Menggugat Independensi Lembaga Survei1

  • Uploaded by: Adi Surya (Ucox Unpad)
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Menggugat Independensi Lembaga Survei1 as PDF for free.

More details

  • Words: 1,194
  • Pages: 5
Lembaga Survei,Pedang Bermata Dua Demokrasi Oleh : Adi Surya Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumedang

Dalam dunia politik,dikenal sebuah istilah bandwagon effect untuk menggambarkan kecenderungan pemilih tidak mau memilih pecundang dalam pemilu. Bandwagon effect pernah terjadi dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat pada 1980 saat Ronald Reagan memenangi pemilu. Jaringan televisi NBC telah mengumumkan kemenangan Reagan dari hasil exit poll (survei terhadap orang yang baru saja memilih) di wilayah timur Amerika. Padahal di wilayah barat,pemilihan baru dimulai. Akhirnya pemilih di wilayah barat akirnya banyak yang memilih Ronald Reagan Kejadian ini bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia karena rentang pembagian waktu yang berbeda antara waktu bagian barat,tengah dan timur yang berjarak masing-masing satu jam.Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 245 ayat 2 dan 3 serta Pasal 282 dan 307 yang melarang lembaga survei mengumumkan hasil jajak pendapat pada masa tenang,serta mengizinkan pengumuman perhitungan cepat sehari setelah pemungutan suara beserta membatalkan sanksi pidananya. Keputusan MK tersebut menggelisahkan kita karena keberadaan lembaga survei yang dituding ditunggangi kepentingan partai politik bisa mempengaruhi keputusan politik masyarakat.Pro

dan

kontra

yang

membelit

kredibilitas

lembaga

survei

belakangan ini menjadi buah bibir karena dituding tidak objektif dan merupakan bentuk komersialisasi penelitian atau lahan bisnis baru yang berjalan berkelindan dengan kepentingan politik tertentu. Keberadaan lembaga survei dalam era demokrasi langsung memang menyiratkan tingkat partisipasi publik

yang jauh meningkat dibandingkan

pada era orde baru dalam politik. Selama 32 tahun Soeharto berkuasa, lembaga survei seakan tidak mendapat tempat di tengah politik sentralistik yang cenderung berpusat pada kebijakan yang berfatsun negara kuat – rakyat lemah.

Konsekuensi

logisnya

menyebabkan

tingkat

partisipasi

publik

sebagai

pemegang kedaulatan dalam bentuk mengawasi dan berperan serta dalam proses politik menjadi kian mengambang. Namun, dalam iklim kebebasan dalam bingkai demokrasi, munculnya lembaga-lembaga survei bak cendawan di musim hujan juga harus kita lihat dari kacamata peningkatan kesadaran publik dalam berperan serta mendukung iklim demokrasi. Besarnya ruang untuk mendirikan partai setali tiga uang merangsang kebutuhan–kebutuhan partai dalam tuntutan demokrasi langsung. Semakin luasnya pemilih yang harus dijangkau dan keterbatasan sumber daya partai

untuk melakukan

riset-riset lapangan

seperti pemetaan

pemilih,

membuat lembaga survei menjadi mesin yang dapat diandalkan sebagai partner. Setidaknya hal ini juga dialami oleh negara-negara demokrasi lainnya seperti Amerika Serikat. Mark J. Penn adalah presiden dari lembaga riset terkemuka yaitu Polling Firm Penn, Schoen and Berland Associates. Ia adalah konsultan politik sekaligus seorang pollster yang belum lama menjadi konsultan politik Hillary Clinton pada pilpres Amerika Serikat 2008 lalu. Di dalam negeri ada

beberapa

lembaga

survei

yang

berlomba-lomba

untuk

menyajikan

keakuratan informasi kepada publik semisal Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Lembaga Survei Indonesia, Lembaga Survei Nasional (LSN), Puskaptis dan beberapa lembaga survei lainnya. Dalam artian, lembaga survei bukanlah sesuatu yang haram dan anomali dalam iklim demokrasi. Dampak keberadaan lembaga survei bagi perjalanan demokrasi di Indonesia sejatinya akan menambah angin segar kehidupan berdemokrasi. Lembaga survei sebagai representasi kekuatan masyarakat bisa menjadi info pembanding dan menjadi rujukan informasi bagi publik untuk melihat sesuatu hal berdasarkan hasil penelitian ilmiah dan tidak berpijak pada asumsi. Namun,ditengah perjalanan, objektivikasi, valisitas, kredibilitas dan reliabilitas lembaga survei diragukan karena terkontaminasi oleh perselingkuhan peneliti dan

politisi.

Hal

ini

tentunya

harus

kita

lihat

secara

objektif

dan

mengeyampingkan pretensi kepada semua lembaga survei. Titik pangkal persoalannya adalah ketika hasil sebuah jajak pendapat atau polling dituding ditunggangi oleh kepentingan politik. Hasil survei

