Manusia Berkualitas.docx

  • Uploaded by: Rahmi Fadilla
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Manusia Berkualitas.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,519
  • Pages: 10
MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN Berbicara tentang manusia berarti kita berbicara tentang dan pada diri kita sendiri makhluk yang paling unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat wahyu yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal. Dengan dikarunia akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah adalah sebagai amanah. Selain itu manusia juga dilengakapi unsur lain yaitu qolbu (hati). Dengan qolbu manusia dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran Ilahi secara spiritual. Secara

etimologi,

menurut

Raghib

Ashfahaniy

akal

memiliki

Imsak (menahan), ar-Ribath (ikatan), al-Hajr (menahan), an-Nahi (malarang),

arti aldan al-

Man’u(mencegah). Sedangkan secara terminologi, akal adalah segala potensi yang ada pada diri manusia yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan, mampu menahan dan mengikat hawa nafsu. Akal memiliki dua makna yaitu : 1) Akal jasmani, salah satu oragan tubuh yang lazim disebut dengan otak. 2) akal ruhani, cahaya nurani yang dipersiapkan oleh Allah SWT yang berpotensi untuk memperoleh pengetahuan dan kognisi melalui proses membaca dan berfikir. Sehingga dapat disimpulkan bahwa akal merupakan daya pikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan eksistensi manusia. Selain akal manusia juga dibekali akan qalb (hati), secara bahasa qalb berarti bolakbalik, dan ini menjadi karakteristik dari hati itu sendiri yang memiliki sifat tidak konsisten dan perlu adanya pengelolahan tersendiri dengan bantuan nur ilahi. Al-Ghazali melihat pengertian qalb dari dua aspek, yaitu aspek jasmani dan aspek ruhani. Qalb jasmani adalah organ tubuh yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di dalam dada sebelah kiri. Sedangkan qalb ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus, ruhaniah, dan ketuhanan juga memiliki potensi afektif, iman, dzikir, taqwa. Al-qur’an menggunakan term qalb dan fu’ad untuk menyebut hati manusia ketika dalam keadaan ketentraman dan keyakinan. Sedangkan penggunaan kata shadr yang berarti dada atau depan untuk menyebutkan keadaan suasana hati dan jiwa sebagai satu kesatuan psikologis dalam kondisi yang lapang dan tak terbebani maupun sempit dan sedih. Tetapi alQur’an menggunakan term qalb untuk menyebutkan akal ketika qalb fi shadr dalam keadaan buta yang tidak mampu memahami realitas dan nilai kehidupan. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan memiliki potensi akal, qolbu dan potensi-potensi lain untuk digunakan sebagai modal mengembangkan kehidupan.

Di dalam al-Quran terdapat tiga istilah kunci (key term) yang meskipun mengacu pada makna pokok manusia, tetapi memiliki makna signifikan yang berbeda-beda. Ketiga istilah kunci itu adalah Basyar, Insan, dan al-Nas. 1) Basyar Kata basyar disebut dalam al-Quran 35 kali dikaitkan dengan manusia dan 25 kali dihubungkan dengan nabi-rasul. Kata basyar pada keseluruhan ayat tersebut memberikan referensi kepada manusia sebagai makhluk biologis. Salah satunya pada surah Yusuf ayat 31

َّ َ‫فَلَ َّما َرأ َ ْينَهُ أ َ ْكبَ ْرنَهُ َوق‬ ‫َاش ِ َّّلِلِ َما َهذَا بَش ًَرا إِ ْن َهذَا إِ ََّّل َملَكٌ ك َِريم‬ َ ‫ط ْعنَ أ َ ْي ِديَ ُهنَّ َوقُ ْلنَ ح‬

“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepadanya (keelokan rupanya) dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia(basyar). Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia”. (Q.S.Yusuf : 31) Ayat ini menceritakan wanita-wanita pembesar Mesir yang diundang Zulaikha dalam suatu pertemuan yang takjub ketika melihat ketampanan Yusuf as. Konteks ayat ini tidak memandang Yusuf as dari segi moralitas atau intelektualitasnya, melainkan pada perawakannya yang tampan dan penampilannya yang mempesona yang tidak lain adalah masalah biologis. Pada ayat lain juga manusia disebut dengan kata basyar dalam konteks sebagai makhluk biologis yaitu pada ayat yang menceritakan jawaban Maryam (perawan) kepada malaikat yang datang padanya membawa pesan Tuhan bahwa ia akan dikaruniai seorang anak. Allah SWT berfirman dalam surat maryam ali Imran ayat 47

