BIODATA PENULIS Judul Novela
Dia, Yang Kusebut Ayah
Nama
Putu Monik Ananta Puspitarini
Nama Pena
Monik Ananta
Alamat Tinggal
Jl. Gili Air 1, No. 54, Ampenan, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Lombok.
E-mail
[email protected]
No. Telp/HP
087759785540
Putu Monik Ananta Puspitarini, nama pena Monik Ananta. Lahir tanggal 11 November 1996 di Ampenan, NTB. Mempunyai hobi Profil singkat
berenang dan menulis. Suatu saat ingin menjadi Apoteker sekaligus penulis yang baik. Temui aku di ig/twitter ku @monikananta
JUDUL : DIA, YANG KUSEBUT AYAH SINOPSIS Robert, seorang laki-laki tua penikmat senja yang sudah kehilangan kepercayaannya akan tulusnya cinta. Senja menjadi pertemuan Robert dengan anak kecil berumur dua tahun yang ia beri nama Lembayung Senja. Kasih sayang yang diberikan Robert menjadikan Senja tumbuh menjadi anak yang cantik dan selalu diberikan kemudahan untuk bahagia. Hingga ketika Senja bertemu dengan Fajar dan harus menikah, namun bagaimana dengan Robert?
BAB I. Lembayung Senja
Senja. Selalu indah. Seperti awal pertemuanku dengan lelakiku, ku sebut ia Ayah. Ia bangkit dari tempat duduknya yang sudah menjadi singgasananya sedari lima tahun yang lalu. Penyakit yang ia derita membuatnya harus selalu duduk disana, kursi dengan roda dua. Wajahnya sudah mulai memperlihatkan kerutan hasil perjuangan hidupnya. Badannya sudah tak sekuat dulu. Ia hanya bisa duduk dikursi dengan dua roda itu. Enam tahun yang lalu, senja membawa langkah lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu ke pantai. Ia selalu suka melihat warna yang bercampur dilangit ketika senja tiba. Pantai dan warna itu menjadi penyejuk pikirannya yang sedang kacau. Berkas yang berada didalam map cokelat yang sedari tadi ia pegang, selalu ia lihat. Memang, hari itu sangat berat baginya. Perusahaan kayu tempatnya bekerja yang berada ditengah kota itu seakan tumbang dari kejayaannya dan membuat perusahaan terpaksa untuk melepas pengabdi perusahaan. Salah satunya adalah dia. Dia, yang kusebut Ayah. Awal pertemuanku dengannya terjadi di pantai ini. Pantai yang dingin ketika malam dan sangat panas ketika siang. Aku sudah merasakan itu semua. Hingga, ketika akhirnya sekumpulan orang mengerumuniku sore itu, lalu dia yang kusebut Ayah datang dan membawaku ketempat yang lebih nyaman, tempat dimana aku tak merasakan rasa dingin dan panas yang terlalu. Cerita masa kelamku ini mungkin tidak terekam jelas di memoriku, namun yang ku tau Dia yang ku sebut Ayah telah menyelamatkan hidupku dari orang yang telah membuangku.
Hari ini, seperti biasanya, ketika bertemu senja aku selalu membuka jendela rumah yang tepat berhadapan dengan pantai sambil memijat bahu Ayah. Ayah sangat suka melihat senja, seperti ceritaku sebelumnya. Ayah pernah bercerita, senja adalah saat yang paling ia suka. Saat senja semua orang kembali pulang. Saat senja badan bisa rehat sejenak. Saat senja pula ada yang tak sengaja bertemu dengan kasihnya, salah satunya Ayah. Ia bertemu wanita itu saat senja tiba. Namun, sayangnya Ayah dan wanita itu tak berlanjut lagi ketika ia tahu Ayah tak memiliki sesuatu untuk dibanggakan saat itu, hingga akhirnya Ayah tak ingin mengenal cinta lagi.
Hari ini, aku akan pergi bersama teman kampus untuk mengerjakan tugas wawancara salah satu pengusaha yang hanya bisa ditemui malam hari. Sebenarnya aku tak ingin meninggalkan Ayah sendiri dirumah. Namun, Ayah tetap menyuruhku untuk pergi. Ia selalu berpesan untuk terus berusaha belajar dengan giat. Jangan jadikan Ayah sebagai bebanku. “sudahlah, Ayah tidak apa-apa sendirian” ucapnya. “Tapi, aku gak tenang meninggalkan Ayah sendirian di rumah, aku akan minta bantuan Fajar untuk temani Ayah dirumah, ya” kataku, merespon permintaanya dan langsung mengambil ponsel yang berada diatas meja tak jauh dari tempatku berdiri. Jempolku beradu dengan layar ponsel hendak mencari kontak Fajar. Setelah menemui nama Fajar, aku langsung menelponnya dan meminta ia menemani Ayah. Fajar adalah temanku sejak kecil, orang yang sudah ku anggap sebagai kakakku. Laki-laki berumur dua tahun lebih tua dariku dan selalu bersikap dewasa. Satu-satunya laki-laki yang Ayah percayakan untuk menjagaku. Aku ingin bercerita sedikit tentang Fajar. Sebenarnya Fajar adalah anak pemilik hotel yang berada tak jauh dari rumahku. Dulu, ia selalu bermain di pantai bersama orang yang ia sebut Daddy. Suatu ketika, ia menghampiriku yang sedang duduk dipinggir pantai. Aku yang saat itu sedang menggunakan pakaian kusut karena baru pulang sekolah, dan ia mau menyapaku. Sungguh, saat itu aku tak sungkan untuk mengajaknya bermain. Padahal
aku tahu dia adalah orang kaya dan aku hanya anak pesisir pantai. Namun, dari Fajar aku menyadari bahwa pertemanan bahkan persahabatan tak bisa dibatasi oleh status ekonomi seseorang. Fajar juga yang sudah membuat hidupku lebih berarti, karena keluarganya sudah membiayai semua kebutuhan sekolahku hingga kini aku bisa berkuliah ditempat yang ku inginkan. Keluarga Fajar juga sudah membantu membiayai pengobatan Ayah. Oke, sudah dulu tentang Fajar.
