TUGAS MAKALAH AGAMA ISLAM “ Bagaimana Manusia ber Tuhan ” Dosen: Muhammad Yusro, M.T., Ph.D.
Penyusun Kelompok I No
Nama Mahasiswa
No. Registrasi
1.
Fikri Ramadani Perayoga
1507518031
2.
Julient Fritz Karouw
1507518034
3.
Maurizka chairunissa
1507518016
Program Studi Teknologi Elektronika Fakultas Teknik UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil ‘aalamiin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam atas segala karunia nikmat-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan sebaikbaiknya. Makalah yang berjudul “Bagaimana Manusia ber Tuhan” disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Meski telah disusun secara maksimal, akan tetapi kami sebagai manusia biasa sangat menyadari bahwa makalah ini sangat banyak kekurangannya dan masih jauh dari kata sempurna. Karenanya kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga para pembaca dapat mengambil manfaat dan pelajaran dari makalah ini.
Jakarta, 23 Maret 2019 Penyusun
i
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………... i DAFTAR ISI ……………………………………………….. ii BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………. …... 1 1.1 Latar Belakang ………………………………… 1 1.2 Rumusan Masalah ……………………………... 1 1.3 Tujuan …………………………………………. 1 BAB 2 PEMBAHASAN …………………………………... 2 2.1 Menelusuri Konsep Spiritualitas sebagai landasan Kebertuhanan ……………………….. 2 2.2 Alasan Manusia Memerlukan Spiritualitas …… 2 2.3 Argumen Psikologis, Sosiologis, Filosofis, dan Teologis tentang Konsep Ketuhanan …………. 5 2.4 Membangun Argumen tentang Cara Manusia Meyakini dan Mengimani Tuhan …………….. 7 2.5 Esensi dan Urgensi Visi Ilahi untuk Membangun Dunia yang Damai ………………………….… 8 2.6 Kontribusi Spiritualitas dalam Mengembangkan Karakter Manusia yang Bertuhan …………….. 9 2.7 Belajar Berkarakter manusia Spiritual ……...... 10 BAB 3 PENUTUP ………………………..……………… 14 3.1 Kesimpulan ……………………………….... 14 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………... 15
ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT, Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan untuk melakukan hal-hal yang baik kepada sesama manusia dan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.Beribadah adalah suatu perbuatan yang dilakukan pada manusia untuk menyembah tuhan-Nya,
melaksanakan
perintaqh-Nya
dan
menjauhi
larangannya.Dalam bagimana manusia ber-Tuhan, kalian bisa melihat dalam dunia ini, ada manusia yang ber-Tuhan tapi tidak ber-Agama, begitu juga sebaliknya ada manusia yang ber-Agama tetapi tidak ber-Tuhan.Sementara itu, dalam masalah ber-Tuhan dan ber-Agama menjadi masalah utama dalam keimanan dan keislaman, keimanan kepada tuhan itu lah yang akan menjadi dasar orang dalam memeluk Agama.
1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Apa Pengertian Manusia? 2. Apa Pengertian Tuhan? 3. Bagaimana Manusia Bertuhan? 4. Bagaimana Cara Manusia Meyakini & Mengimani Tuhan?
1.3 TUJUAN 1. Mengetahui konsep spiritualitas sebagai landasan bertuhan 2. Mengetahui arti dari mengimani dan meyakini keberadaan Tuhan 3. Mengetahui Sifat Manusia Bertuhan 4. Dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari 5. Mengetahui konsep Manusia Bertuhan menurut islam. 1
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Menelusuri Konsep Spiritualitas sebagai landasan Kebertuhanan Islam adalah agama, universalitasnya ditegaskan sendiri dalam diktum terkenal dalam al-Quran, rahmatan li al-‘ālamīn (rahmat bagi semesta alam). “Dan Kami (Allah) mengutus engkau Muhammad sebagai rahmat bagi seluruh alam.”(QS al-Anbiya:107) Rahmat di sini bisa dimaknakan sebagai kebaikan, kedamaian atau keselamatan. Secara etimologis, kata tersebut seakar dengan kata ‘rahmân’ dan ‘rahîm’, dua nama Allah, yakni kata ‘rahima’ yang berarti penuh kasih sayang, penuh perhatian tulus. Pada ayat tersebut, Muhammad SAW dijuluki sebagai rahmat bagi semesta alam. Ia adalah sosok yang dipilih Tuhan untuk menyampaikan pesan-pesan keselamatan dan perdamaian. Sosok Muhammad di samping sebagai penyampai, juga merupakan pelaksana
yang
representatif
dari
pesan-pesan
tersebut.
