Masjid Raya Rengat Masjid memang kerapkali menjadi saksibisu terhadap perjuangan orang-orang Islam dalam menyiarkan agama Islam. Dengan demikian, masjid selalu menyimpan sejarah masa lampau. Begitu pula dengan Masjid Raya Rengat Sumatra Utara. Masjid yang didirikan oleh Sultan Salehuddin Keramatsyah hingga kini sudah berusia 203 tahun. Sultan Salehuddin merupakan sultan Kerajaan Indragiri yang ke- 16. Sebelum naik takhta, ia bemama Raja Hasan yang mulai berkuasa tahun 1735. Oleh karena Sultan Salehuddin dikenal seorang yang taat beragama, setelah meninggal oleh masyarakat dikeramatkan sehingga namanya menjadi Sultan Salehuddin Keramatsyah. Ia mempunyai tiga orang anak. Anak tertua mendapat gelar Raja Kecik Besar Mambang. Ketaatannya dalam beragama seperti ayahnya. Karena itu, ia ingin mengembangkan agama Islam sampai di Daik (sekarang daerah kepulauan Riau). Oleh sebab itu pula, saat ia menjadi sultan di Kerajaan Indragiri, hanya beberapa tahun saja. Ia lebih senang menjadi penyebar agama Islam daripada menjadi raja, sehingga ia menyerahkan mahkota kerajaan kepada adiknya, Raja Ibrahim, yang waktu itu menjabat Panglima Kerajaan Indragiri. Setelah ia memegang tampuk pimpinan Kerajaan Indragiri, namanya menjadi Sultan Ibrahim. Begitu Sultan Ibrahim menjadi pimpinan tertinggi di Kerajaan indragiri, dia mulai membangun istana yang terletak di daerah Rengat yang kemudian dijadikan ibu kota Kerajaan Indragiri. Maka, mulailah dia mendirikan surau. Saat itu yang menjadi guru dan penyebar agama Kam adalah Sayed Putih Al-Idrus. Pada tahun 1787 M, surau tersebut iirombak menjadi sebuah masjid. Setelah Sultan wafat, ia dimakamkan ialam masjid buatannya. Ketika Kerajaan Indragiri berhadapan dengan penjajah Belanda, masjid ini pun sering dijadikan tempat dalam menyusun kekuatan untuk mengusir Belanda. Sejak masjid ini berdiri tahun 1787 M hingga 1987, sudah empat kali mengalami perombakan. Masjid yang berukuran 28 m x 27 m, mulanya terbuat dari kayu, kini bangunannya sudah permanen dengan model bangunan nan klasik.
Masjid tersebut didirikan oleh Sultan Ibrahim yang merupakan Sultan Indragiri ke 18. Saat ini masjid tersebut masih berdiri kokoh di Kelurahan Kampung Besar Kota, Kecamatan Rengat. Untuk nama Rengat, Mailiswin yang juga Sekretaris Disporabudsata (Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata) Inhu itu mengaku bahwa, ada dua obsi yang berkembang tentang nama Rengat tersebut. Pertama, Rengat berasal dari kata Rengas (sebuah nama pohon atau kayu) yang banyak tumbuh didaerah itu.
Karena banyak Rengas, sehingga masyarakat yang menyentuh pohon tersebut mengalami gatalgatal. Sehingga, Raja Indragiri saat itu (tidak bisa dipastikan), memberi nama Rengat dengan sebutan Rengas. Karena perobahan dialek melayu, kata Rengas berobah menjadi Rengat. Kedua, Rengat Berasal dari kata Rengit atau Nyamuk. Konon, suatu ketika banyak masyarakat yang tinggal didaerah itu mengalami sakit akibat serangan Rengit. Karena banyak Rengit, orangorang memberi nama dengan sebutan Rengit. Dan karena perobahan dialek, akhirnya Rengit juga berobah menjadi Rengat. Bahkan hingga saat ini, di Rengat itu sendiri masih banyak Rengit atau nyamuk. Lantaran sebagian besar daerah itu merupakan daerah rawa. Sehingga Rengit atau nyamuk mudah untuk berkembang biak dan Rengat juga dialiri oleh sungai besar yang dikenal dengan Sungai Indragiri, terang Mailiswin yang juga mantan Kabid Disporabudsata Inhu itu.
