BAB II TINJAUAN TEORI A. Definisi Nyeri adalah fenomena subjektif dan kompleks. Nyeri adalah mekanisme perlindungan, yang menyebabkan seseorang menarik diri dari atau menghindar sumber nyeri dan mencari bantuan terapi. International Society for the Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai “suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial atau digambarkan sebagai kerusakan itu sendiri. McCaffery memberikan definisi operasinal nyeri yang mempertimbangkan subjektifitas dan individualitas pegalaman nyeri dan didasarkan pada asumsi bahwa individu yang mengalami nyeri adalah pihak berwenang yang sebenarnya : Nyeri dibagi menjadi dua yaitu : 1. Nyeri akut Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan di tandai adanya peningkatan tegangan otot. 2. Nyeri kronis Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung cukup lama, yaitu lebih dari 6 bulan. Termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis. Ditinjau dari sifat terjadinya, nyeri dapat dibagi kedalam beberapa kategori, di antaranya nyeri tersusuk dan nyeri terbakar.
B. ISTILAH DALAM NYERI 1. Nosiseptor : Serabut syaraf yang mentransmisikan nyeri 2. Non-nosiseptor : Serabut syaraf yang biasanya tidak mentransmisikan nyeri 3. System nosiseptif : System yang teribat dalam transmisi dan persepsi terhadap nyeri 4. Ambang nyeri : Stimulus yg paling kecil yg akan menimbulkan nyeri 5. Toleransi nyeri : intensitas maksimum/durasi nyeri yg individu ingin untuk dpt ditahan
C. SIFAT – SIFAT NYERI 1. Nyeri melelahkan dan membutuhkan banyak energi 2. Nyeri bersifat subyektif dan individual 3. Nyeri tak dapat dinilai secara objektif seperti sinar X atau lab darah 4. Perawat hanya dapat mengkaji nyeri pasien dengan melihat perubahan fisiologis tingkah laku dan dari pernyataan klien 5. Hanya klien yang mengetahui kapan nyeri timbul dan seperti apa rasanya 6. Nyeri merupakan mekanisme pertahanan fisiologis 7. Nyeri merupakan tanda peringatan adanya kerusakan jaringan 8. Nyeri mengawali ketidakmampuan 9. Persepsi yang salah tentang nyeri menyebabkan manajemen nyeri jadi tidak optimal 10. Secara ringkas, Mahon mengemukakan atribut nyeri sebagai berikut: 11. Nyeri bersifat individu 12. Nyeri tidak menyenangkan 13. Merupakan suatu kekuatan yg mendominasi 14. Bersifat tidak berkesudahan
D. Faktor- faktor yang berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan pada pasien sakit kritis : 1. Fisika a. Gejala sakit kritis ( misalnya : angina, iskemia, dispnea, luka psca trauma, pasca operasi, atau pasca prosedur) b. Gangguan dan deprivasi tidur c. Imobilitas, ketidakmampuan untuk berpindah ke posisi yang nyaman karena terpasang selang, minotor, restrain d. Suhu yang ekstrem terkait dengan sakit kritis dan lingkungan – demam, hipotermia 2. Psikososial a. Kecemasan dan depresi b. Hambatan komunikasi, ketidakmampuan untuk melaporkan dan menggambarkan nyeri c. Takut akan nyeri, ketidakmampuan, atau kematian d. Perpisahan dari keluarga atau orang terdekat lainnya
e. Kebonasanan atau kurangnya distrkasi yang menyenangkan 3. Lingkungan atau prosedur perawatan a. Kebisingan yang terus menerus dari peralatan dan staf b. Pola cahaya yang terus mnerus dan tidak alami c. Terjaga dan manipulasi fisik setiap satu sampai dua jam untuk pengukuran tandatanda vital atau pengaturan posisi d. Prosedur yang invasif dan menimbulkan nyeeri yang dilakukan terus menerus atau sering e. Kompitisi prioritas perawatan- tanda- tanda tidak stabil, perdarahan, disrtimia, ventilasi buruk – dapat lebih dulu ditangani dari pada penatalaksanaan nyeri E. Aspek – aspek yang dapat mengurangi nyeri pada pasien kritis 1. Kardiovaskuler a. Penurunan nadi b. Tekanan darah c. Beban miokaridum 2. Paru – paru a. Peningkatan pernafasan dan oksigenasi b. Penurunan insiden komplikasi paru 3. Saraf a. Penurunan kecemasan dan konfusi mental b. Penigkatan tidur 4. Gastrointestinal a. Peningkatan pengosongan lambung b. Peningkatan keseimbangan nitrogen positif 5. Muskoloskelental a. Ambulasi dini b. Penurunan komplikasi imobilitas 6. Ekonomi a. Pengurangan masa rawat inap b. Penurunan biaya c. Peningkatan kepuasan pasien terhadap perawatan
