jadilah guru hebat yang mampu mengilhami siswa sehingga mereka menjadi pemroduksi gagasan bukan pengonsumsi gagasan. Guru yang hebat akan selalu dirindukan oleh murid-muridnya. Pembelajarannya yang bermakna akan selalu ditunggu kehadirannya di sekolah. Ketulusan pengabdiannya akan selalu dikenang di hati masyarakat. Akhirnya, selamat hari guru, selamat berjuang! Embun pagi akan selalu tersenyum menyambut kedatanganmu. *** Sumber Artikel: www.wawasandigital.com Tags: citra guru, hari guru, refleksi
http://radiospin.net/2008/11/refleksi-hari-guru-ke-63-citra-guru-masa-kini/