Mutiara Ramadhan Haluan
Amalan Ramadhan membangun Hidup yang Berarti Oleh Buya H. Mas’oed Abidin Firman Allah di dalam Alquran, mengingatkan kepada kita bahwa, “Kehidupan Dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” (Q.S.Ali Imran:185). Dan di ayat yang lain dinyatakan pula, “Sedangkan Kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” (Q.S.Al A’la: 17) Generasi demi generasi telah dan akan selalu berperan dalam mengisi panggung kehidupan ini. Umur dari hari ke hari bukan malah bertambah, tapi terus berkurang menuju sebuah pintu keabadian yang kemudian akan mengantarkan kita apakah ke dalam kebahagiaan ataukah dalam kesengsaraan. Kematian pasti akan menjemput setiap yang bernyawa. “Di mana saja kamu berada, kematian akan menjemput kamu. Kendatipun kamu berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh”. (Q.S. An Nisa :78) Ajal adalah batas “jatah” hidup seseorang di dalam dunia yang fana ini. Kapan ajal menjemput kita ??? tiada seorangpun yang tahu. “Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Luqman :34) Tanpa kita sadari memang, bahwa jatah hidup untuk beramal semakin hari semakin sempit dan berangsur-angsur habis, sedangkan dosa terus bertambah. Tobat selalu kita tunda dan bahkan kita sering tak pernah menyesali akan perbuatan dosa dan maksiat yang pernah kita lakukan. Seorang penyair mengungkapkan: “Engkau tetap dalam kelengahan dan hatimu Alpa. Hilanglah umurmu sedang dosa-dosamu tetap seperti keadaannya” Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Dalam hal ini Al Qur’an menceritakan hal orang-orang yang menyesali perbuatannya setelah menyadari diri akan kealpaannya ketika masih hidup. Allah SWT berfirman : “Dia mengatakan; “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal sholeh) untuk hidupku ini”. (Q.S. Al Fajr: 24). Sudah semestinya kita kaum muslimin, memanfaatkan kesempatan yang ada, sebelum kesempatan itu habis direnggut maut, dan janganlah hendaknya menunda untuk berbuat baik dengan menyia-menyiakan waktu dengan percuma karena mautpun tidak pernah menunda untuk menjemput kita. Jika demikian, maka bukankah sebaiknya kita selalu persiapkan diri setiap waktu bahkan setiap detik untuk menghadapi panggilan Allah yang datang secara tiba-tiba itu. Sebagaimana dikatakan dalam ungkapan bijak, “Barang siapa mengetahui jauhnya suatu perjalanan maka hendaklah ia bersiap-siap”. Makna bersiap-siap dalam ungkapan ini, apabila kita kaitan dengan persiapan untuk kehidupan akhirat adalah bahwa kita harus mempersiapkan “bekal’ dalam menghadapi
kematian. Dan taqwa adalah sebaik-baik bekal. “Berbekallah dan sebaik-baik bekal adalah taqwa”. (Q.S. Al Baqarah:197). Sangat beruntung orang yang mampu menggunakan waktu dan kesempatan yang telah diberikan Allah kepadanya, dengan mensyukuri nikmat umur dan menggunakannya dalam beribadah dan beramal sholeh. Dan Allah tidak pernah menganggap remeh setiap amal perbuatan seorang hamba. Baik atau buruk perbuatan seorang hamba, Allah SWT memperlihatkannya nanti di yaumil hisab. “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarah-pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula“. (Q.S. Az Zalzalah : 7-8) Bagaimana semestinya kita beramal sholeh itu. Apakah harus dengan banyak berzakat, bersedekah, atau sering melakukan haji dan umrah saja. Atau hanya mengukurnya dengan sesuatu yang harus menuntut pengorbanan materi semata. Jawabannya yang benar, adalah tidak semestinya begitu. Jika demikian halnya, maka akan berarti bahwa kebaikan (amal sholeh) hanya diperuntukkan khusus bagi orang-orang yang memiliki kelebihan materi saja. Lantas bagaimana halnya dengan orang-orang yang tidak memiliki kelebihan dalam hal materi ini. Apakah tertutup bagi mereka amal shaleh ??? Agama Islam mengajarkan bahwa berbuat baik (amal sholeh) tidak selalu harus dengan mengeluarkan materi. Beramal sholeh dapat dilakukan walau hanya dengan sikap dan perilaku yang baik lagi bermanfaat buat orang banyak. Demikianlah ajaran Rasullah SAW bahwa, “Sebaik-baik manusia adalah yang lebih baik akhlaqnya”. (H.R. Thabarani dan Ibnu Umar r.a). Dan Sabda beliau yang lainnya menyebutkan, “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”. (H.R. Al Qadha’i dari Jabir r.a) Dapatlah dipahami bahwa melaksanakan akhlak karimah adalah kemampuan mengimplementasikan nilai-nilai ibadah yang dilakukan kedalam realita kehidupan dan dalam berinteraksi sosial di tengah masyarakat. Ibadah dan amal sholeh haruslah dilandasi dengan keikhlasan semata-mata Lillahi ta‘ala. Sia-sialah orang yang beramal bila niatnya hanya ingin dipuji orang banyak. Gagallah ibadah berkorban ketika dimaksudkan agar disebut orang yang berkemampuan. Ternodalah ibadah zakat dan sedekah, jika yang diharapkan adalah gelar sebutan orang dermawan. Punahlah amalan menganjurkan kearifan, jika perbuatan itu hanya mengejar sebutan orang yang alim arif bijaksana. Padahal amalan sesungguhnya mesti diniatkan mencari redha Allah. Akan rusaklah semua amalan yang masih dilandasi oleh sifat riya‘, ujub dan takabbur. Di sinilah kita dapati keistimewaan berpuasa, yang hanya dilakukan karena Allah semata. Maka Allah Ta’ala berfirman, « shaum itu semata bagi Aku.. dan Aku pula yang akan membalasinya. » (Hadist Qudsiy). Dan selanjutnya, Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya pada surat Al Maa’un ayat 1-7 yang berbunyi, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama ?. Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya. Orang-orang yang berbuat riya’. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna”. Allahu A‘lam Bisshawwab. Wassalam
[email protected]