P4

  • Uploaded by: tommy
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View P4 as PDF for free.

More details

  • Words: 6,159
  • Pages: 35
1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kemerdekaan bangsa tidak berarti hanya sekedar perginya kaum penjajah, tetapi kembalinya tugas juga tanggung jawab untuk melaksanakan pemerintahan diri sendiri, memajukan dan menyejahterakan bangsa. Untuk memajukan dan menyejahterakan bangsa maka pemerintah Indonesia selalu berusaha meningkatkan pembangunan disegala bidang, baik bidang politik, pendidikan, ekonomi, sosial budaya, yang mana pembangunan itu dilaksanakan ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, termasuk juga organisasi kecamatan sebagai pelaksana pembangunan di tingkat daerah. Organisasi kecamatan mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tidak kalah pentingnya dengan pemerintah pusat, dalam usaha mewujudkan tujuan

Nasional

Negara

Indonesia,

sebagaimana

tercantum

dalam

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi : membentuk pemerintah Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. (Pembukaan undang-undang Dasar 1945 al.4) Untuk mewujudkan tujuan Nasional itu harus ada kerjasama yang baik antara pemerintah pusat maupun dengan pemerintah daerah juga masyarakat. Biarpun program pemerintah terencana dengan baik tetapi masyarakat tidak mendukung maka tidak mungkin program-program pemerintah akan terlaksana dengan baik. Dengan tugas dan tanggung jawab yang begitu berat

2

maka kantor Kecamatan harus memiliki aparat yang benar-benar berkualitas baik, sehingga di harapkan dapat memperlancar tercapainya tujuan pembangunan secara efektif dan efesien. Kedudukan dan peranan pegawai/pegawai negeri sipil dalam setiap negara adalah sangat penting dan sangat menentukan. Karena pegawai adalah unsur aparatur pelaksana kebijakan publik dalam mencapai tujuan nasional di masing-masing negara. Dalam dunia kemiliteran ada ungkapan “ bukan senjata yang penting, melainkan orang yang menggunakan senjata itu“. Ini berarti bahwa peralatan senjata yang canggih sekalipun, tidak ada gunanya, kalau orang tidak mempunyai sifat juang tinggi, sikap tempur yang berani, tidak jujur, loyalitas yang rendah, dan jiwa pengabdian kepada nusa dan bangsa yang rendah. Dari ungkapan diatas, juga berlaku bagi pegawai negeri sipil bahwa “ bukan meja yang mengkilap, kursi yang empuk, gedung yang megah, melainkan manusia yang duduk dibelakang meja, itulah yang sangat menentukan “. Meskipun pegawai dilengkapi berbagai fasilitas, namun tidak mempunyai arti apa-apa, manakala manusia/pegawai tidak mempunyai sifat jujur, kemampuan intelektual yang rendah, semangat kerja yang rendah, terlebih tidak mempunyai jiwa pengabdian terhadap korps. Demikian sebaliknya, walaupun fasilitas yang disediakan sangat sederhana sekalipun, namun manusia/pegawai mau dan mampu meningkatkan ketrampilannya, bersifat jujur, semangat kerja yang tinggi, mempunyai rasa tanggung jawab, niscaya tugas-tugas yang diemban akan dapat diselesaikan dengan baik.

3

Demikianlah betapa pentingnya kedudukan dan peranan pegawai negeri sipil di negara kita, karena pegawai adalah unsur aparatur pemerintah, abdi negara dan abdi masyarakat dalam usaha mencapai tujuan nasional. Tujuan nasional dengan tegas di cantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke-4 yang berbunyi sebagai berikut : Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional untuk mewujudkan tujuan nasional, sangat dibutuhkan adanya pegawai negeri sipil yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah. Untuk mewujudkan pegawai negeri sipil yang dimaksud diatas, maka pegawai negeri sipil

perlu dibina sebaik-baiknya untuk

kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan dalam rangka mewujudkan masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mendapatkan respon yang baik dari masyarakat, kantor kecamatan harus dapat memberikan pelayanan yang berkualitas. Menurut kamus umum Bahasa Indonesia pelayanan didefinisikan sebagai suatu perbuatan (cara hal) melayani (WJS. Poerwadarminta, 1976 : 573). Memasuki era globalisasi ini, konsep kualitas tampaknya menjadi suatu hal yang selalu berkait dengan era ini. Perbincangan dan diskusi tentang kualitas ini tidak saja hanya terbatas pada kalangan ekonomi tetapi juga dilakukan oleh banyak kalangan seperti akademis, birokrasi dan bahkan masyarakat awam. Kualitas ini tidak hanya

4

merujuk terhadap kualitas dalam artian ekonomis tetapi juga mencakup segala aspek. Dalam penelitian ini kualitas pelayanan akan dilihat pada dua faktor yaitu faktor motivasi kerja dan disiplin kerja. Motivasi kerja sangat mempengaruhi kualitas pelayanan karena dengan motivasi kerja yang tinggi seorang pegawai akan mampu bekerja lebih bersemangat sehingga semua tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya akan dapat diselesaikan. Disiplin kerja juga mempengaruhi kualitas pelayanan karena jika para pegawai dapat bekerja dengan disiplin maka tidak akan terjadi pelanggaran terhadap aturan kerja. Dengan adanya disiplin kerja para pegawai akan mamanfaatkan waktu kerja dengan sebaik-baiknya. Berangkat dari pemikiran, bahwa manusia menjadi faktor yang dominan dalam setiap kehidupan berorganisasi, penyusun mengadakan penelitian pada Kantor Camat Kasihan, Kabupaten Bantul. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul nomor 55 tahun 2000 tentang pembentukan dan organisasi kecamatan se-kabupaten Bantul, bahwa Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah Kabupaten Klaten. Camat mempunyai tugas memimpin

penyelenggaraan

pemerintahan,

pembangunan,

dan

kemasyarakatan dalam wilayah kecamatan dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah. Untuk menyelenggarakan tugas-tugas tersebut Camat mempunyai fungsi sebagai berikut : a. Penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan umum dan pembinaan keagrariaan. b. Pembinaan pemerintahan desa/kelurahan.