F. Beberapa panduan SPO terkait dengan penatalaksanaan nyeri
Gambar 1.1 format observasi penatalaksanaan nyeri
Intervensi Farmakologis 1. NSAID Menurut American Pain Society Guldelines, tiap regimen analgetik harus mencakup obat – obatan nonopioid, bahkan apabila nyeri mencakup berat sehingga juga membutuhkan opioid. Pada banyak pasien obat NSAID mengurangi nyeri dengan menghambat sintesa mediator inflamatorik
(prostaglandin, histamin dan
bradikinin) pada tempat cedera dan secara efektif meredekan nyeri tanpa menyebabkan sedasi, depresi pernafasan atau masalah fungsi usus atau kandung
kemih. Panduan AHCR merekomendasikan NSAID sebagai pilihan awal untuk menangani nyeri sedang sampai nyeri berat pasca operatif. Biasanya NSAID diberikan memalui oral namun pada pasien kritis berkenaan apakah dapat digunakan karena asupan obat oral dibatasi. Keterbatasan obat NSAID selain pemberian melalui oral pada pasien kritis lainnya yaitu kemungkinan efek yang merugikan, yang meliputi perdarahan gastrointestinal, inhibisi trombosit dan infusiensi ginjal. AINS generasi kedua, seperti selokoksib dan refokkosib, lebih selektif di tempat kerjanya dan tidak menyebabkan efek yang merugikan namun obat ini tidak dievaluasi lebih lanjut di ICU karena awitannya yang lambat. Asetaminofen merupakan obat yang sering digunakan pada pasien kritis. Ketika digunakan dengan opioid, obat ini menghasilkan efek yang lebih besar di bandingkan opioid tunggal. Asetaminofen adalah antipiretik efektif tetapi punya efek samping kerusakan hati.
Dosis harus dibatasi maksimal 2g perhari apabila pasien mempunyai riwayat atau berpotensi mengalami kerusakan hati. Obat NSAID yang biasanya digunakan adalah : a. Asetaminofen b. Aspirin c. Selekoksib (celebrex) d. Ibuforfen (morfin) e. Indometasin (indocin) f. Ketorolak (toradol) g. Naprokson (naprosyn)
2. Opioid Opioid adalah landasan farmakologis penatalksanaan nyeri pascaoperatif. Opioid meredakan nyeri karena berkaitan dengan berbagai tempat reseptor dalam medula spinalis, sistem saraf pusat (SSP), dan sistem saraf perifer (periphheral nervous system, PNS) sehingga mengubah persepi nyeri. Opioid dipilih berdasarkan kebutuhan individu pasien dan kemungkinan efek merugikan. Menurut Society of critical care medicine morfin sulfat, fentanil dan hidromorfon adalah agens pilihan apabila diperlukan opioid, namun opioid lain yang bias digunakan adalah kodein, oksikodan dan metadon.
Meperidin merupakan obat yang paling paten dan biasanya diberikan dalam dosis besar untuk menghasilkan kadar analgesia yang sama dgengan dosis 10mg morfin tiap 4 jam, diperlukan 100-150mg meperidin tiap 3 jam. Dalam pemberian dosis dan titrasi harus disesuaikan dengan pasien dan respon pasien serta efek yang tidak diharapkan seperti depresi pernafasan atau sedasi berlebih harus dikaji dengan ketat terutama pada pasien dengan indikasi tertentu seperti lansia, toleransi yeri individu, penyakit penyerta, tipe prosedur pembedahan. Pada lansia mengurangi dosis opioid awal dan melambatkan titrasi dianjurkan. Dalam pemberian opioid ada beberapa cara, yaitu : a. Rektal b. Transdermal c. Intramuskular d. Intravena e. Spinal
3. Antidepresant Merupakan obat yang efektif pada pengobatan depresi, meringankan gejala gangguan depresi, termasuk penyakit psikis yang dibawa sejak lahir. Depresi adalah gangguan heterogen yang mempunyai tanda dan klasifikasi.
Depresan digolongkan menjadi 3 kelompok berdasarkan asal, yaitu: a.
Reaktif atau sekunder Paling banyak terjadi diatas 60%. Tanda-tanda diagnostik yaitu sedih (melawan kehidupan), penyakit fisik seperti infark miokard dan kanker, dan penyakit psikiatrik lain.
b.
