Manegement Cairan Pada Pasien Trauma.docx

  • Uploaded by: Riga Medina II
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Manegement Cairan Pada Pasien Trauma.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,204
  • Pages: 24
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

JURNAL READING

Manajemen cairan pada pasien trauma : Pendekatan restriktif vs liberal Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Tentara Tk II dr. Soedjono Magelang

Diajukan Kepada : Pembimbing : Letkol. Ckm dr. Suparno, Sp. An

Disusun Oleh : Kameri 1710221054

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN – UPN ”VETERAN” JAKARTA RUMAH SAKIT TENTARA TK II DR. SOEDJONO MAGELANG PERIODE 02 JANUARI 2018 – 03 FEBUARI 2018

LEMBAR PENGESAHAN

JURNAL READING

Manajemen cairan pada pasien trauma : Pendekatan restriktif vs liberal Diajukan Sebagai Tugas untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anestesi dan Reanimasi Rumah Sakit Tentara Tk. II dr. Soedjono Magelang

Disusun Oleh: Kameri 1710221054

Telah Dipresentasikan Pada Tanggal: 15 Januari 2018

Magelang, 15 Januari 2018

Menyetujui, Pembimbing

(Letkol. Ckm dr. Suparno, Sp. An)

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan jurnal reading dengan judul “Manajemen cairan pada pasien trauma : Pendekatan restriktif vs liberal”. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Letkol CKM (K) dr.Suparno, SpAn selaku dokter pembimbing departemen Anestesi dan Perawatan Intensif RST TK. II dr.Soedjono Magelang yang banyak memberikan masukan, bimbingan dan arahan selama masa kepaniteraan klinik. Makalah jurnal reading ini dibuat dengan maksud dan tujuan untuk memenuhi penilaian dan salah satu persyaratan pada kepaniteraan klinik di bagian Anestesi dan Perawatan Intensif RST TK. II dr.Soedjono Magelang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya dan dapat diambil hikmahnya. Penulis sadar makalah ini masih jauh dari “kesempurnaan”, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan berikutnya. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pembacanya.

Magelang, 15 Januari 2018

Manajemen cairan pada pasien trauma : Pendekatan restriktif vs liberal Veena Chatrath, Ranjana Khetarpal, Jogesh Ahuja Department of Anaesthesia and Critical Care, Government Medical College, Amritsar, Punjab, India

Abstrak Trauma adalah penyebab utama kematian di dunia, dan hampir 30% kematian pada trauma terjadi akibat kehilangan darah. Sejumlah kekawatiran muncul mengenai kelayakan prinsip klasik resusitasi kristaloid agresif pada syok hemoragik pada trauma. Beberapa studi terbaru menunjukan bahwa pemulihan volume di awal padabeberapa macam trauma sebelum hemostasis muncul dapat mempercepat kelihangan darah, hipotermia, dan koagulopati delusional. Ulasan ini membahas kemajuan dan perubahan protokol resusitasi cairan dan transfusi untuk penanganan syok hemoragik pada trauma. Konsep resusitasi cairan bervolume rendah yang dikenal sebagai hipotensi permisif mencegah efek samping dari resusitasi cairan awal yang agresif sementara mempertahankan level perfusi jaringan walau lebih rendah dari normal, tetapi adekuat untuk periode yang pendek. Hipotensi permisif adalah bagian dari strategi resusitasi pengendalian, yang mana targetnya adalah perdarahan eksaserbasi. Elemen dari strategi ini adalah hipotensi permisif, resusitasi kristaloid minimal, kontrol hipotermia, pencegahan asidosis, penggunaan produk darah di awal untuk meminimalisir koagulopati. Kata kunci : Resusitasi kontrol kerusakan, resusitasi cairan, protocol transfusi massif, hipotensi permisif