5

c. Pembinaan ketentraman dan ketertiban wilayah. d. Pembinaan

pembangunan

yang

meliputi

pembinaan

perekonomian, produksi dan distribusi serta pembinaan sosial. e. Penyusunan

rencana

pengendalian

dan

evaluasi

pelaksanaannya. f.

Penyusunan program dan pembinaan pembangunan sarana dan prasarana serta pembinaan pelayanan umum dalam rangka meningkatkan pertumbuhan perekonomian, produksi dan distri busi.

g. Penyusunan program dan pembinaan kesejahteraan sosial. h. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh bupati sesuai dengan bidang tugasnya. Oleh karena itu Pemerintah Kecamatan merupakan ujung tombak dan mempunyai andil yang cukup besar terhadap pembangunan nasional. Maka sasaran penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Camat Kasihan Kabupaten Bantul.

B. Perumusan Masalah Berdasarkan pada uraian tersebut diatas yang menjadi permasalahan dalam kegiatan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Adakah pengaruh antara motivasi kerja dan disiplin kerja terhadap kualitas pelayanan“.

6

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan a. Untuk mengetahui pengaruh antara motivasi kerja terhadap kualitas pelayanan. b. Untuk mengetahui pengaruh antara disiplin kerja terhadap kualitas pelayanan. c. Untuk mengetahui pengaruh antara motivasi kerja dan disiplin kerja terhadap kualitas pelayanan. 2. Manfaat penelitian a.

Memahami, mengevaluasi prosedur dan proses pelayanan di kantor kecamatan Kasihan.

b.

Memberikan masukan kepada Kecamatan Kasihan dalam prosedur pelayanan.

D. Kerangka Teori Kerangka dasar pemikiran disajikan untuk menyesuaikan serta menjelaskan keterkaitan variabel-variabel yang terkandung

dalam suatu

penelitian yang mendasarkan pada teori-teori yang telah ada. Di dalam suatu penelitian teori merupakan suatu hal amat penting, sehingga permasalahan yang diteliti tidak menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan. Dengan uraian teori berfungsi sebagai landasan di dalam penelitian, seperti yang diungkapkan oleh Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi sebagai berikut : “ Teori merupakan informasi ilmiah yang diperoleh dengan meningkatkan observasi, pernyataan maupun hubungannnya pada satu proporsi atau lebih. Dengan kata lain meramalkan

7

konservasi logis dari hubungan-hubungan antara variabel bebas dan terikat “ ( Masri Singarimbun, Sofyan Effendi, 1995 : 26 ) Dengan mendasarkan pada teori yang telah ada pembahasan lebih lanjut penulis menyusun kerangka teori sebagai berikut : 1. Kualitas Pelayanan Menurut W.J.S. Poerwodarminta “Pelayanan” berasal dari kata dasar layan, melayani, menyediakan sesuatu yang diperlukan orang lain, atau pe (e) layanan artinya melayani (1976 : 573). Selanjutnya Dj. Schwarts yang disadur Sumantri Martodipuro menyatakan bahwa service (pelayanan) adalah memberikan kepada orang apa yang diharapkan (1978 : 255). Sementara itu A.S. Moenir mendefinisikan

pelayanan

sebagai sesuatu proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung (1995 : 16-17). Dari pendapat-pendapat di atas pelayan dapat

diartikan

sebagai tindakan

atau

perbuatan

melayani

atau

menyediakan apa yang diperlukan orang lain. Dalam mendefinisikan pelayanan ini sering dikaitkan dengan jasa bahkan ada yang menyamakan istilah pelayanan ini dengan jasa, seperti yang ditulis oleh Philip Kotler dalam J. Supranto (1997 : 227) sebagai berikut : A service in any act or performance that one party can offer to another they is essentially entangibles and does not result in the ownership of anything. It’s production may or may be not be tied to physicial. (Jasa atau pelayanan adalah setiap kegiatan/manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain dan pada dasarnya tidak berujud serta tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Proses

8

produksinya mungkin dan mungkin juga tidak dikaitkan dengan sesuatu produk fisik). Sedangkan Fandy Tjiptono (1997 : 23) mengartikan jasa atau service adalah, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual, contoh

:

bengkel,

reparasi,

kursus,

lembaga

pendidikan,

jasa

telekomunikasi, transportasi dan lain-lain. Kotler et al (1996) dalam Fandy Tjiptono (1997 : 24) mendefinisikan jasa sebagai setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible (tak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Jasa atau pelayanan merupakan suatu kinerja penampilan, tidak berujud dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan daripada dimiliki, serta pelanggan lebih dapat berpartisipasi aktif dalam proses menkonsumsi jasa tersebut. Pengertian pelayanan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan kepada masyarakat umum atau pelayanan umum/pelayanan publik. Dari beberapa pendapat di atas pelayanan umum berarti pelayanan yang diberikan kepada masyarakat umum, kepada seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali, bukan kepentingan khusus dan setiap individu, juga bukan golongan yang ada dalam masyarakat. A.S. Moenir (1995 : 26) mengartikan pelayanan umum adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memnuhi kepentingan orang lain dengan haknya.