Depresi mayor atau endogen Terdapat pada kira- kira 25% depresi, merupakan gangguan biokimia berdasarkan genetic dengan tanda tidak mampu menghadapi stres biasa. Bersifat acuh pada perubahan kehidupan (otonom), dan dapat terjadi pada semua umur karena lebih tergantung pada faktor biologik.
c.
Afektif bipolar (manic-depresi) 10-15% dari seluruh depresi, dicirikan dengan episode mania . Mekanisme Kerja
Menghambat ambilan neurotransmiter, obat antidepresan salah satunya adalah trisiklik menghambat ambilan norepinefrin dan serotonin neuron masuk ke terminal saraf pra sinaps, dengan menghambat jalan utama pengeluaran neurotransmiter , antidepresan akan meningkatkan konsentrasi monoamin dalam celah sinaps, menimbulkan efek antidepresan.
Farmakokinetik dan Farmakodinamik a. Farmakokinetik 1) Trisiklik Diabsorbsi sempurna dan mengalami metabolism first-pass yang besar, terikat pada protein dan kelarutan pada lipid tinggi, sehingga distribusi volume menjadi sangat besar. Trisiklik dimetabolisme melalui dua cara yaitu transformasi inti trisiklik dan perubahan pada rantai samping alifatik. 2) Heterosiklik Obat heterosiklik memiliki bioavailabilitas yang beragam, ikatan protein tinggi, volume distribusi bermacam-macam dan besar, dan banyak metabolit aktif. Namun secara umum, farmakokinetik obat ini sama dengan trisiklik. 3) Inhibitor Reuptake serotonin selektif (SSRIs) Fluoksetin diabsorbsi dengan baik, konsentrasi puncak plasma diperoleh dalam 4-8 jam. Meiliki waktu paruh 7-9 hari dalam keadaan biasa. Fluoksetin menghambat berbagai enzim metabolik obat, sehingga terjadi interaksi obatobat dengan antidepresan dan dengan obat lain.
4) Penghambat MAO Mudah diabsorbsi dari saluran cerna. Pengaruh MAO masih tetap ada walaupun inhibitor MAO sudah tidak ditemui lagi pada plasma. Efek obat berlangsung selama 7 sampai dengan 2 atau 3 minggu.
b. Farmakodinamik 1) Trisiklik menghambat pompa reuptake amin (norepinefrin atau serotonin), yaitu “off switches” neurotransmisi amin. Sehingga neurotransmitter lebih lama berada pada reseptor.
2) Penghambat MAO menutup jalan degradasi utama untuk neurotransmitter amin, sehingga amin lebih banyak menumpuk pada simpanan presinaptik dan bertambah pula untuk dilepaskan. Simpatomimetik serupa amfetamin juga menghambat pompa amin.
Indikasi Indikasi obat antidepresan ini adalah untuk pengobatan depresi, pengalaman klinik, dan dapat digunakan untuk hal lain. a) Depresi terutama untuk episode depresi mayor b) Gangguan panic c) Gangguan obsesif konvulsif d) Enuresis adalah indikasi utama penggunaan trisiklik e) Nyeri kronis f) Indikasi lain adalah gangguan makan seperti bulimia dan anoreksia nervosa, katapleksi yang berkaitan dengan narkolepsi, fobi sekolah, dan attention defisit disorder.
