SOLUSI TUNTAS HIV/AIDS: TERAPKAN ISLAM KAAFFAH !! Oleh: Faizatul Rosyidah HIV/AIDS: BAHAYA GLOBAL HIV dan AIDS merupakan masalah darurat global. Di seluruh dunia lebih dari 20 juta orang meninggal karena HIV/AIDS. Sementara itu, 50 hingga 60 juta orang telah terinfeksi virus menyeramkan ini. Fakta yang lebih memprihatinkan adalah bahwa di seluruh dunia, setiap 11 detik satu orang meninggal akibat AIDS, setiap 6 detik satu orang tertular virus HIV dan setiap hari virus HIV menular kepada sekitar 2000 anak di bawah 15 tahun, terutama berasal dari penularan ibu-bayi. Selain itu juga menewaskan 1400 anak di bawah 15 tahun, serta menginfeksi lebih dari 6000 orang muda dalam usia produktif 15-24 tahun. Diperkirakan pada tahun 2010 akan ada 20 juta ODHA di Asia Pasifik. Sejak kasus HIV/AIDS pertama kali dilaporkan terjadi di Indonesia pada bulan April 1987 di Bali, jumlah penderita HIV/AIDS terus meningkat secara eksponensial. Pada 31 Desember 2006, dilaporkan dalam jangka waktu satu tahun terdapat 986 kasus baru HIV dan 2873 kasus baru AIDS. Dilaporkan pula bahwa secara kumulatif sejak 1 April 1987 hingga 31 Desember 2006 terdapat 5230 pengidap HIV dan 8194 kasus AIDS dengan jumlah meninggal dunia 1871 orang (Ditjen PP & PL Depkes RI, 8 Januari 2007). Bahkan data per Juni 2007 menunjukkan peningkatan angka kumulatif menjadi 9689 untuk kasus AIDS dengan kasus meninggal sebanyak 2118 jiwa, dan 5813 untuk kasus HIV positif. 8.000 kasus HIV/AIDS (56,6%) terjadi pada remaja (usia 15-29 tahun) melalui hubungan seks bebas (45,1%) dan IDU (52,8%). Jumlah ini diyakini masih jauh dari jumlah yang sebenarnya dan masih akan terus meningkat. Diperkirakan pengidap riil HIV/AIDS berjumlah 15,5 juta jiwa, 8 juta jiwa di antaranya adalah remaja. HIV/AIDS = LIFE STYLE DISEASE Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah bersama beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Berbagai program digulirkan sebagai formulasi penanggulangan HIV/AIDS, seperti kondomisasi, harm reduction, dll. Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang cukup signifikan bahkan selalu muncul kasus baru. Lalu, bagaimanakah upaya jitu yang benar-benar dapat menghentikan laju penyebaran HIV/AIDS? Tidak cukup melakukan pengkajian tentang HIV/AIDS yang sudah menjadi ”bahaya global” dengan hanya mendasarkan pada sisi permukaan saja, terlebih lagi secara parsial. Dibutuhkan pengkajian secara mendalam dan mendasar untuk dapat memahami akar permasalahan HIV/AIDS sehingga dapat diformulasikan solusi yang mendasar pula yang benar-benar mampu memberantas HIV/AIDS hingga ke akarnya. Sejatinya, HIV/AIDS bukan sekedar masalah medis. Penyakit ini merupakan dampak sosial yang ditimbulkan oleh gaya hidup yang salah seperti seks bebas, penyimpangan orientasi seks (lesbi & homo), penyalahgunaan narkoba, dll, sehingga penyakit ini disebut sebagai life style disease. Hal ini sangat mudah dilihat dari sejarah muncul dan berkembangnya penyakit ini di dunia. Awal kemunculannya pada dekade 80an di San Fransisco, penyakit ini ditemukan di kalangan homoseksual. Berikutnya penyakit ini menyebar ke berbagai belahan dunia lain seperti Amerika Utara, Amerika
Serikat, Eropa Barat, Australia, Afrika, Karibia hingga ke seluruh penjuru dunia melalui aktivitas homoseks, biseks ataupun heteroseks yang bebas. Di Indonesia sendiri, pertama kali ditemukan pada seorang turis Belanda (pelaku homoseks) di Bali (1987) dan pertama kali ditemukan pada WNI, juga di Bali (yang kita ketahui juga identik dengan surga bagi para penikmat seks) pada tahun 1988. Seiring dengan perkembangan penyimpangan perilaku manusia, HIV/AIDS tidak hanya menyebar melalui aktivitas seks bebas, tetapi juga melalui jarum suntik yang dipakai secara bergantian oleh penyalahguna NAZA. Kalaupun kemudian ternyata ada individu-individu yang tidak berperilaku menyimpang tetapi tertular HIV/AIDS, haruslah dipahami bahwa hal itu hanyalah efek spiral yang ditimbulkan dari penyimpangan perilaku di atas yang tidak segera dieliminir. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kemunculan dan penularan HIV/AIDS sebenarnya adalah disebabkan oleh penyakit perilaku (gaya hidup yang menyimpang) seiring dengan kerusakan pemahaman dan paradigma berpikir manusia tentang kehidupan. Dan yang menjadi transmisi utama adalah free sex (homoseks, biseks dan heteroseks). Kalaupun trend penularan tertinggi sekarang adalah melalui IDU, maka sebenarnya penyalahgunaan NAZA sangatlah berkorelasi dengan terjadinya free sex yang lazim terjadi karena efek loss of controll pada para pengguna narkoba. MELACAK AKAR MASALAH HIV/AIDS Pertanyaan berikutnya yang pasti akan disampaikan adalah: Kenapa dan bagaimana penyimpangan perilaku itu bisa terjadi dan merebak di tengah-tengah masyarakat? Terdapat beberapa faktor yang mendorong muncul dan merebaknya beberapa penyimpangan perilaku tersebut pada masyarakat: Pertama, tingkat keimanan dan ketaqwaan individu yang lemah sehingga ia tidak dapat mengontrol dirinya untuk tidak tergoda melakukan perilaku yang menyimpang. Kedua, integritas dan kualitas kepribadian (pelaku) yang lemah sehingga kurang mampu bersikap dengan benar (sesuai aturan agama/nilai-nilai transendental). Ketiga, kontrol masyarakat yang sangat lemah. Jika kita mau jujur, perilaku remaja yang serba bebas menjadi tontonan setiap saat di hampir setiap tempat secara terbuka tanpa rasa malu. Tetapi apa yang dilakukan oleh bapak/ibu pemilik rumah kos, bapak RT/RW, dosen, rektor hingga pemerintah pusat? Bahkan Undang-Undang Anti Pornografi yang sudah sangat mandul untuk memberantas pornografi/aksi pun masih banyak menuai penolakan, karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia dan kebebasan berekspresi. Keempat, kebijakan negara dan sistem yang tidak kondusif. Paradigma sekuler-liberal yang kapitalistik (memisahkan agama dari kehidupan dunia, mengagung-agungkan kebebasan individu dan hanya berorientasi pada kapital/modal/materi), yang telah rusak sejak asasnya, melahirkan sistem politik yang oportunistik, sistem ekonomi yang kapitalistik, sistem pendidikan yang materialistik, sistem sosial-budaya yang hedonistik, sistem hukum pengadilan yang ’rapuh’, sistem persanksian yang tidak menjerakan dan mencegah, serta korupsi dan suap yang membudaya. Tentunya paradigma tersebut ’memaksa’ manusia sebagai pelaksana sistem untuk mengikuti aturan main sistem tersebut, sehingga terciptalah masyarakat yang hedonis, kapitalis, oportunis, materialis dan rapuh. Kelima, hak-hak warga negara yang terabaikan sehingga menimbulkan stressor kehidupan yang memaksa mereka ke perilaku yang menyimpang, seperti penyalahgunaan
NAZA untuk lari dari masalah ataupun ber’profesi’ sebagai ’penjaja’ seks bebas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keenam, keberadaan dan ’ulah’ LSM-LSM komprador yang menjalankan programprogram yang sarat dengan konspirasi global melakukan penyesatan, seperti: a) sex education yang ’bias dan justru menyesatkan’ dengan slogan ’seks sehat dan aman’ nya, karena justru menginspirasi remaja kita untuk tetap melakukan seks bebas namun dengan merasa ’aman’ (baca: tidak perlu takut hamil, karena sudah tahu teknik kontrasepsi yang bisa mereka lakukan) dan merasa ’sehat’ (baca: tidak perlu takut tertular IMS, karena termakan propaganda dual protection dari kondom -meski sebenarnya perilaku seksual yang dilakukan tetaplah beresiko tertular-); b) propaganda dan aksi kondomisasi yang menyesatkan dan justru memfasilitasi seks bebas; c) upaya legalisasi aborsi (meski tanpa alasan medis) yang justru ’memberi jalan keluar’ bagi para pelaku seks bebas untuk lepas dari akibat yang