9

Pelayanan yang baik selalu didambakan oleh masyarakat. Adapaun kriteria pelayanan masyarakat yang baik berdasarkan keputusan Menneg Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang pedoman tata laksana pelayanan umum, bahkan pelayanan umum harus diatur dalam suatu tata laksana yang mengandung sendi-sendi : 1. Kesederhanaan, dalam arti prosedur/tatacara pelayanan umum diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit serta mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan. 2. Kejelasan dan kepastian, dalam arti ada kejelasan dan kepastian: - Prosedur/tata cara pelayanan umum - Persyaratan pelayanan umum, baik tehnis ataupun administratif - Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum - Rincian biaya / tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya. - Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum - Hak dan kewajiabn baik bagi pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan, kelengkapannya sebagai alat untuk memastikan pemrosesan pelayanan umum. - Pejabat yang menerima keluhan masyarakat. 3. Keamanan, dalam arti proses serta hasil pelayanan umum harus dapat memberi keamanan dan kenyamanan dan dapat memberi kepastian hukum. 4. Keterbatasan, dalam arti prosedur atau tatacara, persyaratan, satuan kerja atau pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya atau tarif serta halhal yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat baik itu dimintai maupun tidak dimintai. 5. Efisien, dalam arti: - Persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan. - Dicegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan persyaratan dalam hal proses pelayanannya

10

mempersyaratkan kelengkapan persyaratan dari satuan kerja atau instansi permerintah lain yang terkait. 6. Ekonomi, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan : - Nilai barang dan jasa pelayanan umum masyarakat dan tidak menuntut biaya yang terlalu tinggi diluar kewajaran. - Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum. - Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7. Keadilan yang merata, dalam arti cukup atau jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlukan secara adil bagi semua masyarakat. 8. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum pada masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. (Soedarjo, B.W., 1994 : 504-505). Kedelapan kriteria tersebut berkaitan dengan mutu atau kualitas suatu pelayanan umum. Selain itu Soedarjo, B.W, juga menjelaskan hakekat pelayanan umum adalah meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah di bidang pelayanan umum. Jadi pelayanan umum yang baik juga harus memperhatikan produktivitas atau persyaratan kuantitas, dalam hal ini adalah jumlah masyarakat yang dilayani. Dalam pelayanan ini maka ada pihak-pihak yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Sondang P. Siagian (1983 : 134) dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, aparatur pemerintah seyogyanya berpegang teguh pada sikap, tindakan serta perilaku sebagai berikut : -

Dasar hukumnya jelas

11

-

Hak dan kewajiban warga negara yang dilayani dinyatakan terbuka

-

Bentuk akhir pelayanan diketahui dan disepakati bersama

-

Pelayanan diberikan dengan cermat, akurat dan obyektif

-

Interaksi berlangsung secara rasional dan obyektif

Menurut A.S. Moenir (1995 : 198-199), agar layanan yang diberikan dapat memuaskan orang atau sekelompok orang yang dilayani, maka petugas harus dapat memenuhi 4 persyaratan pokok yaitu : - Tingkah laku yang sopan -

Cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh yang bersangkutan. - Waktu menyampaikan yang tepat - Keramahtamahan

Pelayanan atau jasa yang diberikan tentunya harus memperhatikan kualitas untuk meningkatkan kepuasan konsumen. Kualitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989 : 467) diartikan sebagai tingkat baik buruknya sesuatu atau derajat/taraf (kepandaian, kecakapan, mutu dan lain-lain). Menurut Montgomer dalam J. Supranto (1997 : 2) mendefinisikan kualitas sebagai berikut : Quality is the extent to which products meet the requremenyts of people who use them. (kualitas adalah suatu peningkatan yang mana produk-produk memenuhi kebutuhan orang-orang yang memakai).

12

Kualitas mengandung banyak definisi dan makna, orang

yang

berbeda akan mengartikannya secara berlainan. Beberapa definisi yang kerap kali dijumpai adalah : - Kesesuaian dengan persyaratan tuntutan - Kecocokan untuk pemakaian (fitnes for use) - Perbaikan/penyempurnaan berkelanjutan - Bebas dari kerusakan/cacat -

Pemenuhan kebutuhan pelanggan semenjak awal dan setiap saat - Melakukan segala sesuatu secara benar semenjak awal

-

Sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan (Fandy Tjiptono, 1997 : 2).

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenihi atau melebihi harapan konsumen. Kualitas suatu jasa bisa dilihat dari tingkatan kepuasan konsumen menurut Oliver (1980) dalam K. Supranto (1997:233) kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja/hasil yang dirasakannya dengan harapannya. Jadi tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja di bawah harapan maka konsumen akan puas. Sementara itu Day dalam Tse dan Wilyon (188) yang dikutip Fandy Tjiptono (1996 : 146)

13

mengartikan kepuasan/ketidakpuasan pelanggan sebagai respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian atau diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. Harapan pelanggan terhadap diartikan sebagai perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya bila ia membeli atau mengkonsumsi suatu produk barang atau jasa. Kinerja yang dirasakan adalah persepsi pelanggan terhadap apa yang ia terima setelah mengkonsumsi produk yang dibeli. Dalam memberikan suatu jasa maka ada kontak personal yang sangat penting dalam menentukan kualitas jasa, yaitu suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan yang mencakup hal-hal sebagai berikut : kecepatan, ketepatan, keramahan, kenyamanan (Elhaitmamu dalam Fandy Tjiptono, 1996 : 58-59). Berdasarkan komponen-komponen di atas bahwa output jasa dan penyampaiannya merupakan faktor-faktor yang dipergunakan dalam menilai kualitas jasa. Groon roos (1983) dalam Fandy Tjiptono (1996 : 98) mengemukakan tiga dimensi kualitas jasa yaitu : - Tehnical

Quality (berkaitan dengan yang diterima pelanggan)

- Functional

Quality (berkaitan dengan citra perusahaan)

- Corporate Quality

(berkaitan dengan citra perusahaan)

Parasuraman, Zeithaml dalam Fandy Tjiptono (1996 : 69-70) berhasil memperoleh sepuluh faktor utama yang menentukan kualitas pelayanan. Kesepuluh faktor tersebut meliputi :

14

1)