Kontraindikasi a) Penggunaan pada ibu hamil akan berakibat pada bayi, prematur dan ukuran kepala bayi lebih kecil. b) Penggunaan pada ibu yang sedang menyusui. c) Penderita penyakit jantung, ginjal dan hati d) Penggunaan antidepresan MAOI pada lansia
Efek Samping Setiap obat memiliki efek samping yang berbeda-beda, seperti terlihat pada tabel dibawah ini: Trisiklik
Sedasi
Mengantuk, efek aditif dengan obat sedatif lain
Simpatomimetik
Tremor, insomnia
Antimuskarinik
Penglihatan kabur, konstipasi, sukar kencing,
Kardiovaskular
bingung
Psikiatri
Hipotensi ortostatik, gangguan konduksi, aritmia
Neurologi
Psikosis bertambah berat, sindrom putus obat
Metabolik-endokrin
Kejang-kejang Tambah berat, gangguan seksual Tabel 1.1 efek samping
4. Anticonvulsant Antikonvulsi atau anti kejang merupakan obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati stimulant epilepsy (epiletiseizure) dan stimulan non epilepsy. Bromida merupakan obat pertama yang digunakan untuk terapi epilepsy dan telah ditinggalkan karena temuan obat antiepilepsi lain yang lebih efektif. Fenobarbital diketahui mempunyai efek antikonvulsi spesifik, tidak berkaitan langsung dengan efek hipnotik. Di Indonesia fenobarbital masih digunakan sementara di Negara lain mulai ditinggalkan. Fenitoin (definilhidantoin) sampai saat ini masih tetap menjadi obat utama antiepilepsi khusunya untuk stimulan parsial. Di samping itu karbamazepin semakin banyak digunakan karena efek samping fenitoin yang lebih besar antara lain menyebabkan hipertrofi gusi. Mekanisme Kerja Obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi dan penyebaran kejang dan bersifat membatasi proses penyebaran kejang. Secara umum mekanismenya terbagi menjadi 2 : pengingkatan inhibisi dan penurunan eksitasi yang kemudian memodifikasi konduksi ion Na+, Ca2+ K+ dan Cl- atau aktivitas neurotransmitter. Aktivitas neurotransmitter meliputi : a. Inhibisi kanal Na+ pada membrane sel akson, contohnya fenitoin dan karbamazepin (pada dosis terapi), fenobarbital dan valproat (dosis tinggi), lamotrigin, topiramat, zonisamid
b. Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron thalamus (yang berperan sebagai facemaker untuk membangkitkan kejutan listrik di korteks), contoh etosuksimid, asam valproat, clonazepam. c. Peningkatan inhibisi GABA 1) Langsung pada kompleks GABA dan kompleks Cl-, contoh benzodiazepine, barbiturate 2) Menghambat degradasi GABA yaitu dengan mempengaruhi peningkatan dan metabolism GABA. Contoh : tiagabin, asam valproat, gabapentin 3) Penurunan eksitasi glutamate, melalui : blok reseptor NMDA (missal lamotrigin), blok reseptor AMPA (missal fenobarbital, topiramat)
Farmakokinetik dan Farmakodinamik a. Farmakokinetik Obat antiepilepsi umumnya dimetabolisme di hati, kecuali vigabatrin dan gabaventin
yang dieliminasi
oleh ekskresi
ginjal.
Fenitoin
mengalami
metabolisme hepar yang tersaturasi. Absorbsi fenitoin yang diberikan secara oral berlangsung lambat. 10% obat akan dieksresi bersama feses. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 3-12 jam. Biotransformasi oleh enzim mikrosom hati sudah mengalami kejenuhan pada kadar terapi sehingga peninggian dosis fenitoin akan meningkatan kadar fenitoin dalam serum sehingga bisa menyebabkan toksisitas. Sebagian besar metabolit fenitoin akan dieksresi bersama empedu kemudian mengalami reabsorpsi, absorpsi, dan biotranformasi lanjut, selanjutnya diekskresi melalui ginjal. Di ginjal metabolit mengalami sekresi oleh tubuli. b. Farmakodinamik Sifat antikonvulsi fenitoin didasarkan pada penghambat dan penjalaran rangsangan dari focus ke bagian otak lain. Efek stabilisasi membrane sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membrane sel lainnya yang juga mudah terpacu, misalnya sel sistem konduksi di jantung. Fenitoin mempengaruhi berbagai sistem fisiologik, dalam hal ini khususnya konduksi Na+, K+, Ca2+, neuron potensial membrane, dan neurotransmitter. Indikasi
a) Fenobarbital : epilepsy, semua jenis, kecuali petit mal, status epileptikus. b) Valium (Diazepam) : status epileptikus, konvulsi akibat keracunan. c) Clonazepam
: epilepsi semua jenis, termasuk petit mal, mioklonus, status
epileptikus. d) Asam Valproat e) Fenitoin
: epilepsi, semua jenis epilepsi.
: Untuk mengontrol kejang, seperti pada kondisi epilepsi atau
kondisi kejang yang terjadi selama prosedur operasi otak. f) Karbamazepin : Epilepsi semua jenis,kecuali petit mal, neuralgia trigeminus; propilaksis pada manik depresif. Kontraindikasi a) Fenobarbital
: depresi pernapasan berat, porfiria.
b) Valium (Diazepam) : depresi pernapasan berat, insufisiensi pulmoner akut, status fobi/obsesi, pikosis kronik, porfiria. c) Clonazepam
: depresi pernapasan berat, insufisiensi pulmoner akut, porfiria.
d) Asam Valproat
: penyakit hati aktif, riwayat disfungsi hati berat dalam
keluarga, porfiria. e) Fenitoin
: wanita hamil.
