Orasi Ilmiah Stie Dewantaral 27 Okt 09

  • Uploaded by: MUHAMMAD FAUZI
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Orasi Ilmiah Stie Dewantaral 27 Okt 09 as PDF for free.

More details

  • Words: 6,639
  • Pages: 18
Pengembangan Dan Pemberdayaan UMKM Ke Arah Percepatan Pembangunan Ekonomi Orasi Ilmiah Pada Wisuda Sarjana STIE PGRI Dewantara Jombang Tanggal 31 Oktober 2009 Oleh: H.M. Bambang Banu Siswoyo (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang)

Yth. Yth. Yth. Yth. Yth. Yth. Yth. Yth. Yth.

Bpk. Ketua STIE PGRI DEWANTARA Jombang selaku Ketua Senat, Para Pembantu Ketua STIE PGRI DEWANTARA Jombang, Para Pimpinan Perguruan Tinggi, Para Anggota Senat STIE PGRI DEWANTARA Jombang, Para Ketua dan Sekretaris Prodi di lingkungan STIE PGRI DEWANTARA Jombang, Para dosen dan karyawan STIE PGRI DEWANTARA Jombang, Segenap orang tua wisudawan STIE PGRI DEWANTARA Jombang, Segenap wisudawan STIE PGRI DEWANTARA Jombang, dan Para undangan yang berbahagia.

Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh Salam sejahtera, mudah-mudahan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa terlimpah kepada kita sekalian, Amien. Mengawali orasi ilmiah yang akan saya sampaikan dalam sidang Wisuda Sarjana STIE PGRI DEWANTARA Jombang yang terhormat ini, ijinkanlah saya menyertai hadirin yang berbahagia untuk bersama-sama memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, semoga limpahan nikmat, taufik, dan hidayah senantiasa tercurah pada kita sekalian. Ibu/Bapak Hadirin yang berbahagia, Masalah kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan penguasaan asset nasional merupakan isu kritis dalam membangun sistem perekonomian yang bercorak kerakyatan. Restrukturisasi ekonomi dengan sasaran menggerakkan ekonomi kerakyatan terus dilakukan, namun upaya untuk menggerakkan ekonomi kerakyatan terutama yang bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Berbicara masalah ekonomi kerakyatan nampaknya tidak terlepas dari pembicaraan tentang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), karena data BPS per akhir tahun 2006 menunjukkan bahwa 48,528 juta (99,99%) unit usaha yang ada di Indonesia adalah mereka yang tergolong dalam UMKM. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa menggerakkan ekonomi kerakyatan adalah identik dengan memberdayakan UMKM. Premis ini dapat memunculkan thesis bahwa jika ingin mengurangi kemiskinan dan pengangguran, maka UMKM harus diberdayakan. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2006 menunjukkan bahwa penduduk miskin di Indonesia sebanyak 39,05 juta atau

1

17,75 % dari total 222 juta penduduk. Penduduk miskin bertambah empat juta orang dibanding yang tercatat pada Februari 2005. Angka pengangguran berada pada kisaran 10,8% sampai dengan 11% dari tenaga kerja yang masuk kategori sebagai pengangguran terbuka. Data pengangguran lulusan sekolah tinggi per Pebruari 2007 berdasarkan jenjang sbb: Diploma I/II sebanyak 151.085; Akademi/D3 sebanyak 179.231; Universitas sebanyak 409.890 (Kompas 11 Nov 2008). Data tersebut terus bertambah pada tahun 2009. Kondisi tersebut saat ini diperburuk dengan dampak krisis dan resesi global. Bahkan mereka yang lulus perguruan tinggi semakin sulit mendapatkan pekerjaan karena sedikitnya ekspansi kegiatan usaha. Data Depnakertrans per 1 Mei 2009 menunjukkan bahwa sebanyak 51.355 pekerja terkena PHK, 28.017 orang direncanakan di PHK, 22.440 dirumahkan, dan 19.191 orang direncanakan akan dirumahkan (Jawa Pos 12 Mei 2009). Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi, memprediksi PHK bisa mencapai 500.000 orang tahun ini. Pengangguran dan kemiskinan merupakan fenomena ekonomi yang terkait dengan Indek Pembangunan Manusia (IPM) dan tingkat daya saing global. Pada kasus negara-negara yang IPM dan tingkat daya saing globalnya rendah, didapatkan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang relatif tinggi. Indek Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Hasil penelitian Badan Dunia untuk Program Pembangunan atau United Nations Development Programme (UNDP) tentang peringkat IPM Indonesia adalah sebagai berikut. o Tahun 2005, Indonesia menempati urutan 110 (HDI 0,697) dari 177 negara, turun dari posisi sebelumnya di urutan 102 dengan indeks 0.677 pada tahun 1999. o Pada tahun 2006 mengalami kemajuan dengan mencapai 0.711 dan berada diurutan 108, mengalahkan vietnam yang mempunyai nilai 0.709. Posisi ini sekaligus mensyaratkan Indonesia berada pada level menengah IPM di dunia bersama negara tetangga seperti Thailand (74), Filipina (84), Vietnam (109) dan Timor Leste (142). o Pada tahun 2007 (berdasar laporan UNDP, per 27 November 2007) angka IPM Indonesia mengalami kenaikan menjadi 0.728, berada di peringkat 108 dari 182 negara. Pada tahun yang sama Singapura berada di peringkat ke 23 (HDI 0,944), Brunei ke 66 (HDI 0,829), Thailand ke 86 (HDI 0,783), dan Filipina ke 105 (HDI 0,751). Peringkat IPM/HDI Indonesia masih lebih baik dari Vietnam dan Laos yang berada di peringkat 116 dan 133. Daya saing global adalah kumpulan dari faktor-faktor kelembagaan, kebijakan dan faktor-faktor lainnya yang menentukan produktivitas negara. Tingkat produktivitas ini menentukan tingkat pengembalian hasil (rate of return) yang dapat diperoleh oleh suatu investasi dalam perekonomian. World Economic Forum (WEF) telah membuat peringkat negara-negara di dunia berdasarkan indeks daya saing global ini. Terdapat 12 pilar yang digunakan dalam indeks daya saing, yang dapat dikelompokkan lagi atas tiga kelompok utama yaitu kelompok persyaratan utama, kelompok pendorong efisiensi dan kelompok faktor kecanggihan dan inovasi. Secara rinci, penilaian atas ketiga pilar daya saing tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.