Pengenalan Secara global, kecelakaan berkontribusi sebagai penyebab 10% kematian dan 15% kecacatan pada masa hidup yang tersisa.[1] Penelitian terakhir menjelaskan bahwa kecelakaan berkontribusi 13-18% pada total kematian di India. Kecelakaan lalu lintas menempatkan beban besar pada sector kesehatan dalam hal penanganan prehospital, penanganan akut, dan rehabilitasi. Menurut WHO, kecelakaan lalu lintas adalah enam penyebab utama kematian di India dengan bagian besar pada rawat inap, kematian, kecacatan dan kehilangan sosial ekonomi pada populasi muda dan usia pertengahan. Kebanyakan dari kematian tersebut terjadi akibat keputusan yang buruk dan ketidaksesuaian intervensi. Diperkirakan 10-20% kematian dapat dicegah dengan kontrol perdarahan yang lebih baik. Perdarahan awal pada 6 jam setelah cedera merupakan penyebab kematian terbesar yang dapat dicegah. Hal ini mengarahkan tim medis untuk menginvestigasi apakah perubahan dalam praktek dapat mengurangi mortalitas setelah trauma berat. Setelah empat decade terakhir, pendekatan standar kepada korban trauma, yang mengalami hipotensi dengan curiga perdarahan adalah pemberian sejumlah besar cairan seawal dan secepat mungkin. Tujuan utama dari strategi tindakan ini adalah pengembalian yang cepat pada volume intravascular dan tanda vital kearah normal dan mempertahankan perfusi organ vital. Cairan IV bervolume tinggi untuk ketidakstabilan hemodinamik telah digunakan sebagai standar pada sebagian besar sistem penanganan prehospital seperti Advanced Trauma Life Support (ATLS). Penelitian laboratorium dan percobaan klinis terbaru mengevaluasi efikasi guidline ini menyarankan pada keadaan hemoragi tidak terkontrol, resusitasi cairan yang agresif dapat berbahaya, berpengaruh pada peningkatan volume hemorgi dan selanjutnya mengarah mortalitas yang lebih besar. Dalam menyusun strategi resusitasi beberapa pertanyaan harus dijawab • Bagaimana resiko hipovolemia pada pasien trauma? • Apa itu cedera resusitasi? • Strategi resusitasi cairan apa yang tersedia? • Liberal versus restriktif (terbatas) • Adakah beberapa rekomendasi dari literatur? Kita perlu memahami patofisiologi dari trauma dan syok hemoragik. Hal ini bisa jelaskan sebagai kondisi yang mengancam nyawa dengan tanda penyebaran oksigen yang tidak adekuat

pada organ vital yang nantinya mempengaruhi kebutuhan metabolic. Tekanan Darah Sistol 90 mmHg biasanya menandai hipotensi dan syok, bagaimanapun penyebaran oksigen bergantung pada kardiak output daripada kehilangan darah yang tidak jelas, dan hubungan ini berlanjut menjadi bukti ketika lebih dari setengan volume sirkulasi hilang atau jika kehilangnannya berlangsung cepat. Banyak pasien akan mempertahankan nadi dan tekanan darah walaupun setelah kehilangan sejumlah besar darah dan hipoksia jaringan. Kondisi ini dikenal sebagai syok kriptik dan berhubungan dengan meningkatnya kematian.

Cedera Resusitasi Parameter lain yang perlu dipahami adalah cedera

resusitasi. Pada keadaan trauma

permeabilitas kapiler meningkat, mengarah ke kehilangan cairan intravascular menuju ke ruang intersistial. Selanjutnya, asidosis yang dihasilkan dari trauma signifikan merusak fungsi jantung. Dalam menangani pasien dengan kristaloid dalam jumlah besar dapat mengarah kepada pembengkakan seluler dan menghasilkan kerusakan.Cairan menyebabkan koagulopati dilusional, gangguan pembekuan dari peningkatan tekanan darah, menurunnya viskositas darah, dan edema intersistial. Terdapat peningkatan resiko dari respiratory distress syndrome dan multi organ failure. Resusitasi dengan kristaloid dalam jumlah besar mengakibatkan komplikasi pada gastrointestinal dan jantung, ekstermitas meningkatnya tekanan kompartemen, dan gangguan koagulasi. Sindrom kompartemen abdomen jelas terbukti merupakan hasil dari resusitasi kristaloid dalam jumlah besar. Sindrom kompartemen abdomen sekunder terjadi pada pasien tanpa cedera abdomen yang medasari, memiliki > 50% mortalitas dan jelas berhubungan dengan strategi resusitasi cairan yang terlalu agresif.

Patofisiologi Hypovolemic Microcirculation Hipovolemia dan kehilangan darah menyebabkan perfusi yang inadekuat pada mikrosirkulasi yang mengarah pada kekurangan ketersediaan oksigen dalam memenuhi keperluan fosforiladi oksidatif mitokondria. Mikrosirkulasi yang adekuat didasari pada fungsi komponen yang berbeda pada mikrosirkulasi. Sel darah merah dan sel darah putih, sel endothelial dan sel otot polos berfungsi secara harmonis untuk memastikan aliran darah mikrosirkulasi cukup untuk mengangkut oksigen ke jaringan. Fungsi dari komponen ini dipengaruhi oleh hipovolemia. Pemberian cairan untuk memperbaiki hipovolemia dapat memodulasi fungsi sirkulasi mikro

dengan berbagai mekanismeAliran ini meningkat dengan ditingkatkan pengisian dari pembuluh darah yang menghasilkan tekanan paksa dan meningkatkan tekanan mikrosirkulasi. Cairan juga mengubah hemorheology darah dengan menurunkan viskositas yang juga meningkatkan aliran darah. Bagaimanapun, hemodilusi berlebihan dapat menyebabkan tabrakan pada mikrosirkulasi dan merusak oksigenasi regional jaringan. Efek ini dapat berbeda diantara sistem organ yang berbeda.