Reliabillty, mencakup dua hal pokok yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependebility). Hal ini berarti perusahaan memberikan jasanya secara tepat semenjak saat pertama (right the first time) selain itu juga berarti bahwa perusahaan yang bersangkutan memenuhi janjinya, misalnya menyampaikan jasanya sesuai dengan jadwal yang disepakati. 2) Responsiveness, yaitu kemauan dan kesiapan para karyawan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan oleh pelanggan. 3) Competence, artinya setiap orang dalam suatu perusahaan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu. 4) Acces, meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemu. Hal ini berarti lokasi fasilitas juga mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama, saluran komunikasi perusahaan mudah dihubungi dan lain-lain. 5) Curtesy, meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian, dan keramahan yang dimiliki para contacpersonel (seperti resepsionis, operator telepon, dan lain-lain). 6) Communication, artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang dapat mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. 7) Credebility, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Krdebilitas mencakup nama personal dan interaksi dengan pelanggan. 8) Security, yaitu dari bahaya, resiko dan keragu-raguan. Aspek ini meliputi keamanan secara fisik (physical safety), keamanan finansial (financial security) dan kerahasiaan (Confidentiality). 9) Understanding/knowing the custumer, yaitu usaha untuk memahami kebutuhan pelanggan. 10) Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang digunakan, repesentasi fisik dari jasa (misalnya : kartu kredit plastik). Philip Kotler dalam J. Supranto (1997 : 231) memerinci kriteria penentu kualitas jasa pelayanan menjadi lima kriteria yaitu :

- Keandalan (reliability) : kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya. - Keresponsifan (responsiveness) : kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat atau ketanggapan. - Keyakinan (confidence) : pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan atau assurance.

15

- Empati (emphaty) : syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan. - Berwujud (tangible) : penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil dan media komunikasi. Dari berbagai kriteria tentang dimensi kualitas jasa yang telah diuraikan di atas kualitas pelayanan dapat dilihat dari bagaimana kinerja pegawainya, yang mana pegawai ini merupakan pihak yang berhubungan langsung dengan penerima jasa. Dari kinerja pegawai ini maka dapat dilihat bagaimana proses pelayanan itu berlangsung. Kemudian yang tak kalah pentingnya adalah pendukung pelayanan itu berlangsung. Dalam penelitian ini tingkat kualitas pelayanan dapat diukur dari indikator-indikator sebagai berikut:

a. Keandalan (reliability) b. Keresponsifan (responsiveness) c. Keyakinan (confidence) d. Empati (emphaty) e. Berwujud (tangible).

2. Motivasi Kerja Motivasi kerja ada kaitannya dengan kebutuhan pekerja/pegawai itu sendiri. Apabila seseorang mempunyai motivasi kerja yang tinggi, maka pekerja/pegawai tersebut akan berusaha sekuat tenaga/pikiran dengan harapan agar kebutuhan-kebutuhannya dapat terpenuhi. Disisi lain individu

16

berperilaku berdasarkan motifnya, sedang motif itu sendiri bersumber pada berbagai macam kebutuhan yang menuntut untuk dipenuhi. Setiap pekerja/pegawai mempunyai kebutuhan yang ingin dipenuhi atau dipuaskan. Kebutuhan/kepuasan yang belum terpenuhi akan menyebabkan ketegangan, hal ini akan mendorong dalam diri seseorang /pegawai.. Selanjutnya dorongan akan menumbuhkan perilaku atau upaya untuk mememnuhi atau memuaskan kebutuhan.. Akibatnya ketegangan akan berkurang/menurun. Oleh karena kebutuhan manusia tidak akan ada hentinya,

maka

kebutuhan

yang

sudah

terpenuhi/terpuaskan

akan

menimbulkan kebutuhan yang baru lagi hingga seterusnya. Proses motivasi akan berjalan secara terus menerus. Kesimpulannnya motivasi dapat dikatakan sebagai suatu daya pendorong yang menyebaknan seseorang berbuat sesuatu. Mengenai pengertian motivasi itu sendiri pada dasarnya adalah kondisi mental yang mendorong dilakukannya suatu tindakan (action atau activities) dan memberi kekuatan ( energy ) yang mengarah pada pencapaian

kebutuhan

memberi

kepuasanan

ataupun

mengurangi

ketidakseimbangan (Manullang, 1982 : 146 – 147) 1.

Dari pengertian tersebut diatas. dapat dikatakan bahwa tidak akan ada motivasi, jika tidak ada dirasakan adanya kebutuhan dan kepuasan serta ketidakseimbangan tersebut. Rangsangan-rangsangan

tersebut

akan

menimbulkan

motivasi, dan motivasi yang telah tumbuh dapat menjadikan motor penggerak untuk mencapai tujuan pemenuhan

17

kebutuhan atau pencapaian keseimbangan. Sedangkan menurut Kartini Kartono menyatakan bahwa motivasi kerja adalah suatu motivasi untuk mendapatkan nilai ekonomi tertentu dalam ujud gaji, honorarium, premi atau dalam wujud immaterial seperti penghargaan, respon, status sosial, prestasi dan harga diri (Kartini Kartono, 186:13). Hampir tidak berbeda dengan pendapat tersebut di atas, Alex. S Nitisemito mengatakan beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi kerja yaitu : 1. Gaji yang cukup. 2. Adanya kebutuhan rohani. 3. Sekali-kali diciptakan suasana santai. 4. Hanya perlu mendapat perhatian. 5. Penempatan karyawan pada posisi yang tepat. 6. Adanya kesempatan untuk maju. 7. Adanya rasa aman. 8. Adanya loyalitas. 9. Sekali-kali karyawan perlu diajak berunding. 10. Pemberian insentif yang terarah. 11. Fasilitas yang menyenangkan. Dari pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat menumbuhkan motivasi kerja seseorang dapat bersifat intrinsik yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu maupun faktor ektrinsik yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu yang bersangkutan.

18

Oleh Atkinson dikemukakan adanya tiga faktor motivasi yaitu sebagai berikut : Kekuatan motivasi untuk melakukan kegiatan adalah fungsi dari : 1. Kekuatan daya dorong adalah tempat atau keadaan daya dorong itu sendiri, menggambarkan atau mewakili keadaan yang mendesak untuk memenuhi kepentingan. 2. Harapan adalah kemungkinan bahwa tindakan akan mencapai tujuan 3. Nilai insentif adalah harapan untuk pencapaian tujuan. (John W. Atkinson dalam William G.S. 1967, 83) Untuk selanjutnya dalam penelitian ini motivasi kerja diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut: 1.

