Manuscript Wina.docx

  • Uploaded by: Wina
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Manuscript Wina.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,852
  • Pages: 20
ANALISIS STRES KERJA PADA PERAWAT DI RSUD JEND. AHMAD YANI METRO LAMPUNG TAHUN 2018 Wina Maria Madyani1, Mieke Savitri2,…….. 1. Kajian Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia 2. Dosen Pascasarjana, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia E-mail: [email protected]

Abstrak Tesis ini menganalisis dan membahas berbagai faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya stres kerja perawat. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain crossectional. Hasil penelitian ini berhasil mengidentifikasi variabel yang berpengaruh terhadap stres kerja perawat. Hasil analisis bivariat menunjukkan variabel yang berhubungan dengan stres kerja meliputi jumlah beban kerja, variasi beban kerja, jenis kelamin & dukungan sosial (p<0,05). Variabel yang masuk dalam model multivariate adalah jenis kelamin, usia, masa kerja, rendahnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, penilaian diri dan dukungan sosial. Model regresi yang digunakan dapat lolos dari uji asumsi klasik dan mampu mengidentifikasi faktor yang dominan mempengaruhi stres kerja perawat yaitu jenis kelamin dan rendahnya kesempatan kerja. Kata kunci: Stres kerja perawat, analisis faktor Abstract This thesis analyzes and discusses various factors that correlate with the occurrence of nurse work stress. This research is quantitative research with crossectional design. The results of this study managed to identify variables that influence the stress of nurses' work. The results of bivariate analysis showed variables related to work stress including the number of workloads, variations in workload, gender & social support (p <0.05). The variables included in the multivariate model were gender, age, years of service, low employment opportunities, number of workloads, variations in workload, selfassessment and social support. The regression model used can pass the classical assumption test and is able to identify the dominant factors that influence nurse work stress, namely gender and low employment opportunities. Keywords: Nurse work stress, factor analysis

Pendahuluan Stres akibat kerja merupakan gangguan fisik dan emosional sebagai akibat ketidaksesuaian antara kapasitas, sumber daya atau kebutuhan pekerja yang berasal dari lingkungan pekerjaan. Beban kerja yang tidak sesuai, lingkungan sosial yang tidak baik,

konflik yang timbul, lingkungan kerja yang berbahaya dan lingkungan kerja yang tidak nyaman, merupakan kondisi yang dapat memicu terjadinya stres kerja. Stres kerja secara langsung dapat mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja. Apabila stres kerja dibiarkan berlanjut dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan bahkan terjadinya kecelakaan kerja. WHO pada tahun 1996 menyatakan stres kerja sebagai epidemi dunia abad ke-21 (Morgan, 2016). Stres kerja dapat berisiko terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja ketika pekerjaan yang dilakukan melebihi kapasitas, sumber daya, dan kemampuan pekerja yang dilakukan secara terus-menerus dan dalam jangka waktuyang cukup lama (ILO, 2016). Stres kerja pada perawat akan berpengaruh pada kualitas pelayanan rumah sakit. Apabila perawat mengalami stres kerja dan tidak dikelola dengan baik maka dapat menghilang rasa empati terhadap pasien, meningkatkan terjadinya kesalahan dalam perawatan pasien dan membahayakan keselamatan pasien (Sharma, 2014 ; Jennings, 2008). Penelitian Riza (2015) menyebutkan bahwa semakin tinggi stres kerja yang dihadapi peawat maka hal ini akan berbanding terbalik dengan kinerja, kepuasan, produktivitas, dan perilaku caring perawat. Penelitian lain yang dilakukan oleh Park (2013) menunjukkan bahwa 27,9% perawat pernah melakukan kesalahan yang dapat membahayakan keselamatan pasien dan stres kerja sebagai salah satu faktor penyebabnya. Perawat yang bekerja dalam jangka waktu yang lama dengan masa istirahat yang tidak seimbang dapat mengalami gangguan kognitif, psikomotor serta perilaku yang dapat menghambat waktu reaksi, mengganggu proses penilaian kritis dan berkurangnya motivasi; yang dapat meningkatkan kesalahan dalam pekerjaan.dan pada akhirnya mengakibatkan berkurangnya kepuasan pasien.( Hanif, A. R., Abdul-Mumin, K., & Naing, L., 2017) Penyebab stres pekerjaan pada perawat dari beberapa penelitin menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat berperan dalam menimbulkan stres kerja pada perawat antara lain kurangnya peralatan dan obat-obatan, peralatan yang kurang memenuhi standar, penularan penyakit, keadaan fisik rumah sakit yang tidak layak, serta kurangnya komunikasi dengan sejawat. Faktor lain yang menambah stres kerja pada perawat diantaranya konflik hubungan kerja antara dokter dengan perawat serta beban kerja yang tinggi. Stora (1998) juga menyatakan bahwa situasi darurat, konflik dengan atasan, rotasi kerja, dan seringnya pergantian tugas merupakan salah satu faktor

