Narsis itu Perlu Saya tahu jika wajah saya tidak keren. Namun saya tetap saja membutuhkan cermin untuk berkaca. Kenapa? Karena memang ada naluri narsis pada diri saya. Tak peduli seberapapun jelek wajah saya, saya akan terus berkaca, sekadar untuk kagum pada diri sendiri. Ketika kekaguman itu ternyata tidak ada, anehnya saya juga tidak kecewa dan tetap saja berkaca. Ini aneh, tetapi nyata. Jadi, sulit untuk menghindar dari perasaan narsis itulah pijakannya. Maka saya berusaha untuk mencari manfaat dan bahaya narsisme ini untuk menekan bahayanya dan mengembangkan manfaatnya. Saya akan mulai latihan dengan anak-anak saya. Kepada si kecil saya bertanya: ''Di sekolah siapa yang lebih banyak, para pembenci atau penyukamu?'' tanya saya, tentu dengan bahasa yang lebih sederhana. Ia mengaku lebih banyak disukai. Saya tanya kenapa. Dan ia berpikir keras. Dari otaknya ternyata tidak keluar apa-apa sebagai jawaban. Saya menungggunya. Karena situasinya hampir deadlock, datang kakaknya kelas dua SMP hendak membantu. "Tak ada orang bisa menilai diri sendiri!'' kata si kakak berkomplot melawan bapaknya. Tetapi kepada mereka saya beri bukti sederhana. Bahwa pernyataaan itu keliru. Pernyataan anak saya itu pasti bagian dari konvensi berpikir yang telah berjalan menjadi kebudayaan termasuk gaya berpikir saya sendiri. Tetapi kami merasa harus merevisi pendapat ini. Menilai diri sendiri ternyata mudah sekali. Sangat mudah malah, karena ia adalah diri kita sendiri. Kita pasti mengerti kelemahan dan kelebihan diri sendiri. Saya misalnya, punya kemalasan yang tinggi. Jika saya tampak rajin bekerja, sesungguhnya semua itu cuma terpaksa. Karena kalau tidak bekerja saya dipecat. Jika saya terlihat bekerja keras, sesungguhnya karena tekanan keadaan. Meksipun sudah beristri, ternyata saya masih juga suka melirik-lirik wanita cantik. Kadang-kadang di luar pengetahuan istri dan kadang malah ketika kami sedang berduaan. Sering saya kepergok menatap seorang perempuan cantik yang sedang melintas sehingga istri marah. Karena terpangkap basah, saya lalu mengeluarkan jurus bertahan sekenanya. ''Ya sudah, aku salah. Sebagai permohonan maafku, kamu juga boleh nanti kalau mau ganti melirik bapak-bapak yang ganteng,'' kata saya. Saya tidak tahu, apakah istri benar-benar membalaskan sakit hatinya. Tegasnya, saya dengan mudah menemukan kelemahan saya. Maka pasti dengan mudah juga saya menemukan kelebihan saya. Cuma barangkali saya tidak terlatih untuk terbuka. Konvensi budaya di sekitar saya tidak mengijinkan mengatakannya secara terbuka. Tetapi pelanggaran kebudayaan ini pasti bukan dosa kalau terbuki lebih membawa kebaikan di kelak kemudian. Kebaikan untuk siapa? Untuk diri saya sendiri lebih dulu terutama. Karena ketika saya menemukan kelebihann diri secepatnya, minimal saya tidak akan menjadi benalu masyarakat. Maka akan saya katakan saya ini pintar menggambar, pintar bermusik, pintar menulis, pintar ngomong, pintar menyenangkan hati orang dan seterusnya. Perasaan menemukan kelebihan diri sendiri ini sangat membantu saya untuk segera memartabatkan diri sendiri dengan kelebihan yang ada. Jadi ketika anak saya itu kebingungan menjawab, tegas saja kesimpulan saya, bahwa ia bukan tidak mengerti kelebihnnya tetapi sedang ragu-ragu saja. Maka ketika saya
ancam akan memotong separoh anggaran belanja mainannya, kecerdasan itu langsung deras mengalir dari otaknya. Ia jadi tidak ragu-ragu menyebut seluruh rahasia kenapa ia disukai teman-teman sekolahnya, termasuk wajahnya yang keren. Ya, itu pertama kali dia mengaku secara terbuka punya wajah tampan, padahal wajah itu sudah 9 tahun melekat di sana. Banyak kelebihan-kelebihan diri ini mati karena ia jarang kita sapa! (Prie GS/CN09)