Membangun di Tengah Reruntuhan Ummat oleh Untung Wahono, kontributor Suara Hidayatullah "Tiada Islam tanpa jama'ah, tiada jama'ah tanpa imamah, tiada imamah tanpa taat dan tiada taat tanpa baiat." Umar bin Khaththab Radhiallaahu `anhu Kehidupan kebersamaan sesungguhnya merupakan salah satu watak dasar dari manusia. Tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri, apalagi ia mengusung suatu missi perjuangan besar yang obyeknya adalah manusia juga. Oleh karena itu Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya menyatakan bahwa sesungguhnya manusia bersifat "madaniyyun" pada dasarnya. Madaniyyun menunjuk kepada kehidupan kebersamaan yang beradab dalam sebuah bingkai tatanan nilai-nilai yang akan diperjuangkan sebuah masyarakat. Syari'at Islam menggariskan hidup berjama'ah adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Umar bin Khaththab RA pernah berkhutbah di hadapan orang banyak dan memberi nasehat kepada mereka yang diantaranya isinya adalah: "Barangsiapa diantara kamu menginginkan kenikmatan surga, maka hendaklah ia senantiasa komitmen dengan jama'ah." (HR Ahmad) Pernyataan itu memberi pesan yang mendalam betapa penting kehidupan berjama'ah bagi seorang Muslim sehingga menjadi jalan lurus menuju kenikmatan surga. Tentu tidak hanya sekali Umar Ra, dalam posisinya sebagai khalifah, mengingatkan kaum Muslimin dalam masalah itu. Nasihat Umar lainnya dikutip oleh ad-Darimy dalam sunannya: "Tiada Islam tanpa jama'ah, tiada jama'ah tanpa imamah, tiada imamah tanpa taat dan tiada taat tanpa baiat." Begitu strategisnya kehidupan berjama'ah sampai-sampai Rasulullah Saw tetap memerintahkan kaum muslimin untuk terus hidup di dalamnya di dalam situasi krisis, trasisional atau bahkan penuh tekanan sekalipun: "Barangsiapa melihat ketidakberesan yang menjengkelkan pada pemimpinnya maka hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama'ah walau sejengkalpun kemudian mati maka ia mati dalam kejahiliyahan." (HR Muslim) Artinya, seseorang harus terus menerus memberi nasihat, kritik dan amar ma'ruf nahi munkar kepada pemimpinnya dalam kerangka kejama'ahan tanpa boleh lepas daripadanya. Uzlah: Solusi Terburuk Harus diakui ketika zaman berubah menjadi kacau dan ummat Islam berpecah belah tanpa bisa dikompromikan lagi, persoalan kehidupan berjama'ah menjadi tidak sesederhana ketika masa Rasulullah Saw ataupun khulafaur rasyiduun. Kondisi ini telah difikirkan oleh salah seorang sahabat pemegang rahasia-rahasia negara, Hudzaifah bin Yamani. Hudzaifah membayangkan kemungkinan terjadinya degradasi besar-besaran pada diri kaum Muslimin sehingga lembaga kepemimpinan mereka hancur sama sekali.
Ia bertanya kepada Rasulullah Saw tentang sikap apakah yang harus ditempuh seorang Muslim ketika mengahadapi situasi kritis seperti itu. Rasulullah Saw menjawab: "Tinggalkan semua firqah itu meskipun engkau harus memakan akar-akar pohon sampai engkau menjumpai maut dan engkau tetap konsisten atas hal itu." (HR Muslim) Sejarah menunjukkan apa yang dibayangkan Hudzaifah menjadi sebuah kenyataan yang tak terelakan. Pasang surut dan jatuh bangun ummat Islam selama 15 abad menjadi mozaik yang menghiasi kehidupan mereka. Masalahnya adalah apakah dalam situasi kekacauan dan berpecah-belahnya ummat seperti itu kewajiban untuk membangun dan hidup berjama'ah menjadi lenyap, meski dalam skala kemampuan yang dimiliki sekelompok kaum Muslimin? Apakah akan dibiarkan begitu saja manusia-manusia yang bergabung dalam susunan masyarakat terus hidup dalam sikap individualisme sedangkan mereka yang memiliki pengetahuan dan kesadaran Islam justru menyingkir dari masyarakat itu? Jika kita meyakini, bahwa apa yang diperintahkan Allah Swt dalam surat Ali Imran ayat 103 adalah sebagai sebuah kewajiban untuk hidup berjama'ah, maka hadits Rasulullah Saw di atas haruslah dipahami dalam konteksnya yang tepat. Menyendiri dari masyarakat dalam hadits tersebut sesungguhnya dilakukan hanya apabila potensi untuk merajut benang ukhuwwah diantara individu dan elemen ummat sudah menjadi nol sama sekali. Setiap langkah menggalang persatuan akan menjadi fitnah dan nuansa ashabiyah sudah mendominasi pemikiran kaum Muslimin sedemikian rupa sehingga tak seorang pun dapat lepas daripadanya. Kehidupan uzlah (menyendiri) memang menjadi suatu pilihan yang mungkin. Tetapi apa yang disebut uzlah oleh Rasulullah Saw bukanlah berarti meninggalkan pergaulan manusia secara total. Seorang yang beruzlah harus tetap mencari celah-celah