pemicu stres bagi perawat. Terdapat berbagai kuesioner yang berbeda yang dirancang untuk mempelajari stres dan stres kerja. Akan tetapi di lain pihak, sedikit sekali peneliti yang menitikberatkan pada pengalaman dari perawat (dalam cakupan stres kerja) dan mendalami dalam sudut pandang persepsi perawat yang besangkutan. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jend. A. Yani merupakan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Kota Metro yang memberikan pelayanan kepada masyarakat khususnya pelayanan di bidang kesehatan. Peningkatan jumlah pasien rawat inap dan rawat jalan di RSUD Jend A Yani Metro tidak diimbangi jumlah perawat yang ada dimana data yang didapat dari Renstra RSU Jend A Yani 2016-2021 (2016) menyebutkan bahwa kendala yang ditemui oleh RSU adalah kurangnya sumber daya perawat terutama perawat terampil sejumlah 103 perawat dan kualitas perawat. Dengan adanya kekurangan perawat menyebabkan kepuasan pelanggan tidak mencapai target yang diharapkan, dimana pada tahun 2016 tingkat kepuasan pelanggan hanya mencapai 75,81% dari 90% target yang diharapkan. Kendala lain yang ditemui di RSU Jend A Yani Metro lain adalah angka kematian bersih di RSU Jend A Yani yang mencapai 2,9% di atas standar nasional 2,5% (Renstra RSU Jend A Yani 2016-2021, 2016). Pencegahan dan penanggulangan stres kerja perlu dilakukan untuk menghindari dampak buruk akibat stres kerja terhadap perawat yang akan berdampak ke rumah sakit, oleh sebab itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui stres kerja pada seluruh perawat di RSUD Jend. A Yani serta faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga dapat dilakukan pencegahan dan penanganan sedini mungkin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada perawat di RSUD Jend. A. Yani Metro tahun 2018. Tinjauan Teoritis Stres merupakan suatu reaksi adaptif, bersifat sangat individual, sehingga suatu stres bagi seorang belum tentu sama tanggapannya bagi orang lain (Hartono, 2007). Perbedaan reaksi terhadap suatu rangsangan dapat terjadi karena stres merupakan persepsi individu terhadap situasi atau kondisi di dalam lingkungannya sendiri (NSC, 2003). Stres dihasilkan dari perubahan lingkungan yang diterima sebagai suatu hal yang menantang, mengancam atau merusak keseimbangan seseorang (smelizer,2002).

Tingkat kematangan berpikir, tingkat pendidikan dan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dapat mempengaruhi reaksi stres seseorang (Hartono, 2007). Stres akibat kerja dapat menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap individu perawat yang terkena serta kemampuannya untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Hal ini terutama terlihat dari sulit mengambil keputusan, kurangnya konsentrasi serta kecemasan yang dapat mengganggu kinerja perawat sehingga mengancam keselamatan pasien. Selain itu angka ketidakhadiran karena stres akibat kerja yang tinggi sehingga memerlukan tenaga pengganti yang berakibat meningkatnya pengeluaran untuk menyelenggarakan pelayanan kepada pasien, atau menambah beban kerja perawat lain untuk menggantikan rekan kerjanya yang kelak menimbulkan lingkungan yang tambah menimbulkan stres dan kelelahan kerja. Permasalahan interpersonal biasanya timbul dari situasi yang menimbulkan stres dapat mengganggu keharmonisan kelompok, dan selanjutnya berdampak terhadap efisiensi kinerja organisasi, dan akhirnya menambah beban kerja bagi tim manajemen di atasnya. Pada akhirnya hal ini akan menimbulkan kerugian bagi rumah sakit tempat perawat tersebut bertugas (Jones, Tanigawa, & Weisse, 2003). Kerugian ini meliputi perkiraan kerugian yang ditimbulkan dari pengurangan efektivitas operasional rumah sakit, pemilihan keputusan yang tidak tepat, pengeluaran biaya untuk biaya berobat sebagai akibat buruk stres kerja. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi penelitian ini adalah semua perawat yang betugas di RSU A Yani Metro Lampung yang bertugas di IGD, ruang ICU (Intensive Care Unit), ruang Haemodialisa (HD), rawat jalan dan rawat inap yang ada di RSU A Yani, yaitu sebanyak 259 perawat, besar sampel yang digunakan sebanyak 71 orang dengan teknik proporsional random sampling dan kemudian dilakukan acak sederhana (Simpel RandomSampling). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner stres kerja yang dikembangkan oleh National Institute of Occupational Safety and Health yaitu NIOSH Generic Job Stress Questionnaire. Kuesioner ini terdiri dari 21 variabel penyebab stres dan tiga indikator stres berupa gejala perubahan psikologis, fisiologis, dan perilaku. Analisa data terdiri dari analisis univariat, bivariat dan multivariate.

Hasil Penelitian 1. Analisis Univariat a. Stres kerja perawat Rata-rata skor stres kerja perawat dilihat dari faktor fisiologis, psikologis dan perilaku adalah 54,46±17,181 dengan skor tertinggi 123 dan terendah 24. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini skor stres kerja perawat berada pada rentang 50,40-58,53. b. Faktor pekerjaan Perawat menilai bahwa rata-rata skor lingkungan fisik adalah sebesar 11,15±1,627 dengan skor terendah 10 dan tertinggi 17. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa kondisi lingkungan fisik berada pada rentang 10,77 sampai dengan 11,54. Rata-rata skor konflik peran yang dialami perawat adalah sebesar 22,93±7,128 dengan skor terendah 8 dan tertinggi 36. Pada tingkat kepercayaan 95% dikayani bahwa konflik peran yang dialami perawat berada pada rentang 21,24 sampai dengan 24,62. Rata-rata ketaksaan peran yang dialami perawat adalah sebesar 14,08±3,675, skor terendah 6 dan tertinggi 22. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa ketaksaan peran yang dialami perawat berada pada rentang 13,21 sampai dengan 14,95. Konflik interpersonal yang terjadi pada perawat adalah sebesar 29,75±6,231, konflik interpersonal terendah adalah 16 dan tertinggi 50. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa konflik interpersonal yang terjadi pada perawat berada pada rentang 28,27 sampai dengan 31,22. Skor ketidakpastian pekerjaan perawat adalah 18,77±3,554, skor terendah 10 dan tertinggi 25. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa ketidakpastian pekerjaan yang dialami perawat berada pada rentang 17,93 sampai dengan 19,62. Skor pada variabel kurangnya kontrol perawat adalah sebesar 47,25±11,682, skor terendah 24 dan tertinggi 77. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa kurangnya kontrol perawat berada pada rentang nilai 44,49 sampai dengan 50,02. Rata-rata kesempatan kerja perawat adalah 14,90±2,525, skor terendah 7 dan tertinggi 20. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa kesempatan kerja perawat berada pada rentang nilai 14,30 sampai dengan 15,50. Rata-rata beban kerja perawat adalah sebesar 36,42±3,467, beban kerja terendah 25 dan tertinggi 47. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa jumlah beban kerja perawat berada pada