Pribadinya menjadi teladan sepanjang zaman. Setiap kata, sikap dan tindakannya merupakan interpretasi dan penjelasan wahyu.
2
Dalam perspektif islam,”spirit” sering dideskripsikan sebagai jiwa halus yang diberikan oleh Tuhan ke dalam diri manusia. Roh manusia menurut islam adalah suci,roh bersemayam ke dalam
hati
(Qolbun)
sehingga
kecerdasan,keingina,kemampuan
dan
dari
hati
perasaan.
terpamcar Namun
pengaruh roh dalam hati manusia tidak selamanya maksimal. Pada saat-saat tertentu cahaya roh meredup sehingga hati sulit untuk menangkap kebenaran yang terpapar di alam semesta ini.. Mengenal Allah adalah keniscayaan dan kewajiban yang paling utama bagi umat Muslim. Menurut kelompok Asy’ariah, manusia mampu mengenal Allah hanya melalui instrumen akal semata. Tetapi, keharusan mengenal Allah pastilah berasal dari wahyu, yang sejauh ini dianggap lebih kompatibel ketimbang akal yang serba terbatas dan tumpul tentang hal-hal metaempirik. Kita boleh jadi mampu membedakan setiap jenis kebaikan dan keburukan, tetapi terkait dengan hal-hal gaib, tak akan mampu dicapai oleh akal, apalagi dalam hal memercayainya. Dalam banyak hal, kita hanya bisa mengetahui hal-ihwal tentang Allah melalui perbuatan-perbuatan-Nya dan mengenal diri sendiri juga dapat menjadi jalan bagi pengetahuan tentang Allah. Seperti ungkapan Sayyidina Ali RA. “Barang siapa mengenal dirinya pastilah ia akan mengenal Tuhannya”. Kata Socrates “Kenalilah dirimu”. Betapa pengenalan akan diri sangat membantu dalam hal mengenal pribadi Allah. Sebagaimana dalam penjelasan tradisi sufisme, manusia adalah representasi paling sempurna dari wujud Allah, sehingga sangat mungkin mengenal-Nya melalui ciri khas yang ada dalam diri manusia. Sebagai makhluk spiritual yang memiliki pengalaman fisik dan bukan sebaliknya, manusia pasti menyadari akan adanya sang pencipta. Akal sehat, di mana setiap manusia merasa memilikinya, tidak akan mampu memahami dan membayangkan bagaimana kehidupan yang maha luas ini bisa bergerak melalui hukum-hukum yang stabil.
3
Allah itu transenden, melampui segala sesuatu dan tidak ada makhluk apa pun yang dapat menyerupainya. Hanya sifat-sifatNya saja yang mungkin bisa dipakai untuk menggambarkan tentang Allah, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an. Menurut konsepsi imam Asya’ri, sifat-sifat Allah yang memiliki orientasi positif, seperti maha kuasa, berkehendak, mengetahui, hidup, mendengar, melihat, kalam dan lain sebagainya, ada secara imortal bersama wujud-Nya dan melekat di dalam dzatNya. Hal ini berbeda secara tegas dengan Mu’tazilah yang berpandangan bahwa substansi dan sifat Allah adalah serupa dan sama saja.
2.2 Alasan Manusia Memerlukan Spiritualitas Sebagai makhluk rohani, manusia membutuhkan ketenangan jiwa, ketenteraman hati dan kebahagiaan rohani. Banyaknya harta tidak menjamin ketenangan karena sumber ketenangan yang paling utama bukan berasal dari banyaknya harta, melainkan karena kebahagaiaan rohani. Kebahagiaan rohani hanya akan didapat jika hati manusia dekat dengan rahmat- Nya. Allah sendiri menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa Rahmat-Nya mencakup segala sesuatu. Oleh karena itu sucikanlah hati dari segala kotoran dan sifat-sifat buruk agar kita bisa dekat dengan Rahmat-Nya.