untuk dapat membangun kebaikan sebagaimana sabdanya: "Dia tidak berhubungan dengan manusia kecuali dalam kebaikan." Lagi pula manzilah (kedudukan) uzlah bukan di atas segalanya sebagaimana jawaban Rasulullah Saw ketika ditanya tentang manusia terbaik. "Seorang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan nyawanya." Kemudian ditanya kembali: "Setelah itu siapa ?" Jawab Rasulullah Saw: "Seorang yang beruzlah di lembah. Dia menyembah Tuhannya dan menjauhi kejahatan-kejahatan manusia." (HR Muslim) Rasulullah Saw sendiri memberikan gambaran, sesungguhnya potensi menggalang kebaikan diantara manusia sangat sulit mencapai titik nol sehingga tertutup peluang sama sekali. Bahkan jika pun mencapai titik nol maka belum tentu pasti akan bertahan selamanya. Ungkapan beliau sangat jelas dalam masalah ini: "Tidak akan putusputusnya terbentuk thaifah (kelompok, dalam hadits lain disebut qaum) dari kalangan ummatku yang menegaskan kebenaran. Tidak mencederai mereka orang-orang yang mengabaikan mereka sampai datang ketetapan dari Allah." (HR Muslim) Artinya sejarah tidak akan pernah sepi dari munculnya tokoh-tokoh atau kelompokkelompok yang berusaha untuk membangun kekuatan dan menegaskan misi kebenaran mereka meskipun upaya mereka belum tentu selalu menghasilkan kepemimpinan ummat secara keseluruhan. Reruntuhan Ummat: Ibn Taymiyah
Rasulullah Saw memberi tempat tersendiri kepada mereka yang berjuang membangun basis kekuatan dakwah, terutama dalam membina bangunan ummat dari puing-puingnya yang berserakan. Sabdanya: "Barangsiapa yang berkecimpung di tengah-tengah manusia dan bersabar atas keburukan-keburukan mereka akan mendapat pahala yang lebih besar dibandingkan dengan orang tidak berkecimpung dengan mereka." (HR Ahmad dan Thabrany) Tentu saja tindakan seseorang membiarkan manusia di sekelilingnya bergelimang dalam kejahiliyahan dan kemundurannya jauh lebih mudah dari pada ia terjun untuk membenahinya. Berbagai resiko akan dihadapi bahkan mungkin berupa ancaman kematian. Ibn Taymiyah (1263-1328 M) hidup dalam zaman yang porak-poranda. Tidak saja kekhalifahan yang semula pecah dua (Umayyah dan Abbasiyah) telah berpecah belah kembali menjadi puluhan dan bahkan ratusan negara kecil yang hidup atau ingin hidup sendiri-sendiri. Tetapi serangan-serangan dari bangsa-bangsa Eropa dalam Perang Salib dan serangan besar bangsa Mongol dari Cina lebih dahsyat lagi karena kemudian menghancurkan berbagai tatanan kehidupan kaum Muslimin yang sudah rapuh itu. Ibn Taymiyah hidup di wilayah sisa kerajaan Islam yang masih utuh di Mesir dan Syria, tempat tinggal orangtuanya setelah terusir dari wilayahnya, Harran, oleh serbuan bangsa Mongol. Selain banyak negara yang terpisah-pisah, berbagai kelompok aliran juga berkembang demikian banyak pada masa Ibn Taymiyah. Ada aliran yang muncul dari kefrustasian masyarakat terhadap rusaknya masyarakat sehingga mengambil sikap menarik diri secara ekstrem dalam pergaulan duniawi. Ada aliran yang tumbuh dari sikap kepongahan terhadap harga diri kelompok baik dikaitkan dengan keturunan tertentu maupun pemikiran keagamaan tertentu. Bahkan ada juga aliran yang merupakan perpanjangan dari penyusupan pemikiran asing (Romawi) ke wilayah pemikiran kaum Muslimin dalam bidang ketuhanan, kemanusiaan maupun kealaman. Ada kelompok-kelompok orang Mongol yang menjadi Muslim tetapi tetap berada dalam barisan rezim Kubilai Khan. Bahkan Ibn Taymiyah menghadapi rezim negaranya sendiri yang kadang mudah dihasut dan dikendalikan oleh kelompokkelompok dalam masyarakatnya. Menghadapi berbagai keruwetan tersebut Ibn Taymiyah tidak mencabut diri dari masyarakat dan negaranya kemudian menyepi untuk membersihkan diri. Ia justru menggalang kekuatan da'wah dengan terus menerus membangun kesadaran ummat untuk kembali kepada sumber nilai Islam: al-Qur'an dan Hadits. Bahkan ketika karena fitnah-fitnah yang menerpanya menyebabkan Ibn Taymiyah berkali-kali masuk penjara ia tidak kehilangan komitmennya untuk tetap hidup dalam jama'ahnya. Ketika bangsa Mongol menyerang negaranya Ibn Taymiyah justru tampil sebagai panglima yang memimpin perlawanan terhadap bangsa yang kekuatannya tengah bangkit sejak awal abad ke 13 itu. Ibn Taymiyah bergaul dengan berbagai kelompok dan pemikiran tanpa terjebak dalam fanatisme kelompok. "Sebagai seorang Muslim kita tidak boleh memisah-misahkan atau membeda-bedakan antara para imam pemimpin mazhab. Hal itu tidak ada dalam perintaah Allah dan Rasul-Nya," katanya.
