Metode Pendidikan Sebagai Pagar Penjaga Akar Kebudayaan Bangsa

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Metode Pendidikan Sebagai Pagar Penjaga Akar Kebudayaan Bangsa as PDF for free.

More details

  • Words: 2,633
  • Pages: 14
Metode Pendidikan sebagai Pagar Penjaga Akar Kebudayaan bangsa

Oleh :

Dian Risky Lestari Pendidikan Ekonomi 2009 81550300 Doen Pembimbing :

Dra.Yoedha Soewondo

[abstraksi : Melunturnya akar budaya bangsa menjadi tugas bersama yang harus diselesaikan. Sebagai salah satu bentuk keprihatinan sudut pandang penulis adalah memperhatikan sudut pandang pendidikan untuk melindungi akar budaya bangsa ]

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR : Sebuah Prolog................................................................. DAFTAR ISI............................................................................................................ BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang......................................................................................... 1 I.2 Permasalahan............................................................................................ 2 I.3 Tujuan.......................................................................................................2 I.4 Manfaat.................................................................................................... 3 I.5 Metode..................................................................................................... 3 BAB II Pembahasan II. 1 Hipotesis Analogi................................................................................. 4 II. 2 Metode Penyelesaian............................................................................ 6 II.2.1 Korelasi Pendidikan dengan penjagaan budaya.................... 7 II.2.2 Give a signal...”beri tanda”................................................... 9 BAB III Penutup III.1 Kesimpulan.......................................................................................... 11 III.2 Saran.................................................................................................... 11 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 12

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang : Mengapa harus dilindungi ? Sub topik berjudul “mengapa harus dilindungi?”mengawali aspek pertama yang harus saya telusuri sebelum memecahkan permasalahan untuk melindunginya. Tapi, tunggu…Sebelumnya,apa yang ingin kita lindungi? Hutan Cagar Alam atau satwa langka? Meskipun mereka termasuk hal-hal yang harus dilindungi, ternyata bukan mereka yang saya maksud kali ini. Tema yang sedang kita diskusikan adalah kebudayaan. Pastinya,”kebudayaan” inilah yang akan coba saya ulas lembar demi lembar dalam karya tulis ini. Secara

etimologi,

kebudayaan

berasal

dari

bahasa

Sansekerta,

yaitu

“buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari buddhi, dan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Sedang, subtansi kebudayaan didefinisikan oleh Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (Sosiologi, 108) sebagai sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Berarti, jika saya katakana “kebudayaan Indonesia”akan saya tarik arti tersendiri

sebagai hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat

Indonesia,bangsa Indonesia. Dalam bentuk apa? Jawabannya: Apa saja yang mencirikan eksistensi bangsa Indonesia. Dapat berupa lagu daerah, legenda, tarian, makanan khas, arsitektur bangunan dan banyak lainnya. Budaya, saya identifikasi sebagai bentuk nyata yang mencerminkan keberadaan sebuah bangsa. Relasi keduanya sangat kuat, karena ada unsur kepemilikan. Budaya Indonesia milik bangsa Indonesia. Maka, bagaimana tanggapan kita sebagai sang pemilik jika lencana emas yang selama ini sudah jelas milik kita, kemudia diakui

orang

sebagai

kepunyaannya.

Sesuatu

yang

kita

banggakan

karena

menyimbolkan keberadaan kita, kemudian direbut begitu saja. Tentu Anda akan marah, atau seminimalnya akan jengkel. Lantas, response apa yang kemarin – hingga detik ini

Anda lakukan mengenai kenyataan bahwa budaya kita diklaim sebagai budaya Malaysia? Sebagai catatan, berikut tersaji fakta yang saya kutip dari http://paijomania.blogdetik.com/2009/08/24/daftar-kebudayaan-indonesia-yg-diklaimmalaysia/, sebagai berikut :

1. Naskah Kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia 2. Naskah Kuno dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia 3. Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia 4. Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia 5. Rendang dari Sumatera Barat oleh Oknum WN Malaysia 6. Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia 7. Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia 8. Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia 9. Lagu Injit-injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia 10. Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia 11. Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia 12. Tari Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia 13. Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia 14. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia 15. Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia 16. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia 17. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia 18. Kain Ulos oleh Malaysia 19. Alat Musik Angklung oleh Pemerintah Malaysia 20. Lagu Jali-Jali oleh Pemerintah Malaysia 21. Tari Pendet dari Bali oleh Pemerintah Malaysia Bukan maksud diri ingin mempropaganda peperangan, atau mungkin Anda memang sudah terbakar jiwa nasionalismenya? Tapi memang ini suatu kenyataan. Kenyataan bahwa milik kita telah diambil. Maka dari itu harus dilindungi.