Tak lama, Fajar datang dengan membawa sekantung plastik jeruk santang yang terlihat manis. Ia langsung meletakkan semua jeruk itu. Setelah itu, aku berpamitan pada Ayah dan juga Fajar.
Pesisir pantai sudah menjadi pemandangan tiap hariku. Setiap berangkat ke kampus, aku selalu menginjak pasir putih ini. Deburan ombak selalu terdengar setiap saat jika berada dirumah, ditambah lagi dengan warna lembayung senja yang selalu membuatku tak ingin mengalihkan pandangan. Seperti sore ini, warnanya begitu cantik. Malam berlalu, tugasku sudah selesai. Tepat pukul sembilan, aku sudah pulang dan berada di rumah. Aku melihat Ayah sudah tertidur di kamarnya dan Fajar berbaring di kursi yang menghadap di depan TV. Aku mendekati Fajar dan melihatnya. Wajahnya tak pernah berubah dari dulu. Babyface. Tak sadar, aku tersenyum melihatnya. Tak lama, Fajar membuka matanya dan melihatku yang masih dengan wajah tersenyum karena memandanginya. Ku lihat, ia mengusap bagian kelopak matanya. Terlihat sangat lelah. “makasi, ya, Jar” ucapku setelah melihatnya sadar dari tidurnya. “makasi buat apa?” “karena kamu sudah jagain Ayah hari ini” “It’s okay, Yung” “ih, masih aja manggil aku Yung” ucapku kesal dan memperlihatkan wajah cemberit. Fajar memang sering memanggilku ‘Yung’ karena namaku Lembayung Senja. Katanya, biar ada yang beda aja. Ia tertawa. Manis sekali. Aku juga tertawa.
“Yaudah, aku balik ke hotel, ya” kata Fajar sambil mengenakan jaket mulai dari bagian lengan. “besok aku jemput” lanjutnya. Aku heran. “Mau kemana?” “Udah, kamu manut aja, ya” jawabnya. “Besok pagi udah siap ya. Ayah juga harus ikut dan itu, tadi aku udah siapin pakaian buat kamu dan ayah, besok pakai itu ya” kata Fajar sambil menunjuk sebuah kotak seperti kado diatas meja makan. “Jar, aku gak ngerti. Mau kemana?” aku kembali bertanya untuk memastikan tujuan besok. “udah aah” jawabnya. “Aku pulang ya, Bye. Jangan tidur kemaleman, Yung” lanjutnya lalu menutup pintu. “Dasar nyebelin” aku bergumam.
Fajar memang sering begitu. Tahun lalu saja, ketika aku berulang tahun ia seperti menculikku dan membawaku ke suatu tempat yang sangat gelap. Tapi saat itu aku senang, karena tanpa disadari disana ada sebuah kejutan buatku. Kejutan yang tak akan pernah ku lupakan. Ia selalu bisa membuatku bahagia. Waktu terasa begitu lama. Aku sudah tak sabar menyambut pagi dan mengetahui maksud Fajar. Akhirnya, pagi tiba. “Senja, ayo bangun” Ayah membangunkanku, seperti biasanya Ayah tak pernah melupakan kebiasaannya untuk membangunkanku, walaupun aku sudah bangun ia tetap menyapa pagiku seperti itu. “iya, Yah” aku bangkit dari tidurku dan menemui Ayah yang sedang mengupas jeruk yang dibawa Fajar kemarin. “Ayah, nanti Fajar mau ngajak pergi” aku langsung ke pokok pembicaraan. “yaudah, kamu pergi aja” “tapi sama Ayah juga” kataku dengan nada manja sambil memeluk lengan Ayah. “Kok Ayah juga?” “Gak tau, tuh” aku menaikkan bahu pertanda tak mengerti juga. “Kata Fajar, Ayah harus itu juga”
Aku terus membujuk Ayah yang awalnya tidak mau pergi, hingga akhirnya Ayah mau.
Sudah
pukul
sembilan.
Tapi
Fajar
belum
datang
juga.
Aku
hendak
menghubunginya. “halo” ucap Fajar diujung ponsel. “Jar, gimana? Jadi pergi? Aku sama Ayah sudah siap, loh” “Iya, aku lagi ribet nih. Tadi hampir nabrak orang. Tunggu, ya” ucapnya lalu menutup panggilan itu. “Gimana?” Ayah menanyaiku setelah melihatku mengakhiri panggilan ke Fajar. “Gak apa-apa, Yah. Tunggu sebentar lagi” ucapku tak memberitahu yang sebenarnya kepada Ayah. Aku tak mau Ayah ikut khawatir. Satu jam berlalu, akhirnya suara mobil terdengar didepan rumahku. Mobil itu tak lain adalah kepunyaa Fajar. Seperti biasa, tanpa mengetuk pintu Fajar langsung masuk kedalam rumah. Ia terlihat tidak baik. Wajahnya memperlihatkan kecemasan. Namun, ia tutupi dengan memberikan senyuman. “kamu gak apa-apa?” aku menanyai kabarnya dengan sedikit berbisik agar tidak terdengar Ayah. “gak apa-apa, tenang aja, yuk” ia langsung membawaku dan Ayah ke suatu tempat yang masih menjadi pertanyaan dihatiku, ku harap kali ini ia menaburkan bahagia lebih dari sebelumnya.