Koagulasi dan trauma Kelaninan koagulasi pada trauma memiliki patofisiologi yang kompleks termasuk aktivasi atau disfungsi generasi fibrin atau keduanya, disfungsi endothelium dan platelet, inhibisi relatif oleh pembentukan pembekuan stabil oleh jalur antikoagulan dan fibrinolitik dan baik konsumsi atau inhibisi oleh protease koagulasi. Pergeseran cairan terasosiasi dengan kehilangan darah, infusi kristaloid dan transfusi packed red cells berkontribusi pada koagulopati dilusional. Hipotermia dan asidosis juga berkontribusi kepada koagulopati dan kehilangan darah yang berlanjut. Kehilangan darah akut atau sel darah merah yang diikuti oleh syok nampaknya menjadi faktor terpenting dalam terjadinya koagulopati. Hess et all [10] terlah menyarankan disarankan dalam review mereka bahwa enam pemicu utama koagulopati pada trauma – trauma jaringan, syok, hemodilusi, hipotermia, asidiemia, dan peradangan. Strategi alternative pada resusitasi awal adalah resusitasi terbatas atau resusitasi hipotensif. Dua strategi yang berbeda telah berkembang untuk mencegah gangguan bekuan dan koagulopati dilusional. Resusitasi yang terlambat, dimana cairan diambil hingga pendarahan sepenuhnya terkontrol. Hipotensi permisif yang kedua, dimana cairan telah diberikan, tetapi akhir dari resusitasi adalah sesuatu yang kurang dari tensi normal. Pendekatan ini memberikan sebuah mekanisme untuk mencegah efek merugikan yang berasosiasi dengan resusitasi awal yang agresif. Hipotensi permisif adalah sebutan untuk untuk mendeskripsikan kegunaan terapi cairan restriktif terutama pada pasien trauma yang mengalami peningkatan tekanan darah sistemik tanpa mencapai normotensi. Hal ini menyiratkan bahwa mempertahankan perfusi meskripun menurun dari kisaran fisiologis normal, adalah adekuat dalam periode yang pendek. Konsep ini tidak terkecuali terapi melalui cairan intravena; inotropic atau vasopressor, satu-satunya pembatasan adalah untuk mencegah penormalan tekanan darah secara lengkap dalam konteks dimana kehilangan darah dapat meningkat.

Pemilihan waktu dan Pencapain Resusitasi dalam Syok Hemoragik Pendekatan restriktif versus liberal Pendukung resusitasi kristaloid yang agresif menunjukkan bahwa manfaat teoritis dari menormalkan bahkan super normalisasi tekanan darian dan penghantaran oksigen adalah sangat jelas. Keuntungan termasuk pengembalian kehilangan oksigen, pembersihan asidosis, koreksi deficit cairan estrasel. Bagaimanapun, bukti terbaru (terutama dalam contoh perdarahan tak terkontrol) menyarankan resusitasi yang premature atau agresif dapat mengarah kepada mencabut pembekuan muda dan delusional koagulopati, yang mana menghasilkan peningkatan hemoragi dan mortalitas. Penelitian terakhir melaporkan bahwa penanganan cairan yang terlalu agresif mempercepa kerusakan hepatoseluler sementara yang lain menjelaskan bahwa resusitasi cairan yang lebih perlahan membawa peningkatan pada imunitas dimediasi sel. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa resusitasi cairan secepatnya dapat peningkatan tingkat, volume, dan durasi dari perdarahan. Sebelum membahas data pada strategi resusitasi restriktif, hal ini perlu digaribawahi bahwa semua strategi yang hipotensi yang diperbolehkan tentu saja merupakan kontraindikasi pada pasien dengan traumatic brain injury. Hal ini telah menunjukan bahwa setiap kejadian hipotensi dapat menimbulkan dua kali kemungkinan mortalitas pada populasi pasien ini. Pada keadaan perdarahan tak terkontrol pada pasien dengan bersamaan dengan traumatic brain injury (TBI) dari hipotensi adalah sangat penting seperti tekanan darah sistolik < 90 mmHg yang berhubungan dengan hasil akhir yang buruk. Infus sejumlah kecil cairan (100-200 ml) untuk menjaga tekanan darah sistolik diatas 90 mmHg (bukti Grade I). Konsep dari hipotensi permisif harusnya dipahami dengan baik pada pasien dengan hipertensi arterial kronis, carotid stenosis, angina pectoris, dan fungsi renal diskompromised. Membahas kembali resusiitasi cairan yang agresif mengikuti teori ‘percobaan Mattox’ pada 1994 oleh Bickel et al.[15] Para peneliti melakukan sebuah percobaan prospektif tunggal membandingkan antara resusitasi cairan yang disegerakan dan terlambat pada 598 orang dewasa dengan luka tusuk. Seluruh pasien menunjukkan tekanan darah sistol < 90 mmHg pada keadaan prehospital. Sebanyak 203 dari 289 pasien (70%) yang menerima resusitasi cairan yang terlambat dibandingkan dengan 193 dari 309 pasien (62%) yang menerima resusitasi cairan lebih awal (P = 0.4). Jumlah pasien yang memiliki satu atau lebih riwayat komplikasi setelah operasi lebih rendah pada pasien yang diberi resusitasi cairan lebih lambat daripada pasien yang diberi resusitasi cairan