I.2 Permasalahan Dari latar belakang yang dijabarkan sebelumnya, inti permasalahan adalah “pencurian”. pencurian kebudayaan bangsa Indonesia. Jadi, pokok bahasan yang ingin dijawab adalah : Bagaimana sebuah bangsa melindungi akar budayanya?

I.3 Tujuan Penulisan Diharapkan melalui karya tulis ini, para pembaca termotivasi untuk terbangun dan membangun jiwa kecintaan terhadap budaya Indonesia. Karya kecil ini pun

bertujuan untuk memberi kontribusi dalam menyelesaikan polemik yang saya tuliskan dibagian permasalahan, bertajuk pencurian.

I.4 Manfaat Penulisan Dari penulisan ini, saya mendapati manfaat besar untuk lebih arif menyikapi kasus “pencurian” tersebut, berdasarkan data dan fakta yang tersusun. Pengembangan gaya menulis sebagai wadah menyampaikan ide juga termasuk manfaat yang saya dapat. Terlebih saat penyusunan jawaban dalam bab PEMBAHASAN. Namun, hal apapun yang menjadi manfaat bagi saya sebagai penulis, tidak bernilai apapun jika tak membawa manfaat bagi pembacanya.

I.5 Metode Penulisan Dalam penulisan ini, saya banyak menggunakan metode kepustakaan dalam penyusunan. Adapun penulisan di dalam bab PEMBAHASAN lebih banyak menggunakan hipotesis saya sebagai penulis.

BAB II PEMBAHASAN II.1 Hipotesis Analogi Pembaca, mari kita beranalogi, mari kita beranalogi, mencari sebuah situasi dimana kenyataan dimasukkan dalam sebuah pengandaian. Andaikan... (hipotesis analogi) : “Andaikan, kita lebih menghargai, kita pasti takkan didzolimi... Andaikan, kita menjaga, pasti tidak akan ada yang terlepas... dan Andaikan, hidup kembali jiwa-jiwa kepemilikan niscahya satu kesatuan akan tetap utuh” Pembaca, mungkin Anda “agak” bingung dengan pengandaian yang saya buat melalui kalimat langitan. Analogi tersebut saya jabarkan sebagai berikut : (a) “Andaikan, kita lebih menghargai, kita pasti takkan didzolimi...” Kalimat tersebut muncul dibenak saya, saat media massa akhir-akhir ini terkesan menjadikan kita sebagai objek penderita (yang terdzolimi) dalam issue “perebutan” budaya dengan negara serumpun, Malaysia. Apa Anda setuju dengan pencitraan seperti itu? Agak perlu ada koreksi dengan kata didzolimi, terdzolimi, atau kata lainnya yang semakna. Seorang motivator ternama, Bapak Mario Teguh, mengungkapkan bahwa : nilai harga diri kita adalah seberapa tinggi kta menghargai. Saat kita tidak memberi penghargaan pada diri sendiri, pantaskah orang lain menghargai lebih dari harga yang diri kita sendiri tentukan? Coba Anda koherensikan penjelasan saya ini dengan kasus yang tengah kita soroti : Pencurian Budaya. Seberapa besar pendzaliman yang saya –menuduh diri sendiri— lakukan terhadap Mbah Gesang, pencipta lagu Bengawan Solo, yang padahal saya berdarah Solo namun hanya hafal dua bait lirik lagu tersebut.