rentang nilai 35,60 sampai dengan 37,24. Rata-rata skor variabel beban kerja perawat adalah 24,75±4,204, variasi beban kerja terendah adalah 13 dan tertinggi 35. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa variasi beban kerja perawat berada pada rentang nilai 23,75 samapi 25,74. Tanggung jawab perawat terhadap orang lain adalah sebesar 13,14±4,040 dengan skor terendah 4 dan tertinggi 20. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa tanggung jawab perawat terhadap orang lain berada pada rentang nilai 12,18 sampai dengan 14,10. Rata-rata kemampuan perawat yang tidak digunakan adalah sebesar 5,79±2,184 dengan skor terendah 3 dan tertinggi 15. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa kemampuan perawat yang tidak digunakan berada pada rentang nilai 5,27 sampai dengan 6,31. Skor rata-rata tuntutan mental yang harus dihadapi perawat adalah sebesar 14,92±1,873 dengan skor terendah 6 dan tertinggi 19. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa tuntutan mental yang harus dihadapi perawat berada pada rentang nilai 14,47 sampai dengan 15,36. Dari 71 perawat, sebagian besar memiliki shift kerja yaitu sebanyak 55 (77,5%) perawat dan 16 (22,5%) perawat tidak memiliki shift kerja. c. Faktor di Luar Pekerjaan Rata-rata aktivitas perawat diluar pekerjaan adalah 3,14±1,302 dengan aktivitas tertinggi 6 dan terendah 0. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa aktivitas perawat di luar jam kerja berada pada rentang nilai 2,83 sampai dengan 3,45. d. Faktor individual Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata umur perawat adalah 35,17±7,849 tahun, umur terendah 23 tahun dan tertinggi 56 tahun. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa umur perawat berada pada rentang 33,31 sampai dengan 37,03 tahun. Dari 71 responden sebagian besar berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 40 (56,3%) orang dan 31 (43,7%) lainnya adalah laki-laki. Perawat berstatus menikah yaitu sebanyak 62 (87,3%) orang dan 9 (12,7%) lainnya berstatus belum menikah. Rata-rata masa kerja perawat adalah 131,79±99,261 bulan. Masa kerja paling rendah adalah 10 bulan dan paling lama 444 bulan. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa rentang masa kerja perawat adalah 108,29 dampai dengan 155,28 bulan. Kepribadian tipe A perawat adalah 62,21±6,045 dengan skor

terendah 46 dan tertinggi 78. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa kepribadian tipe A perawat berada pada rentang 60,78 sampai dengan 63,64. Ratarata penilaian diri perawat adalah 36,83±3,653 dengan skor penilaian diri terendah 30 dan tertinggi 50. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa penilaian diri perawat berada pada rentang skor 35,97 sampai dengan 37,70. e. Dukungan sosial Rata-rata dukungan sosial perawat adalah 53,55±5,947 dengan skor dukungan sosial terendah 32 dan tertinggi 60. Pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa dukungan sosial pada perawat berada pada rentang 52,14 sampai dengan 54,96. 2. Analisis Bivariat a. Hubungan Faktor Pekerjaan dengan Stres Kerja Perawat Hasil analisis hubungan berbagai faktor pekerjaan terhadap stres kerja perawat dapat dilihat pada uraian berikut. Tabel 1. Hubungan Faktor-faktor Pekerjaan dengan Stres Kerja Perawat di RSUD Jend. Ahmad Yani Metro tahun 2018 Variabel Lingkungan Fisik Konflik Peran Ketaksaan Peran Konflik Interpersonal Ketidakpastian Pekerjaan Kurang Kontrol Kesempatan Kerja Jumlah Beban Kerja Variasi Beban Kerja Tanggungjawab Terhadap Oranglain Kemampuan yang tidak digunakan Tuntutan Mental Variabel Shift Kerja

Shift Tidak shift

r 0,110 0,088 0,034 0,035 0,037 0,022 0,194 0,309 0,246 -0,008 0,039 0,064

p-value 0,362 0,463 0,778 0,771 0,762 0,857 0,106 0,009 0,039 0,950 0,748 0,597

Mean

SD

Mean difference

p-value

55,71 50,19

18,127 13,019

5,522

0,261

Sumber: data primer hasil penelitian Berdasarkan di atas dapat diketahui variabel yang berhubungan dengan stres kerja perawat adalah jumlah beban kerja dan variasi beban kerja (p<0,05).

b. Hubungan Faktor di Luar Pekerjaan dengan Stres Kerja Perawat Tabel 22. Hubungan Faktor di Luar Pekerjaan dengan Stres Kerja Perawat di RSUD Jend. Ahmad Yani Metro tahun 2018 Variabel Aktivitas di Luar Pekerjaan

r 0,069

p-value 0,570

Aktivitas di luar pekerjaan memiliki hubungan dalam kategori sangat rendah berpola positif terhadap terjadinya stres kerja (p>0,05).