f) Karbamazepin : Hipersensitif terhadap karbamazepin, antidepresan trisiklik, atau komponen sediaan; depresi sumsum tulang belakang; (Lexi-Comps Drug Information Handbook p. 269)
Efek Samping a) Fenobarbital : mengantuk, letargi, depresi mental, ataksia, nistagmus, irritabel dan hiperaktif pada anak, agitasi, resah dan bingung pada usia lanjut, reaksi alergi pada kulit, hipoprotom bunemia, anemia megaloblastik. b) Valium (Diazepam) : mengantuk, pandangan kabur, bingung, ataksia (pada usia lanjut), amnesia, ketergantungan. Kadang nyeri kepala, vertigo, hipotensi, gangguan salivasi dan saluran cerna, ruam, perubahan libido, retensi urin c) Clonazepam : lelah, mengantuk, pusing, hipotoni otot, gangguan koordinasi gerak, hipersalivasi pada bayi, agresi, iritabel dan perubahan mental, jarang gangguan darah, abnormalitas fungsi hati. d) Asam Valproat : badan terasa capai, mual, muntah, dan diare, berat badan bertambah, tremor, trombositopenia ringan, dan peningkatan enzim – enzim
hepatik. Sewaktu terapi dengan depakene hendaknya dipantau jumlah trombosit dan fungsi hati. e) Fenitoin : penurunan fungsi koordinasi, gangguan kondisi mental, gugup, masalah dengan pernafasan, berbicara, menelan, gemetar. f) Karbamazepin : Biasanya dihubungkan dengan hipermagnesemia, mual, muntah, haus, flushing kulit, hipotensi, aritmia, koma, depresi nafas, ngantuk, bingung, hilang refleks tendon, lemah otot, kolik dan diare pada pemberian oral.
a. Muscle Relaxant b. Anestesi lokal topikal & sistemik
Gambar 1.2 pemberian farmakologis menurut skala nyeri (WHO)
Gambar 1.3 skema blok farmakologis nyeri
Intervensi Nonfarmakologi 1. Psikologis Behavioral a. Distraksi Distraksi yaitu cara atau terapi untuk mengalihkan perhatian dari sumber nyeri atau ketidaknyamanan ke hal yang lebih menyenangkan. Pasien, keluarga, dan perawat sering kali menggunakan distraksi
secara rutin tanpa terlalu
mempertimbangkannya.
cara
Caranya
dengan
mengawali
dengan
sebuahpercakapan kepada pasien selama suatu prosedur yang tidak nyaman, menonton TV dan kunjungan keluarga semuanya adalah sumber dikstraksi yang sempurna. b. Modifikasi lingkungan Pada perawatan kritis, perawatan modifikasi lingkungan termsuk perawatan yang dasar. Kebisingan dan cahaya yang berlebihan diruangan dapat mengganggu tidur
dan
meningkatkan
kecemasan
dan
kegelisahan,
yang
kemudian
menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan. Modifikasi lingkungan bisa dilakukan dengan cara memutar musik yang digemari pasien. c. Teknik relaksasi Latihan relaksasi melibatkan fokus berulang pada kata, frase, doa atau aktifitas muskular dan upaya sadar untuk menolak pikiran lain yang menyusup. Relaksasi dapat memeberikan rasa kendali pada pasien terhadap bagian tubuh tertentu.
Kebanyakan metode ini membutuhkan lingkungan yang tenang, posisi nyaman, sikap pasif, dan konsentrasi. d. Sentuhan Sentuhan pada pasien dapat memberikan rasa nyaman sendiri, pasien merasa diperhatikan. Pengaruh sentuhan dilingkungan klinis sangatlah luas. Sentuhan berperan penting dalam meningkatkan dan mempertahankan orientasi realita pada pasien yang bingung mengenai idenifikasi waktu, tempat dan orang. Sentuhan dapat mengurangi rasa cemas, takut, depresi, atau isolasi. Selain itu bermanfaat bagi pasien yang kesulitan menyatakan kebutuhan, dioreintasi, tidak berespon, atau sakit terminal. e. Massase Masase merupakan intervensi yang baik yang digunakan anggota keluarga guna memberikan kenyamanan bagi orang yang sakit kritis.