lebih awal. Sekitar 23% dengan 30%. Beberapa penelitian sebelum dan sejak penelitian ini telah gagal mendemonstrasikan keuntungan dari resusitasi cairan yang agresif sebelum stabilisasi cedera secara mekanis pada kelangsungan hidup. Terdapat pula bukti yang mengarah pada mengembalikan tekanan darah kearah normal dengan menggunakan resusitasi cairan sebelum dilakukan operasi bahkan dapat memperburuk kelangsungan hidup. Pada penelitian tahun 2002 yang dilakukan oleh Dutton et al., 110 pasien dengan syok hemoragik yang diacak dan dibagi dalam dua grup dengan tekanan darah sistol > 100 mmHg dan target 70 mmHg. Terapi cairan ditargetkan menjadi tujuan akhir. Mereka menggunakan teknik pemberian 250-500 ml bolus untuk menangani hipotensi. Sayangnya mereka menemuan tekanan darah cenderung berubah-ubah dengan bolus, menyebabkan untuk sulit menjaga angka yang diinginkan dengan tepat. Sebagai hasil, untuk 110 pasien yang teracak, secara umum memiliki tekanan darah 100 mmHg dalam protocol restriktif dan 114 mmHg dalam kelompok standar (P < 0.001). Pasien yang bertahan hidup setara dengan 92.7% dan 4 diantaranya meninggal pada setiap grup.[16] Sampalis et al.[17] mereview hasil akhir dari 207 pasien trauma yang menerima cairan intravena dibandingan dengan 217 pasien kelompok kontrol tanpa cairan intravena. Koreksi dibuat untuk jenis kelamin, usia, dan mekanisme cedera dan angka keparahan cedera. Pasien yang menerima resusitasi cairan di tempat memiliki mortalitas yang lebih besar daripada kelompok kontrol, terutama jika terapi cairan dikombinasikan dengan keadaan prehospital yang lebih panjang. Mereka membandingkan keadaan prehospital yang < 30 menit dengan > 30 menit. Dalam salah satu kelompok, penggunakan cairan intravena ditempat tidak menunjukan hubungan dengan peningkatan mortalitas yang signifikan. Pada 1986, Blair et al.[18] melaporkan bahwa insiden perdarahan berulang telah menurun pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang mendapatkan transfusi lebih awal dipotong (P < 0.01). dengan data yang kurang relatif, sebuah ulasan dari Cochrane[19] muncul sebuah konklusi bahwa tidak terdapat bukti untuk atau terhadap volume awal resusitasi pada perdarahan tak terkontrol. Penelitian ini tidak membandingkan satu koloid dengan yang lainnya atau kristaloid hipertonis dengan kristaloid isotonis. Ulasan Cochrane telah dilakukan pada manajemen waktu dan volume cairan untuk menilai efek antara pmeberian cairan yang lebih awal dan lebih lambat, pemberian volume cairan yang lebih besar dan lebih sedikit, pada pasien trauma dengan perdarahan. Pada ulasan ini, tidak terdapat