2

Tabel 1. Daya Saing Global Indonesia dan Negara-Negara Kawasan Asia Timur Tahun 2008 – 2009 Peringkat Peringkat Rata-Rata PILAR DAYA SAING Indonesia Kawasan Asia Timur DAYA SAING GLOBAL

55

Persyaratan utama

53 76

56

Institusi

68

63

Infrastruktur

86

59

Stabilitas Ekonomi

72

39

Pendidikan dan Kesehatan Dasar

87

63

Pendorong Efisiensi

49

58

Pelatihan dan Pendidikan Tinggi

71

64

Efisiensi Pasar Barang

37

59

Efisiensi Pasar TK

43

39

Kecanggihan Pasar keuangan

57

70

Kesiapan teknologi

88

63

Ukuran Pasar

17

56

Faktor Kecanggihan dan inovasi

45

61

Kecanggihan Bisnis

39

63

Inovasi

47

60

Sumber: The Global Competitiveness Report 2008-2009 (data diolah)

Indonesia memiliki daya saing global yang relatif baik, yaitu berada pada peringkat 55 dari 134 negara-negara di dunia yang dinilai. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan negara-negara di Kawasan Asia Timur, Indonesia berada pada posisi yang sedikit lebih rendah. Secara rata-rata, peringkat daya saing negara-negara Kawasan Asia Timur adalah 53. Selain itu, jika dilihat perkembangan peringkat daya saing ini, selama tiga tahun terakhir terlihat adanya penurunan peringkat daya saing Indonesia. Pada tahun 2006 peringkat daya saing Indonesia adalah 50 dari 125 negara, tahun 2007 peringkat ke 54 dari 131 negara, dan tahun 2008 berada pada peringkat ke 55 dari 134 negara. Dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asia Timur (13 negara), Indonesia berada pada posisi ke 6 terendah dan hanya lebih tinggi dari Timor Leste (peringkat 129), Kamboja (peringkat 109), Mongolia (peringkat 100), Philipina (peringkat 71) dan Vietnam (peringkat 70). Namun Indonesia berada di bawah peringkat Singapura (5), Hong Kong (11), Taiwan (17), Malaysia (21), Thailand (34) dan Brunei (39). Deskripsi kuantitatif di atas diharapkan dapat menyadarkan kita selaku elemen bangsa, dan utamanya pemerintah untuk berusaha bangkit dan mengejar ketertinggalan, dengan melakukan pembangunan berbagai sektor untuk meningkatkan kualitas SDM dan daya saing global Indonesia. Di bidang perekonomian perlu dikembangkan sistem dan model pembangunan yang berbasis ekonomi kerakyatan yang diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan dan menekan pengangguran. UMKM mendapat porsi perhatian yang utama karena peran dan 3

fungsinya. Untuk kepentingan pengembangan UMKM ini, telah dikeluarkan UU RI No. 20 Tahun 2008 4 Juli 2008, tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Dengan lahirnya UU ini diharapkan UMKM dapat lebih diberdayakan dan dapat meningkatkan kontribusinya dalam GDP Indonesia di masa-masa mendatang. Ibu/Bapak dan Hadirin yang berbahagia, Negara-negara di dunia ini umumnya dapat mempertahankan dan mengembangkan perekonomian nasionalnya melalui kegiatan sektor riil. Kegiatan sektor riil ini dikembangkan sesuai dengan kondisi dan potensi yang ada. Umumnya, kegiatan tersebut dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu usaha mikro, usaha berskala kecil, usaha berskala menengah, dan usaha berskala besar. Keempat kelompok skala usaha ini bergerak di segala bidang atau jenis kegiatan ekonomi, seperti industri, pertanian, perdagangan, pertambangan, manufaktur, perbankan, perhotelan, dan sebagainya. Berdasarkan ketentuan UU RI No. 20 Tahun 2008, tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan usaha besar adalah sebagai berikut. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Usaha Besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Pengelompokan dan pengertian usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) lebih banyak ditentukan oleh berbagai kondisi yang melatarbelakangi keberadaan suatu usaha. Di Indonesia, kriteria yang digunakan untuk pengelompokan usaha mikro, kecil, dan menengah lebih mengacu pada besar modal dan omset usaha yang dimiliki perusahaan yang bersangkutan. Uniknya, beberapa institusi menggunakan definisi yang berbeda. (1) Ketetapan Menteri Keuangan RI No. 316/KMK.016/1994, menyatakan bahwa usaha kecil adalah perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omset per tahun setinggi-tingginya Rp 600 juta atau asset/aktiva setinggi-tingginya Rp 600 juta (di luar tanah dan bangunan yang ditempati) terdiri dari: 1) Badan usaha (Fa, CV, PT dan Koperasi); dan 2) Perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa, dan sebagainya).

4

(2) Mengacu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995, kriteria usaha kecil dilihat dari segi

keuangan dan modal yang dimiliki, yaitu (1) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha), dan (2) omset penjualannya paling banyak Rp. 1 miliar/tahun. Sedangkan usaha menengah adalah (1) untuk sektor industri, memiliki total aset paling banyak Rp. 5 miliar, dan (2) untuk sektor nonindustri, memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 600 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki omset penjualan tahunan paling banyak Rp. 3 miliar. (3) Berdasarkan INPRES No. 10 Tahun 1999 mendefinisikan usaha menengah adalah unit kegiatan yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp. 200 juta sampai maksimal Rp 10 miliar (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha). (4) Berdasarkan ketentuan UU RI No. 20 Tahun 2008 4 Juli 2008, tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah, ditegaskan bahwa (a) Kriteria Usaha Mikro, memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha), dan memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 juta. (b) Kriteria Usaha Kecil, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50 juta sampai dengan paling banyak Rp 500 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha); memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300 juta sampai dengan paling banyak Rp 2,5 milyar. (c) Kriteria Usaha Menengah, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500 juta sampai dengan paling banyak Rp10 milyar (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha); memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2,5 milyar sampai dengan paling banyak Rp 50 milyar. Ketentuan UU RI No. 20 Tahun 2008 di atas setidaknya memupus kerancuan tentang penggolongan skala usaha yang terjadi selama ini. Penggolongan UMKM ini hanya berdasar besarnya modal dan omset yang dimilikinya. Kedua kriteria tersebut relatif sederhana dan untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan UKMM sebenarnya masih dibutuhkan parameter lain sebagaimana digunakan oleh beberapa negara lain. Misalnya, di United Kingdom mengelompokkan usaha dalan kriteria usaha kecil jika mempunyai karyawan 1 s/d 200 orang; di Jepang antara 1 s/d 300 orang; di USA antara 1 s/d 500 orang. Terdapat empat aspek yang seharusnya bisa ditambahkan untuk menggolongkan skala UMKM agar memudahkan dalam hal pembinaan dan pengembangannya, yaitu pertama struktur kepemilikan modalnya; kedua lokal operasinya, apakah terbatas pada lingkungan sekitarnya atau pemasarannya dapat melampaui wilayah lokalnya; ketiga sifat lembaganya lebih berorientasi pada kumpulan modal atau kumpulan orang; keempat ukuran perusahaan dibandingkan dengan perusahaan lainnya dalam bidang usaha yang sama (bisa berupa jumlah karyawan, sarana prasarana yang dimiliki atau lainnya yang sesuai ). Lihat Tiktik & Rahman (2002). Pentingnya Pemberdayaan UMKM Di negara maju, usaha kecil-menengah (UKM) memperoleh perhatian yang cukup besar karena kemampuannya menyerap tenaga kerja, kemampuannya menyesuaikan diri dengan