‫سنِي بَشَر‬ ْ ‫س‬ َ ‫ب أَنَّى يَكُونُ لِي َولَ ٌد َولَ ْم يَ ْم‬ ِ ‫قَالَتْ َر‬

“Maryam berkata: Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak padahal aku tidak pernah disentuh manusia(basyar)”. (Q.S.Ali Imran : 47) Maryam berkata demikian sebab dia tahu bahwa yang dapat menyentuh (hubungan seksual) itu hanya manusia dalam arti makhluk biologis, dan anak adalah buah dari hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan . Nalar Maryam tidak menerima, bagaimana mungkin dia akan punya anak padahal dia tidak pernah berhubungan dengan laki-laki. Penolakan orang-orang kafir untuk beriman, juga karena pandangan mereka terhadap seorang rasul yang hanya pada sisi biologisnya saja. Yakni sebagai manusia yang sama seperti

mereka yang makan, minum, jalan-jalan di pasar, dan melakukan aktifitas lainnya. Mereka tidak mempertimbangkan aspek lain dari seorang rasul seperti kapasitas, moralitas, kredibilitas kepribadiannya, dan akseptabilitas di mata umatnya. Karena itu Allah SWT menyuruh Rasulullah SAW untuk menegaskan bahwa secara biologis ia memang seperti manusia biasa, tetapi memiliki perbedaan dari yang lain yaitu penunjukan langsung dari Tuhan untuk menyampaikan risalah-Nya. Dan dari sisi inilah Rasulullah menjadi manusia luar biasa. ‫قُ ْل إِنَّ َما أَنَا بَش ٌَر مِ ثْلُ ُك ْم يُوحَى إِلَي‬

“Katakanlah (Muhammad kepada mereka bahwa) aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu. Hanya saja aku diberi wahyu”. (Q.S.Al-Kahfi : 110)

Beberapa ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat ketubuhan (biologis) manusia yang mempunyai bentuk atau postur tubuh, mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani, makan, minum, melakukan hubungan seksual, bercinta, berjalan-jalan di pasar, dan lain-lain. Dengan kata lain, basyardipakai untuk menunjuk dimensi alamiahyang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya. Fitrah manusia memang bergerak dan dinamis untuk memenuhi aspek-aspek kebutuhan biologis ini Allah SWT memberikan aturan syariah yang benar agar manusia senantiasa mendapat ridha Allah dan menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).

2. Al-Insan Kata al-insan disebut sebanyak 65 kali dalam al-Quran. Hampir semua ayat yang menyebut manusia dengan kata insan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk istimewa, secara moral maupun spiritual. Keistimewaan itu tidak dimiliki oleh makhluk lain. Jalaludin Rahmatmemberi

penjabaran al-insan secara

luas

pada

tiga

kategori.

Pertama, al-

insandihubungkan dengan keistimewaan manusia sebagai khalifah dan pemikul amanah. Kedua, al-insan dikaitkan dengan predisposisi negatif yang inherendan laten pada diri manusia. Ketiga, al-insan disebut dalam hubungannya dengan proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga, semua konteks al-insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual. Kategori pertama dapat difahami melalui empat penjelasan sebagai berikut : 1. Manusia dipandang sebagai makhluk unggulan atau puncak penciptaan Tuhan. Keunggulannya terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan sebaik-baik penciptaan.

Manusia juga disebut sebagai makhluk yang dipilih Tuhan untuk mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi. 2. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah, suatu beban sekaligus tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya dan diberi mandat untuk mengelola bumi. Menurut Fazlurrahman amanah yang dimaksud terkait dengan fungsi kreatif manusia untuk menemukan hukum alam, menguasainya (dalam bahasa al-Quran mengetahui namanama semua benda), dan kemudian menggunakannya dengan insiatif moral untuk menciptakan tatanan

dunia

yang

lebih

baik.