bukti antara kelompok kontrol dan kelompok dengan pemberian cairan intravena yang lebih besar terhadap perdarahan tidak terkontrol. Ulasan ini menyimpulkan bahwa terdapat ketidakpastian sehubungan dengan strategi pemberian terpai cairan yang baik. Selanjutnya, diperlukan percobaan terkontrol acak untuk membuat strategi resusitasi cairan yang paling efektif. Sebuah percobaan yang dilakukan Turner et al.,[20] pada 1309 pasien trauma diacak untuk mendapatkan atau tidak mendapatkan terapi cairan pada periode prehospital menunjukan 10.4% mortalitas pada kelompok dengan pemberian cairan diawal dan 9.8% pada kelompok tanpa atau dengan pemberian cairan yang terlambat. Hal ini merekomendasikan bahwa daripada mengkonsentrasikan protocol terapi cairan, servis ambulans harusnya mencegah keterlambatan dan mempercepat pemindahan pasien ke rumah sakit. Penelitian Anne Morrison et al.[12] menunjukkan bahwa strategi resusitasi hipotensi mengurangi kebutuhan transfuse dan koagulopati pasca operasi parah pada trauma dengan syok hemoragik. Hal ini menunjukkan bahwa resusitasi hipotensif adalah strategi yang aman pada populasi pasien trauma dan resusitasi hipotensi pada interaoperatif MAP 50 mmHg tidak meningkatkan mortalitas dalam 30 hari seperti yang dibandingkan dengan target MAP 65 mmHg. Hal ini menurunkan resiko mortalitas awal pascaoperasi pada perdarahan koagulopati dan tidak memperpanjang lama waktu perawatan di ICU.

Evaluasi Departemen Emergensi pada Pasien Syok Ketika pasien trauma datang untuk triase, mereka harus dinilai dengan cepat untuk memastikan memiliki resiko atau sedang mengalami syok. Pasien trauma harus segera diamankan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasinya oleh tim trauma, juga mengontrol perdarahan dan melokalisasi trauma dengan penilaian sonografi terfokus pada trauma / x-ray dada.[Table I]

Resustiasi kontrol kerusakan [27] Koagulopati pada trauma telah muncul pada banyak pasien saat mereka di IGD, dan berdampak pada manajemennya. Penanganan koagulopati pada syok hemoragik bukan lagi hanya tanggung jawab dokter bedah dan dokter intesive tetapi tindakan inisiasi juga merupakan lingkup dari para klinisi darurat. Tindakan ini merupakan bagian penting yang dikenal sebagai damage control resuscitation (DCR) Kata ‘trias mematikan’ digunakan untuk mendeskripsikan kombinasi koagulopati akut, hipotermia, dan asidosis yang tampak pada pasien trauma perdarahan. Hipoperfusi mengarah ke penurunan hantaran oksigen, perubahan pada metabolism anaerob, produksi laktat, dan asidosis metabolik. Metabolisme anaerob membatasi produksi panas edogen, eksaserbasi hipotermia yang disebabkan oleh paparan dan resusitasi cairan dingin dan darah yang terburu-buru. Sebuah penelitian retrospektif besar telah menunjukan bahwa suhu tubuh < 35’C merupakan sebuah predictor independen atas mortalitas akibat trauma mayor.

Pemahaman tentang mekanisme koagulopati, asidosis, dan hipotermia atau ‘Trias Mematikan’ menjadi dasar dari DCR. DCR mengarahkan ketiga komponen dari Trias Mematikan dan mengintegrasikan hipotensi permisif, resusitasi hemostatic, dan operasi pengendalian kerusakan. Dalam rangka mengurangi syok hipovolemik yang terdiagnosa dengan mengenali pola dari trias – kulit lembab dingin, lemah atau nadi tidak teraba dan keadaan mental yang abnormal pada asidosis, hipotensi, dan hipotermia perlu diarahkan pula. Asidosis dengan deficit basa lebih

dari 6 mmol/L adalah defek fisiologi predominan yang merupakan hasil dari hipoperfusi yang persisten. pH < 7.2 dikaitkan dengan penuruan kontraktilitas dan kardiak output, vasodilatasi, hipotensi, bradikardia, disaritmia, dan penurunan aliran darah ke hepar dan ginjal. Hipotermia juga berkaitan dengan mortalitas yang tinggi. Jika suhu < 96.50’F hipokoagulability terjadi. Bagaimanapun, pendekatan pengendalian kerusakan cocok untuk sekelompok pasien tertentu. Asensio et al [27] mengidentifikasi karakteristik perioperative yang terprediksi dari ‘sindrom perdarahan’ dimana pengendalian kerusakan lebih pantas.