5

perubahan pasar. Selain itu, UKM juga mempunyai kemampuan manajerial yang dinamis dalam bidang kewirausahaan. Sebagai dampak resesi 1981-1982, Amerika telah di mem-PHK sebanyak 1.664.000 orang tenaga kerja. Namun dalam kurun waktu yang bersamaan pula, UKM di negara tersebut telah menciptakan lapangan kerja untuk 2.650.000 orang tenaga kerja (Anderson dalam Siswoyo, 2008). Pesatnya pertumbuhan ekonomi di Jepang juga terkait dengan keberadaan dan peran sektor UKM. Kenyataan ini merubah orientasi negara berkembang terhadap keberadaan UKM di negeranya. Pada umumnya usaha keci di negara berkembang (termasuk Indonesia, yang lebih dikenal dengan UMKM) keberadaannya dalam posisi terdesak dan tersaingi oleh usaha skala besar dan menengah, sehingga pemerintah terdorong untuk mengembangkan dan melinduginya. Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 berdampak pada suatu kondisi uncertainty di berbagai bidang kehidupan masyarakat, khususnya di bidang ekonomi. Sebagian usaha besar satu persatu pailit karena meningkatnya harga bahan baku impor, dan diikuti biaya cicilan hutang yang juga meningkat drastis. Namun di sisi lain sebagian besar UMKM tetap bertahan dan jumlahnya cenderung bertambah. Keunggulan UMKM dalam hal ini dimungkinkan karena adanya beberapa karakter spesifik UMKM berikut. (1) UMKM memproduksi barang konsumsi dan jasa dengan elastisitas permintaan terhadap pendapatan yang rendah, sehingga tingkat pendapatan rata-rata masyarakat tidak begitu terpengaruh terhadap permintaannya. (2) Hambatan-hambatan di pasar dan proteksi industri hulu dihilangkan, sehingga UMKM mempunyai peluang banyak dalam pengadaan bahan baku. Akibatnya biaya produksi turun dan efisiensi meningkat. Nilai ICOR kegiatan UMKM relatif rendah. (3) Umumnya UMKM tidak difasilitasi kredit oleh perbankan, sehingga bergolaknya moneter tidak banyak berpengaruh terhadap UMKM. (4) Sebagian besar usaha UMKM merupakan kegiatan padat karya, yang banyak memanfaatkan sumber daya lokal. (5) Selang waktu produksi (time lag) relatif singkat, atau produksi dapat dilakukan secara cepat. (6) Banyaknya sektor formal yang melakukan PHK, akibatnya para penganggur banyak memasuki sektor informal, dan hal ini akan menambah jumlah UMKM yang ada. Berbicara masalah menggerakkan ekonomi rakyat sesungguhnya tidak terlepas dari pembicaraan terhadap usaha memberdayakan UMKM, karena sampai dengan akhir tahun 2006 BPS menginformasikan bahwa 48.258 juta, atau 99,9% unit usaha yang ada di Indonesia tergolong dalam kelompok (UMKM). Kelompok usaha ini mampu menyerap tenaga kerja lebih kurang 87% dari jumlah tenaga kerja produktif yang tersedia. Sedangkan sumbangannya terhadap PDB mencapai 54%. Data tersebut mengindikasikan bahwa pada dasarnya UMKM merupakan kelompok usaha yang memiliki potensi besar untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran (Suarja,2007). Kenyataan di atas menjadi pendorong agar UMKM dibina dan dikembangkan secara berkesinambungan (sustainable development). Kebijakan Pengembangan UKM Untuk mendorong dan mewujudkan usaha kecil menjadi badan usaha yang semakin kuat, tangguh dan mandiri serta memiliki daya saing, dan mampu berperan dalam perekonomian 6

nasional, terutama dalam kehidupan ekonomi rakyat, kemampuan pengusaha kecil terus dikembangkan. Cara yang ditempuh dengan peningkatan pembangunan sarana prasarana, penyederhanaan perijinan, pemberian kemudahan dalam melakukan investasi, kemudahan memperoleh permodalan, kesempatan usaha, Diklat, bimbingan manajemen, serta alih teknologi. Sasaran operasional pembinaan dan pengembangan pengusaha kecil oleh pemerintah adalah: a. terciptanya iklim usaha yang lebih mendorong berkembangnya skala usaha, peluang usaha, aksesdan pangsa pasar bagi usaha kecil, b. peningkatan kemampuan pengusaha kecil dalam memanfaatkan akses terhadap sumber permodalan dan pembiayaan, c. peningkatan kemampuan pengusaha kecil dalam memobilisasi modal sendiri dan memperkokoh struktur permodalannya, d. terwujudnya kualitas dan kemampuan pengusaha kecil yang tangguh, modern, dan terorganisir ke dalam koperasi atau unit usaha formal lainnya, e. peningkatan kemampuan kewirausahaan, manajemen, keterampilan teknis serta penataan dan pemantapan kelembagaan usaha kecil, f. peningkatan kemampuan pengusaha kecil dalam penguasaan teknologi, penerapan teknologi tepat guna, penyebarluasan informasi teknologi dan pemanfaatan sarana usaha secara optimal, g. peningkatan dan pemantapan keterkaitan dan kemitraan usaha yang saling membutuhkan, saling menghidupi dan saling menguntungkan antar pengusaha kecil, dan antara pengusaha kecil dengan pengusaha lainnya. Untuk mewujudkan sasaran operasional di atas, kebijaksanaan pembinaan dan pengembangan usaha kecil ditempuh dengan lima kebijaksanaan operasional sebagai berikut: a. meningkatkan akses pasar dan memperbesar pangsa pasar, b. memperluas akses terhadap sumber permodalan, memperkokoh struktur permodalan, c. meningkatkan kemampuan organisasi dan manajemen, d. meningkatkan akses terhadap teknologi dan meningkatkan kemampuan memanfaatkannya, dan e. meningkatkan dan memantapkan kemitraan (Siswoyo, 2008). Permasalahan Yang Dihadapi UMKM UMKM mempunyai posisi, peran dan prospek yang baik dalam perekonomian Indonesia. Seiring berubahnya kondisi ekonomi baik dari dalam maupun luar negeri, UMKM dihadapkan pada berbagai permasalahan klasik, seperti kesulitan akses terhadap permodalan, pasar, teknologi, dan informasi. Masalah rendahnya kualitas SDM UMKM, masalah belum optimalnya fungsi lembaga pemberdayaan UMKM dan masalah iklim usaha yang belum sepenuhnya berpihak pada UMKM, juga menjadi isu penting yang perlu dicarikan solusinya. Ibu, Bapak dan Saudara-saudara sekalian yang berbahagia