Sedangkan

menurut

Thabathaba’i

amanah

dimaknai

sebagaipredisposisi positif (isti’dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Dengan kata lain manusia didisposisikan sebagai pemikul al-wilayah al-Ilahiyah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebut sebagai perjanjian primordial atau perenial. Secarametaforis perjanjian itu digambarkan dalam alQur’an Surat Al-A’raf ayat 172 ْ َ ‫ور ِه ْم ذُ ِريَّت َ ُه ْم َوأ‬ ‫علَى أ َ ْنفُس ِِه ْم أَلَسْتُ بِ َربِ ُك ْم قَالُوا بَلَى ش َِه ْدنَا‬ َ ‫ش َه َد ُه ْم‬ ِ ‫َوإِ ْذ أ َ َخذَ َربُّكَ ِم ْن بَنِي آ َد َم مِ ْن ظُ ُه‬

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belulang) anak cucu Adam keturunan mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman) : Bukankah Aku ini Tuhanmu?. Kami bersaksi”. (Q.S.al-A’raf : 172) 3. Merupakan konsekuensi dari tugas berat sebagai khalifah dan pemikul amanah, manusia dibekali dengan akal kreatif yang melahirkan nalar kreatif sehingga manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena itu berkali-kali kata al-insandihubungkan dengan perintah melakukan nadzar (pengamatan, perenungan, pemikiran, analisa) dalam rangka menunjukkan kualitas pemikiran rasional dan kesadaran khusus yang dimilikinya. Tugas kekhalifahan dan amanah juga membawa konsekuensi bahwa al-insan dibebani atau dihubungkan dengan konsep tanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Manusia diwasiatkan agar berbuat baik karena setiap amal perbuatannya dicatat dengan cermat dan mendapat balasan setimpal. Dan dalam rangka ini, manusia diingatkan dengan sejumlah tantangan karena insanlah yang dimusuhi syetan dan ditentukan nasibnya di hari kiamat. 4. Dalam mengabdi kepada Allah manusia (al-insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi psikologisnya. Jika ditimpa musibah ia selalu menyebut nama Allah. Sebaliknya jika mendapat keberuntungan dan kesuksesan hidup cenderung sombong, takabbur, dan musyrik.

Kategori kedua al-insan dikaitkan dengan predisposisi negatif pada dirinya, dijelaskan dalam al-Quran bahwa manusia itu cenderung berbuat zalim dan kufur, tergesa-gesa, bakhil, bodoh, banyak membantah dan suka berdebat tentang hal-hal yang sepele sekalipun, resah gelisah dan

enggan membantu orang lain, ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita, ingkar dan enggan berterima kasih kepada Tuhan, suka berbuat dosa dan meragukan hari akhirat. Sifat-sifat manusia pada pada kategori kedua ini bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, memberi kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang paradoksal, yang berjuang mengatasi konflik dan kekuatan yang saling bertentangan ; tarik menarik antara mengikuti fitrah (memikul amanah dan menjadi khalifah) dan mengikuti nafsu negatif dan merusak. Kedua kekuatan itu digambarkan dalam asal usul kejadian manusia yang dalam bahasa Yusuf Qardawi baina qabdhat al-tin wa nafkhat al-ruh. 3. An-Nas Konsep an-Nas mengacu pada manusia sebagi makhluk sosial. Manusia dalam arti al-nas paling banyak disebut al-Quran yaitu sebanyak 240 kali. Salah satunya adalah :

‫ارفُوا‬ ُ ‫اس إِنَّا َخلَ ْقنَاكُم ِمن ذَك ٍَر َوأُنثَى َو َجعَ ْلنَا ُك ْم‬ َ َ‫شعُوبا ً َوقَبَائِ َل ِلتَع‬ ُ َّ‫يَا أَيُّهَا الن‬

“Wahai manusia sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal”. (Q.S.al-Hujurat : 13) Menariknya dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial, al-Quran tidak pernah melakukangeneralisasi, melainkan ditunjukkan dengan dua model pengungkapan : 1.