Motif atau kebutuhan

2.

Harapan atau expectancy

3.

Insentif

3. Disiplin Kerja Menurut Alex S Nitisemito, kedisiplinan diartikan sebagai suatu sikap, tingkah laku atau perbuatan yang sesuai dengan peraturan, baik yang bersifat tertulis maupun peraturan yang tidak tertulis (Alex S Nitisemito, 1982 : 199). Disamping itu ada pendapat dari Aminudin Syarif, disiplin pada hakekatnya adalah suatu ketaatan yang sungguh-sungguh yang didukung oleh kesadaran untuk menunaikan tugas, kewajiban serta berperilaku sebagaimana mestinya menurut aturan atau tata kelakuan yang berlaku dalam suatu lingkungan tertentu ( Aminudin Syarif, 1983 : 21 ). Disiplin kerja menuntut adanya kesadaran yang tinggi untuk mematuhi aturan secara suka rela, tanpa ada perasaan tertekan. Disiplin memerlukan

19

bimbingan terus menerus yang dilaksanakan dalam rangka terciptanya tata tertib yang jelas dan tegas. Namun demikian bimbingan saja belum cukup, karena fihak yang dibimbing/dibina juga mempunyai peranan yang menentukan demi keberhasilan penanaman kedisiplinan. Artinya ada atau tidaknya niat.kemauan/kesediaan dari pegawai untuk mentaati/mematuhi petunjuk/peraturan yang berlaku. Apabila dilandasi oleh semangat kesadaran dan kesediaan serta ditunjang oleh pemenuhan kebutuhan yang mendasar pada pembentukan sikap disiplin, niscaya disiplin bukan merupakan sesuatu yang membebani pegawai. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, pada pasal 2 disebutkan beberapa kewajiban yang menjadi indikator kedisiplinan pegawai negeri sipil antara lain : a. Mentaati ketentuan jam kerja. b. Menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-baiknya. c. Mentaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. d. Mentaati segala peraturan dan perintah kedinasan dari atasan yang berwenang. Dengan tegaknya disiplin dan peraturan tegas, setiap karyawan atau Pegawai Negeri harus memahami dan mengerti arti pentingnya kedisiplinan. Hal ini bukan hanya suatu organisasi saja yang mengharapkan untuk mencapai tujuan, tetapi juga untuk mencapai tujuan pribadi, sangat diperlukan adanya

20

kedisiplinan terutama dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Menurut Lateiner untuk mengukur disiplin yang baik adalah : “Umumnya disiplin yang sejati terdapat apabila para pegawai datang di kantor dengan teratur dan tepat pada waktunya, apabila mereka berpakaian serba baik ada tempat pekerjannya, apabila mempergunakan bahan-bahan dan perlengkapan-perlengkapan dengan hati-hati, apabila mereka menghasilkan jumlah kualitet pekerjaan yang memuaskan dan mengikuti cara kerja yang ditentukan oleh kantor atau perusahaan dan apabila mereka menyelesaikan pekerjaan dengan semangat yang baik.” (Alfred R. Lateiner ; 1971:68) Seperti yang telah dijelaskan diatas dari berbagai pendapat para ahli, peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan lainnya tentang disiplin kerja pegawai bahwa adanya disiplin kerja itu sangat menunjang kelancaran pelaksanaan tugas-tugas dan pada akhirnya sangat membantu kesuksesan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penyusun mengutip pendapat Tjing Bing Tie yang berhubungan dalam pelaksanaan disiplin kerja, yaitu : 1. Kepatuhan pegawai pada jam kerja, yang dimaksud kepatuhan pegawai/karyawan pada jam kerja adalah ketentuan waktu kerja, baik didalam maupun diluar kantor sesuai dengan wewenang batas waktu/jam yang telah ditentukan. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa setiap pegawai negeri selama didalam/diluar kerja tidak boleh melalaikan kewajiban yaitu ; melanggar aturan jabatan, dan melalaikan sesuatu hal yang semestinya tidak diperbuat dan mengabaikan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. 2. Kepatuhan atau ketaatan pegawai pada atasan, maksudnya adalah merupakan kesanggupan PNS untuk mentaati segala peraturan kedinasan yang berlaku dan mematuhi perintah atasan yang berwenang serta sanggup tidak melanggar larangan yang telah ditentukan. 3. Berpakaian yang baik, ditempat kerja dan menggunakan tanda-tanda pengenal instansi. Adapun maksudnya untuk kelancaran pelaksanaan tugas, maka bagi setiap PNS dalam melaksanakan tugas hendaknya menjadi contoh teladan sesuai

21

dengan kewajibannya yaitu, berpakaian rapi, sopan dan agar mudah diketahui instansi mana tempat mereka bekerja. Tanda pengenal tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan baik didalam maupun diluar kota selama dalam jam kerja/berhubungan dengan tugas. Tanda ini dapat berupa pakaian seragam atau tanda lain yang diperlukan. 4. Penggunaan bahan-bahan/perlengkapan kantor dengan hatihati. Hal ini dimaksudkan memelihara sarana dan prasarana kantor sesuai dengan kepentingan instansi yaitu secara baik dan benar. Peralatan sangat penting artinya dalam melaksanakan tugas, karena semakin tinggi mutu peralatan dan tersedia dalam jumlah yang cukup akan memberi hasil kemudahan dan akan memberi kualitas pekerjaan yang baik serta dapat menghemat atau mengurangi tenaga yang kurang efisiensi dalam melaksanakan produktivitas dari tujuan yang hendak dicapai instansi”. (H. Nainggolan, 1988, 123, 187, dan 300) Berdasarkan pembahasan tentang disiplin kerja tersebut diatas maka penyusun menggunkaan indikator-indikator sebagai berikut : 1. Kepatuhan pegawai pada jam kerja 2. Kepatuhan pegawai pada atasan, 3. Berpakaian yang baik dan mengenakan tanda pengenal, 4. Penggunaan alat-alat perlengkapan kantor,

4. Hubungan Antara Motivasi Kerja dengan Kualitas Pelayanan Motivasi

akan tampak sebagai kebutuhan dan sekaligus sebagai

perangsang untuk mengarahkan potensi serta daya kerja kearah tercapainya tujuan. Dengan kata lain hal ini merupakan salah satu kebutuhan organisasi yang harus dipenuhi demi tercapainya tujuan akhir dari pada organisasi, sedangkan dari sudut para pegawai, seperti halnya organisasi, maka secara individual, pegawai mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi.