4
2.3 Argumen Psikologis, Sosiologis, Filosofis, dan Teologis tentang Konsep Ketuhanan Dari sejak Nabi Adam hingga sekarang, manusia meyakini bahwa alam beserta isinya pasti ada yang menciptakan. Oleh karena itu keberadaan alam dan isinya merupakan indikator adanya pencipta, namun siapakah sang pencipta itu? Datanglah wahyu sebagai jawaban atas asasi manusia itu. َ ﴿ أحد١﴾ ُّللا َ ُ صمد ّللاُ هُو قُل َ ﴿ ال٢﴾ ﴿ يُولد ولم ي ِلد لم٣﴾ أحد ُكفُ ًوا لهُ ي ُكن ولم Artinya: “Katakanlah, “Dia-lah Allâh, yang Maha Esa. Allâh adalah Rabb Ash-Shamad.Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
a. Argumen Psikologis Kebutuhan Manusia Terhadap Agama Adanya keterbukaan pada yang dikodrati adalah fitrah manusia sejak dia lahir di dunia. b. Argumen Sosiologis Manusia Terhadap Konsep Ketuhanan Dalam persfektif sosiologis, agama tidak berdasarkan teks keagamaan (Baca kitab suci dan sejenisnya),tetapi berdasarkan pengalama konkret pada masa kini dan masa lampau. Pemahaman manusia tentang adikodrati yang transenden tersebut menurut para pakar sosiologi mengalami evolusi sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia.
5
c. Argumen Dalam Persfektif Filosofis Banyak argument yang diajukan oleh para filusuf islam,sebagai kaum pemikir atau rasionalis untuk menjelaskan hakikat Tuhan dan
cara
ber
Tuhan
yang
benar.
Menurut
Mulyadhi
Kartanegara,paling tidak terdapat tiga argument filsafat untuk menjelaskan hal tersebut,yaitu : dalil Al-Hudus, dalil Al-Imkan dan dalil Al-Inayah. Argument pertama diperkenalkan oleh AlKimdi, yang kedua oleh Ibnu Sina dan yang ketiga oleh Ibnu Rusyd. Argumen tentang Tuhan yang dikemukakan oleh Al- Kindi dekemukakan diatas empat premis : pertama,alam semesta bersifat terbatas dan dicipta dalam waktu,karenanya alam pasti ada yang menciptakan yang tidak terbatas dan tidak dilingkupi waktu. Kedua,Pencipta harus bersifat Esa, yang darinya memancar semua maujud yang tersusun dan beragam. Ketiga,sesuatu ada karena adanya sebab-sebab lain yang secara hieratis mengerucut pada sebab sejati dan sebab terakhir sebagai satu-satunya yang mencipta. Argumen kedua terkait dengan Tuhan adalah argument dalil AlInkan. Ibnu Sina sebagai tokoh argument ini menjelaskan bahwa wujud atau eksistensi itu ada,bahwa setiap wujud yang ada bisa bersifat niscaya atau potensial. Ibnu Sina,memaparkan lebih anjut atau memperjelas konsep Tuhan Al-Kindi dengan mengungkapkan dalil wajib Al-Wujud dan mumkin Al-Wujud. Menurutnya,segala yang ada di alam hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada alternative ketiga.
6
Sejalan
dengan
Tuhan,sebagai
Ibnu wajib
Sina,Alfarabi
memandang
Al-Wujud,adalah
Maha
bahwa
satu,tidak
berubah,jauh dari materi,jauh dari arti banyak,Maha sempurna dan tidak ber hajat sesuatupun. d. Konsep tantang Tuhan dalam Perspektif Teologis Dalam persfektif teologis,masalah ketuhana,kebenaran dan kebenaran harus dicarikan kebenarannya penjelasannya dari sesuatu yang dianggap sacral dan dikultuskan karena dimulai dari
atas
(dari
Tuhan
sendiri
melalui
waktunya).