Dengan menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan disertai karakteristik

masing-masing yang berbeda satu sama lain. Ayat-ayatnya biasanya menggunakan ungkapan wa min al-nas (dan diantara manusia). Jika diperhatikan ayat-ayat yang menggunakan ungkapan ini ditemukan petunjuk bahwa ada kelompok manusia (tidak seluruhnya) yang mengaku beriman padahal sesungguhnya tidak beriman, ada sebagian manusia mengambil sesembahan selain Allah. Juga didapat informasi bahwa manusia secara sosial cenderung memikirkan kehidupan dunia, berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab Allah, yang menyembah Allah dengan iman yang lemah. 2.

Dengan mengelompokkan manusia berdasarkan mayoritas yang umumnya

menggunakan ungkapanaktsaran-nas (sebagian besar manusia). Memperhatikan ungkapan ini ditemukan petunjuk dari al-Quran bahwa sebagian besar (mayoritas) manusia mempunyai kualitas rendah, dari sisi ilmu maupun iman. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayatnya yang menyatakan bahwa kebanyakan manusia tidak berilmu, tidak bersyukur, tidak beriman, fasiq, melalaikan ayat-ayat Allah, kufur, dan harus menanggung azab. Kesimpulan itu dipertegas dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa sangat sedikit kelompok manusia yang

beriman, yang berilmu dan dapat mengambil pelajaran, yang mau bersyukur atas nikmat Allah. Demikian banyaknya penyebutan kata al-nas dalam al-Quran – jika dikaitkan dengan al-Quran sebagai petunjuk – menunjukkan bahwa sebagian besar bimbingan Tuhan diperuntukkan bagi manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai contoh adalah masalah perkawinan. Dalam al-Quran Tuhan tidak mengatur tata cara hubungan seksual, karena sebagai makhluk biologis semua manusia betapapun primitifnya bisa melakukannya. Justru yang dipandang perlu untuk diatur Tuhan adalah hubungan sosial pasca perkawinan meliputi hak, kewajiban, tanggung jawab suami istri dalam rumah tangga dan hubungan yang terjadi setelah berkeluarga mencakup pendidikan anak, kekerabatan, warisan dan masalah yang berkaitan dengan kekayaan. Perlunya pengaturan karena pada aspekaspek sosial manusia sering kelewat batas dan tak terkendali.

osisi manusia di alam atau kehidupan dunia ini, juga merupakan tujuan penciptaan manusia oleh Allah SWT, adalah sebagai hamba (‘abid). Sebagai hamba, tugas utama manusia adalah mengabdi (beribadah) kepada Sang Khaliq; menaati perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Hubungan manusia dengan Allah SWT bagaikan hubungan seorang hamba (budak) dengan tuannya. Si hamba harus senantiasa patuh, tunduk, dan taat atas segala perintah tuannya. Demikianlah, karena posisinya sebagai ‘abid, kewajiban manusia di bumi ini adalah beribadah kepada Allah dengan ikhlas sepenuh hati (Q.S. 2:21, 98:5, 52:56). Ibadah berakar kata ‘abada yang artinya mengabdikan diri, menghambakan diri. Ibadah dalam arti sempit ialah aktivitas keagamaan ritual seperti shalat, puasa, dan haji. Dalam arti luas, ibadah adalah melaksanakan hidup sesuai dengan syariat Islam; aktivitas ekonomi – seperti berdagang, politik, seni, dan lainnya sesuai dengan nilai-nilai Islam. Semua perbuatan baik yang mendatangkan manfaat bagi diri dan orang lain adalah ibadah atau amal saleh. Seorang Muslim harus memahami benar posisinnya di hadapan Allah sebagai ‘abid ini. Pemahamannya itu harus terwujudkan dalam perilaku Islami, karena secara ideal, seseorang yang mengaku Muslim, dirinya telah benar-benar ter-shibghah (tercelup) kedalam “celupan Allah”, yakni syariat Islam. Muslim yang sudah ter-shibgah, segala perilaku kesehariannya berpedoman pada ajaran Islam, setiap gerak langkah dan perbuatannya “dikendalikan” oleh syariat Islam, sehingga ia selalu berbuat kebaikan dalam segala hal.

