Mencari Kasus Hiv Aids Di Masyarakat

  • Uploaded by: Syaiful W. HARAHAP
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mencari Kasus Hiv Aids Di Masyarakat as PDF for free.

More details

  • Words: 841
  • Pages: 4
Nasional

’Mencari’ Kasus HIV/AIDS di Masyarkat Oleh Syaiful W. Harahap* Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia tidak menggambarkan angka yang sebenarnya. Sampai 30 Juni 2009 dilaporkan 17.699 kasus AIDS. Ini hanya puncak dari fenomena gunung es pada epidemi HIV. Estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia berkisar antara 90.000 – 130.000. Hari AIDS Sedunia diperingati hari ini untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap HIV/AIDS.

Penemuan kasus HIV/AIDS yang sangat kecil di Indonesia terjadi karena selama ini deteksi bersifat pasif. Kasus AIDS yang dilaporkan terdeteksi ketika mereka berobat ke rumah sakit dengan penyakit-penyakit yang gejalanya terkait AIDS. Selain itu kasus HIV-positif dideteksi lewat survailans tes HIV pada kalangan tertentu, seperti pekerja seks komersial (PSK), waria, dan karyawati industri hiburan malam. Perda AIDS Belakangan pendeteksian kasus HIV/AIDS mulai dikembangkan dengan dana dari donor melalui klinik tes HIV sukarela dengan konseling gratis yang dikenal sebagai VCT (voluntary counseling and testing). Klinik ini pun tidak banyak membantu karena sifatnya tetap pasif yaitu menunggu orang untuk tes HIV. Untuk mendorong orang ke klinik VCT dilakukan penyuluhan terutama di kalangan orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV, seperti PSK, pelanggan PSK, dan penyalahguna narkoba dengan jarum suntik. Karena jumlah orang yang sudah terdeteksi HIV sangat kecil jika dibandingkan dengan estimasi maka banyak yang tidak terdeteksi. Tanpa mereka sadari mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Jika upaya untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS tetap pasif maka kasus-kasus infeksi HIV baru akan terus terjadi.

1

Upaya penanggulangan epidemi HIV di Nusantara diwujudkan secara legal melalui peraturan daerah (Perda). Sampai sekarang sudah ada 32 daerah, mulai dari provinsi, kabupaten sampai kota yang menelurkan Perda penanggulangan AIDS. Ide pembuatan perda bertolak dari pengalaman Thailand menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui hubungan seks yang dikenal sebagai ’program wajib kondom 100 persen’. Program itu sendiri di Thailand merupakan ekor dari serangkaian program penanggulangan yang dijalankan secara komprehensif dan konsisten sepanjang tahun. Program pertama adalah penyebarluasan informasi HIV/AIDS melalui media massa. Ini membuat masyarakat memahami langkah-langkah penanggulangan secara akurat sehingga bisa diterapkan. Ketika Indonesia mempromosikan kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan muncul protes dan penolakan. Ini terjadi karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS dibumbui dengan norma, moral, dan agama sehingga fakta HIV/AIDS dilindas oleh mitos (anggapan yang salah). Dalam semua perda ada pasal tentang ’wajib kondom 100 persen’. Program ini menghadapi kendala ketika dijalanakn di Indonesia. Di Thailand program itu dijalankan di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir, sedangkan di Indonesia tidak ada lokalisasi dan rumah bordir yang ‘resmi’. Dalam perda yang diutamakan adalah sanksi hukum bagi yang melanggar pasal tentang ’wajib kondom 100 persen’. Tapi, tidak ada mekanisme untuk melakukan pemantauan terhadap kewajiban itu karena tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Tes Rekomendasi Lagi pula di Thailand sendiri pemantauan terhadap program itu tidak dilakukan terhadap orang per orang. Pemantauan dilakukan melalui survailans IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap PSK secara rutin. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka itu menandakan ada PSK yang meladeni laki-laki yang tidak memakai kondom. Pengelola lokalisasi pelacuan atau

2

rumah bordir akan mendapat teguran sampai pada penutupan usaha jika tetap terdeteksi PSK yang mengidap IMS. Karena perda-perda dibuat dengan muatan moral maka mekanisme pemantauan pun tidak bisa dilakukan karena tidak ada daerah yang mengakui lokalisasi pelacuran. Ada anggapan kalau di satu daerah tidak ada lokalisasi pelacuran maka daerah itu bersih dari maksiat. Ini keliru karena praktek pelacuran terjadi di mana saja dan kapan saja. Praktek-praktek pelacuran itulah kemudian yang menjadi ‘lahan’ penyebaran HIV karena ‘wajib kondom 100 persen’ tidak bisa diterapkan sehingga ada risiko penularan HIV. Laki-laki menularkan HIV kepada PSK. Kemudian laki-laki lain yang melakukan hubungan seks dengan PSK yang sudah tertular HIV pun tertular pula. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Tapi, karena HIV/AIDS dilihat dengan sudut pandang moral maka yang dihujat hanya PSK. Karena tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang bisa menjadi target penerapan ‘wajib kondom 100 persen’ maka upaya menurunkan insiden penularan HIV melalui hubungan seks pun sirna. Padahal, di Indonesia diperkirakan ada 3,3 juta laki-laki ‘hidung belang’. Celakanya, hanya 1,3 persen dari mereka yang memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan PSK. Dampak dari keengganan laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom ketika sanggama dengan PSK sudah tampak yaitu kasus infeksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Mereka ini tertular HIV dari suaminya. Selanjutnya ibu-ibu yang sudah tertular HIV itu pun menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya. Jika laki-laki ’hidung belang’ enggan memakai kondom ketika sanggama dengan PSK maka pakailah kondom ketika sanggama dengan istri. Karena mata rantai penyebaran HIV terus terjadi maka perlu ada upaya konkret untuk mendeteksi kasus HIV di masyarakat. Cara baru yang diperkenalkan adalah tes HIV atas rekomendasi atau inisiatif petugas kesehatan yang dikenal sebagai Provider Initiated Testing and Counseling (PITC). Dokter yang melihat gejala AIDS pada pasien dengan riwayat perilaku yang berisiko dianjurkan tes HIV. Ini langkah baru mendeteksi kasus HIV di masyarakat.

3

* Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.

4

Related Documents

Hiv Aids
November 2019 39
Hiv Aids
June 2020 25
Hiv/aids
June 2020 37
Hiv Aids
June 2020 31

More Documents from "younismushtaq"