Artinya,kesadaran tentang Tuhan,baik buruk,cara beragama hanya bisa diterima kalau berasal dari Tuhan sendiri. Pernyataan-pernyataan Tuhan ini menjadi dasar keimanan dan keyakinan umat beragama.
2.4 Membangun Argumen tentang Cara Manusia Meyakini dan Mengimani Tuhan Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna. Dengan beragama Islam maka setiap muslim memiliki dasar/landasan hidup tauhid kepada Allah, fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah, menjalankan kekhalifahan, dan bertujuan untuk meraih ridha serta karunia Allah SWT. Islam yang mulia dan utama itu akan menjadi kenyataan dalam kehidupan di dunia apabila benar-benar diimani, dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat Islam) secara total atau kaffah dan penuh ketundukan atau penyerahan diri. Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu, maka terbentuk manusia muslimin yang memiliki sifat-sifat utama: kepribadian muslim, kepribadian mukmin, kepribadian muhsin dalam arti berakhlak mulia, dan kepribadian muttaqin.
7
Mengenai akidah (aspek pokok syariah) dan proses akulturasi, Prof.Dr. Hamka Haq,MA memaparkan setidaknya ada tiga alasan prinsipil mengapa penerapan akidah harus dikedepankan dari segalanya, yakni pertama, bahwa ia merupakan landasan sahnya setiap amalan syariah. Tanpa akidah (iman), semua amal tidak punya legalitas di sisi Allah, baik ibadah dan muammmalah. Kedua, akidah mengandung motivasi yang mendorong orang untuk beramal; tanpa akidah mustahil seorang muslim terdorong hati, jiwa dan jasmaninya untuk berbuat baik. Dan yang ketiga, bahwa akidah memberikan kesiapan kultural pada sertiap muslim untuk melaksanakan syariah agamanya. Sebagaimana rasul- rasul sebelumnya, Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam mengajak manusia untuk menyembah Allah. Laa ilaaha illallah merupakan kalimat tayyibah yang menjadi landasan dan benteng yang utama yang dibawakan oleh para Nabi dan Rasul, yang maknanya “ Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah”. 2.5 Esensi dan Urgensi Visi Ilahi untuk Membangun Dunia yang Damai Dalam persfektif tasauf kejatuhan manusia membuat ia semakin jauh dari rahmat Allah Ta’ala. Ketika manusia semakin jauh dari rahmat Allah,maka ia semakin jauh dari kebenaran dan kebaikan Allah. Tampak dari uraian diatas bahwa manusia adalah makhluk yang menyimpan kontradiksi dalam dirinya. Disatu sisi,manusia adalah makhluk spiritual yang cenderung kepada kebajikan dan kebenaran. Namun disisi lain,keberadaan unsur materi dan ragawi dalam dirinya memaksanya untuk tunduk pada tuntutan kesenangan jasmaniyah.
8
Sering kali terjadi konflik internal dari diri manusia antara dorongan spiritual dan material sehingga dalam khazanah islam dikenal paling tidak ada tiga tipologi jiwa manusia,yaitu : annafs al-amarah bis-su (jiwa yang selalu mencela diri), dan annafs al-muthmainah (jiwa yang tenang).