(b) “Andaikan, kita menjaga, pasti tidak akan ada yang terlepas...” Disebuah perbincangan dengan seorang kawan : ”Yan,Indonesia kasian amat ya...pulau saja sampai lepas ke Malaysia...” kemudian saya menjawab,”Yah, maklum, gaka ada yang menjaga.” Teman saya menambahkan,”Gimana mau dijaga, negara inikan kepulauan, susah banget kalo nempatin polisi patroli di setiap pulau”. Ternyata kata “menjaga” yang diungkapkan disela perbincangan kami, bermakna ambigu. Teman saya mengartikan secara riil, bahwa pulau kita memang benar-benar tidak ada polisi patrol di dalamnya. Sedang kata menjaga yang saya maksud, lebih kea rah kontekstual, yang berarti (maksud saya) hamper sama, namun penjagaan dalam nilai otoritas suatu bangsa. Yaitu, bagaimana pemerintah dengan kebijakkan birokrasinya melakukan proteksi kepada pulau-pulau tersebut (yang hampir atau sudah lepas???), seperti di pasal 30 ayat 2 UUD 1945 : “Usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui system pertahanan dan keamanan semesta oleh TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuata pendukung” Bila ada yang menyanggah,”Ya…tapi kan, yang diurusi pemerintah kita bukan hanya masalah budaya dan masalah pulau yang hilang…tapi banyak aspek kehidupan yang sama pentingnya.” Setelah itu,secara diplomatis saya akan menjawab,”Maka dari itu, peran kita sebagai warga negara di fungsikan.” Dalam amanat UUD 1945 di pasal yang sama pada ayat yang berbeda ( 30 : 1 ) bahwa,”Tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahan dan keamanan Negara.” Berarti secara substansial; karena hal tersebut diwajibkan, posisi warga Negara sangatlah dibutuhkan dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara. Pun dalam menjaga (baca: mempertahankan) kebudayaannya. (c) “Andaikan, hidup kembali jiwa-jiwa kepemilikan niscahya satu kesatuan akan tetap utuh” Dalam wawancara eksklusif acara TVOne, Tatap Muka, pada minggu 20 September 2009, terdapat sebuah pernyataan menarik dari Bapak Darmawan

Hadjikusumah ( Acil Bimbo) ketika sedang ditanya mengenai kontribusinya melindungi salah satu objek wisata budaya sunda, Tangkuban Perahu : “Kami (Bimbo) sedang memperjuangkan nasib Tangkuban Perahu, tapi agak sulit ketika jiwa kecintaan kita hampir terkorosi dengan tuntutan globalisasi” Secara garis besar hal yang didiskusikan dalam acara tersebut berkisar mengenai plagiatisme budaya Indonesia oleh Malaysia. Namun, pada segmen wawancara dan penuturan Pak Darmawan inilah yang saya anggap paling menarik. Beliau memaparkan bahwa secara tidak langsung, ada beberapa pihak dari bangsa Indonesia sendiri yang hendak merusak salah satu budayanya yaitu,Tangkuban Perahu. Bahwa di sana akan dibangun kawasan wisata real estitate yang berorientasi materi dan berpotensi mengikis nilai estetika dari kealamiahan objek tersebut. Beliau menegaskan bahwa sebelum kita lebih konsen pada kasus pencurian kebudayaan oleh Malaysia, sebaiknya kita lebih fokus terlebih dahulu membangun jiwa-jiwa kepemilikan dengan budaya yang kita miliki. Perusakan budaya tidak hanya pada kasus “pencurian” tapi juga berasal dari “internal” diri bangsa ini sendiri. Menurut hemat saya, globalisasi dapat

berdampak

baik

jika

kita

mampu

menguasainya.

Juga

bila

mengkolaborasikannya dengan nilai budaya pasti lebih baik lagi. Namun dalam kasus Tangkuban Perahu, saya sepaham dengan Bapak Darmawan, untuk tidak seharusnya kawasan yang semestinya dijaga keaslian budayanya tersebut dibangun kawasan real estitate.

II.2 Metode Penyelesaian Setelah teori analogi yang saya rangkum sendiri dengan kalimat-kalimat “syok terapi” berupa sindiran-sindiran halus di dalamnya dan saya rasa itu sudah cukup. Karena saya tidak ingin melihat sesuatu dengan penuh sentimen. Maka pada bagian ini, saya mencoba menganalisis hal-hal yang mungkin dapat kita lakukan guna melindungi akar budaya bangsa. Dengan metode yang tidak jauh dari lingkup keilmuan saya, yaitu Pendidikan.

II.2.1 Korelasi pendidikan dan nilai budaya Seberapa hafalkah kita (mahasiswa) dengan lagu daerah? Berikut dialog interaktif antara saya dan teman saya tentang lagu daerah : Teman saya

: Apuse…kokondao…yarabe…,aduh apalagi ya? Lupa nih Yan…

Saya

: Aduh payah nih…masa lupa sih…!!!

Teman saya

: Emangnya kamu masih hafal?

Saya

: Ya…enggak lah, sama, lupa juga…hehehe

Teman saya

: Woo…dasar ! Tapi, dulu pas SD, aku hafal sekali lho…

Perkataan teman saya, “dulu pas SD, aku hafal sekali” sengaja saya beri tanda kutip, dipertebal, dan sangat perlu digaris bawahi, karena hal tersebutlah yang saya jadikan studi kasus. Disadari atau tidak, fase pembentukkan sifat dan sikap adalah massa-massa “anyar” untuk diformat kepribadiannya. Kira-kira pada manusia berusia 6 – 12 tahun. Ya, sekitar usia SD. Maka dari itu, saya berargumen bahwa perlu ada perhatian khusus pada Institusi Pendidikan Anak Usia Dini dan Sekolah Dasar. Perhatian pemerintah yang mungkin, melalui kebijakkan

birokrasinya dalam menentukan

kurikulum pembelajaran.

