Pendidikan Takaran Kebudayaan Bangsa (Untuk Pemerintahan Baru) Oleh Thomas Koten Dalam nalar budaya, dapat digarisbawahi, ”Jika ingin melihat dan menakar wajah peradaban bangsa di masa depan, minimal lima puluh tahun yang akan datang, maka hal itu dapat dilihat dan ditakar dari wajah pendidikan bangsa saat ini. Kemajuan, kecerdasan, dan kesuksesan bangsa di hari esok akan ditentukan oleh kemajuan kecerdasan dan kesuksesan pendidikan di hari ini. Artinya, bukan kemajuan ekonomi dan politik saat ini yang menentukan wajah kemajuan bangsa di hari esok, melainkan kemajuan pendidikan.” Namun, ironisnya, aspek pendidikan selalu terabaikan dan/atau selalu dijadikan nomor ke sekian dari kebijakan-kebijakan yang ditelorkan oleh negara. Bahkan, dalam kampanye pilpres, pendidikan tidak ditempatkan sebagai program utama. Pasangan Yudhoyono-Boediono dengan dukungan Partai Demokrat yang kini dapat dipastikan memenangkan pilpres pun tidak menjadikan bidang pendidikan sebagai bidang yang diprioritaskan dalam perjuangan politiknya. Jadi, dapat diyakini selama lima tahun ke depan di bawa kepemimpinan baru, tidak bisa diharapkan kemajuan yang signifikan atau perubahan yang radikal dalam bidang pendidikan. Okelah, ini sudah menjadi risiko dari pilihan politik rakyat dalam memenangkan pasangan ini. Dan kalaupun pasangan Mega-Prabowo dan Jusuf Kalla yang terpilih pun, sebenarnya juga tidak bisa terlalu diharapkan adanya perubahan yang radikal atau signifikan dari bidang pendidikan. Karena memang sepanjang sejarah negeri ini, para pemimpin kita hampir tidak pernah menempatkan bidang pendidikan sebagai bidang utama perjuangan bangsa. Namun, kita toh tetap berharap pemerintah ke depan memiliki perhatian yang serius terhadap pendidikan dengan penekanan pada kebudayaan sebagai takarannya. Dinamika budaya Oleh karena kecerdasan dan keberadaan bangsa di hari esok sangat ditentukan oleh kemajuan di bidang pendidikan, maka pendidikan yang berbudaya dan berkeadaban menjadi faktor utama dalam mengemas sistem dan metode pendidikan kita saat ini. Dalam buku Quo Vadis Tujuan Pendidikan, Kartini Kartono, menulis, tujuan pendidikan di Indonesia harus amat terkait dengan tinjauan segi kebudayaannya. Secara teoretis, siapa pun sudah fasih mengetahui bahwa pengembangan sistem pendidikan harus selalu berakar pada kebudayaan. Karena manusia lahir, tumbuh dan berkembang selalu berada dalam bingkai kebudayaan masyarakat bangsanya. Maju-mundurnya pemikiran manusia tidak pernah terlepas daripada dinamika kultural. Masyarakat bangsa dengan budaya yang cerdas akan membentuk manusia-manusia cerdas, sebaliknya manusia-manusia cerdas dapat membentuk budaya masyarakat bangsa yang cerdas pula. Dalam konteks ini, berarti kita perlu ”menyegarkan kembali cara memahami dan memaknai pendidikan di tengah gejolak kultural bangsa. Di sini pula dapat dipahami perkembangan masyarakat generasi yang satu berbeda dengan generasi yang lainnya. Artinya, sosok satu generasi dalam perkembangan pemahamannya dalam menghadapi
lingkungan sosio-kulturalnya dus gaya hidupnya akan amat berbeda dengan generasi lainnya. Perkembangan satu generasi dengan generasi lainnya juga pasti akan ditentukan oleh sejauh mana interaksinya dengan dinamika perkembangan budaya global yang mengitari budaya lokal di mana generasi yang dimaksud hidup, tumbuh dan berkembang. Persoalan kini adalah betapa sulitnya memahami asas dinamik yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini, yang dapat dipotret untuk para pelaku dan pengelola pendidikan Indonesia ke depan. Mengingat apa yang dikatakan JC Tukiman Taruna (2001), bahwa aspek-aspek kultural –apalagi kebudayaan lokal- saat ini sedang berada pada titik nadir, sehingga sangat sulit menemukan