Komponen dari Resusitasi Pengendalian Kerusakan Hipotensi Permisif Tujuannya adalah untuk membiarkan tekanan darah subnormal untuk menimialisir perdarahan hemoragik. Untuk perdarahan hemoragik tak terkontrol saat kehilangan TBI¸targer resusitasi sistolik adalah 70-90 mmHg, perkiraan normal dan denyut perifer tidak teraba. Darah seharusnya memungkinkan pengiriman oksigen yang cukup untuk jaringan yang dapat dipastikan dengan pemantauan tingkat serum laktat dan saturasi oksigen vena sentral. Tidak ada penelitian pediatrik untuk mendukung tindakan itu.

Resusitasi Hemostatis Istrilah penggunaan yang sangat awal dari darah dan produk darah sebagai cairan resusitasi utama untuk penanganan trauma koagulopati intrinsic akut dan untuk mecegah pembentuk koagulopati dulusional. Hal ini dimulai dari kedatangan pada ruang emergensi. Resusitasi pertama terbatas untuk mejaga agar tekanan darah pada 90 mmHg, mencegah penggumpalan pada pembuluh darah saat perbaruan perdarahan. Kedua pengembalian volume intravascular dicapai dengan menggunakan plasma yang dicairkan sebagai resusitasi cairan paling tidak dengan rasio 1 : 1 dengan Packed RBC. Penyebab dibutuhkannya resusitasi, protokol transfusi massif diaktifkan dengan pengiriman 6 unit plasma, 6 unit PRC, dan 10 unit kiropresipitat [28] menunjukan bahwa kematian akibat trauma menurun dengan signifikan setelah pengenalan dari MTP. Bagaimanapun transfusi massif dapat menyebabkan hipokalsemia, hyperkalemia, hipomagnesia, dan gangguan basa, hipotermia, trimbositopenia, dan koagulopati. Penelitian terkahir mengindikasikan penggantian dengan FFP segar dan platelet konsentrasi pada awal manajemen trauma mencegah efek delusional dan telah ditandai meningkatkan perdarahan

koagulopati pada pasien trauma. Resusitasi hemostatic yang agresif harus di kombinasikan dengan kontrol agresif dari perdarahan. Asam tranexamat, sebagai antifibrinolitik, diberikan pada semua pasien dengan perdarahan tidak terkontrol yang membutuhkan transfusi darah. Sebagaimana percobaan CRASH-2 pada 2010 untuk evaluasi pada peran asam tranexamat, 20.000 pasien yang diacak menerima asam tranexamat atau kontrol. Asam tranexamat secara signifikan menurunkan resiko kematian (odd ratio 0.91, P : 0.0035) dan kematian dari hemoragik (OR L 0.85, P < 0.001) tanpa peningkatan apapun pada komplikasi tromboembolik.

Operasi pengendalian kerusakan Operasi pengendalian kerusakan didefinisikan sebagai pengorbanan anatomi normal terencana bersifat sementara untuk mempertahankan fisiologi penting. Ini adalah konsep dimana operasi awal menjadi bagian dari proses resusitasi daripada bagian proses pengobatan [30,31]. Hal ini mengandung 3 bagian termasuk laparotomi pembuka, resusitasi ICU dan pengoperasian selanjutnya sebagai resusitasi definitive[32]. Operasi pengendalian kerusakan adalah strategi operasi yang bertujuan mengembalikan fisiologi normal ketimbang integritas anatomi. Hanya ketika pasien menjadi stabil secara fisiologis dimana terapi operasi akhir dimulai. Proses ini bermaksud untuk membatasi paparan fisiologis pada lingkungan yang tidak stabil, memungkinkan resusitasi dan hasil yang lebih baik pada pasien trauma yang sakit kritis.

Pendekatan multidisiplin pada manajemen luka kritis, guideline Eropa yang terbaru [33] merokemendasikan :  Waktu yang berlalu antara cedera dan operasi harus diminimalkan untuk pasien yang sangat membutuhkan operasi kontrol perdarahan (Grade IA)  Pasien dengan syok hemoragik dan sumber perdarahan yang teridentifikasi harus melakukan prosedur kontrol perdarahan kecuali tindakan resusitasi awal berhasil (Grade IB)  Pencitraan awal (FAST atau computed tomography) untuk mendeteksi cairan pada pasien yang curiga memiliki trauma torso (Grade IB). Jika FAST porisitf, harus diikuti dengan intervensi sesegera mungkin.  Target tekanan darah sistolik 80-100 mmHg hingga perdarahan besar berhenti dalam tahap awal tanp TBI (Grade IC). Pendekatan low volume adalah kontraindikasi pada TBI sebagai tekanan perfusi yang adekuat adalah penting untuk memastikan oksigenasi pada sentral nervus sistem yang terluka.  Target MAP 65 mmHg atau lebih, dikontrol dengan resusitasi hipotensif.

