Mercon dan Kita Oleh Prie GS Sekali lagi, ada baiknya Pemerintah melegalisasi mercon sebagai barang halal. Bukan untuk mendukung bahayanya, bukan agar lebih banyak korban jatuh, tapi lebih pada kompromi pada realitas saja. Diharamkan atau dihalalkan, korban toh tetap jatuh dan mercon tetap dibuat dan diledakkan. Kenapa mercon tak ditempatkan seperti halnya film action yang ditonton untuk kegembiraan, untuk melepas ketegangan-ketegangan? Kenapa Pemerintah tidak melihat sesuatu yang lebih besar, lebih mendasar yakni kegembiraan publik? Karena betapa rakyat Indonesia adalah pihak yang selalu sengsara. Pihak yang melulu melihat pemimpin-pemimpinnya bertengkar, pejabat-pejabatnya korup, dan melihat ketidakpastian hukum yang berkepanjangan. Dalam krisis kegembiraan semacam itu, mercon sanggup menjadi teman. Ledakannya menjadi tanda ritual publik, menjadi aksesoris tambahan bagi momentum peribadatan, menjadi penggairah ekonomi rakyat. Lagi pula kegembiraan itu toh tidak setiap kali, cukup setahun sekali. Soal bahaya pun belum pernah ada bukti yang dramatis, sedramatis minuman keras yang bisa mengakibatkan orang bisa saling tawuran dan berbunuhan. Semengerikan rokok yang sanggup membunuh jutaan orang secara pelanpelan. Padahal kepada rokok cuma diberi teguran berupa peringatan pemerintah: merokok dapat mengganggu kesehatan. Rakyat Indoneia juga pihak yang melulu teraniaya. Aneka keragaman kebudayaan mereka terancam seragam oleh hasutan televisi. Produktivitas mereka di desa terancam oleh bujukan urbanisasi. Televisi membuat warga desa menjadi kota sebelum waktunya. Membuat para petani lebih suka menjual tanah garapan untuk membeli mobil omprengan. Membuat anak-anak mereka asing terhadap kultur bertani leluhurnya. Mereka lalu ramai-ramai berubah dari masyarkat pemroduksi menjadi sekadar tukang konsumsi. Akhirnya budaya menikmati lebih berkuasa katimbang berkreasi. Kemalasan menjadi perilaku, kriminalitas menjadi akibat. Urbanisasi membuat banyak desa berubah menjadi kawasan mati, membuat pemusatan ekonomi, mengakibatkan sentralisasi nilai dan orientasi. Maka walau Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas, semua konsentrasi cuma tertuju ke Jakarta dan ke kota besar-besar saja. Pemerataan adalah masalah yang sangat serius di negeri ini. Kota-kota besar pun terus menjadi tumpahan bagi barisan orang-orang yang kalah perang di kampungnya sendiri. Sebagian dari orang-orang ini memenangkan kompetisi. Tapi sebagaian besar lainnya cuma sanggup menjadi benalu, pengisi pos-pos kemiskinan, pengangguran dan kriminalitas. Kota yang makin penuh beban itu pun makin susah mengendalikan dirinya sendiri. Perbandingan jumlah orang dan kawasan makin tidak seimbang. Orang-orang cuma bisa menikmati keributan dan kesempitan lahan. Berlari dan berteriak lalu menjadi sebuah kemewahan. Hidup tanpa sanggup berlari tentu hidup yang terkunci. Hidup tanpa bisa berteriak pasti hidup yang sesak. Karenanya, semua bentuk kegembiraan publik itu baik di kota maupuan di kota malah mendesak diperkembangkan katimbang dilarang-larang. Rakyat tanpa kegembiraan akan menjadi sangat berbahaya. Tapi, sampai saat ini, Pemerintah memang pihak yang sulit menggembirakan rakyatnya. (03)