asas dinamik (yang menonjol) dimiliki bangsa Indonesia. Perkembangan masyarakat yang semakin permisif dan egoistik akan semakin memusnahkan semangat berkorban dan bela-rasa (solidaritas), dan yang lebih menonjol berkembang justru semangat mementingkan diri sendiri. Semangat gotongroyong yang sejak dulu dikatakan sebagai salah satu asas dinamika yang menjadi ciri khas dus watak bangsa, kini khususnya di daerah perkotaan semakin pudar. Sehingga, kita pun bertanya, apa sifat kodrati bangsa Indonesia yang mesti dipelihara dan dikembangkan dalam dunia pendidikan kita? Pertanyaan ini perlu dijawab untuk dikembangkan dalam dunia pendidikan kita. Jika pendidikan kita masih berada pada level yang memprihatinkan di tingkat Asia, dan karenanya menjadi tantangan yang sangat berat bagi kemajuan bangsa di masa yang akan datang, maka jelas bahwa dinamika kultural bangsa Indonesia juga sedang mengalami stagnasi. Di samping itu, dengan tumbuh suburnya kehidupan politik demokrasi ala Barat, berikut terpaan budaya global yang begitu bergelora, telah membuat budaya lokal semakin kehilangan daya tariknya, sehingga bangsa ini kehilangan sosok jati dirinya. Lihat misalnya, budaya instan begitu subur dan gaya individualistik dan pragmatisme begitu menyengat dalam masyarakat. Akibatnya, bangsa Indonesia pun semakin terasing dengan budayanya sendiri. Itulah kesulitan bagi generasi kini dus dunia pendidikan kita untuk membangun energi dan potensi budayanya sendiri, sehingga menjadi bermakna. Ingat bahwa prestasi tidak bisa diukur lewat sikap instan. Namun, ini menjadi tak terhindarkan di tengah ”materialsisasi” pendidikan yang menggiring anak didik lebih mengutamakan kecerdasan intelektual dan keterampilan berkarya daripada kecerdasan spiritual dan nilai-nilai moral. Padahal, kebudayaan itu merupakan keseluruhan hasil cipta, rasa dan karya masyarakat yang dimanfaatkan menurut karsa masyarakat. Dan pengembangan masyarakat bangsa hari esok yang cerdas dan beradab sangat ditentukan oleh pengembangan pendidikan yang tercipta, rasa dan karsa masyarakat terdidik. Untuk pemerintahan baru Untuk kemajuan pendidikan dan perkembangan bangsa yang cerdas dan beradab di masa depan yang dilandasi oleh pendidikan masa kini, maka kini pemeritahan baru diharapkan dapat mengembangkan sistem dan model pendidikan lewat kurikulum yang memungkinkan pengembangan kreativitas anak didik atau memberi ruang bagi anak didik untuk bersaing dan berkreasi secara fair. Dalam hal ini, perhatian serius pemerintah dan pendidik tercurah pada suasana belajar mengajar, metode dialog, diskusi, dan ”mempertanyakan” untuk mencari kebenaran yang lebih tinggi harus dibuka seluasnya. Dalam hal ini, perhatian pemerintah dan pendidik semestinya bukan saja terutama pada perwujudan sekolah gratis dan ujian negara, tetapi terutama pada sistem, metode
dan cara belajar-mengajar yang mencerdaskan anak didik secara intelektual dan spiritual, dengan kreativitas yang didukung oleh keunggulan nilai-nila moral dan etika. Minimal, pendidikan berwajah reformasi yang hakikatnya adalah penciptaan keadaan pendidikan yang semakin baik, yang bukan hanya memoles sesuatu yang sekadar tampak baru dan canggih, padahal sama saja, seperti membuat kurikulum baru yang sekadar tambal sulam belaka, melainkan peningkatan kualitas yang semestinya. Untuk itu, diperlukan keberanian dan kematangan dengan itikad kerelaan dan pengorbanan dari pemerintahan yang akan datang dan para penanggungjawab pendidikan nasional untuk melakukan aneka terobosan yang substansif terhadap batas-batas sistem yang mapan dan baku. Namun, semuanya itu harus tetap berpijak pada takaran dan tataran budaya dan/atau dinamika kultural bangsa. Penulis, Direktur Social Development Center