c. Hubungan Faktor Individual dengan Stres Kerja Perawat Tabel 3. Hubungan Faktor Individual dengan Stres Kerja Perawat Variabel Usia Masa kerja Kepribadian Tipe A Penilaian Diri

r -0,201 -0,154 0,005 -0,159

Variabel Laki-laki Perempuan Menikah Tidak menikah

Jenis kelamin Status pernikahan

Mean

SD

48,68 58,95 54,63 53,33

12,773 18,896 18,037 10,037

p-value 0,092 0,200 0,969 0,184 Mean difference

p-value

10,273

0,011

1,296

0,834

Faktor individual yang berhubungan dengan stres kerja perawat pada hasil penelitian adalah jenis kelamin (p<0,05). d. Hubungan Faktor Pendukung dengan Stres Kerja Perawat Dukungan sosial dengan stres kerja memiliki hubungan yang rendah dan berpola negatif. Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,004(p<0,05) artinya pada tingkat kepercayaan 95% diyakini terdapat hubungan bermakna antara dukungan sosial dengan stres kerja. 3. Analisis Multivariat Model akhir analisis multivariate sebagai berikut. Tabel 4. Hasil Analisis Pemodelan Multivariat Unstandardized Coefficients Variabel (Constant) Jenis_kelamin Usia Masa_kerja Kesem_kerja Jml_BK Var_BK Pen_diri Duk_sos

R = 0,624

B 34,154 13,027 -0,680 0,020 1,537 1,302 0,724 -0,931 -0,368

R Square = 0,389

Std. Error 35,400 3,728 0,566 0,045 0,725 0,720 0,612 0,532 0,299

F = 4,936

Standardized Coefficients Beta 0,379 -0,311 0,116 0,226 0,263 0,177 -0,198 -0,128

p-value = 0,000

t 0,965 3,495 -1,202 0,448 2,122 1,810 1,182 -1,751 -1,234

p-value .338 0,001 0,234 0,656 0,038 0,075 0,242 0,085 0,222

Hasil akhir pemodelan menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat dengan arah korelasi positif antara variabel independen (jenis kelamin, usia, masa kerja, rendahnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, penilaian diri, dan dukungan sosial) terhadap stres kerja perawat yang ditunjukkan dengan nilai R sebesar 0,624. Pada analisis koefisien determinan (R Square) didapatkan nilai sebesar 0,389 artinya model regresi yang diperoleh dapat menjelaskan 38,9% variasi variabel stres kerja perawat. Hasil uji koefesien regresi secara bersama-sama (uji F) didapatkan nilai Fhitung=4,936 (pvalue0,000<0,05), artinya pada tingkat kepercayaan 95% kita dapat menyatakan bahwa model regresi cocok (fit) dengan data yang ada. Sedangkan pada hasil uji koefesien regresi secara parsial (uji t), variabel yang terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap stres kerja perawat adalah varibel jenis kelamin (p=0,001) dan rendahnya kesempatan kerja (p=0,038). Variabel yang paling dominan berhubungan dengan stres kerja perawat adalah jenis kelamin. Pembahasan 1. Lingkungan Fisik Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,362 (p> 0,05), dengan demikian maka pada tingkat kepercayaan 95% diyakini tidak terdapat hubungan signifikan antara lingkungan fisik dengan stres kerja. Arah korelasi yang didapatkan bersifat positif dan masuk dalam kategori sangat rendah, artinya semakin buruk lingkungan fisik maka dapat meningkatkan atau memperburuk stres kerja perawat. Variabel lingkungan fisik masih memiliki nilai korelasi positif artinya lingkungan fisik tetap masih berperan terhadap timbulnya stres kerja walaupun dalam kategori sangat rendah, hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Saam dan Wahyuni (2014) bahwa kondisi kerja yang buruk seperti ruang kerja yang sempit, tidak nyaman, panas, gelap, kotor, pengap, berisik dan padat. Widodo (2010) juga menjelaskan bahwa lingkungan kerja yang baik termasuk struktur tugas, desain pekerjaan, sarana dan prasarana yang baik dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan termasuk perawat di rumah sakit. Motivasi karyawan di suatu rumah sakit menjadi salah satu faktor penting dalam meningkatkan kinerjanya. Semakin baik kondisi lingkungan pekerjaan, semakin tinggi kinerja pegawai. Kinerja perawat yang baik menunjukkan kualitas suatu rumah sakit.

2. Konflik Peran Konflik peran dalam sebuah pekerjaan dapat menjadi bagian dari stresor. Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,463 (p>0,05), dengan demikian maka pada tingkat kepercayaan 95% diyakini tidak terdapat hubungan signifikan antara konflik peran dengan stres kerja.hasil analisis hubungan konflik peran terhadap stres kerja menunjukkan korelasi positif kategori sangat rendah. Konflik peran timbul ketika pekerja mengalami adanya pertentangan antara tugastugas yang harus ia lakukan dan tanggung jawab yang ia miliki, tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya, tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahan-nya, atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya, serta pertentangan dengan nilainilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya (Munandar, 2001). Kondisi seperti inilah yang juga menjadi penyebab munculnya masalah ketidaknyamanan pekerjaan dan menjadi bagian dari stressor di bidang pekerjaan terutama di instansi rumah sakit. 3. Ketaksaan Peran Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,778 (p>0,05), dengan demikian maka pada tingkat kepercayaan 95% diyakini tidak terdapat hubungan signifikan antara ketaksaan peran dengan stres kerja.Analisis hubungan ketaksaan peran terhadap stres kerja menunjukan arah korelasi positif kategori sangat rendah. Ketaksaan peran dirasakan jika seorang tenaga kerja tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu (Munandar, 2001). Semakin tidak jelas peranan seseorang maka semakin rendah pemanfaatan keahlian intelektual, pengetahuan, dan keahlian kepemimpinan orang tersebut (Gibson, 1997). Faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketaksaan peran berupa tanggung jawab yang ambigu, prosedur kerja tidak jelas, pengharapan pemberi tugas yang tidak jelas, dan ketidakpastian tentang produktifitas kerja. 4. Konflik Interpersonal Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,771 (p>0,05) dengan demikian maka pada tingkat kepercayaan 95% diyakini tidak terdapat hubungan signifikan antara konflik interpersonal dengan stres kerja. Analisis