Manusia sebagai makhluk pengemban amanah Allah berfungsi sebagia hamba-Nya. Hamba Allah adalah orang yang taat dan patuh kepada perintah Allah. Hakikat kehambaan kepada Allah adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan manusia itu hanya layak diberikan kepada Allah. Dalam hubungannya dengan tuhan, manusia menempati posisi sebagai ciptaan dan Tuhan sebagai pencipta. Posisi ini memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya. Hal ini sudah termaktub dalam Al-Qur’an tentang tujuan Allah menciptakan manusia yakni untuk menyembah kepada-Nya (al-Dzariyat : 56 ).

Sebagai hamba Allah tanggung jawab manusia adalah amat luas dalam kehidupannya, meliputi semua keadaan dan tugas berarti disisi Allah jika dilakukan dalam rangka pengabdian kepada-Nya. Maksudnya, sering kali ada perbuatan yang tampaknya dilakukan dalam urusan duniawi ( seperti berdagang, bertani, mengajar, memiliki, membersihkan lingkungan dan urusan dunia lainnya ) jika dilakukan dengan niat dan maksud ibadah kepada-Nya seseorang telah melakukan dua fungsi ( sebagai hamba dan khalifah ) sekaligus. Ganjarannya diperoleh dunia dan akhirat. Sebaliknya, sesuatu pekerjaan besar yang telah banyak manfaatnya bagi manusia akan sia-sia disisi Allah jika tidak disertai niat ibadah kepada-Nya. Maka esensial dari kata ‘abd ( hamba ) adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan. ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan manusia hanya layak diberikan kepada Allah, yang dicerminkan dalam ketaatan, kepatuhan, ketundukan pada kebenaran dan keadilan. Dalam hubungan dengan tuhan, manusia menempati posisi sebagai ciptaan Tuhan sebagai penciptanya posisi memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia menghambakan diri kepada Allah dan dilarang menghamba pada dirinya, serta menghambat kepada hawa nafsunya. Kesediaan manusia untuk menghamba hanya kepada Allah dengan sepenuh hatinya, akan mencegah kehambaan manusia terhadap manusia, baik dirinya maupun sesamanya. Tanggungjawab abdullah terhadap dirinya adalah memelihara iman yang dimilki, yang bersifat fluktuatif ( naik-turun ), yang dalam istilah hadits Nabi SAW dikatakan yazidu wa yanqushu ( terkadang bertambah atau menguat dan terkadang berkurang atau melemah). Seorang hamba Allah juga mempunyai tanggungjawab terhadap keluarga merupakan lanjuta dari tanggungjawab terhadap diri sendiri, karna memelihara diri sendiri berkaitan dengan perintah memelihara iman keluarga. Oleh karena itu, dalam al-Qur’an menyatakan dengan qu anfusakum wa ahlikum nar ( jagalah dirimu dan keluargamu dengan iman, dan neraka ). Allah dengan ajaran-Nya ( abdullah ) untuk berlaku adil dan ihsan. Oleh karena itu, tanggungjawab hamba Allah adalah menegakkan keadilan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan berpedoman pada ajaran Allah, seseorang hamba yang ditentukan kepada-Nya. Tanggungjawab manusia secara umum digambarkan oleh Rasulullah SAW di dalam hadis berikut. Dari Ibnu Umar RA katanya; “ saya mendengar Rasulullah SAW bersabda bermaksud : “ semua orrang dari engkau sekalian adalah pengembala dan dipertanggungjawabkan terhadap apa yang digembalainya. Seorang laki-laki adalah pengembala dalam keluarganya akan ditanya tentang pengembalanya. Seorang istri adalah pengembala dirumah suaminya dan akan ditanya tentang pengembalanya. Seorang khadam juga mengembala dalam harta tuannya dan akan ditanya tentang pengembalanya. Maka