Dimasukkan ke dalam standard pemahamanpeserta didik, aspek pendidikan mecakup budaya local hingga nasional. Tujuannya apa? Melalui pendidikan, tumbuh kembangkan jiwa nasionalisme anak, sedini mungkin. Saya sangat mengapresiasikan lebih terhadap kebijakkan pemerintah DKI Jakarta yang memasukkan pendidikan budaya local dalam mata pelajaran kesenian Jakarta untuk murid SD, hingga saat ini. Dahulu pun, ketika saya SD dan SMP, memang ada pelajaran kesenian Jakarta dan PLKJ (Pendidikan Lingkungan dan Kesenian Jakarta),namun sebatas SD-SMP. Tidak terdapat kesinambungan di pendidikan selajutnya. Jadi wajar saja (bisa dibilang wajar,kah?) bila anak muda angkatan saya mengatakan : Ya, dulu saya hafal lagu daerah, tapi dulu pas SD !! Dengan pendidikan : cuci otak mereka Menurut Prof.Dr.M.J. Langeveld dan Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju pada pendewasaan anak atau lebih tepatnya membantu anak agar cakap melaksanakan tugas dalam hidupnya. (Pengantar Ilmu Pendidikan, 36)

Kata “pengaruh” yang dimaksud, datang dari pendidik ( orang dewasa ) kepada peserta didiknya ( orang yang belum dewasa ). Saya dalam hal ini sebagai calon pendidik, tengah mencoba melakukan proses pendidikan dengan metode cuci otak (brain wash) peserta didik saya –murid private saya— Saya semakin tertantang setelah mata saya terbelalak mengetahui kenyataan pengaruh kemajuan zaman kepada anak kecil massa kini; melalui kisah : Setelah

selesai

mengajar

matematika

dan

bahasa

inggris.

Saya

mencoba

merefreshingkan otak murid saya, agar dia tidak jenuh. Mengajaknya bernyayi dengan menantangnya : KAMU BISA ATAU TIDAK?? Saya

: Dek,nyanyi yuk…

Putri

: nyanyi apa kak?

Saya

: Papa kamu orang jawa kan? Kamu tau lagu “Suwe Ora Jamu”, gak?

Putri

: Enggak kak…lagu apaan tuh?

Saya

: Lagu apaan?? (heran,lebih tepatnya seperti nada bertanya ke diri sendiri) Bahkan waktu seumurannya dulu, rasanya aku sudah hafal lagu itu deh (bicara dalam hati)

Putri

: Nyanyi yang lain aja kak…!!!

Saya

: Lagu apa?

Putri

: Tuhan berikan aku hidup satu kali lagi…Hanya untuk bersamanya Ku mencintainya sungguh mencintainya

Saya

: Astagfirullah!!! (syok) lagu apaan tuh dek???

Putri

: The Virgin, kak… Saudara pembaca, ternyata kemajuan zaman begitu pesatnya ya ! bahkan murid

kelas 2 SD sudah hafal lagu 17+. Saya saja tidak begitu hafal, makanya saya dibilang,”Ih kak dian gak gaul nih…” Biarlah ! Yang penting, saya sudah berhasil menyuruh murid saya untuk nanyi lagu daerah “Ondel-Ondel.” Karena ternyata, dia hanya hafal lagu tersebut, itupun dibagian suara keduanya… “Nyok kite nonton ondel-ondel, NYOK! Dan sebagai guru, ternyata saya bisa menggunakan otoritas saya untuk “menyuruhnya” menghafal lagu “Gundul-Gundul Pacul”…