 Gunakan tourniquet untuk perdarahan yang membahayakan nyawa dari cedera ekstermitas terbuka pada keadaan sebelum operasi.  Normoventilasi awal pada pasien trauma jika tidak ada tanda-tanda dari serebral hematom. Tekanan parsial yang rendah dari CO2 arteri pada saat pasien masuk ke ruang emergensi berhubungan dengan keadaan yang lebih buruk pada pasien dengan TBI. Hiperventilasi dan hipokapnia menyebabkan vasokonstriksi intens dengan penurunan aliran darah otak dan perfusi jaringan yang tidak seimbang.  Syok hemoragik dapat diidentifikasi dari sumber perdarahan – penanganan awal prosedur penanganan perdarahan secepatnya  Perhitungan serum laktat dan deficit basa untuk mengukur dan memonitor sejauh mana perdarahan dan syok (Grade IB). Serum laktat adalah parameter diagnostic dan prognostic syok hemoragik. Jumlah laktat yang di produksi oleh glikosisis anaerob merupakan parameter indirek dari cadangan oksigen, hipoperfusi jaringan, dan keparahan dari syok hemoragik. Deficit basa memberikan estimasi indirek dari asidosis yang terjadi akibat perfusi yang tak seimbang. Pengukuran laktat berulang menunjukan index prognostic yang dapat dipercaya untuk pasien dengan syok sirkulasi.  DCR harus digunkan untuk pasien dengen cedera parah dengan tanda syok hemoragik dalam, tanda dari perdarahan dan koagulopati aktif, hipotermia, asidosis, cedera anatomi berat yang tidak dapat diakses.  Kristaloid harus digunakan diawal untuk pasien trauma perdarahan (Grade IB). Cairan hipertonis dipertimbangkan untuk pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil (Grade 2B). Penambahan koloid dipertimbangkan dengan batas yang ditentukan pada setiap cairan pada pasien dengan hemodinamik tak stabil (Grade 2C).  Pemberian FFP di awal pada pasien dengan perdarahan massif (Grade IB). Platelet digunakan untuk mempertahankan jumlah diatas 50 × 109/L (Grade IC). Tetaplah menjaga jumlahnya diatas 100 × 109/L pada pasien denan multiple trauma yang mengalami perdarahan berat atau cedera otak traumatis (Grade 2C)  Pemberian Asam tranexamat 10-15mg/kg diikuti dengan penginfusan1-5 mg/kg/jam (Grade IB)  Target hemoglobin adalah 7-8 gm%  Monitoring kalsium ion selama transfusi massif (Grade IC). Kalsium klorida perlu diberikan jika kalsium ion level rendah atau perubahan EKG yang menunjukan hypokalemia (Grade 2C)

Karakter Cairan resusitasi yang optimal Menurut Tremblay “cairan yang optimal untuk resusitasi adalah menggabungkan volume ekspansi dan kepasitas kemampuan darah membawa oksigen, tanpa kebutuhan untuk cross-match atau resiko penularan penyakit. Sebagai tambahan, hal itu akan mengembalikan dan menjaga komposisi normal dan distribusi kompartemen cairan dalam tubuh”. Melihat lebih jauh, cairan yang ideal akan mengkombinasikan semua hal itu dengan efek imun dan koagulasi yang positif dan menjadi tahan lama, portable, dan murah. Tidak ada pilihan cairan yang saat ini mendekati kriteria ideal. Standar resusitasi trauma sebagaimana didefinisikan ATLS termasuk infuse cairan ringer laktat [35], yang mana merupakan campuran yang termasuk dua stereo-isomer dari laktat