7

Berbagai masalah yang dihadapi UMKM tersebut di atas dapat dirangkum menjadi 5 hal, yaitu: 1) Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan penguasaan teknologi; 2) Keterbatasan bidang permodalan; 3) Permasalahan kultural, 4) Keterbatasan bidang pemasaran; 5) Kemitraan; dan 6) Pengembangan Komunikasi berbasis Webb. A. Keterbatasan SDM yang Berkualitas dan penguasaan Teknologi SDM dan teknologi merupakan dua hal yang tidak terpisahkan dalam membangun kesuksesan UMKM, dimana SDM sangat dibutuhkan untuk pengembangan pengetahuan atau penyerapan teknologi. SDM dan teknologi ini memberikan penekanan akan pentingnya “human capital” dalam konteks pengembangan UMKM. Istilah human capital atau sering disama-artikan dengan “intellectual capital” yang berarti mengacu pada pengetahuan dan kemampuan mengetahui (knowing capability) dari suatu fenomena tertentu. Human capital inilah yang menjadi pemicu kepedulian UMKM terhadap teknologi. Telah disadari bersama bahwa penerapan teknologi memberikan peluang yang lebih besar terhadap nilai tambah (value added) UMKM. Dalam aspek pemasaran, penerapan teknologi ini dapat meningkatkan daya saing perusahaan, perbaikan pelayanan perusahaan, dan dapat menjadi pendorong aktivitas bisnis e-commerce ataupun e-bussiness. Teknologi mengandung dua dimensi utama yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yakni ilmu pengetahuan (science) dan rakayasa (engineering). Perwujudan dari teknologi dapat berupa teknik, metode, cara produksi, serta peralatan atau mesin yang dipergunakan dalam suatu proses produksi. Teknologi mempunyai empat komponen penting, yakni perangkat teknis, perangkat manusia, perangkat informasi, dan perangkat informasi. Berdasarkan hasil kajian Deperidagkop, permasalahan dalam penerapan/pengembangan Iptek (teknologi) di UMKM dapat dikelompokkan masalah internal (yang dapat dipengaruhi oleh pengusaha) dan masalah eksternal. Masalah-masalah internal yang dihadapi UMKM antara lain sebagai berikut.  Kurangnya kesadaran dan kemauan pengusaha untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna di perusahaannya.  Keterbatasan alokasi modal untuk keperluan perbaikan/peningkatan teknologi,  Kurangnya kemampuan pengusaha untuk memanfaatkan peluang usaha,  Lemahnya akses dan terbatasnya informasi tentang sumber teknologi dan pengetahuan tertentu. Sedangkan masalah-masalah eksternal yang dihadapi UMKM adalah sebagai berikut. o Sebagian besar hasil penelitian dan pengembangan (Litbang) yang ada belum sesuai (match) dengan yang diperlukan oleh UMKM. Publikasi hasil-hasil Litbang masih terbatas, dan penyebarannya hanya menjangkau sebagian kecil UMKM. o Proses alih teknologi kepada UMKM belum optimal, salah satunya disebabkan terbatasnya tenaga pendamping di lapangan, o Skim pembiayaan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk pembelian mesin-mesin baru untuk UMKM masih terbatas. Sistem leasing atau sewa beli mesin/peralatan masih terbatas, dan belum banyak dimanfaatkan oleh UMKM.

8

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah bertekad untuk membantu UMKM dalam hal pengembangan bidang desain dan teknologi. Upaya Pemerintah tersebut dilakukan dengan: a. meningkatkan kemampuan di bidang desain dan teknologi serta pengendalian mutu; b. meningkatkan kerjasama dan alih teknologi; c. meningkatkan kemampuan Usaha Kecil dan Menengah di bidang penelitian untuk mengembangkan desain dan teknologi baru; d. memberikan insentif kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang mengembangkan teknologi dan melestarikan lingkungan hidup; dan e. mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk memperoleh sertifikat hak atas kekayaan intelektual (UU No. 20/2008 Pasal 16 ayat 1.d) Berdasarkan uraian di atas, UMKM menghadapi masalah yang cukup serius karena berawal dari kualitas SDM, keterbatasan modal dan keterbatasan akses pasar. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah mendasar ini. Apalagi jika hal ini diperparah oleh kondisi eksternal yang mendera UMKM. Seberapa kapabel SDM pemerintah dalam ikut mengatasi hal ini? Berdasarkan hasil penelitian di Jatim, menunjukkan bahwa: 1. Belum mampunya Dinas/Instansi (SKPD) terkait untuk mengambil peran dalam penumbuhan dan pengembangan kegiatan UMKM. Masing-masing SKPD di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten relatif mempunyai visi dan mandat yang berlainan, sehingga kebijakan yang ditujukan penumbuhan UMKM tidak optimal. 2. Kebijakan di tingkat provinsi seringkali berbenturan dengan kebijakan tingkat kabupaten/kota. Program-program dari SKPD tingkat provinsi tidak memiliki “power” untuk terimplementasikan di tingkat kabupaten/kota. Semenjak era otonomi daerah, masing kabupaten/kota mempunyai kewenangan untuk menyusun program strategis pembangunan daerah, yang didasarkan pada kondisi sumberdaya alam, sosial, ekonomi dan politik yang berkembang. Dengan demikian program dari SKPD tingkat provinsi tidak menjadi acuan utama dalam penyusunan program SKPD di kabupaten/kota. Hal ini yang menjadi faktor utama ketidak selarasan program di tingkat provinsi dengan program di kabupaten/kota. 3. Adanya hambatan dalam mewujudkan sistem jejaring tataniaga hulu hilir yang saat ini tengah menjadi perhatian SKPD, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/ kota. Hambatan tersebut adalah lemahnya koordinasi program antar SKPD, sehingga program-program antar SKPD yang merupakan sub sistem dari tataniaga hulu-hilir menjadi tidak sinergis (Siswoyo, dkk.,2009). Berdasarkan uraian tersebut, kiranya perlu bagi semua pihak yang terkait dengan kepentingan pengembangan UMKM duduk satu meja mencari solusi yang terbaik bagi pengembangan UMKM. Selain birokrat, unsur perguruan tinggi, UMKM, pemerhati pengembangan UMKM layak diikutsertakan dalam merancang program-program yang berbasis sustainable development, dalam suatu wadah lembaga pengkajian dan pengembangan UMKM, sehingga masalah UMKM relatif bisa dicarikan solusinya. B. Keterbatasan Bidang Permodalan