Cara licik pertama yang saya perbuat adalah bilang bahwa,”Kita besok ulangan ! tapi ulangannya nyanyi lagu jawa,ok?! Setelah murid saya “terpaksa” menghafal lagu gundul-gundul pacul, pada akhirnya syukur Alhamdulillah saya berhasil membuatnya dalam keadaan “fun and like”.Berat baginya bila saya terangkan tujuan awal : “Dek, kita harus menjaga kebudayaan kita, agar tidak dicuri oleh Malaysia, supaya tumbuh jiwa-jiwa kecintaan terhadap budaya kita... dan sebagainya.” Bila penjelasan seperti itu yang saya berikan, niscahya dia juga tidak akan mengerti. Yang

ada, pasti dia bosan dengan ceramah saya. Hal yang tekankan adalah

membuatnya suka. Dalam mendidik, gunakan media Metode selanjutnya yang saya fikirkan adalah penggunaan media. Terdapatnya media khusus bagi anak yang ditunjang bimbingan orangtua, akan mengakselerasikan tumbuh kembang si anak. Seperti kasus yang terjadi pada murid saya : Dia hafal sekali lagu “The Virgin” karena diberi keleluasaan menguasai TV di rumahnya. Seandainya dirancang khusus program TVdengan kemasan menarik dan tidak membosankan mengenai kebudayaan “all about culture”, yang bisa dikonsumsi anakanak sungguh alangkah baiknya. Dan saya tidak menampik bahwa memang sudah ada beberapa stasiun TV yang sudah memiliki program seperti itu, sekarang saatnya peran orang dewasa mengarahkan potensi kebaikkan (nilai-nilai pendidikan) kepada orang yang belum dewasa. Maka, bila ada media elektronik yang mengulas “all about culture” sangat baik menjadi tontonan keluarga. II.2.2 Give a Signal...”beri tanda” Ini adalah metode terakhir yang coba saya hadirkan diluar lingkup pendidikan dan institusinya. Bukan sebuah metode asli, lebih tepatnya persetujuan saya terhadap kebijakkan pemerintah dalam upaya mereka menjaga salah satu produk budaya Indonesia yaitu batik. Maksud saya metode “beri tanda” adalah semacam hari peringatan terhadap budaya-budaya nasional. Seperti hal yang akan dilakukan pemerintah Indonesia bekerja

sama dengan UNESCO, untuk mematenkan batik tertanggal 2 oktober, menjadikannya semacam “hari batik”. Di tanggal 2 oktober nanti, diwajibkan bagi kita mengenakan batik. Namun koreksi dari metode “give a signal”, dengan menjadikan hari-hari tertentu sebagi hari budaya, adalah akan terlalu banyak hari yang akan diambil sebagai hari budaya. Karena Indonesia memiliki banyak budaya. Agak merepotkan kalau nanti dalam satu bulan selain ada Hari Batik, ada Hari Songket, Hari Tempe (makanan khas Indonesia), Hari Rendang, dan lainnya. Solusinya mungkin, digabungkankan saja semua atau beberapa kebudayaan dalam sebuah hari dan diperingati tiap tahunnya oleh bangsa Indonesia.

BAB III PENUTUP III.1 Kesimpulan Sebagai kesimpulan dari karya tulis ini saya buat poin per poin : Inti masalah : •

Budaya bangsa yang hampir meluntur



Terjadi persengketaan budaya, berujung masalah pencurian



Kenyataan bahwa ada ancaman eksistensi budaya oleh kemajuan zaman

Metode Penyelesaian : Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi akar budaya bangsa antara lain;  Melalui konsep pendidikan (menumbuhkan jiwa nasionalisme) (a) Kurikulum pembelajaran budaya (b) Peran pendidik untuk “mencuci otak” peserta didiknya (c) Membangun sebuah media khusus. Yang dapat dijadikan jejaring di masyarakat, yang khususnya ditujukan bagi anak-anak untuk belajar budaya.  Metode pemberian tanda (a) Mematenkan budaya (b) meng”kultus”kan hari tertentu sebagai hari budaya nasional.

III.2 Saran Sejatinya, seluruh isi karya tulis ini adalah saran yang saya berikan terhadap pihakpihak terkait; Pemerintah, orangtua, pendidik dan Anda sebagai pembaca; agar kita mampu mensyiarkan semangat-semangat nasionalisme terhadap sekitar, khususnya calon-calon penerus yang masih belia. Dan pesan penutup, berupa saran dan doa, bagi teman-teman seperjuangan saya, calon-calon pendidik... “Pantaskan diri kita untuk menjadi future leader bukan futur1 leader”

DAFTAR PUSTAKA buku : Dwiyono, Agus.,dkk. 2003. PKN untuk kelas 1 SMP. Jakarta : Yudistira Idianto. 2005. Sosiologi untuk SMA kelas XI. Jakarta : Erlangga. Meilanie, Sri Martini. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta : -----------website : http://paijomania.blogdetik.com/2009/08/24/daftar-kebudayaan-indonesia-yg-diklaimmalaysia/,

catatan kaki : 1. futur : keadaan keimanan yang menurun

Related Documents