hubungan antara konflik interpersonal dengan stres kerja menunjukkan arah korelasi positif kategori sangat rendah. Pada hasil analisis terlihat adanya nilai korelasi positif, artinya semakin tinggi konflik interpersonal antara perawat dengan orang lain maka dapat memperburuk atau meningkatkan stres kerja perawat. Hal ini sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa konflik sering terjadi pada setiap tatanan asuhan keperawatan. Oleh karena itu, manajer harus mempunyai dua asumsi dasar tentang konflik. Manajemen konflik yang konstruktif akan menghasilkan lingkungan yang kondusif untuk didiskusikan sebagai suatu fenomena utama, komunikasi yang terbuka melalui pengutaraan perasaan, dan tukar pikiran serta tanggung jawab yang menguntungkan dalam menyelesaikan suatu perbedaan. 5. Ketidakpastian Pekerjaan Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,762 (p>0,05),dengan demikian maka pada tingkat kepercayaan 95% diyakini tidak terdapat hubungan signifikan antara ketidakpastian pekerjaan dengan stres kerja.Analisis hubungan antara ketidakpastian pekerjaan dengan stres kerja menunjukkan korelasi positif kategori sangat rendah. Ketidakpastian pekerjaan dapat berupa peluang kehilangan pekerjaan, kemungkinan pekerjaan tidak dilakukan lagi, ketidakjelasan jenjang karir dan kecilnya peluang promosi dan kenaikan jabatan. Ketidakpastian dalam organisasi ini akan membuat karyawan bingung dan menggangu kinerja karyawan. Hasil penelitian yang dilakukan Caplan et.al menunjukkan bahwa ketidakpastian pekerjaan merupakan salah satu penyebab stres kerja yang terkait dengan ketidakpuasan kerja (Beehr, 1995). 6. Kurangnya Kontrol Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,857 (p>0,05), dengan demikian maka pada tingkat kepercayaan 95% diyakini tidak terdapat hubungan signifikan antara kurangnya kontrol dengan stres kerja.Analisis hubungan antara kurangnya kontrol dengan stres kerja menunjukkan arah korelasi positif kategori sangat rendah. Kontrol kerja merupakan kombinasi antara tuntutan dalam suatu pekerjaan dengan kebijaksanaan dalam menggunakan kemampuan yang dimiliki. Kombinasi antara tuntutan pekerjaan yang tinggi dengan rendahnya kontrol kerja dapat menimbulkan tekanan yang tinggi dan menyebabkan timbulnya berbagai

masalah kesehatan. Perawat merupakan salah satu pekerja yang dianggap memiliki risiko mengalami tekanan yang tinggi (Landy, 2010). 7. Rendahnya Kesempatan Kerja Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,106 (p>0,05) dengan demikian maka pada tingkat kepercayaan 95% diyakini tidak terdapat hubungan signifikan antara rendahnya kesempatan kerja dengan stres kerja.Analisis hubungan antara rendahnya kesempatan kerja dengan stres kerja menunjukan korelasi positif kateori sangat rendah. Kurangnya lanpangan pekerjaan dapat menimbulkan kekhawatiran dalam diri individu terhadap kemungkinan kehilangan pekerjaan dan sulitnya mencari pekerjaan kembali.Hal ini dapat mengakibatkan stres pada individu.Karena perasaan khawatir akibat kurangnya lapangan pekerjaan dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan mental, ketidakstabilan emosi dan kecemasan (Bizymoms, 2013). Semakin tinggi rasa khawatir para pekerja mengenai kurangnya kesempatan kerja akan semakin meningkatkan stres kerja yang dialami mereka (Karisma,2014). 8. Jumlah Beban Kerja Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,009 (p<0,05) dengan demikian maka pada tingkat kepercayaan 95% diyakini terdapat hubungan antara jumlah beban kerja dengan stres kerja. Analisis hubungan jumlah beban kerja dengan stres kerja menunjukkan korelasi positif kategori rendah. Menurut Charles, A dan Shanley F, (1997 dalam Prihartini, 2007) stress kerja pada perawat bisa terjadi karena perawat bertanggungjawab terhadap kehidupan pasien, tanggung jawab tersebut menuntut pelaksanaan kerja yang efektif hal ini merupakan beban kerja Perawat. Beberapa contoh beban kerja berlebihan misalnya merawat terlalu banyak pasien, mengalami kesulitan dalam mempertahankan standar tinggi, merasa tidak mampu memberi dukungan yang dibutuhkan teman sekerja dan menghadapi keterbatasan tenaga. 9. Variasi Beban Kerja Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,039 (p<0,05), dengan demikian maka pada tingkat kepercayaan 95% diyakini terdapat hubungan antara variasi beban kerja dengan stres kerja.Analisis hubungan antara variasi beban kerja dengan stres kerja memiliki korelasi positif kategori rendah. Variasi beban