2.6 Kontribusi Spiritualitas dalam Mengembangkan Karakter Manusia yang Bertuhan Betapapun pengetahuan manusia tentang Allah telah ditopang oleh wahyu, tetap saja ia sangat terbatas. Sebab wahyu adalah informasi mentah yang tak mungkin bisa dipahami kecuali melalui akal pikiran. Sementara akal sangat terbatas dalam mengetahui sesuatu. Kinerja akal memang tidak terbatas, tetapi produk pikiran selalu memiliki keterbatasan-keterbatasan dan akan menemukan jalan buntunya ketika bersinggungan dengan hal-hal gaib atau di luar pengalaman materi. Pikiran memang bisa menghasilkan hal-hal abstak, ia bisa berpikir tentang wujud yang tidak memiliki preferensinya dengan realitas. Seperti konsep, angka dan abstraksi-abstraksi realitas, tetapi pada saat yang sama akal tidak mampu masuk ke dimensi lain selain realitas empiris yang memiliki akar-akar inderawi. Hal ini sudah cukup dalam menggambarkan betapa pikiran sangat terbatas dan tidak akan mampu mengetahui Allah kecuali ditopang oleh wahyu. Adanya kemungkinan memahami hal-hal gaib dan metafisik, sebab manusia pada dasarnya adalah makhluk spiritual. Dunia materi lebih merupakan pengalaman yang menjadi satu bagian dari fase kehidupan manusia di alam semesta ini. Sehingga menjadi sangat niscaya jika manusia memikirkan hal-hal gaib, wujud yang transenden dan Allah sang pecipta alam semesta. Wahyu tanpa akal tidak mungkin, sementara akal tanpa wahyu tidak akan menemukan titik temu yang jelas. Misalnya, Aristoteles (4 Abad SM) berpendapat bahwa asal usul dari segala sesuatu adalah berasa dari ‘penggerak yang tidak digerakkan’.
9
Pemahaman ini memang berorientasi pada pengetahuan akan Allah, tetapi ini menjadi tak jelas dan tidak menemukan titik temu, sebab tak ditopang oleh wahyu. Dan jika hanya wahyu saja, niscaya Allah tak akan terpahami. Lalu benarkah manusia adalah titik di mana Allah dipahami sebagai Tuhan? Pastinya tidak seperti itu, sebab ada jutaan makhluk selain manusia dan di antara semua makhluk itu ada yang mengetahui tentang wujud Allah. Manusia hanyalah ciptaan paling sempurna dan representasi dari karakteristik wujud esensial-Nya. Betapapun representasi itu amat terbatas dalam diri manusia dan betapa manusia hanya cerminan dari kemahasempurnaan wujudnya. 2.7 Belajar Berkarakter manusia Spiritual Karakter manusia spiritual diantaranya dapat dengan mengamalkan hal- hal sebagai berikut. 1. Dengan meyakini bahwa Tuhan tak bertempat, rasanya kita sedang berhadapan dengan kekuatan yang tak terbatas apa pun, yang keberadaannya sepenuhnya tak tergantung pada apa pun, seperti firmanَ العال ِمين ع ِن غنِي, Allah Maha-tak butuh apa pun selain diri-Nya Nya: ّللا فإ ِ َن (QS. Ali Imran: 97), termasuk ruang dan waktu sekalipun. Dia ada tanpa sekat jarak, sekat arah, sekat ruang, sekat batasan fisikal. Kita hanya akan tenggelam dalam pesona kebesaran-Nya, kehebatan-Nya, kekuasaanNya, kedekatan-Nya, pengawasan-Nya tanpa batasan apa pun yang mengganggu pikiran. 2. Ketika kita shalat menghadapnya, kita bisa merasa bahwa Dia ada bersama kita, seperti Firman-Nya: ُكنتُم ما أين مع ُكم وهُو, Dia bersama kalian di mana pun kalian berada (QS. Al-Hadid: 4) dan mengetahui semua gerakan badan dan hati kita, seperti firman-Nya: ت فِي ما يعل ُم ِ ض السَماوا ِ واْلر َ ت ع ِليم و ّللاُ تُع ِلنُون وما تُس ُِّرون ما ويعل ُم ِ ُور بِذا ُّ ال, Dia mengetahui apa yang di ِ صد langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kalian tampakkan dan kalian sembunyikan. Allah Maha mengetahui isi hati (QS. At-Taghabun: 4), tanpa pernah terbesit di pikiran bahwa Dia ada di atas dan sedang melihat dari arah kepala kita saja. 3. Ketika kita sujud, kita bisa menghayati betul sabda Rasul bahwa kita sedang dalam posisi terdekat kita dengan Allah, seperti sabda Nabi: ُأقرب ربِ ِه ِمن العبد ُ ي ُكونُ ما، اجد وهُو ِ س, posisi terdekat seorang hamba dari Tuhannya adalah ketika sujud (HR. Muslim) tanpa terganggu dengan pikiran bahwa jangan-jangan Tuhan berada di bawah lantai. 10
