Pajak Bea Materai, Pbb, Bphtb (presen).docx

  • Uploaded by: shinta kusuma
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pajak Bea Materai, Pbb, Bphtb (presen).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,482
  • Pages: 11
1. Bea Materai 1.1

Dasar Hukum Pengenaan bea materai diatur dalam : 

UU No. 13 Tahun 1985 disebut juga UU Bea Materai



Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Materai

1.2

Tarif Bea Materai Rp 6.000,00 Dikenakan Atas Dokumen 

Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat denggan tujuan digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.



Akta-akta notaris termasuk salinannya.



Akta-akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya.



Surat yang memuat jumlah dan mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00.  Yang menyebutkan penerimaan uang.  Yang menyatakan pembukaan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank.  Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank.  Yag berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan.



Surat-surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00.



Efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00.



Dokumen-dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan.

1.3

Tarif Bea Materai Rp 3.000,00 Dikenakan Atas Dokumen 

Surat yang memuat jumlah uang dan mempunyai harga nominal lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 :  Yang menyebutkan penerimaan uang.

 Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank.  Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank.  Yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi dan diperhitungkan. 

Surat-surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih Rp 1.000.000,00



Efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00



Cek dan bilyet giro dengan harga nominal berapa pun.

Apabila suatu dokumen (kecuali cek dan bilyet giro) mempunyai nominal tidak lebih dari Rp 250.000,00 maka atas dokumen tersebut tidak terutang bea materai. 1.4

Yang Tidak Dikenakan Bea Materai a. Dokumen yang berupa surat penyimpanan barang, konosemen, surat angkutan penumpang dan barang, bukti pengiriman dan penerimaan barang, surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengiriman, surat-surat lainnya yang. b. Segala bentuk ijazah. c. Tanda terima gaji, uang tunggu pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu. d. Tanda bukti penerimaan uang negara drai kas negara, kas pemerintah daerah, dan bank. e. Kwitansi untuk semua jenis pajak dan penerimaan lainnya. f. Dokumen yang menyebutkan tabungan. g. Surat gadai h. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek.

1.5

Saat Terutang Bea Materai 1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, jadi bukan pada saat ditandatangani (kuitansi dan cek). 2. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak adalah pada saat dokumen itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan (surat perjanjian jual-beli). 3. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia. Bea Materai yang terutang dilunasi dengan cara pematerian kemudian.

1.6

Cara Pelunasan Bea Materai 1. Dengan menggunakan benda materai (materai tempel dan kertas materai). 2. Dengan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

1.7

Sanksi-Sanksi a. Sanksi Administrasi Apabila dokumen tidak atau kurang dilunasi bea materai sebagaimana mestinya, maka akan dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari bea materai yang tidak atau kurang dibayar. Misalnya bea materai terutang Rp 6.000,00. Akibat kelalaian belum mengenakan bea materai, maka bea materai dan saksi yang harus dibayar adalah : Bea Materai yang Terutang

Rp 6.000,00

Denda Administrasi

Rp 12.000,00

Jumlah Pemateraian Kemudian

Rp 18.000,00

Pemateraian kemudian atas dokumen dilakukan oleh pejabat pos menurut tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Untuk lebih jelasnya hubungan antara pemateraian kemudian dengan denda administrasi, digambarkan dengan bagan berikut ini : b. Sanksi Pidana a) Dengan sengaja menggunakan cara lain untuk pelunasan bea materai (Pasal 7 (2) b) tanpa seizin Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 tahun.

1.8 Daluwarsa Daluwarsa dari kewajiban memenuhi bea materai ditetapkan 5 (lima) tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat.

2. Pajak Bumi dan Bangunan 2.1

Dasar Hukum Dasar hukum pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diuabah menjadi UU No. 12 Tahun 1994.

2.2

Asas Asas Pajak Bumi dan Bangunan : 1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan. 2. Adanya kepastian hukum. 3. Mudah dimengerti dan adil. 4. Menghindari pajak berganda.

2.3

NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) Nilai Jual Objek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jualbeli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru atau NJOP pengganti. Besarnya NJOP ditentukan berdasarkan klasifikasi : 1. Objek Pajak Sektor Pedesaan dan Perkotaan. 2. Objek Pajak Sektor Perkebunan. 3. Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusaha Hutan, Hak Pengusaha Hasil Hutan, Izin Sah Lainnya selain Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. 4. Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. 5. Objek Pajak Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. 6. Objek Pajak Sektor Pertambangan Energi Panas Bumi. 7. Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas Selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C. 8. Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas Galian C. 9. Objek Pajak Usaha Bidang Perikanan Laut. 10. Objek Pajak Usaha Bidang Perikanan Darat.

11. Objek Pajak yang Bersifat Khusus. 2.4

Objek Pajak Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan atau bangunan itu sendiri. hal ini dilihat dari pengelompokkan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor yaitu letak, peruntukan, pemanfaatan, kondisi lingkungan, dll. Kemudian menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor yaitu bahan yang digunakan, rekayasa, letak, kondisi lingkungan, dll. Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang : 

Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan.



Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.



Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.



Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.



Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Objek

pajak

yang

digunakan

oleh

negara

untuk

penyelenggaraan

pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Besarnya NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak) ditetapkan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak mempunyai beberapa objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar, sedangakan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP. 2.5

Subjek Pajak Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan

demikian, tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak. Yang dikenakan kewajiban membayar pajak adalah wajib pajak. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Dirjen Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam nomoe 1 sebagai WP. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dapat diberikan keterangan secara tertulis kepada Dirjen Pajak bahwa ia bukan WP terhadap objek pajak dimaksud. Bila keterangan yang diajukan oleh WP disetujui,

maka

Dirjen

Pajak

membatalkan

penetapan

sebagai

WP

sebagaimana dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud. Bila keterangan yang diajukan tidak disetujui, maka Dirjen Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan beserta alsanalasannya. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dalam Dirjen Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui. 2.6

Tarif Pajak Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak sebesar 0,5%. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Juak Objek Pajak (NJOP). NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh kepala Wilayah Dirjen Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota. Dasar penghitung pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya presentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memerhatikan kondisi ekonomi nasional. Pada dasarnya penetapan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) adalah 3 tahun sekali. Namun,

untuk

daerah

tertentu

karena

perkembangan

pembangunan

mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, karena hal itu penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Dirjen Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Pemda

(Gubernur/Walikota/Bupati

setempat

memerhatikan

asas

self

assisment. Yang dimaksud (assessment value) adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungungan pajak, yaitu suatu presentase tertentu nilai jual sebenarnya. Cara mengitung pajak dengan melihat besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan NJKP. Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif Pajak x NJKP = 0,5 x [ Presentase NJKP x (NJOP – NJOPTKP)

Contoh : Wajib pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya Rp 20.000.000,00 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp 12.000.000,00, maka besarnya pajak yang terutang adalah : = 0,5 x 20% x (Rp 20.000.000,00 – Rp 12.000.000,00) = Rp 8.000,00 2.7

Tahun Pajak, Saat, dan Tempat Yang Menentukan Pajak Terutang Tahun pajak adalah jangka waktu 1 tahun takwim. Jangka waktu satu tahun takwim adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Saat yang menentukan pajak terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Saat yang menetukan pajak terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.

2.8

SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak), SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang), SKP (Surat Ketetapan Pajak) 1. Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi SPOP. 2. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap, dan tepat waktu serta ditandatangani dan disampaikan kepada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak. 3. Dirjen Pajak akan menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP yang diterimanya. 4. Dirjen Pajak dapat mengeluarkan SKP (Surat Ketetapan Pajak) dalam hal-hal apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat teguran. Kemudian apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yag dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh WP. Dan apabila berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada Dirjen Pajak, ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak dalam SPPT yang dihitung atas dasar SPOP yang disampaikan WP.

5. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP sebagaimana dimaksud no.4 adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak. 6. Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud dalam no.4 adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang. 2.9

Keberatan dan Banding 

Keberatan : 1. WP dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak atas SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak terutang) dan SKP (Surat Ketetapan Pajak) diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak. 2. WP dapat mengajukan keberatan atas SPPT atau SKP. 3. Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan menyatakan alasan secara jelas. 4. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP oleh WP, kecuali apabila WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya. 5. Tanda terima surrat keberatan yang diberikan Kantor Pelayanan PBB melalui pos tercatat atau sejenisnya merupakan tanda bukti penerimaan surat keberatan tersebut bagi kepentingan WP. 6. Apabila diminta oleh WP untuk keperluan pengajuan keberatan, Dirjen Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak. 7. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.

8. Apabila dalam jangka waktu 12 bulan telah lewat dan Dirjen Pajak tidak memberi keputusan, maka keberatan tersebut dianggap diterima. 

Banding : Ketentuan banding PBB mengikuti ketentuan tentang banding UndangUndang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pengurangan pajak terutang PBB yang tercantum dalam SPPT atau SKP dapat diberikan kepada dan dalam hal : 1. WP orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya. 2. WP orang pribadi atau badan dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa. 3. WP anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan.

2.10

Sanksi 

Bagi Wajib Pajak (WP) 1. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak. 2. Pajak terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesra 2% sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. 3. Karena kealpaannya, sehingga menimbulkan kerugian pada negara. Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 bulan denda setinggi-tingginya sebesar 2 kali pajak yang terutang.

4. Karena kesengajaannya, sehingga menimbulkan kerugian pada negara. Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 tahun atau denda setinggi-tingginya 5 kali pajak yang terutang. 

Bagi Pejabat Sanksi umumnya adalah apabila tidak memenuhi kewajiban seperti yang telah diuraikan di muka dikenakan sanksi menurut peraturan perundangan yang berlaku seperti Peraturan Pemerintah No. 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Staats-blad 1860 No. 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris. Sanksi khususnya adalah bagi pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung atau ada hubungannya dengan objek pajak pihak lainnya dan dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 2.000.000,00

2.11

PBB Perdesaan dan Perkotaan Sejak berlakunya UU No. 28 Tahun 2009 Tanggal 15 September 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, wewenang untuk memungut Pajak Bumi dan Bangunan sektor perdesaan dan perkotaan diserahkan ke pemerintah kabupaten atau kota. Objek Pajak PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah bumi dan atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Subjek PBB Perdesaan dan perkotaan adalah orang pribadi atau badan secara nyata mempunyai hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah orang pribadi atau badan secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Cara menghitung PBB Pedesaan dan Perkotaan : PBB PP = tarif x (NJOP - NJOPTKP) Tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi 0,3% dan ditetapkan dengan Perda (Peraturan Daerah).

3. BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) 3.1 Dasar Hukum 3.2 Pengertian 3.3 Objek Pajak 3.4 Tidak Termasuk Objek Pajak 3.5 Subjek Pajak dan Wajib Pajak 3.6 Dasar Pengenaan Pajak, NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) dan Tarif Pajak 3.7 Cara Menghitung BPHTB 3.8 Saat Terutangnya Pajak 3.9 Ketentuan Bagi Pejabat

Related Documents


More Documents from "Herman Adriansyah AL Tjakraningrat"

Tugas 1 Kl.4.docx
December 2019 15
Rmk 5.docx
October 2019 18
Organisasi Nirlaba 1.docx
December 2019 25
Rmk Audit Presen.docx
December 2019 25
Kata Pengantar.docx
December 2019 10