tidak mereka inginkan. Sehingga, kalau strategi penanggulangan HIV/AIDS yang ada saat ini lebih banyak ’mengutak-atik’ penanganan dan pelayanan medis bagi penderita (tindakan kuratif/ sektor hilir), sementara di hulu (tindakan preventif) hanya mengandalkan ceramah agama dan seruan moral, minus tindakan tegas bagi para pelaku penyimpangan perilaku (seks bebas dan drug user), minus upaya mewujudkan sistem di tengah masyarakat yang kondusif bagi kemunculan perilaku seks yang ’benar’, dan minus kebijakan yang mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, maka strategi penanggulangan tersebut hanya akan menjadikan tenaga medis sebagai ’tukang cuci piring’ yang harus menangani piring-piring kotor yang setiap hari dihasilkan dari sistem dan gaya hidup yang rusak ini.. SOLUSI TUNTAS HIV/AIDS Dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS, harus diformulasikan solusi yang mampu menyelesaikan akar masalah dan bersifat komprehensif serta terintegrasi multisektor. Karena HIV/AIDS adalah penyakit yang hingga saat ini tidak ada obatnya, maka metode penanggulangan yang diterapkan haruslah memenuhi prinsip-prinsip: mencegah kemunculan perilaku beresiko sejak dini; memberantas perilaku beresiko penyebab yang ada; dan mencegah penularan kepada orang sehat. Dengan prinsip ini, maka mata rantai penularannya akan terputus, dan bisa diharapkan suatu saat penyakit ini akan rudimenter (menghilang) dari masyarakat. Strategi alternatif ini adalah sebuah strategi yang diderivasi dari keyakinan dan hukum-hukum Islam yang memang diturunkan oleh Sang Pencipta manusia, untuk menyelesaikan problematika apapun yang dihadapi manusia. Secara singkat, gambaran strategi tersebut adalah: Prinsip pertama, mencegah kemunculan perilaku beresiko dilakukan dengan melakukan pendidikan dan pembinaan kepribadian Islam, menciptakan lingkungan yang kondusif, dan memberantas lingkungan yang tidak kondusif. Prinsip kedua, memberantas perilaku beresiko penyebab (seks bebas dan penyalah gunaan NAZA) dengan menutup ’pintu-pintu’ terjadinya perzinahan seperti prostitusi; menutup ’pintu-pintu’ terjadinya penyalahgunaan obat; memberikan sanksi tegas pada pelaku perzinahan, seks menyimpang, penyalahguna NAZA, konsumen khamr, beserta pihak-pihak yang terkait, yang mampu memberikan efek jera. Atau dengan kata lain menegakkan sistem hukum dan sistem persanksian Islam.
Prinsip ketiga, pencegahan penularan kepada orang sehat dilakukan dengan mengkarantina pasien terinfeksi (terutama stadium AIDS) untuk memastikan tidak terbukanya peluang penularan; melakukan pendidikan yang benar tentang HIV/AIDS kepada semua kalangan disertai sosialisasi sikap yang diharapkan dari masing-masing pihak (komunitas ODHA/OHIDA, komunitas risiko tinggi, komunitas rentan); pendidikan disertai aktivitas penegakan hukum kepada ODHA yang melakukan tindakan yang ’membahayakan’; pembinaan rohani, pemberdayaan ODHA sesuai kapasitas, dan memastikan kebijakan penanganan yang tepat tanpa melakukan kedloliman/diskriminasi). Dan yang juga harus dilakukan adalah menciptakan sistem integral yang kondusif. Mulai dari penerapan sistem pendidikan perspektif Islam untuk mewujudkan kepribadian Islam individual dan kesalehan sosial; Sistem ekonomi Islam dalam mengatasi kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan; solusi Islam dalam mengatasi ketenagakerjaan/ perburuhan; solusi Islam dalam mengatasi masalah kriminalitas; solusi Islam dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih; dan sekilas tentang pendanaan program penanggulangan HIV/AIDS perspektif Islam. Wallahu a’lam bishshowwab. Penulis: Dr. Faizatul Rosyidah Dokter Klinik Kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya Konsultant Remaja, pendidikan Anak dan keluarga
[email protected] http://www.faizatulrosyidahblog.blogspot.com