Menurutnya penisbahan seorang kepada nama-nama yang menunjukkan fanatisme kelompok adalah nama-nama yang bathil. Jawaban yang wajib diberikan seorang Muslim jika ditanya mengenai dirinya adalah: "Saya seorang Muslim yang berpedoman kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulnya." Ibn Taymiyah senantiasa membuka komunikasi dengan kelompok-kelompok lain yang memiliki perbedaan uslub (teknik) dalam da'wah untuk bertukar fikiran dan saling menasihati terutama dalam menangani problema-problema besar ummat. Salah satu surat yang ditujukan kepada seorang tokoh sufi, Syaikh Nashrul Manbaji, menunjukkan sikapnya yang bijaksana dalam memandang perbedaan pemahaman dan membangun ukhuwwah. Diantara petikannya: "…. Ada kabar yang sampai pada saya bahwa ada sekelompok orang yang mengatakan Syaikh Nashrul Manbaji melayani pembicaraan mengenai kelompok Ittihadiyah. Dulu saya juga telah mengirim satu buku kepada Syaikh yang secara tidak sengaja menyinggung keadaan kelompok sesat itu. Namun bukan semata mengenai masalah kelompok itu saja, tetapi juga mengenai orangorang Islam semua. Yang jelas, mari kita berusaha menolong mereka kembali kepada jalan agama dan kehidupan dunia yang wajar dan benar." Jama'ah merupakan sentral pemikiran Ibn Taymiyah dalam masalah masyarakat dan negara. Baginya bentuk-bentuk negara hanyalah sebuah hal yang sekunder, selama jama'ah dan ideologinya belum mewujud dalam kehidupan kaum Muslimin. Kewajiban berjama'ah tetap melekat pada sekelompok komunitas Muslim yang hidup pada negara kafir sekalipun. "Apabila masyarakat itu (tidak harmonis dan) melanggar peraturan, melakukan kejahatan dan membunuh imam mereka, maka dalam keadaan seperti itu percuma saja imamah ditegakkan," katanya untuk menegaskan posisi jama'ah. Ibn Taymiyah memandang bahwa negara yang ditempatinya saat itu merupakan sebuah ladang yang berpotensi untuk mewujudkan jama'ah menuju kesempurnaan imamah. Keberadaan sebuah negara yang berdiri sendiri merupakan sebuah modal keteraturan dibandingkan situasi yang kacau balau (chaos). Komitmen terhadap gagasan jama'ah yang menyebabkan Ibn Taymiyah tidak pernah meninggalkan negerinya, bahkan ia mati di dalam penjara. Baginya upaya mendekatkan kelompok-kelompok Muslim, menyadarkan individu-individu ummat dan memberikan nasehat-nasehat yang berharga bagi para raja adalah kewajiban yang harus ditunaikannya di negerinya. Cobaan dan tantangan yang dihadapi tidak ada artinya dibandingkan ia harus tenangtenang hidup di negara lain tanpa memikirkan masalah ummat sama sekali. "Masalahmasalah yang ada di depan mata akan menjadi baik tergantung pada keikut-sertaan Sultan kepada kitab Allah, Sunnah Rasul dan Nabi-Nabinya, serta sejauh mana Sultan dapat membawa manusia pada Kitab dan Sunnah-Nya…," demikian salah satu petikan surat Ibn Taymiyah kepada raja yang berkuasa di negerinya saat itu. Penutup Syariat Ilahi jelas memberi petunjuk tentang kewajiban hidup berjama'ah kepada kaum Muslimin dimana pun dan dalam kondisi apapun mereka. Sejarah juga mencatat bahwa tidak mungkin ummat ini padam dari semangat yang dikobarkan kelompok-kelompok kaum muslimin untuk membangun jama'ah, apakah kemudian mereka menjadi besar atau kemudian tenggelam.
Pertanyaan bagi kita adalah: sudahkah kita mencoba terlibat dengan usaha dakwah ini ke dalam kelompok manapun yang kita merasa cocok dengannya? Ataukah kita justru tenggelam dalam kehidupan masyarakat materialistik-individualistik dan dengan itu berarti kita beruzlah ke kampung kebatilan, beruzlah dengan cara yang batil.•