22

Kondisi yang ideal sebuah pelayanan tentu saja tidak dengan mudah dicapai oleh organisasi macam apapun yang ada di dalam masyarakat. Namun demikian tidak berarti bahwa tipe ideal tersebut hanya sekedar tinggal di dalam buku dan tidak perlu dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari. Upayaupaya yang dilakukan oleh rumah sakit di dalam melayani masyarakat harus tetap mengarah ke sana, meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain itu, tuntutan terhadap peningkatan kualitas pelayanan dari masyarakat tersebut juga semakin tinggi sehingga bagaimanapun juga rumah sakit tetap harus memperhatikan terhadap permasalahan ini. Namun satu hal yang harus diperhatikan sebelum menentukan upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan kualitas pelayanan ini adalah upaya peningkatan motivasi kerja para pegawai. Kebutuhan-kebutuhan ini yang merupakan faktor pendorong “dari dalam” individu pegawai, yang menentukan perilaku atau tindakan pegawai. Permasalahan bagi individu pegawai adalah bagaimana agar supaya setiap kebutuhannya dapat terpenuhi, atau setidak-tidaknya prioritas pertama dari kebutuhan yang menurut A.H. Maslow yang disebut sebagai kebutuhan fisik dapat terpenuhi. Tuntutan kebutuhan hidupnya itulah, yang mendorong seseorang pegawai tersebut memasuki organisasi tertentu. Secara perseorangan sejak masuk pegawai tersebut sudah membawa maksud-maksud, keinginankeinginan, pengetahuan-pengetahuan, keahlian-keahlian dan nilai-nilai lain tertentu yang merupakan ciri pribadi.

23

Maka tujuan tersebut merupakan rangkaian tuntutan saling menunjang tercapainya tujuan masing-masing pihak, di lain pihak pegawai menghendaki adanya “imbalan” yang layak dari hasil jerih payah pegawai tersebut. Imbalan yang dimaksud disini bukan hanya yang bersifat material belaka melainkan juga yang bersifat nonmaterial, misalnya yang bersifat material yaitu berupa gaji yang tinggi, tunjangan jabatan dan jaminan sosial yang baik. Sedangkan yang bersifat non material ini misalnya yang menyangkut kebutuhan psikis antara lain, perlakuan yang baik sebagai manusia, suasana kerja yang menyenangkan, kesempatan untuk maju, pimpinan yang baik, kepastian mengenai pekerjaan, kesempatan untuk menyatakan pendapat, kesempatan untuk mendapatkan kehormatan dan lain sebagainya. Hal ini diharapkan agar supaya pegawai dengan penuh gairah kerja dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya secara efektif dan efisien. Maka pihak organisasi berusaha merealisasikan kebutuhan-kebutuhan masing-masing pegawainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin baik motivasi kerja maka kualitas pelayanan akan semakin meningkat.

5. Hubungan Antara Disiplin Kerja dengan Kualitas Pelayanan Disiplin kerja adalah ketaatan pegawai terhadap peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam organisasi dimana ia bekerja. Secara sistematis dapat disusun hubungan disiplin kerja dan kualitas pelayanan. Jadi disini jelas bahwa tujuan disiplin baik yang kolektif maupun yang perorangan yang sebenarnya adalah untuk menjuruskan atau mengarahkan tingkah laku pada realisasi yang harmonis dari tujuan-tujuan yang diinginkan.

24

Dengan sendirinya disiplin kerja menuntut kesadaran yang tinggi dari setiap pegawai, sebab jika disiplin itu dimulai dari para pegawai dengan bersikap jujur pada diri sendiri, maka penegakan disiplin akan terjadi secara serentak. Tetapi sebaliknya dari pihak organisasi sendiri harus terlebih dahulu memberikan suatu informasi yang jelas bagi berlakunya suatu peraturanperaturan dan segala macam sangsi-sangsi yang diberikan kepada setiap pelanggarnya, dan adanya contoh konkrit dari perwujudan disiplin dari para pimpinannya dalam melakukan tugasnya. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap para pekerja untuk melakukan pekerjaannya dalam rangka mencapai pelayanan yang berkualitas. Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa semakin baik disiplin kerja maka kualitas kerja akan semakin meningkat.

6. Hubungan Antara Motivasi Kerja dan Disiplin Kerja terhadap Kualitas pelayanan. Dalam uraian diatas telah dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan motivasi kerja adalah suatu proses dorongan baik yang datang dari dalam maupun dari luar diri sendiri. Seorang pegawai akan termotivasi biasanya bila kebutuhan-kebutuhan yang menyangkut dirinya akan terpenuhi misalnya adalah, upah yang layak, diberikan kesempatan untuk maju, pengakuan sebagai individu, keamanan kerja, tempat kerja yang baik, adanya suatu kepemimpinan yang baik dan lain sebagainya. Dari sini sudah sangat jelas bahwa motivasi tersebut dapat datang dari dalam diri sendiri maupun dari orang lain dalam hal ini adalah pimpinan.

25

Keselarasan antara tujuan pribadi dan tujuan organisasi adalah merupakan salah satu kegiatan pemimpin dalam rangka pelaksanaan fungsi motivasi. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa adanya motivasi kerja secara langsung akan memberikan pengaruh yang luas terhadap kualitas pelayanan. Disisi lain disiplin kerja merupakan faktor yang sangat menentukan kualitas pelayanan. Untuk menegakkan disiplin dalam setiap organisasi selalu diharapkan adanya peraturan-peraturan untuk ditaati oleh para pegawai, karena tindakan yang demikian itu akan membawa keberhasilan dalam pelayanan kepada masyarakat.. Dari keterangan tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa semakin baik motivasi kerja dan disiplin kerja pegawai maka kualitas pelayanan akan semakin meningkat.