kerja dapat menjadi salah satu penyebab stres pada pekerja. Hal ini terjadi ketika pekerja merasa tidak mampu melaksanakan tugas tersebut. Karena ketidakmampuan pekerja dalam menyelesaikan tugas dapat mempengaruhi penilaian diri seseorang terhadap dirinya (Gibson, 1997). Tuntutan tugas yang beragam dan tidak sesuai dengan kompetensi serta skill yang dimiliki karyawan akan berdampak pada stres kerja (Soegiono,2008). 10. Tanggungjawab terhadap Orang lain Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,950 (p>0,05), dengan demikian maka pada tingkat kepercayaan 95% diyakini tidak terdapat hubungan signifikan antara tanggung jawab terhadap orang lain dengan stres kerja. Analisis hubungan antara tanggung jawab terhadap orang lain dengan stres kerja menunjukkan korelasi positif kategori sangat rendah. Bentuk tanggung jawab perawat diantaranya adalah tanggung jawab terhadap keamanan yaitu menjaga pasien agar selalu dalam kondisi tenang, tanggung jawab terhadap kebutuhan pasien yaitu memberikan perawatan sebaik mungkin sesuai dengan kebutuhan pasien selama masa penyembuhan, tanggung jawab moral untuk merawat pasien dengan penuh kasih sayang dan sikap peduli serta banyaknya tanggung jawab pekerjaan yang harus dilakukan sesuai dengan harapan orang lain agar orang lain merasa puas dengan pekerjaan yang telah dilakukan (Supriatna, 2014). 11. Kemampuan yang tidak digunakan Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,748 (p>0,05), dengan demikianmaka pada tingkat kepercayaan 95% tidak terbukti tidak ada hubungan antara kemampuan yang tidak digunakan dengan stres kerja.Analisis hubungan antara kemampuan yang tidak digunakan dengan stres kerja menunjukkan korelasi positif kategori sangat rendah. Kemampuan pekerja yang tidak digunakan dapat menimbulkan stres bagi pekerja tersebut. Kondisi seperti ini seringkali terjadi ketika pekerja memiliki kemampuan yang banyak untuk melakukan suatu pekerjaan. Akan tetapi, kemampuan tersebut tidak digunakan karena sudah menggunakan alat bantu atau adanya pekerja lain yang melakukan tugas tersebut. Kondisi pekerjaan yang demikian dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan ketidakpuasan bagi pekerja sehingga berdampak pada timbulnya stres (Ross & Almaier, 2000).

12. Tuntutan Mental Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,597 (p>0,05) dengan demikian maka pada tingkat kepercayaan 95% diyakini tidak terdapat hubungan antara tuntutan mental dengan stres kerja.Analisis hubungan tuntutan mental dengan stres kerja menunjukkan korelasi positif kategori sangat rendah. Kebanyakan pekerjaan dengan waktu yang sangat sempit di tambah lagi dengan tuntutan harus serba cepat dan tepat membuat orang hidup dalam keadaan ketegangan(Yosep dan Sutini, 2014). Tuntutan mental merupakan sumber stres yang signifikan terutama pada pekerjaan yang meuntut interaksi langsung dengan klien khususnya pada sektor jasa. Secara umum, standar yang diterapkan menuntut pekerja untuk selalu bersikap ramah terhadap klien yang dihadapi. Namun pekerjaan yang menuntut kondisi emosional yang baik sangat berhubungan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan pekerja secara mental (Koradecka. 2010). Penelitian Mehta (2014) menunjukkan bahwa tuntutan mental yang dapat meyebabkan stres kerja salah satunya adalah tuntutan dari keluarga pasien. 13. Shift Kerja Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,261 (p>0,05) artinya pada tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa shift kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap terjadinya stres kerja perawat. Menurut Firmana (2011), para pekerja shift lebihh sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada pekerja pagi/siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan perut. Shift kerja menjadi salah satu tuntutan tugas yang dimiliki konsekuensi terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja. Karena dapat merubahn ritme dan pola istirahat tubuh (Strank, 2005) 14. Faktor di Luar Pekerjaan Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,570 (p>0,05), dengan demikian maka pada tingkat kepercayaan 95% diyakini tidak terdapat hubungan signifikan antara aktivitas di luar pekerjaan dengan stres kerja.Analisis hubungan aktivitas di luar pekerjaan dengan stres kerja memiliki korelasi positif kategori sangat rendah. Faktor di luar pekerjaan merupakan faktor yang berhubungan dengan lingkungan di luar pekerjaan yang dapat mempengaruhi stres kerja pada seseorang (Hurrel & McLaney., 1988). Aktivitas di luar pekerjaan

merupakan kategori dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja di dalam satu organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan, semuanya dapat merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaannya, sebagaimana halnya stres dalam pekerjaan mempunyai dampak yang negatif pada kehidupan keluarga dan pribadi. Namun demikian, peristiwakehidupan pribadi/dukungan sosial dapat bmeringankan akibat dari pembangkit stres organisasi dan kepuasan kerja dapat membantu individu untuk menghadapi kehidupan pribadi yang penuh stres (Munandar, 2001). 15. Umur Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,092 (p>0,05), dengan demikian maka pada tingkat kepercayaan 95% diyakini tidak terdapat hubungan signifikan antara umur dengan stres kerja. Umur adalah lama hidup individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun terakhir. Umur merupakan risiko yang dapat meningkatkan stres kerja secara signifikan (Rasasi, 2015). Individu dengan umur yang lebih tua mengalami stres yang lebih rendah karena pengalamannya dalam menghadapi stres sudah lebih baik dibandingkan dengan individu berumur muda. Sebauh penelitian menunjukkan bahwa perawat dengan umur ≤ 36 tahun memiliki risiko stres sebesar 93,9% (Dewi,2015). 16. Jenis Kelamin Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,011 (p<0,05), dengan demikian maka jenis kelamin terbukti berhubungan dengan stres kerja perawat dimana perawat wanita memiliki tingkat stres kerja lebih tinggi dibandingkan laki-laki dengan selisih skor sebesar 10,273. Jenis kelamin erat kaitannya dengan stres, perempuan mempunyai kecenderungan mengalami stres lebih besar dimana didalam tubuh seorang perempuan terjadi perubahan hormonal. Perempuan lebih mudah merasakan perasaan bersalah, cemas, peningkatan bahkan penurunan nafsu makan, gangguan tidur dan gangguan makan. Saat stres perempuan lebih mudah untuk sedih, sensitif, marah serta mudah menangis. Penurunan estrogen pada perempuan akan berpengaruh pada emosi. Selain perubahan hormonal, karakteristik perempuan yang lebih mengedepankan emosional daripada rasional. Ketika menghadapi suatu masalah, perempuan cenderung menggunakan perasaan (Indah, 2010). Hasil penelitian pada perawat di RSUD Cilacap menunjukkan bahwa

