Opini-memilih Sekolah

  • Uploaded by: Ani Christina
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Opini-memilih Sekolah as PDF for free.

More details

  • Words: 1,254
  • Pages: 4
Memilih Sekolah untuk Anak Oleh : Ani Christina Kepala Pusat Pelayanan Psikologi Al Hikmah (P3H) Surabaya, 9 Juni 2009 Kita dapat melihat dan merasakan geliat dunia pendidikan yang sedang mendekati pembukaan tahun pelajaran 2009/2010. Mari kita amati berbagai spanduk bertajuk ”Menerima Pendaftaran Siswa Baru” bertengger di area-area strategis di seluruh penjuru kota. Sekolah-sekolah juga mencetak berbagai jenis brosur sebagai sarana promosi. Diskusi di kalangan ibu-ibu juga semakin marak membicarakan pertimbangan tentang bagaimana memilih sekolah untuk anak-anak mereka. Beberapa sekolah menawarkan fasilitas lengkap seperti ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, komputer, arena olahraga, dan banyak fasilitas lain. Beberapa sekolah menampilkan ikon fullday school, yang saat ini sangat digemari para orangtua bekerja. Ada juga sekolah yang menonjolkan keterangan standar internasional. Ada menyajikan daftar prestasi sekolah yang telah diraih sebagai bukti kualitas sekolah tersebut. Ada yang menggunakan istilah sekolah unggulan, sekolah plus, sekolah Islam terpadu, dan masih banyak istilah lain. Pada intinya sekolah-sekolah tersebut sedang menawarkan keunggulannya. Para orangtua memiliki banyak pilihan sekolah untuk anak-anaknya. Semakin banyak alternatif bisa mempermudah untuk mengambil keputusan, tapi bisa juga mempersulit dalam memilih sekolah. Orangtua berada pada posisi dimana mereka perlu mempertimbangkan banyak hal, mulai dari kualitas sekolah, visi dan misi sekolah, biaya pendidikan, jarak rumah ke sekolah, dan juga perpaduan keinginan orangtua dan anak. Memilih sekolah mungkin saja sebuah keputusan yang tidak begitu rumit untuk beberapa orang, tetapi kali ini penulis ingin memaparkan betapa pentingnya langkah awal ini untuk perkembangan anak-anak kita. Dalam beberapa kesempatan komunikasi dengan orangtua, baik dalam bentuk seminar, talkshow, serta konsultasi individual dan keluarga, orangtua sering bertanya tentang tolak ukur sekolah yang tepat untuk anak-anak. Sebelum berbicara tentang sekolah yang tepat, kita perlu menyepakati bahwa setiap anak unik dan memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga apa yang baik untuk seorang anak belum tentu baik untuk yang lain. Oleh karena itu, tolak ukur sederhana tentang memilih sekolah yang tepat adalah keputusan orangtua yang dapat mempertimbangkan secara obyektif kemampuan dan keinginan anak.

Pertama, tentang pemilihan antara sekolah umum dan sekolah berkebutuhan khusus. Lembaga kami pernah menyampaikan sebuah rekomendasi bagi sepasang suami istri untuk memindahkan anaknya dari sekolah umum ke sekolah untuk anak berkebutuhan khusus. Spontan mereka kaget, tersentak sambil berurai air mata mengajukan sebuah pertanyaan: apakah itu berarti anak kami tidak normal, seperti anak cacat?. Cerita ini dapat menjadi sebuah gambaran dogma di masyarakat bahwa anak-anak yang berbeda dengan yang lain, yang punya keterbatasan tertentu, atau memiliki kebutuhan khusus dianggap sebagai anak tidak normal. Kita perlu memahami anak-anak, sebagaimana semua manusia, memiliki kelebihan dan kelemahan. Meskipun jumlah anak dalam populasi masyarakat yang perlu direkomendasikan untuk mendapat pendidikan di sekolah berkebutuhan khusus tidak dominan, namun perlu kita perhatikan. Jangan sampai anak-anak ini salah tempat. Keputusan untuk memaksakan anak-anak berkebutuhan khusus mendapat pendidikan di sekolah umum hanya menjadi pintu munculnya rentetan masalah, mulai kesulitan beradaptasi, hambatan bersosialisasi, jebloknya prestasi akademis, dan berbagai macam kasus gangguan perilaku pernah kami terima sebagai akibat salah pilih sekolah. Kedua, tentang sistem fullday school yang saat ini menjadi model populer di berbagai sekolah, baik swasta maupun negeri. Orangtua perlu mencermati sekolah-sekolah fullday dari segi program. Jika program akademis mendominasi waktu belajar seharian, maka hal ini akan menjadi hambatan bagi anak untuk berkembang. Anakanak yang dijejali pendidikan akademis dalam waktu seharian menjadi kurang berkembang sisi psikologisnya, baik itu emosi, kepribadian, dan juga sosial. Jika program sekolah fullday dapat menyeimbangkan kebutuhan anak untuk berprestasi akademis dan non akademis, maka sekolah dapat menjadi media pengembangan diri. Lembaga kami pernah menerima kasus anak-anak yang mengalami kesulitan belajar yang disebabkan gangguan perilaku. Dari sekian banyak kasus, mayoritas berujung pada hasil analisis bahwa anakanak sebenarnya punya potensi kecerdasan yang memadai namun kurang stimulasi lingkungan sehingga mereka mengalami masalah dalam beradaptasi, mengelola sikap dan cara belajar, sebagai akibatnya mereka mendapatkan prestasi akademis yang jauh di bawah potensi dasar yang mereka miliki. Stimulasi lingkungan adalah serangkaian proses dari lingkungan, baik di rumah, sekolah, dan masyarakat yang dapat merangsang anak-anak untuk belajar. Belajar disini lebih mengarah pada penyesuaian tubuh, proses berbahasa, proses sosialisasi, pembentukan karakter mandiri, latihan mengelola emosi, dan pengembangan kepribadian. Anakanak yang setiap harinya melakukan kegiatan monoton tanpa