semua orang dari kamu sekalia adalah dan akan ditanya tentang pengembalaannya. “ (Muttafaq’alaih). Allah menciptakan manusia ada tujuan-tujuannya yang tertentu. Manusia dicipta untuk dikembalikan semula kepada Allah dan setiap manusia akan ditanya atas setiap usaha dan amal yang dilakukan selama ia hidup didunia. Apabila pengakuan terhadap kenyataan dan hakikat wujudnya hari pembalasan telah dibuat maka tugas yang diwajibkan atas dirinya perlu dilakasanakan. Hal itu dapat diaplikasikan dengan senantiasa beribadah hanya kepada-nya. Hanya allah-lah yang disembah dan hanya kepada Allah-lah manusia mohon pertolongan ( Al-Fatihah : 5 ). Beribadah kepada allah merupakan prinsip hidup yang paling hakiki bagi orang islam, sehingga perilakunya sehari-hari senantiasa mencerminkan pengabdian itu diatas segala-galanya. Menyembah allah semata, aetinya hanya kepada allah lah segala pengabdian ditujukan. Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, pencipta segala makhluk, tiada sekutu bagi-Nya baik Dia sebagai Tuhan yang disembah maupun sebagai tuhan pemelihara alam semesta ini. Pengingkaran manusia Dalam penghambaan diri kepada Allah akan mengakibatkan dia menghamba kepada dirinya, menghamba kepada hawa nafsunya, atau menghamba kepada sesama makhluk Allah. Menyembah,memohon perlindungan atau apa saja perbuatan yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, atau mengangkat makhluk berkedudukan sebagai Tuhan disebut syirik. Orang yang berbuat syrik disebut musyrik. Perbuatan syrik adalah kezaliman terbesar disisi Allah. Perbuatan atau amal shaleh yang terwujud dalam fungsi manusia sebagai khalifah akan berupaya mencegah kekejian moral dan kemungkaran yang mengancam diri dan keluarganya. Oleh karena itu, abdullah harus senantiasa melaksanakan shalat dalam rangka menghindarkan diri dari kekejian dan kemungkaran ( al-fakhsya’i wal-munkar ). Hamba-hamba Allah sebagai bagian dari ummah yang senantiasa berbuat kebajikan juga diperintah untuk mengajak yang lain berbuat ma’ruf dan mencegah kemunkaran ( Ali Imran : 103 ). Manusia berkualitas itu antara lain dinamakan sebagai integrated personality, healthy personality, normal personality, dan productive personality [M.D.Dahlan, 1990 : 2-3]. Lebih jauh lagi ditemukan penamaan manusia berkualitas itu sebagai insan kamil, manusia yang seutuhnya, sempurna, manusia [insane] kaffah, manusia yang hanief. Apabila memperhatikan al-Qur’an banyak sekali (tidak kurang dari 91) ayat yang berbicara tentang kejadian manusia, status manusia, martabat manusia. kesucian manusia, fitrah manusia, sifat manusia, tuags manusia, pembinaan manusia, penggangu manusia, kemampuan manusia, perbedaan manusia, nasib manusia, dan perjalan hidup manusia. Pembicaraan tentang manusia berkualitas, tersebar di antara ayat-ayat tersebut. “Jelaslah bahwa manusia berkualitas hendaknya menampilkan ciri sebagai hamba Alla yang beriman, sehingga hanya kepada Allah ia bermunajah, serta memberikan manfaat bagi sesamanya. Sekirannya