4. Ketika kita menghadap ke arah mana pun, kita akan merasa bahwa kita َ sedang menghadap "wajah"-Nya seperti firman-Nya: ّللاِ وجهُ فث َم تُولُّوا فأينما, ke mana pun kalian menghadap maka di sanalah "wajah" Allah (QS. AlBaqarah: 115) tanpa terganggu pikiran bahwa Dia hanya ada di arah tertentu saja sehingga kita dapat berpaling menyembunyikan wajah kita dari-Nya. 5. Ketika kita bermunajat sendirian di tengah belantara antah berantah, kita dengan mantap meyakini bahwa kita tak perlu berteriak memanggilNya sebab kita tahu bahwa Dia selalu mendengar dengan amat jelas di mana pun, seperti firman-Nya: ِإذا الدَاعِ دعوة أ ُ ِجيبُ ق ِريب فإِنِي عنِي ِعبادِي سألك و ِإذا ان ِ دع, ketika hamba-Ku menanyakan tentang-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku menjawab panggilan orang yang memanggilku (QS. AlBaqarah: 186) tanpa pernah terbesit pikiran bahwa kita sendirian. 6. Ketika kita menaiki kuda atau kendaraan apa pun, kita bisa dengan mudah menyadari bahwa Tuhan lebih dekat kepada kita daripada ujung depan kendaraan kita sendiri, seperti sabda Rasul: ِإلى أقربُ تدعُونهُ والَذِي ق ِمن أح ِد ُكم ُ احل ِة ِ أح ِد ُكم ر, Tuhan yang kalian sembah lebih dekat pada kalian ِ ُعن daripada leher hewan tunggangan kalian (HR. Muslim). 7. Ketika kita melihat ke atas sana, melihat jauh ke batas terluar galaksi kita hingga ke milyaran galaksi lain yang kini bisa dijangkau teleskop manusia, kita akan melihat kekuasaan Tuhan mencakup seluruh jagad raya bahkan Arasy sekalipun tak mampu kita lihat, seperti firman-Nya: ِعبا ِد ِه فوق القاه ُِر وهُو, Dia Maha berkuasa penuh atas hamba-hambanya (QS. Al-An’am: 18); ُالرحمن َ استوى العر ِش على, Yang Maha Pengasih istawa atas Arasy (QS. Thaha: 5) tanpa sedikit pun merasa kontradiktif dengan kesadaran bahwa kita dapat merasakan-Nya di dekat kita bersama kita setiap waktu, baik kita di sedang di ruang terdalam planet ini atau sedang menjelajah di luar angkasa sana bersama para astronot. 8. Ketika kita berada di dasar lembah atau di lantas dasar gedung pencakar langit, kita tak perlu merasa lebih jauh dari Tuhan dibanding mereka yang berdiri di puncak gunung atau berada di lantas atas kita, seperti yang dibayangkan oleh Syaikh Utsman ad-Darimy dalam kitabnya yang menjadi rujukan para pendaku salafi saat ini. 9. Ketika ada orang bertanya bagaimana bisa Tuhan ada di atas sekaligus bersama kita? Kita tak perlu repot mencontohkan keberadaan Tuhan seperti matahari atau bulan yang ada di atas tapi sekaligus ikut kemana pun langkah kita, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taymiyah, sebab orang itu akan menggugat keheranan "bukankah matahari atau bulan itu jauh? Apakah bisa dibilang Tuhan itu jauh juga?". 11
10. Kita pun tak perlu repot berapologetik tentang fitrah seolah memahami tempat Tuhan di atas sana memang fitrah manusia sebab itu tak sesuai realitas. Realitasnya, keyakinan seperti itu adalah "fitrahnya" para Mujassimah dari berbagai agama saja. Adapun "fitrahnya" para Jahmiyah adalah menganggap Tuhan di mana-mana. Lain lagi dengan "fitrahnya" ateis yang menganggap Tuhan sama sekali tak ada. Ketika bangun tidur, ketika senang, ketika susah, ketika apa pun juga semua pihak ini akan merujuk pada "fitrahnya" masing-masing. Inilah realitanya. Saya