variasi aktivitas, apalagi yang membuat otak tertekan akan mengalami masalah belajar sekaligus masalah perilaku. Keempat, tentang memilih SMA yang lebih disukai masyarakat atau SMK yang sedang marak digalakkan pemerintah. Kurikulum SMA bertujuan menyiapkan siswanya yang hendak melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi; akademi atau perguruan tinggi. Sedangkan kurikulum SMK lebih ditujukan untuk menyediakan tenaga kerja tingkat menengah. Bukan hanya soal tujuan, pilihan SMA dan SMK sebenarnya didasari oleh kenyataan bahwa dalam populasi masyarakat, tidak semua lulusan SMP memiliki kemampuan untuk kurikulum SMA yang didesain sebagai persiapan studi lanjut sehingga mengandung kompleksitas berpikir tersendiri. Sedangkan kurikulum SMK yang disiapkan untuk bekerja memang ditujukan untuk anak-anak yang tidak seberapa perlu proses berpikir kompleks tetapi proses berpikir yang cenderung teknis. Memang ada kesan bahwa SMA lebih bergengsi daripada SMK, tetapi sungguh ini bukan tentang sekolah nomor 1 dan nomor 2, tetapi sekolah mana yang sesuai dengan kemampuan masingmasing anak. Toh, banyak orang sukses berlatar belakang macammacam juga, ada yang SMA, ada yang SMK, dan ada yang tidak mengenyam pendidikan formal. Maka memaksakan anak-anak yang kemampuannya kurang memadai untuk tetap memilih pendidikan SMA adalah sebuah langkah yang benar-benar mendhalimi anak. Anak-anak yang dipaksakan masuk SMA padahal kemampuannya kurang sesuai, akhirnya menjadi anak-anak yang mengalami kesulitan belajar. Kemudian, mereka menduduki peringkat akademis yang jelek, sering masuk kelas remidial, kadang-kadang sampai tidak naik kelas, dan terjadi penurunan kepercayaan diri serta mengalami hambatan dalam bersosialisasi. Kelima, tentang bagaimana mempertimbangkan kesesuaian visi keluarga dan visi sekolah. Anak-anak yang mendapatkan keselaran pendidikan antara nilai-nilai dalam keluarga dan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah menjadi anak-anak yang memiliki karakter yang kuat. Namun ketika terjadi ketidakselarasan, maka akan menimbulkan perilaku anak yang tidak diharapkan. Sekolah mengajarkan anak untuk hidup mandiri, tetapi orangtua di rumah memanjakan mereka, akhirnya anak menjadi tidak mandiri. Sekolah mendidik anak-anak untuk jujur dalam berbicara dan berperilaku, tapi mereka sering mendapati orangtuanya berbohong, akhirnya anak menjadi kurang konsisten dalam kejujuran. Anak-anak di sekolah dibiasakan untuk rajin beribadah, namun di rumah tidak pernah melihat orangtua melakukannya, akhirnya anak-anak hanya mau beribadah di sekolah namun meninggalkannya ketika di rumah. Perbedaan mencolok seperti ini hanya menimbulkan kesulitan dalam membangun sikap dan karakter anak.

Orangtua boleh saja punya visi tertentu dalam rangka memilih sekolah, namun komunikasi untuk memberikan pemahaman penting dilakukan. Setelah mempertimbangkan secara obyektif kemampuan anak, khusus untuk anak-anak yang beranjak remaja, keinginan anak untuk memilih sekolah menjadi salah penentu keberhasilan proses pendidikannya. Beberapa kasus yang kami terima tentang anak-anak yang memiliki masalah belajar dan perilaku disebabkan tidak adanya motivasi internal untuk bersekolah sebab merasa terpaksa menjalani pilihan orangtuanya. Dengan memilih sekolah yang tepat untuk anak kita telah melakukan tahap pencegahan terjadinya masalah perilaku pada anak. Tidak hanya berlaku ketika menjaga kesehatan, dalam mendampingi proses perkembangan anak juga berlaku hukum ”lebih baik mencegah daripada mengobati”. Masalah perilaku anak yang terlanjur muncul membutuhkan energi besar dan waktu yang lama untuk mengembalikan mereka pada perkembangn yang optimal. Bahkan, beberapa ahli pernah mengklaim ketika masalah perilaku terjadi dalam kurun waktu tertentu, maka waktu untuk menyembuhkannya adalah dua kali lipatnya. Misalnya, anak Anda punya kecenderungan gangguan kecemasan yang muncul selama 2 tahun sewaktu SD, maka penangangan intensif untuk menyembuhkannya membutuhkan waktu kurang lebih 4 tahun setelah itu. Keseluruhan tulisan di atas memang disusun berdasar pengalaman menangani berbagai kasus. Kasus-kasus tersebut tentu saja tidak dapat digeneralisasikan pada semua anak sebab setiap anak unik, maka setiap permasalahan yang dialami seseorang harus ditangani sesuai dengan kondisi masing-masing. Namun, mudah-mudahan apa yang telah dialami oleh orang lain cukup menjadi pelajaran buat kita semua. Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi untuk mendidik anak-anak kita menjadi lebih baik.

Related Documents

Sekolah
May 2020 39
Sekolah
May 2020 35
Budaya Sekolah
May 2020 16
Sekolah Bestari
May 2020 30
Prestasi Sekolah
June 2020 19

More Documents from ""