2. Rehabilitasi Fisik a. Terapi panas – dingin Efek fisiologi tubuh yang terjadi akibat kompres panas dan dingin menurut Audery Berman dkk, yaitu sebagai berikut: Kompres panas
Kompres dingin
Vasodilatasi
Vasokontriksi
Meningkatkan permeabilitas kapiler
Menurunkan permeabilitas kapiler
Meningkatkan metabolisme selulas
Menurunkan metabolisme selular
Merelaksasi otot
Merelaksasi otot
Menigkatkan inflamasi, meningkatkan
Memperlambat pertumbuhan
aliran darah ke suatu area
bakteri, mengurangi inflamasi
Meredakan nyeri dengan merelaksasi otot
Meredakan nyeri dengan membuat area menjadi mati rasa, memperlambat aliran impuls nyeri, dan menigkatkan ambang nyeri
Efek sedatif
Efek anastesi lokal
Mengurangi kekakuan sendi dengan
Meredakan perdarahan
menurunkan viskositas cairan senovial
b. Acupunture Akupunktur adalah metode pengobatan yang mendorong tubuh untuk meningkatkan kesehatan dan mengurangi rasa sakit dan penderitaan. Hal ini dilakukan dengan menusukkan jarum dan menerapkan panas atau stimulasi listrik pada titik-titik akupunktur yang tepat. Metode ini mungkin tampak aneh dan misterius bagi banyak orang, namun telah teruji oleh waktu selama ribuan tahun dan berlanjut hingga hari ini. Akupunktur memandang kesehatan dan penyakit berdasarkan pada konsep “energi vital,” “keseimbangan energik” dan “ketidakseimbangan energik.” Seperti halnya dokter medis Barat memonitor darah yang mengalir melalui pembuluh darah dan arus informasi melalui sistem saraf, ahli akupunktur menilai aliran dan distribusi dari “energi vital” di jalur-jalurnya, yang dikenal sebagai “meridian dan saluran”. Menurut pengobatan tradisional Cina (TCM), saluran energi berjalan dalam pola teratur melalui tubuh dan permukaannya. Saluran energi ini, yang disebut meridian, seperti sungai yang mengalir melalui tubuh untuk mengairi dan memelihara jaringan. Sebuah hambatan dalam aliran sungai energi ini akan mengganggu tingkat kesehatan tubuh. Meridian dapat dipengaruhi dengan tusuk jarum di titik-titik akupunktur. Jarum akupunktur membuka blokir penghalang di bendungan dan membangun kembali aliran teratur melalui meridian. Oleh karena itu pengobatan akupunktur dapat membantu organ-organ internal tubuh untuk memperbaiki ketidakseimbangan dalam pencernaan, penyerapan, dan kegiatan produksi dan sirkulasi energi
3. Blok saraf / neurologis a. Blok saraf (Perifer/pleksus/ganglion) b. Blok saraf simpatis c. Blok saraf epidural d. Injeksi sendi (Facet/SI joint) e. Epidurolisis
4. Neuromodulasi & Implantable drug Delivery System : a. Periferal nerve stimulator b. Spinal chord stimulator
Tabel 1.2 standar dan panduan nasional terkait dengan penatalaksanaan nyeri Lembaga atau sumber
Standart atau
Isi
panduan Panduan AHCR berkembang dari 4 tujuan
Agency for Health Care
Acute Pain
Research and Quality
Management
utama
(AHRQ) dulu dikenal
Operative and
1. Mengurangi insiden dan keparahan nyeri
sebagai Agency for
Medical Procedurs
Health care Policy and
and Trauma Clinical
Research (AHCPR)
Practice Guidllnes
mengenai perlunya mengomunikasikan
No : 1 United States
nyeri yang tidak mereda sehingga mereka
Department Of
bisa mendapatkan evalusi dengan cepat dan
Health and Human
penanganan yang efektif
Services (1992)
pascaoperatif dan pascatraumatik akut 2. Memberikan penyuluhan kepada pasien
3. Meningkatkan kenyamanan dan kepuasan pasien 4. Mmembantu mebgurangi komplikasi pascaoperatif dan pada beberapa kasus memperpendek masa inap dirumah sakit setelah prosedur pembedahan Mendorong pendekatan interdisiplin dan proaktif terhadap penatalksanaan nyeri dengan keterlibatan pasien dan keluarga, menggabungkan intervensi farmakologis maupun nonfarmakologis dengan rekomendasi spesifik berdasarkan penelitian. Digunakan secara luas diseluruh Amerika Serikat dan negara lain untuk mengarahkan penatalaksanaan nyeri di perawatan klinis, serta diberbagai tatanan perawatan akut dan populasi lainnya.