sengaja menulis kata fitrah dalam tanda kutip sebab yang demikian itu bukanlah fitrah yang sesungguhnya. Fitrah manusia yang sejati adalah meyakini adanya Tuhan tetapi bersih polos dari keyakinan tambahan apa pun tentangnya. Lingkungannyalah yang membentuk berbagai keyakinan tambahan tersebut di kemudian hari. 11. Kita pun akan terbebas dari pertanyaan kontradiksi yang ditujukan pada kaum Jahmiyah "Firman Allah yang mana atau hadits Nabi yang mana yang membuat anda mentakwil semua nash yang mengatakan bahwa Allah berada di atas tetapi memahami semua nash yang mengatakan bahwa Allah berada di bawah sesuai makna literal?". Di saat yang sama kita juga akan terbebas dari pertanyaan kontradiksi yang ditujukan pada kaum Mujassimah "Firman Allah yang mana atau hadits Nabi yang mana yang membuat anda mentakwil semua nash yang mengatakan bahwa Allah berada di bumi tetapi memahami semua nash yang mengatakan bahwa Allah berada di langit sesuai makna literal?". 12. Kita tak perlu juga bertindak bodoh seperti Fir'aun ketika mengingkari keberadaan Tuhannya Nabi Musa. Ketika raja yang mengaku sebagai Tuhan ini menyadari bahwa Tuhannya Nabi Musa tak terlihat ada di sekitarnya dan bahkan di tempat mana pun di bumi, maka dia berkesimpulan bahwa Tuhannya itu pasti berada di langit sehingga dia membangun bangunan sangat tinggi sebagai pembuktian. Dengan itu, Fir'aun berusaha membuktikan pada masyarakatnya bahwa Nabi Musa berbohong mengenai keberadaan Tuhan sebab di atas sana juga tak terlihat apa pun.
12
13. Semua pertanyaan yang mungkin terbesit dalam hati dan bahkan diperdebatkan sepanjang sejarah manusia semisal: Bagaimana bisa Tuhan mengetahui segala kejadian yang terjadi di ujung dunia mana pun?. Bagaimana bisa Tuhan mengetahui masa lalu, masa kini dan masa depan?. Bagaimana bisa Tuhan mengetahui apa yang berada dalam hati? Bagaimana bisa secara bersamaan Dia digambarkan di atas Arasy, sekaligus bersama kita, sekaligus lebih dekat dari urat leher, sekaligus berada di mana pun kita menghadap, sekaligus di langit dunia tiap akhir malam (yang berarti setiap saat sebab tiap detik selalu ada wilayah yang mengalami akhir malam), sekaligus menjadi pihak keempat dari tiga orang yang sedang menjalin kerja sama? Semua pertanyaan itu akan mudah terjawab bila tahu bahwa sejatinya Allah ada di luar ruang dan waktu (tak bertempat).
13
BAB 3 PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Cara manusia bertuhan itu berbeda-beda, ada yang bertuhan ada yang menerima segala kepastian yang menimpa diri dan saekitarnya dan yakin berasal dari tuhan, ada juga yang menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari tuhan. Bahkan ada manusia yang hanya bertuhan saja ada juga yang beragama saja, yang dimaksud bertuhan saja manusia itu hanya mengakui keberadaan tuhan saja, mengakui kebesarannya tetapi dia tidak mengikuti perintah Tuhan-Nya, sedangkan yang beragama saja dia hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh agamanya, tetapi dia tidak mengakui keberadaan Tuhan-Nya. Jadi lebih baik kita beragama dan juga bertuhan, itu akan lebih baik dari pada hanya bertuhan saja atau hanya beragama saja, sebab kita akan bisa mengenal lebih dekat dengan Agama dan Tuhan kita. Segala pikiran yang aneh tentang Allah akan mudah sirna bila kita meyakini Allah ada tanpa tempat. Kita hanya akan fokus untuk beribadah kepadanya dan merasakan kemahakuasaan Allah setiap waktu.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. https://www.nu.or.id 2. https://muhammadiyahstudies.blogspot.com/ 3. https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/
15