Pembangunan masjid ini diawali dengan dibangunnya Surau oleh Raia Rangat Sultan Ibrahim pada tahun 1786 M di Kampung Besar Rengat. Surau diperluas pada tahun 1787 M oleh Sultan Kecik Besar Mambang gekar Sultan Indra Giri menjadi bangunan masjid. Pemugaran bangunan masjid telah dilakukan selama 4 kali; 1. Masa pemerintahan Sultan Indragiri XXIV pada tahun 1887 melakukan renovasi yang ke-3 dengan mengganti seluruh papan kayu dengan batu. 2. Masa pemerintahan bupati Masnoer melakukan pemugaran ke 4 tahun 1970 M. https://wisatasejarah.wordpress.com/2009/08/29/masjid-raya-rengat/
Pengurus Masjid Raya H Daud (kiri) memperlihatkan mimbar khatib yang hingga saat ini masih asli walaupun bangunan masjid sudah tiga kali direnovasi. Foto diambil beberapa waktu lalu. foto: kasmedi/riau pos
Laporan
Kasmedi,
Rengat
Sejak dibangun sekitar 1815 silam oleh Sultan Ibrahim hingga saat ini, Masjid Raya Ar Rahman, Kabupaten Inhu sudah tiga kali direnovasi. Namun hanya mimbar khatib yang tidak berubah dan masih tetap asli dari sejak dibangun.
Mungkin hanya segelintir orang, bahkan banyak yang tidak tahu tentang bahan yang digunakan untuk pembangunan mimbar berukuran sekitar 1,5 x 2 meter itu. Sebab, bentuknya seperti coran semen biasa tetapi sebagian orang menyebutkan mimbar khatib itu bukan berbahan baku semen. Kondisinya saat ini masih terlihat kokoh dan tidak terlihat adanya retak ataupun pecah. Saat Riau Pos bertandang ke Masjid Raya Ar Rahman di Jalan Hang Lekir, Kelurahan Kampung Besar Kota (Kambesko), Kecamatan Rengat, telihat pada sisi kiri dan kanan bangunan masjid diapit oleh dua menara yang menjulang tinggi. Masjid Raya ini juga memiliki sebanyak tujuh pintu masuk yang terdiri dari dua pintu bagian depan, tiga pintu pada samping kiri dan dua pintu pada bagian belakang. Salah seorang pengurus Masjid Raya H Daud didampingi sejumlah pemuka masyarakat Rengat di antaranya H Mazuar Fery ketika mengatakan sejak masjid berdiri sudah tiga kali dilakukan renovasi. ‘’Renovasi terakhir dilakukan pada 1996 dan saat itu pula, Masjid Raya diberi nama Ar Rahman dan di SK-kan sebagai masjid Pemkab Inhu,’’ ujarnya. Pengurus masjid bersama pemuka masyarakat yang ada saat itu juga tidak mengetahui secara persis kapan dua kali renovasi sebelumnya. Karena menurutnya tidak ada pembukuan atau catatan resmi di Masjid Raya tersebut. H Daud hanya memastikan sejak tiga kali direnovasi itu, hanya mimbar khatib yang merupakan bangunan asli di Masjid Raya. ‘’Bentuk bangunan atap tetap seperti semula tetapi bahannya sudah diganti dengan bahan yang baru,’’ ungkapnya. Berdasarkan informasi yang diterimanya, mimbar khatib tersebut dibangun oleh salah seorang tukang keturunan Tionghoa. Di mana bahan bangunan mimbar tersebut dibuat dari campuran pasir dengan putih telur. Beberapakali direnovasi, hanya sekali mimbar khatib digesar untuk ditinggikan kedudukannya dari semula. Saat mimbar itu diangkat secara bersama-sama, banyak yang berpredeksi akan pecah. Namun nyatanya tidak pecah dan tidak terdapat retak sedikitpun. ‘’Mimbar itu dinaikan dua tangga atau sekitar 60 cm dari posisi awalnya,’’ bebernya
http://andri-andersco.blogspot.co.id/2013/08/masjid-raya-ar-rahman-rengat-memasuki.html