jenis kelamin perempuan memiliki risiko stres sebesar 88,2 % (Dewi,2015). Adanya hubungan anatara jenis kelamin dan stres kerja ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Sahraian (2013) dan Aiska (2014) dengan nilai probabilitas sebesar 0,004. 17. Status Pernikahan Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probalitas sebesar 0,834 (p>0,05), artinya selisih stres kerja antara perawat yang telah menikah dan belum belum menikah tidak berbeda signifikan atau dengan kata lain status pernikahan tidak memiliki hubungan signifikan terhadap stres kerja perawat. Individu yang berstatus tidak menikah memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami stres kerja dibandingkan dengan individu yang sudah menikah (Ismar, 2011). Hal ini disebabkan karena pekerja yang berstatus menikah mendapatkan dukungan emosional dari pasangan yang tidak didapatkan oleh pekerja yang tidak menikah. Akan tetapi, pengaruh status pernikahan terhadap stres kerja hanya akan berpengaruh positif apabila pernikahan tersebut berjalan dengan baik (Karima, 2014). 18. Masa Kerja Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,200 (p>0,05), dengan demikian maka pada tingkat kepercayaan 95% diyakini tidak terdapat hubungan signifikan antara masa kerja dengan stres kerja. Perawat dengan masa kerja yang lebih lama cenderung tidak mengalami stres karena pengalaman kerja yang lebih lama akan meningkatkan keterampilan seseorang dalam bekerja, semakin mudah dalam menyesuaikan pekerjaannya sehingga semakin bisa dalam meghadapi tekanan dalam bekerja (Sugeng,2015).Disisi lain masa kerja yang lama juga berhubungan dengan stres kerja terkait kejenuhan yang kemudian dapat berdampak pada timbulnya stres di tempat kerja (Munandar, 2001). Hasil penelitian pada perawat di RSUD Cilacap menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara masa kerja dengan stres kerja pada perawat, masa kerja ≤ 10 tahun memiliki risiko stres sebesar 91,7% (Dewi,2015). Adanya hubungan antara masa kerja dengan stres kerja ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Prabowo (2010) dan Pratama (2014) dengan nilai probabilitas sebesar 0,000.

19. Kepribadian Tipe A Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,969 (p>0,05), dengan kata lain pada tingkat kepercayaan 95% diyakini tidak terdapat hubungan sginifikan antara kepribadian tipe A dengan stres kerja. Berkaitan dengan tipe kepribadian yang berisiko tinggi terkena stres yaitu tipe “A”, Rosenmen & Chesney (1980 dalam Hawari, 2011) menggambarkan antara lain dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) Ambisius, agresif dan kompetitif (suka akan persaingan), banyak jabatan rangkap. 2) Kurang sabar, mudah tegang, mudah tersinggung dan marah (emosional). 3) Kewaspadaan berlebihan, kontrol diri kuat, percaya diri berlebihan (over confidence.) 4) Cara bicara cepat, bertindak serba cepat, hiperaktif, tidak dapat diam, 5) Bekerja tidak mengenal waktu (workaholic), 6) Pandai berorganisasi dan memimpin serta memerintah (otoriter), 7) lebih suka bekerja sendirian bila ada tantangan, 8) Kaku terhadap waktu, tidak dapat tenang (tidak relaks), serba tergesagesa, 9) Mudah bergaul (ramah), pandai menimbulkan perasaan empati dan bila tidak tercapai maksudnya mudah bersikap bermusuhan, 10) Tidak mudah dipengaruhi, kaku (tidak fleksibel), 11) Bila berlibur pikirannya ke pekerjaan, tidak dapat santai, 12) Berusaha kerjas untuk dapat segala sesuatu terkendali. 20. Penilaian Diri Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,184 (p>0,05), dengan kata lain pada tingkat kepercayaan 95% diyakini tidak terdapat hubungan signifikan antara penilaian diri dengan stres kerja. Penilaian diri adalah persepsi individu terhadap kemampuan, keberhasilan dan kelayakan dirinya. Jika seseorang mempunyai konsep diri positif, maka ia mempunyai penilaian diri yang tinggi sehingga dapat mengembangkan diri dalam menghadapi kondisi, situasi atau peristiwa yang menggang, menekan atau mengancam dirinya, akibatnya ia akan mengalami stres kerja yang rendah. Sebaliknya, jika ia mempunyai penilaian diri yang rendah dalam menghadapi kondisi situasi atau peristiwa yang mengganggu, menekan atau mengancam dalam pekerjaannya, maka ia akan mengalami stres kerja yang tinggi karena rasa percaya dirinya rendah (Munandar,2006). Hasil penelitian Arats (2014) menunjukkan bahwa apabila keyakinan diri yang dimiliki seseorang rendah maka akan mengalami tingkat stres yang tinggi. Sedangkan apabila keyakinan diri tinggi maka tingkat stres kerja akan semakin rendah.