kemudian kehilangan mantra objektivitasnya karena secara sengaja merekayasa hasil survei untuk pesanan elit politik. Hal ini juga ditengarai akibat beberapa lembaga survei juga sekaligus merangkap sebagai konsultan partai. Penelitian kemudian terjebak dalam pekatnya dan gelapnya lorong-lorong dunia politik yang penuh jebakan. Dunia politik kemudian mengenal bisnis baru berupa pendirian lembaga survei yang menjual hasil-hasil survei ataupun mendukung infrastruktur seorang kandidat yang sedang bertarung. Tak ayal ini membuat independensi ilmiah digugat oleh etika penelitian karena telah menceburkan diri dalam sisi gelap komersialisasi dan bisnis jasa kepentingan tertentu.Sehingga beberapa hasil survei tentang popularitas calon/partai ,tingkat akseptabilitas, peluang menang dan hasil perhitungan cepat dari beberapa lembaga survei seringkali berbeda jauh dan berubah-ubah sehingga membingungkan publik. Sebagai sebuah lembaga yang mengambil posisi penyaji informasi akurat dan cepat. Masyarakat mau tidak mau akan terkena dampak. Hal yang paling ditakutkan adalah terjadinya konflik vertikal maupun horizontal yang dalam jangka panjang berbuah kekacauan(chaos). Kita tentunya masih mengingat hasil penghitungan cepat pada Pilkada Sumatera Selatan yang berbuah pengepungan

kantor

KPUD

dan

bentrokan

antar

pendukung

kandidat.

Pasalnya, masyarakat dibuat bingung terhadap hasil hitung cepat yang dirilis oleh beberapa lembaga survei yang saling bertentangan dalam memberi hasil. Dalam Pilkada Jatim dan Jabar hal ini juga terjadi dimana lembaga survei mempublikasikan hasil perhitungan yang berbeda dengan rekapitulasi KPUD Lembaga yang memberikan hasil survei berdasarkan pesanan juga memberikan kerugian kepada kandidat lain. Selain itu, institusi formal seperti KPU juga seringkali menjadi resah karena sebagai penyelenggara pemilu yang sah,seringkali

menjadi

sasaran

kemarahan

massa

karena

dianggap

mengeluarkan hasil yang berbeda dengan lembaga survei. Setidaknya, ada tiga faktor yang harus diperhatikan terhadap sebuah lembaga survei sebelum melihat hasil jajak pendapat yang dilakukannya. Pertama, aspek legalitas lembaga survei tersebut yang keberadaannya diakui atau disahkan oleh pihak yang berwenang. Kedua, lembaga survei itu harus memiliki kredibilitas dan diakui kenetralannya dalam materi atau tema yang akan dijajaki. Ketiga, adanya kompetensi lembaga survei dengan memahami metode jajak pendapat dan menghimpun suara.

Aspek legalitas lembaga survei semacam sertifikasi memang perlu untuk mencegah lembaga-lembaga survei taktis yang hanya disiapkan menjelang momen politis. Persoalanya siapa yang berwenang memberi legalitas juga mengandung pro kontra. Pemerintah melalui KPU atau organisasi profesi. Ada ketakutan jika diserahkan pada pemerintah,karena rentan akan politisasi untuk kepentingan pihak tertentu. Namun,menyerahkan pada organisasi profesi

juga

harus

survei.Namun,sebagai

melepas

jaket

organisasi

non

solidaritas

sesama

pemerintah,lebih

baik

lembaga sertifikasi

diserahkan kepada organisasi profesi yang dibentuk oleh lembaga-lembaga survei. Aspek kredibilitas dan kenetralan memang patut kita perhatikan.Selain mempelajari track record,penting diketahui bahwa lembaga survei juga ada yang menjadi tim sukses.Sebagai tim pemenangan,hasil survei tentunya sangat rawan sebagai penggiringan opini ke calon yang diusungnya. Ada juga dengan survei

yang

khusus

dipesan

untuk

mendongkrak

popularitas.

Persoalanya,publik harus disadarkan dengan informasi ini. Agar bisa melihat dan mempunyai informasi rujukan dalam menilai sebuah hasil survei. Sedangkan aspek kompetensi menyiratkan bahwa seringkali hasil survei yang

berbeda–beda

antar

lembaga

survei

diakibatkan

tidak

adanya

kesepahaman tentang metode penelitian yang digunakan. Oleh karena itu penting organisasi profesi yang dibentuk lembaga-lembaga survei untuk duduk bersama menyatukan frame tentang metodologi. Disamping itu, lembaga survei harus berani jujur dan terbuka untuk mencantumkan siapa sumber

dana dan metode penelitian yang digunakan

(sampel dan jumlah responden). Selama ini publikasi hasil survei hanya menampilkan hasil dan margin error tanpa jelas siapa responden dan sumber dananya. Jika memang hal ini tidak efektif, maka masyarakat harus dicerdaskan secara politik untuk membaca hasil-hasil survei. Di sini peranan perangkat

civil

society

(LSM,Pers,Perguruan

Tinggi)

diperlukan

untuk

menjembatani ketidaktahuan publik menilai sebuah hasil survei.Pendidikan politik ini penting untuk kemudian menjadi penentu bagi seleksi alam terhadap eksistensi lembaga survei. Misalnya,televisi yang membuat acara-acara tentang hal ini, LSM dan mahasiswa melakukan aksi-aksi agar masyarakat tidak mudah percaya

dan

cerdas

dalam

melihat

hasil

survei.Semakin

berani,

transparan,akurat dan akuntabel sebuah lembaga survei, maka kepercayaan publik tidak akan lepas. Masyarakat harus bisa membedakan mana lembaga yang sebenarnya mengeluarkan hasil resmi pemilu dan harus jeli dan kritis membaca sebuah hasil survei. Tanpa peran serta masyarakat, lembaga survei yang rela “melacurkan diri” akan semakin agresif untuk memobilisasi dan merekayasa realitas politik untuk kepentingan pragmatis.

Related Documents


More Documents from ""