Society of Critical Care
Clinical Practice
Disusun oleh panel nasional yang terdiri atas
Medicine (SCCM) dan
Guiedlines for the
para ahli dalam bidang kedokteran klinis,
American Society of
Sustained Use of
keprawwatan klinis,farmasi. Yang mecakup
Health System
Sedatives and
ringkasan dan rekomendasi penelitian terbaru
Pharmacists (ASHP)
Analgesics in the
yang terkait analgesia dan serdasi khususnya
Critically. Adult
pada populasi sakit kritis. Ringksan tersebut
(2002)
berisi
28
rekomendasi
eksplisit
yang
ditujukan pada pasien sakit kritis yang meliputi hal berikut : 1. Pasien melakukan standar pengkajian nyeri yangpalig andal dan sekala penilaian angka
harus
digunakan
apabila
memungkinkan 2. Dosis yang tejadwal atau infus continue opioid lebih dipilih dari pada instruksi “ sesuai kebutuhan “ atau PRN 3. Fentanil, hidromorfon, dan morfi adalah obat- obatan pilihan untuk analgesik opioid intravena 4. Fentanil lebih dipilih untuk awitan cepat analgesia pada pasien yang mengalami distres akut 5. Serdasi pada pasien yang agitasi harus diberikan
hanya
setelah
pemberian
analgesia yang adekuat 6. Lorazepam dianjurkan untuk sedasi pada sebagian besar pasien mengalami infus intravena interminten atau continue 7. Midazolam atau diazepam harus digunakan untuk sedasi cepat pda pasien agitsi akut 8. Haloperidol adalah agens pilihan untuk penanganan derilium Menguatkan hak apsien untuk mendapatkan
Joint Comission on
JCAHO Standart on
Accreditation of
Pain
Management
pengakjian dan penangkalan pelaksanaan
HealthCare
for Accreditation of
nyeri yang tepat. Memperkuat hak ini dengan
Organization (JCAHO)
Health
–Care
mengharuskan rumah sakit dan fasilitas
Organitations
perawatan kesehatan lainnya untuk :
(Implemented-
1. menempatkan peredaran nyri sebagai
Januari, 2001)
prioritas 2. mengkaji tiap psien pada saat msuk rumah sakit
dan
kemudian
secara
teratur
mengkaji ulang pasien yang mengalami nyeri atau cenderung mengalami nyeri. Pengkajian intensitas
nyeri
harus
mencakup
:
nyeri dengan mengguaakan
skala penilaian, lokasi, kualitas, karakter, awitan, durasi dan pola nyeri ; faktorfaktor yang memperburuk dan meredakan : regimen saat ini dan efektifitasnya ; riwayat nyeri; efek nyeri pada aktifitas harian; pemeriksaan pada tiap tempat yang terasa nyeri; tujuan atau harapa pasien terhadap pengendalian nyeri 3. memberikan pendidikan pada staf untuk memasytikan kompetensi penatalaksanaan nyeri 4. memberikan penyuluhan kepada pasien bahwa
penatalaksanaan
nyeri
adalah
bagian penting bagi perawatannya 5. memberikan penyulhan kepada pasien dan keluarga mengenai peran mereka dalam pengelolaan nyeri 6. memadukan budaya yang relevan, spiritual, dan etnik yang relevan dari tiap pasien terkait dengan nyeri mereka 7. memasukkan penatalaksanaan nyeri dalam alur klinis, pemindahan, dan rencana pemulangan 8. mengukur kepuasan pasien dan hasil lain
dari
proses
perbaikan
aktifitas
guna
mningkatkan penatalksanaan nyeri American Pain Society
Priciples
of
Buklet ukuran saku terdiri atas 64 halaman
(APS)
Analgesic Use in the
ini, disusun oleh panel nasional yang terdiri
Treatment of Acute
dari para ahli APS, dapat digunakan sebagai
Pain
Cancer
instrumen acuan klinis untuk memilih dan
Pain (4th Ed) (1999)
memberikan analgesik non opioid dan opioid
and
dan tambahan analgesik dalam berbagai situasi perawatan pasien. Buku ini juga mecakup
himpunan
penelitian
terbaru
mengenai analgesik dan konsesus pendapat para ahli dalam analgesik.
Alur Tatalaksana Nyeri 1. Pengertian Tatalaksana nyeri oleh perawat adalah memeberikan tatalaksana nyeri non farmakologis atau dengan obat – obatan analgesia dengan persetujuan DPJP sesuai dengan penilaian derajat nyeri dan kebutuhan pasien sehingga pasien bebas dari rasa nyeri atau dengan rasa nyeri yang seminimal mungkin.
2. Tujuan Tujuan dari tatalaksana adalah melakukan tatalaksana terhadap pasien secara cepat, tepat dan tanggap sesuai dengan penilaian derajat nyeri dan kebutuhan pasien. Mengatasi nyeri yang dialami pasien sehingga pasien bebas dari nyeri atau meminimalkan rasa nyeri yang dialami oleh pasien.