9

Salah satu permasalahan dalam pengembangan UMKM adalah kemampuan mengakses modal dan memanfaatkan modal untuk meningkatkan value added UMKM. Kesulitan mengakses modal lebih disebabkan ketiadaan jaminan (collateral). Kesulitan jaminan ini nampaknya menjadi masalah laten khususnya bagi sebagian besar usaha mikro-kecil. Pemerintahan BJ Habibie waktu itu berani mengeluarkan dana hingga Rp 20 triliun atau sebanding dengan 10% dana APBN dalam upaya pengembangan UMKM. Sayangnya, pelaksanaan program kurang memberikan dampak yang signifikan bagi pengembangan UMKM. Faktor utama yang menyebabkan kegagalan program KUK di masa lalu adalah kesalahan dalam menyalurkan kredit, sehingga kredit jatuh bukan pada pihak pengusaha yang berhak. Modifikasi dilakukan dalam hal kewenangan merealisasi kredit, yaitu melalui Bank yang ditunjuk. Bank sebagai lembaga yang menyalurkan kredit dapat lebih objektif melakukan penyeleksian sesuai realitas bisnis dari UMKM. Namun hal ini akan menyulitkan UMKM sendiri karena masih sulitnya sebagian besar dari usaha mikro-kecil untuk mempersiapkan berbagai syarat bank teknis yang harus dipenuhi, seperti: jaminan, NPWP, proposal kelayakan usaha, laporan keuangan dan sebagainya. Untuk itu, perlu dipikirkan mekanisme yang baik dalam menyaring UMKM yang akan diberikan kredit. Untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas diperlukan niat serius pemerintah dalam mengembangkan UMKM. Jangan sampai pengembangan UMKM ini bersifat sporadis dan tidak sustainable. Upaya-upaya yang akan dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait adalah sebagai berikut. 1. Pemerintah, melakukan langkah-langkah: a. Pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan/lembaga keuangan bukan bank; b. Pengembangan lembaga modal ventura; c. Pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang; d. Peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah; dan e. Pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.(UU No. 20 Tahun 2008 pasal 22) Untuk meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap sumber pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 di atas, Pemerintah dan Pemerintah Daerah diharapkan dapat: o menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jaringan lembaga keuangan bukan bank; o menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jangkauan lembaga penjamin kredit; dan o memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh pembiayaan. (UU No. 20 Tahun 2008 pasal 23 ayat 1). Adapun realisasi dari ketentuan pasal 22 di atas dalam bentuk kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah:  Kementrian Koperasi & UKM menyalurkan dana bergulir melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB).

10

Penyisihan dana BUMN untuk membantu permodalan usaha mikro dan kecil (UMK) melalui Permeneg BUMN No: Per-05/MBU/2007, yang mengatur BUMN wajib menyisihkan pembiayaan dan penyisihan bagian laba untuk UMK. Semula ditentukan 1%-5% dari laba bersih BUMN (Kepmeneg BUMN No.: Kep-236/MBU/2003), menjadi maksimal sebesar 2% dari laba bersih setelah pajak untuk program kemitraan dengan UMKM, dan maksimal 2% dari laba bersih setelah pajak untuk program bina lingkung (CSR). Ketentuan ini dikuatkan lagi oleh UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, Pasal 21 ayat 2: “BUMN dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada UMK dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya”.  Pemerintah dan pemerintah daerah ikut mengambil peran dalam menggulirkan modal usaha tanpa jaminan dengan persyaratan yang ringan. Misalnya, Pemprov Jatim selama tahun 2004-2008 telah menggulirkan dana Rp 300 miliar, dengan bunga 6%. 2. Pelaku UMKM, diharapkan aktif meningkatkan aksesnya terhadap persyaratan bank teknis dengan cara: a. meningkatkan kemampuan menyusun studi kelayakan usaha; b. meningkatkan pengetahuan tentang prosedur pengajuan kredit atau pinjaman; dan c. meningkatkan pemahaman dan keterampilan teknis serta manajerial usaha. 

Untuk mewujudkan hal ini keikutsertaan perguruan tinggi sangat diharapkan. Dalam upaya ikut membekali wawasan di atas, saat ini kebanyakan PT membekali mahasiswanya dengan matakuliah kewirausahaan. Bahkan Ditjen Dikti bekerjasama dengan Universitas Ciputra Entrepeneurship Centre (UCEC) telah melakukan program penguatan kewirausahaan bagi dosen PT.

C. Permasalahan Kultural di UMKM

Permasalahan kultural terjadi akibat perbedaan pandangan mengenai suatu usaha antara budaya industri dan tradisional. Kebanyakan pengusaha pada sektor UMKM masih berpandangan klasik, sehingga melihat usaha dalam jangka pendek dan statis, tanpa mau melihat ke depan berkaitan dengan usahanya. Sedangkan sektor industri melihat sebuah usaha sebagai suatu yang dinamis, sehingga terus dituntut sebuah perubahan agar sebuah usaha dapat terus bertahan dan berkembang. Faktor kultural inilah yang kadang kala menghambat usaha pengembangan sektor UMKM karena pengusaha UMKM sendiri kurang memiliki niat untuk mengembangkan usahanya. Di sinilah diperlukan pendekatan budaya untuk mengubah pandangan pengusaha UMKM agar lebih inovatif dan berkemauan meningkatkan usahanya melalui pendekatan yang berbasis efektivitas dan efisiensi. Tidak mudah merubah budaya pelaku UMKM, diperlukan rancangan program yang bernuansa pengembangan yang sustainable. Keterlibatan birokrasi, pelaku UMKM, perguruan tinggi, dan perusahaan mitra untuk merancang program ini sangat dibutuhkan.

11

Mapping permasalahan kultural perlu dilakukan untuk mencari solusi yang tepat dalam pengembangan UMKM. Terungkapnya inti permasalahn ini akan memudahkan pemilihan strategi dan implementasi program sehingga berdaya guna dan berhasil guna. Untuk hal ini, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut. 1. Membentuk sejenis ”lembaga pengembangan UMKM” di tingkat provinsi yang berperan sebagai mediator, fasilitator, akselerator, dan sumber informasi bagi pelaku kerjasama kemitraan. Lembaga ini merupakan lembaga independen yang dibentuk pemerintah yang terdiri dari unsur-unsur birokrat, pelaku usaha (praktisi), akademisi, dan NGO. Lembaga ini bila perlu dibentuk juga di tingkat daerah oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang fungsinya sebagai ’kepanjangan tangan’ lembaga yang ada di Provinsi. Lembaga pengembangan UMKM ini bertugas membangun komunikasi yang lebih intensif antara pemerintah dan pelaku usaha (UMK dan Usaha Menengah-Besar) agar program pengembangan UMKM dapat mencapai tujuan yang diinginkan. 2. Pemberian penghargaan terhadap pelaku UMKM unggulan yang berprestasi dan UMKM yang berhasil mengembangkan usahanya. Tujuannya adalah untuk memberikan motivasi dan apresiasi kepada UMKM sehingga berfungsi sebagai lembaga ekonomi yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, penyerapan tenaga kerja dan berperan dalam meningkatkan perekonomian nasional (Braman dalam Surya, 25 Oktober 2009). Penghargaan seperti ini dilakukan oleh Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Timur yang menyelenggarakan penganugerahan “Parasamya Kertanugraha” atau UKM Award ke II pada 25 Oktober 2009.