E. Hipotesa Dari uraian di atas maka hipotesa pada penelitian ini adalah : 1. Verbal Ada hubungan yang positif antara motivasi kerja dan disiplin kerja terhadap kualitas pelayanan. 2. Geometrik

26

Motivasi kerja x1 Kualias Pelayanan y Disiplin kerja x2

G. Definisi Konsep. 1. Kualitas pelayanan adalah adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan konsumen. 2. Motivasi kerja adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang atau sesuatu yang menimbulkan dorongan untuk mencapai tujuan. 3. Disiplin kerja pada hakekatnya adalah ketaatan pegawai terhadap tata aturan, norma-norma, kaidah-kaidah, instruksi yang berkaitan dengan tugas/kewajiban pegawai terhadap instansinya.

H. Definisi Operasional. Definisi operasional adalah merupakan terjemahan secara terinci tentang konsep-konsep yang ada dalam suatu penelitian.. menurut Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, mengemukakan definisi operasional adalah : “ Suatu unsur yang sangat membantu komunikasi antara peneliti dan juga merupakan petunjuk bagaimana variabel-variabel itu diukur “ ( Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, 1995 : 5 ).

27

Adapun salah satu fungsinya adalah untuk memberi petunjuk bagaimana suatu variabel yang diteliti itu dapat diukur dengan indikator-indikatornya. Namun apabila suatu variabel yang menurut pengertian konsep sulit diukur, maka pengukurannya dilakukan dengan mengoperasionalisasikan pengertian konsep tersebut. 1. Kualitas pelayanan. Untuk mengetahui kualitas pelayanan dapat diukur dengan indikatorindikator sebagai berikut :

a. Keandalan (reliability) b. Keresponsifan (responsiveness) c. Keyakinan (confidence) d. Empati (emphaty) e. Berwujud (tangible) 2. Tingkat motivasi kerja pegawai. Tingkat motivasi kerja dapat diukur dengan indikator-indikator sebagai berkut : a.

Motif atau kebutuhan

b.

Harapan atau expectancy

c.

Insentif 3. Tingkat Disiplin Kerja Pegawai . Tingkat disiplin kerja pegawai dapat diukur dengan indikator-indikator sebagai berkut: a. Kepatuhan pegawai pada jam kerja

28

b. Kepatuhan pegawai pada atasan, c. Berpakaian yang baik dan mengenakan tanda pengenal, d. Penggunaan alat-alat perlengkapan kantor

I. Metode Penelitian Metode peneltian merupakan aturan atau tata cara pelaksana dalam penelitian guna mencari jawaban atau penyelesaian permasalahan termasuk didalamnya sebagai verifikasi data dalam proses kegiatan penelitian, karena didalam verifikasi data tidak hanya terbatas bagaimana cara memperoleh data tetapi juga bagaimana menganalisa data untuk di interpretasikan dengan menarik suatu kesimpulan atas dasar empiris. 1.

Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif yaitu menggunakan teknik perhitungan statistik, kemudian di interpretasikan secara lebih dalam sesuai dengan fenomena yang terjadi dilapangan. 2. Metode pengumpulan data Untuk memperoleh data dalam penelitian ini dengan cara : a. Observasi Yaitu metode pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung dan mencatat data dengan menggunakan ratio, mata, telinga serta dengan perasaan yang ada. b. Wawancara/Interview

29

Wawancara/interview ialah cara pengambilan data dengan melakukan wawancara langsung dengan subyek penelitian mengenai obyek penelitian. c. Kuesioner Kuesioner yaitu pengambilan data dengan menyebarkan daftar pertanyaan kepada Responden, untuk di isi dengan jawaban yang benar menurut Responden. d. Dokumentasi Yaitu cara pengumpulan data berdasarkan dokumen-dokumen yang ada berupa arsip, monografi, grafik dan lain-lain.

3. Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai kantor Kecamatan Kasihan Kabupaten bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang berjumlah 36 orang. Sebagai responden dalam penelitian ini adalah 36

orang atau

keseluruhan populasi. Hal ini berdasarkan pendapat Suharsini Arikunto (1987 : 107 ) yang menyatakan bahwa : “ Apabila subyeknya

kurang dari 100, lebih baik diambil semua,

sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi “. 4.

Metode Analisa Data Guna membuktikan apakah hipotesa yang diajukan didukung oleh data atau tidak, maka diperlukan adanya pengujian hipotesa dengan alat - alat statistik guna mengukur antara variabel yang dinyatakan dalam hipotesa. Adapun alat - alat statistik yang dipergunakan adalah sebagai berikut : a. Korelasi Product Moment

30

Koefisien korelasi product moment akan mewujudkan ada tidaknya hubungan antara variabel bebas (X) dan variabel tergantung (Y). Rumus (Usman Tampubolon; 1980 : 10) : N(Y) - (Y) rXY = Keterangan :

√{ N2 - (X2 )} . {NY2 - (X)2 }

rXY

= korelasi antara variabel x dan y

X

= kwadrat dari x

Y

= kwadrat dari y

N

= jumlah sampel

Kemudian untuk mengetahui apakah yang diperoleh tersebut signifikan atau tidak maka diuji dengan rumus (Usman Tampubolon; 1980 : 28): r2 (N-2) F= 1- r2 Keterangan : F = Nilai signifikan r = koefisien korelasi N = Jumlah responden Nilai F yang dihasilkan, kemudian dibandingkan dengan harga F dalam tabel. Apabila harga F yang diperoleh lebih besar atau sama dengan F dalam tabel, maka hubungan antara variabel tidak signifikan. b. Koefisien Korelasi Parsial