21. Dukungan Sosial Pada hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,004(p<0,05), dengan demikian pada tingkat kepercayaan 95% diyakini terdapat hubungan bermakna antara dukungan sosial dengan stres kerja. Dukungan sosial merupakan faktor pendukung yang dapat mempengaruhi stres kerja seseorang (HSE,2014, Hurrel&McLaney,1988). Dukungan sosial adalah kesenangan, bantuan atau keterangan yang diterima seseorang melalui hubungan, formal dan informal dengan yang lain atau kelompok. Dukungan sosial dianggap mampu untuk melindungi atau menyangga individu dari konsekuensi negatif penyebab stres. Semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan maka semakin sedikit keluhan tentang kesehatan yang ditimbulkan (Gibson,1997). Stres kerja dapat terjadi karena tidak adanya dukungn sosial yang mana bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun lingkungan keluarga. Sehingga cenderung lebih mudah terkena stres. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya dukungan sosial yang menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya (Indah,2010). Oleh karena itu dibutuhkan dukungan sosial yang tinggi yang diberikan dari orang-orang disekitar perawat akan mampu menekan tingginya tingkat stres kerja yang terjadi di lingkungan kerja (Suryaningrum, 2015). Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Faktor yang berhubungan dengan stres kerja perawat RSUD Jend. Ahmad Yani Metro adalah jumlah beban kerja (p-value0,009), variasi beban kerja (p-value 0,039), jenis kelamin (p-value 0,011), dukungan sosial (p-value 0,040). b. Faktor yang tidak berhubungan signifikan dengan stres kerja perawat di RSUD Jend. Ahmad Yani Metro adalah lingkungan fisik (p-value0,362), konflik peran (p-value0,463), ketaksaan peran (p-value0,778), konflik interpersonal (pvalue0,771), ketidakpastian pekerjaan (p-value 0,762), kurang kontrol (pvalue0,857), kesempatan kerja (p-value0,106), tanggungjawab terhadap orang lain (p-value0,950), kemampuan yang tidak digunakan (p-value0,748), tuntutan mental (p-value0,597), shift kerja (p-value0,261), aktivitas di luar pekerjaan (pvalue0,570), usia (p-value0,092), masa kerja (p-value0,200), kepribadian tipe A (p-value0,969), penilaian diri (p-value0,184), status pernikahan (p-value0,834).

c. Variabel yang paling dominan berhubungan dengan stres kerja perawat adalah jenis

kelamin

(Coef.

B13,027;

p-value0,001)

dan

kesempatan

kerja

(Coef.B1,537; p-value1,537). 2. Saran a. Faktor pekerjaan seperti jumlah dan variasi beban kerja terbukti berkorelasi positif terhadap terjadinya stres. Oleh karena itu, pihak rumah sakit perlu melakukan evaluasi jumlah dan variasi beban kerja perawat secara personel baik menggunakan work sampling, time and motion study maupun menggunakan daily log. Selanjutnya melakukan analisis kebutuhan tenaga kerja berdasarkan beban kerja secara berkala sehingga jumlah dan variasi beban kerja perawat dapat terkontrol. b. Faktor individual khususnya jenis kelamin terbukti memiliki peranan paling penting terhadap timbulnya stres kerja perawat sehingga perlu mendapatkan perhatian. Dalam mengatasi permasalahan ini, pihak rumah sakit perlu meninjau kembali terkait pembagian tugas keperawatan antara perawat laki-laki dan perawat perempuan. Beban kerja maupun variasi beban kerja perawat perempuan sebaiknya tidak disejajarkan dengan beban kerja perawat laki-laki walau disisi lain perawat perempuan memiliki keilmuan yang relatif sama dengan perawat laki-laki. Hal ini perlu dilakukan mengingat perawat perempuan masih harus membagi waktu untuk menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga sehingga beban kerja perawat akan semakin berat yang justru akan menurunkan produktivitas kerja. c. Faktor dukungan sosial juga merupakan variabel yang memiliki korelasi terhadap terjadinya stres kerja. Pada masalah ini, pihak rumah sakit dapat meningkatkan dukungan bagi seluruh perawat di rumah sakit dalam bentuk dukungan informatif, instrumental maupun penilaian. Kepustakaan Chang, Y., Wang, P. C., LI, H. H. and Liu, Y. C. (2011). Relations among depression, self‐efficacy and optimism in a sample of nurses in Taiwan. Journal of Nursing Management, 19, 769-776. Gibson, JL et al. (2012). Organizations: Behaviour, Structure, Processes. Fouteenth Edition. International Edition. McGraw Hill. New York.

Hanif, A. R., Abdul-Mumin, K., & Naing, L. (2017). Psychosocial work stressors, work fatigue, and musculoskeletal disorders: Comparison between emergency and critical care nurses in brunei public hospitals. Asian Nursing Research, 11(1), 13-18. doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.anr.2017.01.003 Hawari, Dadang, (2011). Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. ILO, (2016). Workplace stres: A collective changllenge Nursalam. 2014. Manajemen Keperawatan. Aplikasi dalam Praktek Keperawatan Profesional. Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika Park, Y.-M. and Kim, S. Y (2013). Impacts of Job Stress and Cognitive Failure on Patient Safety Incidents among Hospital Nurses. Safety and Health at Work, 4, 210-215. Prihartini, D.L, (2007). Analisis Hubungan Beban Kerja dengan Stress Kerja Perawat di Tiap Ruang Rawat Inap RSUD Sidikalang. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan Saam, Zulfan & Wahyuni. S, (2014). Psikologi Keperawatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Stora JB. Dadcetan P, translator.(1998) In: Stress. Tehran: Islamic Ershad Publications. pp. 73–4 Widodo, Tri (2010). Pengaruh Lingkungan Kerja, Budaya Organisasi, Kepemimpinan Terhadap Kinerja, Among Makarti. World

Health Organisation,(2014). Stress at the Workplace.:http:// www.who.int/occupational - health/topics/stresstwp/en (Diakses maret 2018)

Wu, H., Sun, W., & Wang, L. (2012). Factors associated with occupational stress among chinese female emergency nurses. Emergency Medicine Journal : EMJ, 29(7), 554. doi:http://dx.doi.org/10.1136/emj.2010.09439 Wu, Hui, Wei Sun, and Lie Wang. 2012. Factors associated with occupational stress among chinese female emergency nurses. Emergency Medicine Journal : EMJ 29, (7) (07): 554, Yosep, Iyus. H & Sutini. T, (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. PT. Refika Aditama. Bandung.

Related Documents

Manuscript
November 2019 39
Manuscript
November 2019 23
Manuscript
November 2019 10
Manuscript
November 2019 7
Manuscript
November 2019 11
Manuscript
November 2019 24

More Documents from ""