D. Keterbatasan Bidang Pemasaran Selain masalah permodalan di atas, masalah yang dihadapi dan sekaligus menjadi kelemahan UMKM adalah kurangnya akses informasi, khususnya informasi pasar. Hal tersebut menjadi kendala pemasaran, karena dengan terbatasnya akses informasi pasar mengakibatkan rendahnya orientasi pasar dan lemahnya daya saing di tingkat global. Informasi pasar produksi atau pasar komoditas yang diperlukan misalnya (1) jenis barang atau produk apa yang dibutuhkan oleh konsumen di daerah tertentu, (2) bagaimana daya beli masyarakat terhadap produk tersebut, (3) berapa harga pasar yang berlaku, (4) selera konsumen pada pasar lokal, regional, maupun internasional. Dengan demikian, UKM dapat mengantisipasi berbagai kondisi pasar sehingga dalam menjalankan usahanya akan lebih inovatif. Sedangkan informasi pasar faktor produksi juga diperlukan terutama untuk mengetahui: (1) sumber bahan baku yang dibutuhkan, (2) harga bahan baku yang ingin dibeli, (3) di mana dan bagaimana memperoleh modal usaha, (4) di mana mendapatkan tenaga kerja yang professional, (5) tingkat upah atau gaji yang layak untuk pekerja, (6) di mana dapat memperoleh alat-alat atau mesin yang diperlukan (Ishak, 2005). Informasi pasar yang lengkap dan akurat dapat dimanfaatkan oleh UMKM untuk membuat perencanaan usahanya secara tepat, misalnya: (1) membuat desain produk yang disukai

12

konsumen, (2) menentukan harga yang bersaing di pasar, (3) mengetahui pasar yang akan dituju, dan banyak manfaat lainnya. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat diperlukan dalam mendorong keberhasilan UMKM dalam memperoleh akses untuk memperluas jaringan pemasarannya. Selain memiliki kemudahan dan kecepatan dalam memperoleh informasi pasar, UMKM juga perlu memiliki kemudahan dan kecepatan dalam mengkomunikasikan atau mempromosikan usahanya kepada konsumen secara luas baik di dalam maupun di luar negeri. Selama ini promosi UMKM lebih banyak dilakukan melalui pameran-pameran bersama dalam waktu dan tempat yang terbatas. Pengembangan UMKM dalam bidang pemasaran, didesain oleh pemerintah melalui caracara sebagai berikut. a. Melaksanakan penelitian dan pengkajian pemasaran; b. Menyebarluaskan informasi pasar; c. Meningkatkan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran; d. Menyediakan sarana pemasaran yang meliputi penyelenggaraan uji coba pasar, lembaga pemasaran, penyediaan rumah dagang, dan promosi Usaha Mikro dan Kecil; e. Memberikan dukungan promosi produk, jaringan pemasaran, dan distribusi; dan f. Menyediakan tenaga konsultan profesional dalam bidang pemasaran. (UU No. 20 Tahun 2008 pasal 18) Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa lemahnya akses pasar UMKM menyebabkan ia kalah bersaing dalam pasar. Walaupun telah dilakukan berbagai upaya stimulus oleh eksternal (pemerintah), namun jika respon pelaku UMKM sangat kurang, maka tidak akan merubah keadaan. Apalagi dengan rendahnya karakter human capital, keterbatasan kemampuan berfikir strategis dan orientasi visi yang bersifat long term, akan menyebabkan munculnya vicious circle dalam pengembangan dan pemberdayaan UMKM. Hal ini dapat diamati dari daya saing pendorong efisiensi Indonesia (lihat Tabel 1), pada sub pelatihan dan pendidikan tinggi yang berada pada peringkat 71 (di bawah peringkat rata-rata kawasan Asia Timur, yaitu 64); kesiapan teknologi berada pada peringkat 88 (di atas peringkat rata-rata kawasan Asia Timur, yaitu, 63). Untuk itu, keberadaan ”lembaga pengembangan UMKM” di tingkat provinsi yang berperan sebagai mediator, fasilitator, akselerator, dan sumber informasi bagi pelaku kerjasama kemitraan, sangatlah dibutuhkan. E. Kemitraan UMK dengan Usaha Menengah & Besar Upaya untuk mengembangkan UMKM tidak cukup hanya dengan memberikan modal. Sebagian besar return dari usaha mikro-kecil tidaklah besar, sehingga sulit sekali untuk memperbesar skala usahanya. Hal ini memunculkan ironi bahwa keberadaan UMKM (tahun 2006) yang dalam jumlah mencapai 48,528 juta (99,99%) unit usaha , namun kontribusinya dalam pembangunan nasional “hanya” mencapai Rp 1.013,5 triliun atau 56,7% dari PDB Indonesia (www.depkop.go.id). Program kemitraan yang ada selama ini tidak berhasil menaikkan margin usaha mikrokecil ini, karena selama ini usaha besar melakukan program kemitraan hanya sekedar mengikuti anjuran pemerintah. Padahal yang terpenting dari program kemitraan itu adalah membuat integrasi antara usaha kecil dan besar sehingga proses penambahan nilai (value