3. Penatalaksanaan Nyeri a. DPJP b. Perawat ruangan c. Tim tatalaksana nyeri anastesi 1) Penanggung jawab : Dr. Sp. Anastesi / KMN / Pain Interventionist 2) Pelaksana : perawat nyeri dan penata anastesi (paska pembedahan)
Gambar 1.4 Tata Laksana Alur Nyeri
4. Protokol Pengkajian Nyeri a. Derajat Ringan 1) Kaji tiap 8 jam 2) Edukasi tentang penanganan nyeri pada pasien dan keluarga 3) Intervensi mandiri keperawatan seperti thnik distraksi, musik dan nafas dalam
b. Derajat Sedang 1) Kaji ulang tiap 2 jam sampai nyeri VAS = 4 2) Lakukan intervensi sama dengan nyeri ringan 3) Kolaborasi dengan DPJP dan lakukan tatalaksana nyeri oleh tim manajemen nyeri
c. Derajat Berat 1) Kaji tiap 1 jam sampai dengan skala nyeri berkurang 2) Lakukan intervensi sama dengan nyeri
5. Prosedur / tehnik penatalaksanaan nyeri oleh perawat a. Nyeri Ringan (VAS <4/10, FLACC <4/10, BPS<6/12, newton <8/12) : 1) Terapi nonfarmakologis : comforting, distraction, relaxation, massage dan sentuhan, guided imagery/visualization. 2) Bila perlu dengan persetujuan DPJP, pasien dapat diberikan Non Steroidal anti Inflammatory Drugs (NSAID) atau paracetamol sesuai dengan keadaan pasien. 3) Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai nyeri. 4) Informasikan pasien mengenai pilihan terapi non farmakologis dan farmakologis dan pasien berhak memilih satu atau kedua jenis terapi tersebut. 5) Kaji ulang nyeri setiap 8 jam.
b. Nyeri Sedang (VAS4-6, FLACC 4-6, BPS 6-8, Newton 8-12) 1) Bila pasien adalah pasien dari tim tatalaksana nyeri, perawat melaporkan ke tim tatalaksana nyeri. 2) Bila pasien bukan pasidn dari tim tatalaksana nyeri, perawat melaporkan ke DPJP untuk tatalaksana nyeri.
3) Sesuai keadaan pasien, pasien dapat diberikan NSAID, paracetamol, opioid lemah (setelah persetujuan DPJP atau tim tatalaksana nyeri). 4) Bila nyeri masih ada, konsultasikan ke tim tatalaksana nyeri. 5) Terapi nonfarmakologis : comforting, distraction, relaxation, massage dan sentuhan, guided imagery/Pr kepada pasien oleh perawat.
6. Prosedur / tehnik penatalaksanaan nyeri pada pasien end of life care / terminal : a. Manajemen nyeri bisa melalui 2 cara, yaitu : 1) Farmakologis Melalui obat-obatan analgesia,sedasi, dan obat-obatan tambahan yang dapat mengurangi ketidaknyamanan. secara umum obat-obatan narkotik untuk menghilangkan nyeri, benzodiazepam untuk agitasi dan ansietas. 2) Non farmakologis Memastikan adanya pendamping baik keluarga, teman atau pemuka agama sesuai yang dianut pasien. Menyesuaikan ruang rawat pasien agar lebih tenang dan privasi pasien dapat terjaga. Perawatan sehari – hari oleh perawat dan terakomodasinya pasien untuk menjalankan agama dan kepercayaan.
b. Penentuan dosis awal berdasarkan : 1) Paparan pasien terhadap terapi narkotik sebelumnya karena toleransi dapat muncul dengan cepat. 2) Umur 3) Riwayat penyalahgunaan obat dan alkohol sebelumnya 4) Penyakit yang diderita 5) Adanya gangguan organ yang dialami pasien 6) Tingkat kesadaran pasien 7) Ketersediaan dukungan psikologis dan spiritual 8) Keinginan pasien terhadap pemberian sedasi
c. Titrasi obat
LAMPIRAN FORMULIR CATATAN DAN PENGKAJIAN PASIEN NYERI
Gambar 1.5 Formulir Pengkajian Pasien Nyeri
Gambar 1.6 Formulir Pengkajian Pasien Nyeri
Gambar 1.7 Formulir Pengkajian Pasien Nyeri
Gambar 1.8 Formulir Pengkajian Pasien Nyeri
Gambar 1.9 Formulir Pengkajian Pasien Nyeri
DAFTAR PUSTAKA Cornacchio ALP. Burneo JG. Aragon CE. The Effects of Antiepileptic Drugs on Oral Health. J Can Dent Assoc 2011;77;b140 https://docs.google.com/document/d/1k9SYobmVeZcr7V6KEejPfKATlymEmn3tb4RokUuV6Q/edit#heading=h.gjdgxs