lebih dalam ditelusuri, kedua ciri utama itu kita dapatkan pada manusia taqwa, sehingga manusia berkualitas dapat pula diartikan sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa” [M.D.Dahlan,1990:7]. Artinya manusia yang berperilakutawakkal, pemaaf, sabar, muhsin, mau bersyukur, berusaha meningkatan kualitas amalnya dan mengajak manusia lain untuk beramal. Untuk itu, keutamaan manusia berpangkal pada adanya iman kepada Allah dan keimannya diwujudkan dalam perilaku yang memberi manfaat bagi masyarakat, berilmu pengetahuan, dan beramal saleh. Djamaludin Ancok [1998:12], mengutip Hartanto [1997], Raka & Hendroyuwono [1998], ada empat kapital, yaitu kapital intelektual [intelect capital], kapital sosial [social capital], kapital lembut [soft capital], dan kapital spritual [spritual capital]. Empat kapital yang dikemukan ini juga menggambar ciri manusia berkualitas. Maka, karakteristik yang dikemukakan al-Qur’an, menurut hemat pemakalah menjadi tolak ukur kualitas manusia, karena karakteristik tersebut diturunkan dari konfigurasi nilai-nilai yang dikemukakan al-Qur’an yang hadir bersama dengan kelahiran manusia ke dunia, dan menjadi sifat penentu dalam pembentukan kepribadian manusia, yaitu: 1. Kualitas Iman Keimanan merupakan kebutuhan hidup manusia, menjadi pegangan keyaninan dan motor penggerak untuk perilaku dan amal (aktivitas kerja) manusia. Iman sebagai syarat utama dalam mencapai kesempurnaan atau insan utama, dan merupakan langkah awal untuk menuju keshalihan dan mewujudkan perilaku, amal saleh dan pengorbanan manusia bagi pengabdian kepada Allah, karena iman juga sangat terkait dengan amal saleh. Djamaludin Ancok [1998:15], pada pembahasan kapital spritual, mengatakan bahwa “semakin tinggi iman dan taqwa seseorang semakin tinggi pula kepital Intelektual, kapital sosial, dan kapital lembut”. Manusia yang beriman hatinya akan dibimbing Allah, jiwanya menjadi tenang dalam melakukan aktivitas hidupnya, dalam QS.at-Taghaabun : 11, Allah berfirman : …”Siapa yang beriman kepada Allah, Allah akan memimpin hatinya” [QS.64:11]. 2. Kualitas Intelektual Kualitas intelektual sudah menjadi potensi awal manusia, karena ketika manusia diciptakan, “Allah mengajarkan kepada Adam segala nama benda” [QS.al-Baqarah (2):31]. Untuk itu, manusia sejak lahir telah memiliki potensi intelektual, kemudian potensi intelektual ini dikembangkan. Kualitas intelektual merupakan perangkat yang sangat diperlukan untuk mengolah alam ini. Rasulullah bersabda “barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian dunia, dengan ilmu dan barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian akhirat, dengan ilmu dan barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian keduanya juga dengan ilmu”. Dalam al-Qur’an surat Mujadalah ayat 11, Allah mengangkat derajat orang yang memiliki ilmu pengetahuan : “Allah mengangkat orang-orang yang beriman dari golonganmu semua dan juga orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat”.

3. Kualitas Amal Saleh Amal saleh adalah pembentukan kualitas manusia, sebab tiap kerja yang dilakukan setiap saat merupakan ukiran kearah terbentuk kepribadian manusia. Amal saleh sebagai pengejawantahan iman, maka suatu pekerjaan yang dilakukan harus memiliki orientasi nilai. Ini berarti sistem keimanan teraktualisasi melalui kerja amal saleh, karena kerja semacam ini memilik dimensi yang abadi. AlQur’an surat at-Tiin ayat 5-6, menyampaikan bahwa “manusia akan dikembalikan kekondisi yang paling rendah, kecuali manusia yang beriman dan mengerjakan amal salah”. 4. Kualitas Sosial Manusia sebagai makhluk sosial berfungsi terhadap masyarakatnya, artinya memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan dengan orang lain, karena manusia merupakan keluarga besar, yang berasal dari satu keturunan Adam dan Hawa. Selain itu, Allah menjadikan manusia dalam berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar mereka saling interaksi untuk saling mengenal dan tolong menolong dalan berbuat kebaikan dan bertaqwa. Sifat sosial yang dimiliki manusia sesuai dengan fitrahnya, yaitu adanya kesedian untuk melakukan interaksi dengan sesamanya. Dalam al-Qur’an, bahwa “manusia selalu mengadakan hubungan dengan Tuhannya dan juga mengadakan hubungan dengan sesama manusia”. Selain itu dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 : bahwa manusia dalam melakukan aktivitas sosial sifat yang terbangun adalah saling “tolong menolong-menolong dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan dilarang tolong-menolong dalam berbuat maksiat, berbuat kejahatan”. Maka, kualitas sosial sangat terkait dengan kualitas iman, ilmu, dan amal selah.

Related Documents

Manusia
June 2020 37
Manusia
June 2020 32
Manusia
May 2020 51
Manusia
April 2020 38
Manusia
June 2020 34
Manusia Berkualitas.docx
December 2019 18

More Documents from "Rahmi Fadilla"

Nmax.docx
December 2019 6
Terios.docx
December 2019 8
Manusia Berkualitas.docx
December 2019 18
Kwh.docx
December 2019 9