13

added) terjadi dan terjadi saling mendukung antara sektor UMKM dan perusahaan besar yang nantinya akan memacu pertumbuhan ekonomi. Pengembangan UMK melalui kemitraan telah banyak dilakukan namun efektivitasnya masih banyak dipertanyakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Untuk itu, pemahaman dan pemilihan pola-pola kemitraan yang bernuansa ketergantungan sangat penting dikedepankan (Siswoyo, 2008). Implementasi konsep saling ketergantungan itu adalah dengan melaksanakan kerjasama. Pada dikondisi lingkungan yang tidak stabil, membangun kerjasama merupakan alternatif yang sesuai untuk diterapkan karena alasan kohesivitas. Pada lingkungan yang telah stabil model kemitraan bisa meningkatkan performa karena sifatnya bagaikan lubricant pada geargear pelaku kemitraan. Dalam dunia usaha, membangun jaringan kerjasama pada kondisi lingkungan yang tidak stabil telah menjadi tuntutannya untuk menciptakan kepastian, efisiensi dan kestabilan kualitas produk. Untuk kepentingan itu, dewasa ini tengah marak terbangunnya kemitraan usaha menengah-besar dengan UMK. Jalinan kerjasama yang baik dan menguntungkan kedua belah pihak tentunya dilandasi dengan prinsip-prinsip antara lain: Kooperasi, Saling ketergantungan, Kepercayaan, dan Keselarasan tujuan (goal congruence). Berdasarkan hasil penelitian Siswoyo, dkk (2009), ditemukan suatu kesimpulan bahwa: a. Sebagian besar korporasi maupun UMK di Jawa Timur menyatakan hambatan yang dihadapi dalam kemitraan relatif sangat kecil dan bisa diatasi. b. Hampir keseluruhan korporasi dan UMK sepakat untuk melanjutkan kerjasama kemitraan. Untuk itu, langkah-langkah yang dapat dilakukan agar kemitraan UMK dengan usaha menengah-besar dapat membuahkan hasil optimal antara lain sebagai berikut: 1. Membentuk Forum Kemitraan Usaha (FKU) di tingkat provinsi yang berperan sebagai mediator, fasilitator, motivator, akselerator, dan sumber informasi bagi pelaku kerjasama kemitraan. FKU ini merupakan forum independen yang difasilitasi oleh Pemprov yang terdiri dari unsur-unsur birokrat, pelaku usaha (praktisi), akademisi, dan NGO. Forum ini juga perlu dibentuk di tingkat daerah oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang fungsinya sebagai ’kepanjangan tangan’ FKU Provinsi. 2. FKU provinsi bekerjasama dengan FKU Kota/Kabupaten melakukan mapping potensi dan permasalahan usaha mikro-kecil dan usaha menengah-besar yang melaksanakan kerjasama kemitraan. Mensosialisasikan hasil mapping kepada korporasi menengah-besar (termasuk BUMN) dalam upaya penggalian sumber dana lunak dari berbagai sumber. 3. FKU melibatkan multi stake holders di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, yang terdiri atas unsur birokrat, pelaku usaha (praktisi), akademisi, dan NGO, menyusun platform sistem kemitraan. Sistem yang dibangun ini akan menjadi acuan stake holders atau pihak yang terkait lainnya untuk mengambil peran pada subsistem sesuai dengan Tupoksinya. F. Pusat Komunikasi Bisnis UMKM Berbasis WEB Teknologi informasi merupakan bentuk teknologi yang digunakan untuk menciptakan, menyimpan, mengubah, dan menggunakan informasi dalam segala bentuknya. Melalui

14

pemanfaatan teknologi informasi ini, perusahaan mikro, kecil maupun menengah dapat memasuki pasar global. Perusahaan yang awalnya kecil seperti toko buku Amazon, portal Yahoo, dan perusahaan lelang sederhana Ebay, ketiganya saat ini menjadi perusahaan raksasa hanya dalam waktu singkat karena memanfaatkan teknologi informasi dalam mengembangkan usahanya. Pemanfaatan teknologi informasi dalam menjalankan bisnis atau sering dikenal dengan istilah e-commerce atau e-bussiness. Menurut Internet World States, pada tahun 2005 pemakai internet dunia mencapai angka 972.828.001 (hampir satu miliar), pengguna di Indonesia diperkirakan mencapai 16 juta orang. Jumlah pemakai terbesar di Amerika Serikat dan Kanada, yaitu mencapai 68,2% dari jumlah penduduknya (Suyanto dalam Sutirman, 2007). Hal positif yang dapat diperoleh dengan memanfaatkan jaringan internet dalam mengembangkan usaha adalah : (1) dapat mempertinggi promosi produk dan layanan melalui kontak langsung, kaya informasi, dan interaktif dengan pelanggan, (2) menciptakan satu saluran distribusi bagi produk yang ada, (3) biaya pengiriman informasi ke pelanggan lebih hemat jika dibandingkan dengan paket atau jasa pos, (4) waktu yang dibutuhkan untuk menerima atau mengirim informasi sangat singkat, hanya dalam hitungan menit atau bahkan detik. Potensi UMKM di Indonesia menurut Megawaty Khie, Small Medium Business Director PT Microsoft Indonesia, sangat besar dan dapat menjadi penggerak ekonomi nasional, namun pemahaman sebagian besar dari mereka terhadap teknologi informasi masih kurang. Lebih lanjut Budi Wahyu Jati, Country Manager Intel Indonesia, dari sekian juta UMKM yang ada hanya 27% yang memiliki dan memanfaatkan komputer. Itupun belum dapat memanfaatkannya secara maksimal, dalam arti untuk mendukung aktivitas usaha mereka (Kedaulatan Rakyat, 22 Desember 2004). Agar UMKM di Indonesia (dengan segala keterbatasannya) dapat berkembang dengan memanfaatkan teknologi informasi, perlu dukungan berupa pelatihan dan penyediaan fasilitas. Dalam hal ini tanggungjawab terbesar untuk memberi pelatihan dan penyediaan fasilitas ini ada di tangan pemerintah yang dalam pelaksanaannya dapat bekerja dengan perguruan tinggi atau semua pihak yang punya komitmen tentang pengembangan UMKM. Mengambil pengalaman dari usaha kecil dan menengah di luar negeri, ternyata telah membuktikan bahwa melalui aplikasi teknologi informasi, perusahaannya dapat menjadi perusahaan besar kelas dunia dalam waktu yang singkat. Salah satu upaya yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah pembentukan Pusat Komunikasi Bisnis Berbasis Web, untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan UMKM di era teknologi informasi sekarang ini. Melalui cara ini diharapkan UMKM dapat mengejar ketertinggalannya selama ini. Ibu/Bapak dan Saudara sekalian yang berbahagia Sebagai penutup dari orasi ilmiah ini, berikut dipaparkan kesimpulan sebagai berikut.

1. Peran UMKM dalam perekonomian negara sangat penting dan strategis, karena telah terbukti menjadi penyelamat perekonomian pasca krisis dan menjadi penyedia lapangan kerja terbesar. Tersedianya lapangan kerja dan meningkatnya pendapatan akan menekan angka kemiskinan. Masalah kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan penguasaan asset 15

nasional merupakan isu kritis dalam membangun sistem perekonomian yang bercorak kerakyatan. Untuk itu, memberdayakan UMKM identik dengan menggerakkan ekonomi kerakyatan. 2.

Pengangguran dan kemiskinan di Indonesia merupakan fenomena ekonomi yang terkait dengan rendahnya Indek Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) dan rendahnya tingkat daya saing global. Negara-negara yang peringkat IPM/HDI dan tingkat daya saing globalnya rendah (termasuk Indonesia), berakibat pada tingkat pengangguran dan kemiskinan yang relatif tinggi. Untuk itu, perlu dilakukan upaya yang berkesinambungan guna meningkatkan peringkat IPM/HDI.