31

Analisis Koefisien Korelasi Parsial digunakan untuk mencari apakah hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung murni atau semu, dengan jalan mengetahui hubungan masing-masing variabel bebas terhadap variabel tergantung dikontrol oleh variabel bebas lainnya. Adapun rumus Korelasi Parsial adalah sebagai berikut (F.N. Kerlinger, 1973, hal.201) :

rij .k − ( rik ) ( r jk )

rij .k =

(1 − r )(1 − r ) 2

2

ik

jk

Keterangan : k

= vk = variabel kontrol

i

= vt

j

= vb = Variabel bebas

= Variabel tergantung

Hasil dari Koefisien Korelasi Parsial kemudian diuji signifikannya dengan menggunakan rumus sebagai berikut (F.N. Kerlinger, 1973, hal.33) :

rijk { N − ( K + 1) } 2

F=

1 − rij.k

2

Keterangan : rijk2

= koefisien korelasi parsial antara variabel I (bebas) dengan j (tergantung), dengan dikontrol variabel bebas yang lain yaitu variabel bebas k.

i

= variabel bebas yang dikorelasikan dengan VT

j

= V kontrol (VB yang lain)

N

= jumlah sampel

K

= jumlah variabel bebas

32

Jika F-uji telah diketemukan, maka F-uji ini dibandingkan dengan angka uji (Ftabel) yang diperoleh dari tabel F (tabel statistik). Jika F-uji lebih besar dari Ftabel berarti hubungan yang terjadi adalah murni dan signifikan. c.

Koefisien Korelasi Majemuk Analisis Koefisien Korelasi Majemuk digunakan untuk mencari seberapa jauh keeratan hubungan secara bersama-sama antara variabel bebas dengan variabel tergantung. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (F.N. Kerlinger, 1973, hal.201) : 2 R123 =

(

2 2 R123 +13 .2 1 − R12

)

Keterangan : R212

=

Koefisien

korelasi

majemuk/berganda

(multiple

corelation coeficient) R12

= Korelasi product moment V1 dan V2

R13..2

= Koefisien korelasi variabel tergantung dan variabel bebas 3 dengan : 1 = VT, 2 = VB, 3 = VB

Hasil dari koefisien diketemukan, maka F-uji ini dibandingkan dengan angka uji (Ftabel) yang diperoleh dari tabel F (tabel statistik). Jika F uji lebih besar dari Ftabel berarti hubungan yang terjadi adalah signifikan. d.

Koefisien Determinasi Analisis Koefisien Determinasi bertujuan untuk mencari besarnya persentase (%) variabel tergantung yang dipengaruhi oleh variabel bebas

33

secara bersama-sama. Rumus yang digunakan yaitu (F.N. Kerlinger, 1973, hal.202) : 2 2 R123 = R122 + R132 (1 − R132 )

keterangan : R2123

= proporsi perubahan pada variabel tergantung yang disebabkan variabel bebas 2 dan variabel bebas 3

R112

= proporsi perubahan yang disebabkan oleh variabel bebas 2

R2132

= proporsi perubahan yang disebabkan oleh variabel bebas 3

1-R212

= proporsi perubahan yang tidak disebabkan oleh variabel bebas 2

Dengan rumus ini, maka dapat diketahui pula besarnya perubahan variabel tergantung yang tidak disebabkan oleh variabel bebas.

34

DAFTAR PUSTAKA

Alex S Nitisemito, 1982, Manajemen Personalia, Jakarta : Ghalia Indonesia. Alfred R. Lateiner dan IE. Levine, 1971, Teknik Memimpin Pegawai dan Pekerja, Jaya Sakti, Jakarta Berber David dalam Sitor Sitomurang, 1997: Penerapan Manajemen Personalia, LPPM, Erlangga, Jakarta. Edwin B. Flippo. 1993, Manajemen Personalia, Jakarta : Erlangga. Fred N. Kerlinger, Klaszon J Pdhazua, 1973, Multiple, Regresion Behavioral Research, Holt, Rinchart and Winston Inc, New york, Chicago, San Fransisko. Kartono, Kartini, 1998, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta : Raja Grafindo Persada. Kerlinger dalam Sutrisno Hadi, 1984 : Methodologi Research, Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta. Kustartini M., dalam Ibnu Syamsi 1989: Ensiklopedia Umum dan Pembangunan Seri I, Fisipol UGM, Yogyakarta. Manullang, 1982, Psikologi Industri, Jakarta : Ghalia Indonesia. Maslow Abraham, 1984: Organisasi dan Manajemen Perilaku Struktur Proses, terjemahan Djorban Wahid, Erlangga, Jakarta. Megginson C. Leon, 1083: Management, Concep and Aplications, New York, Harper and New Publisher Inc. Musanef, 1984, Manajemen Kepegawaian di Indonesia, Jakarta : Gunung Agung. Nainggolan H, 1987: Pembinaan Pegawai Negeri Sipil, PT Pertja Cetakan ke sebelas, Jakarta. Siagian, Sondang P., 1985, Teori Motivasi dan Aplikasinya, Jakarta : Bina Aksara. Singarimbun, Masri, Sofyan Effendi, 1995, Metode Penelitian Survai, Jakarta : LP3ES. Steers M. Richard, 1990: Efektivitas Organisasi, terjemahan, Erlangga, Jakarta.

35

Sutrisno Hadi, 1995, Methodologi Research Jilid I, Gadjahmada University, Yogyakarta. Thoha Miftah, 1983: Perilaku Organisasi, CV Rajawali, Jakarta. Usman Tampubolon, 1980, Diklat Kuliah Metode Penelitian, Kelompok Penelitian Sosial dan Politik, Yogyakarta. Usman Tampubolon, 1997, Metode Penelitian, Kelompok Penelitian Sosial dan Politik, UGM Yogyakarta.

Related Documents

P4
November 2019 34
P4
June 2020 29
P4
June 2020 23
P4
May 2020 19
P4
December 2019 39
P4
November 2019 22

More Documents from ""

Bennet - Il Divino Sessuale
December 2019 27
Ledig Stilling Oslo
May 2020 20
P4
June 2020 29
Nuove Upanishad - Antonov
December 2019 33
December 2019 26