3. Hampir keseluruhan unit usaha yang ada di Indonesia adalah tergolong UMKM, namun kontribusinya terhadap PDB masih relatif kecil (54% sampai 56,7%), tidak sebanding dengan jumlah satuan usahanya yang mencapai 99,9% dari keseluruhan satuan usaha di Indonesia. Kondisi ini sebagai akibat dari masalah-masalah yang dihadapi UMKM selama ini, yaitu: a) Rendahnya kualitas SDM dan keterbatasan penguasaan teknologi; b) Keterbatasan bidang permodalan; c) Permasalahan kultural, d) Keterbatasan bidang pemasaran; e) Pola dan sistem kemitraan; dan f) Pengembangan Komunikasi berbasis Web.

4. Salah satu permasalahan dalam pengembangan UMKM adalah kemampuan mengakses modal dan memanfaatkan modal untuk meningkatkan value added UMKM. Kesulitan UMKM mengakses modal lebih disebabkan ketiadaan jaminan (collateral). Realisasi dana bergulir baik melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) maupun institusi lain, penyisihan laba BUMN untuk UMKM perlu terus ditingkatkan dan dievaluasi implementasinya secara berkesinambungan.

5. Kebanyakan pelaku UMKM masih berpandangan klasik, melihat usaha dalam jangka pendek dan statis, tanpa mau melihat ke depan berkaitan dengan pengembangan usahanya. Hal ini disebabkan rendahnya kualitas SDM (sebagai human capital), keterbatasan kemampuan berfikir strategis dan terbatasnya orientasi visi yang bersifat long term, sehingga memunculkan masalah struktural dalam pengembangan pengembangan dan pemberdayaan UMKM. Untuk itu, pemberian penghargaan terhadap pelaku UMKM unggulan yang berprestasi, dan UMKM yang berhasil mengembangkan usahanya perlu terus ditingkatkan apresiasi dan frekuensinya.

6. Kendala pemasaran UMKM adalah terbatasnya akses informasi pasar yang mengakibatkan rendahnya orientasi pasar dan lemahnya daya saing UMKM. Untuk itu, perlu dibentuk ”lembaga/forum pengembangan UMKM” di tingkat provinsi/kota/kabupaten/wilayah tertentu yang berperan sebagai mediator, fasilitator, akselerator, dan sumber informasi bagi pelaku kerjasama kemitraan. Lembaga ini merupakan lembaga independen yang dibentuk pemerintah yang terdiri dari unsur-unsur birokrat, pelaku usaha (praktisi), akademisi, dan NGO. Lembaga pengembangan UMKM ini bertugas membangun komunikasi yang lebih intensif antara pemerintah dan pelaku usaha (UMK dan Usaha Menengah-Besar) agar program pengembangan UMKM dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

7. Program kemitraan yang ada selama ini tidak berhasil menaikkan margin usaha mikro-kecil ini, karena selama ini usaha besar melakukan program kemitraan hanya sekedar mengikuti anjuran pemerintah. Untuk itu, pemahaman dan pemilihan pola-pola kemitraan yang 16

bernuansa saling ketergantungan antara UMK dengan usaha menengah besar sangat penting dikedepankan. 8.

Berdasar pengalaman dari usaha kecil dan menengah di luar negeri, ternyata telah membuktikan bahwa melalui aplikasi teknologi informasi, perusahaannya dapat menjadi perusahaan besar kelas dunia dalam waktu yang singkat. Salah satu upaya yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah pembentukan Pusat Komunikasi Bisnis Berbasis Web di lingkungan UMKM yang dimotori oleh lembaga/forum pengembangan UMKM sebagaimana dimaksud di atas.

9.

Untuk kepentingan kemudahan dalam pembinaan dan pengembangan UMKM, disarankan agar penggolongan skala usaha mikro, kecil, menengah, dan besar dilakukan dengan menambahkan kriteria: pertama struktur kepemilikan modalnya; kedua lokal operasinya, apakah terbatas pada lingkungan sekitarnya atau pemasarannya dapat melampaui wilayah lokalnya; ketiga ukuran perusahaan dibandingkan dengan perusahaan lainnya dalam bidang usaha yang sama (bisa berupa jumlah karyawan, sarana prasarana yang dimiliki atau lainnya yang sesuai).

DAFTAR RUJUKAN Best, M. (1999), Cluster Djnamics in Theory and Practice: Singapore/Johor and Penang Electronics. UNIDO/ISIS. Bygrave, William D. 1994. The Portable MBA in Entrepreneurship. John Willey & Sons, Inc. New York. Chalid, DA. 2005. Pengentasan Kemiskinan Lewat UMKM. Suara Karya: Rabu, 30-3-2005. Heidjrachman, R.P. 1982. Wiraswasta Indonesia. BPFE. Yogyakarta. Ishak, Effendi. 2005. Artikel : Peranan Informasi Bagi Kemajuan UKM. Kedaulatan Rakyat. Yogyakarta Kiyosaki, R.T. & Lechter, S.L. 2008. Rich Dad, Poor Dad. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Kiyosaki, R.T. & Lechter, S.L. 2001. The Business Shool. Tech Press, Inc. Mariotti, John L, 1996. The Power of Partnerships. Blackwell Publisher, Massachussets, USA. Porter, M. E. I 990. The Competitive Advantage of Nations. London: Macmillan. Siswoyo, Bambang Banu. 2006. Membaca Peluang, Merintis dan Mengembangkan Usaha. PPK LPM Universitas Negeri Malang. Siswoyo, Bambang Banu. 2009. Kewirausahaan dalam Kajian Dunia Akademik. FE UM. Siswoyo, Bambang Banu, dkk. 2009. Survey Partisipasi Dunia Usaha Dalam Rangka Menunjang Pembiayaan Pembangunan Daerah. Kerjasama Bappeda Provinsi Jatim dan Lemlit UM. Siswoyo, Bambang Banu, dkk. 2009. Penyusunan Strategi Kebijakan Efektivitas Pemanfaatan CSR Untuk Kinerja Pembangunan Daerah. Kerjasama Bappeda Provinsi Jatim dan Lemlit UM.

17

Sutirman.2007. Pemberdayaan UMKM Melalui Pusat Komunikasi Bisnis Berbasis Web. UNY. Suyanto, M. 2005. Artikel : Aplikasi IT untuk UKM Menghadapi Persaingan Global. Kedaulatan Rakyat. Yogyakarta. http://www.depkop.go.id http://www2.kompas.com Zimmerer, T.W, Scarborough, N.M., Wilson, D. 2008. Essential of Entrepreneurship and Small Business Management, 5th Ed. Pearson Education, Inc. New Jersey, 07458.

18

Related Documents


More Documents from ""