D-laktat dan L-laktat. Cairan normal juga banyak digunakan dengan ringer laktat untuk resusitasi pada syok hemoragik, tapi hal ini berasosiasi denga asidosis hiperkloremik, ketika diberikan dalam jumlah besar [13]. Cairan hipertonis dan cairan hipertonis dextran solution (HSD) juga telah digunakan sebagai penanganan untuk peningkatan cairan intra kranial dan terapi awal untuk TBI. Penanganan awal HSD dapat mengarah ke peningkatan serum biomarker pada cedera otak. Tapi saat ini, tidak ada bukti yang menyatakan apakah HTS atau HSD memberi manfaat signifikan pada terapi awal pada pasien dengan TBI. Secata tradisional tidak terdapat peran koloid pada resusitasi trauma karena efek samping yang terkait. Gelatin telah dihubungkan dengan anafilaksis dan signifikan natremia. Juga menyebabkan hipotensi paradoksikal akibat pelepasan bradikinin oleh kontaminan.[35] koagulopati adalah kompilasi yang biasa muncul pada syok hemoragik. Resusitasi yang berhubungan dengan hemodilusi dapat mengubah hemostasis dengan menurukan konsentrasi protein pembekuan. Penggunaan kristaloid telah dianggap tidak memiliki efek negative pada koagulasi kecuali pada disebabkan hemodilusi. Kristaloid tidak memiliki efek samping tertentu pada fungsi ginjal kecuali tidak dapat mengembalikan volume darah dengan memadai. Bagaimanapun, koloid memiliki efek buruk pada fungsi ginjal. Pada pasien dengan deficit cairan yang berlebihan, filtrasi glomerulus pada koloid hipertonis (dextran, 10% hydroxyl ethyl starch (HES), 20% albumin) dapat menyebabkan hipervikos urin dan stasis aliran tubulus yang menghasilkan obstruksi pada lumen tubular. [36,37] Gelatin tidak punya efek merusak yang signifikan pada ginjal. [36,37] Kontroversi mengenai penggunaan kristaloid versus koloid pada resusitasi telah diperdebatkan selama bertahun-tahun. Analisis data Cochrane terakhir mengenai kristaloid versus koloid yang dipublikasikan pada 2013 bahwa resusitasi yang menggunakan koloid dengan kristaloid mengurangi resiko kematian pada pasien dengan trauma, luka bakar atau setelah operasi. Penggunaan HES juga dapat meningkatkan mortalitas.[38] Cochrane mengambil kesimpulan bahwa penggunaan koloid tidak berhubungan dengan peningkatan ketahanan hidup, dianggap lebih mahal ketimbang kristaloid, dan sulit bila melihat penggunaan keduanya pada praktik dianggap sama.[39] Percobaan klinis lebih lanjut pada penggunaan koloid perlu melihat dengan benar potensinya demi keuntungan pasien.

Pendekatan standar pada korban trauma adalah dengan melakukan infuse kristaloid dalam volume besar seawal dan secepat mungkin. Cairan yang paling efisien untuk digunakan masih diperdebattkan. Beberapa pilihan telah dirangkum dalam table dibawah

Kesimpulan Perdebatan berlanjut dalam hal manajemen cairan pada trauma. Syok hemoragik merupakan penyebab awal dari morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Prosedur yang memakan waktu di lapangan harus dihindari, dan percepatan transport pada penanganan definitive harus diutamakan. Pemilihan cairan belum terbukti berpengaruh pada hasil akhir trauma, bagaimanapun resusitasi kristaloid dalam jumlah besar perlu dihindari. Dengan tidak adanya TBI, target sistolik adalah 70-90 mmHg, tekanan perifer dalam kasus perdarahan tak terkontrol harus dicapai. Normotensi harus dicapai pada keadaan TBI. Asam tranexamat harus diberikan pada pasien dengan trauma penetrasi yang membutuhkan transfusi. MTP dengan rasio tetap haris diberikan. Pasien dengan trauma penetrasi yang mendapatkan penanganan definitive segera dapat dapat menggunakan operasi pengendalian kerusakan. Sementara DCR memerlukan studi lebih lanjut, literature awal nampak menjanjikan.

Daftar Pustaka 1. Gururaj G. Road traffic deaths, injuries and disabilities in India: Current scenario. Natl Med J India 2008;21:14-20. 2. Holcomb JB, McMullin NR, Pearse L, Caruso J, Wade CE, Oetjen-Gerdes L, et al. Causes of death in U.S. Special Operations Forces in the global war on terrorism: 2001-2004. Ann Surg 2007;245:986-91. 3. Stern SA. Low-volume fluid resuscitation for presumed hemorrhagic shock: helpful or harmful? Curr Opin Crit Care 2001;7:422-30. 4. Strehlow MC. Early identification of shock in critically ill patients. Emerg Med Clin North Am 2010;28:57-66, vii. 5. Cotton BA, Guy JS, Morris JA Jr, Abumrad NN. The cellular, metabolic, and systemic consequences of aggressive fluid resuscitation strategies. Shock 2006;26:115-21. 6. Lang F, Busch GL, Ritter M, Völkl H, Waldegger S, Gulbins E, et al. Functional significance of cell volume regulatory mechanisms. Physiol Rev 1998;78:247-306. 7. Ablove RH, Babikian G, Moy OJ, Stegemann PM. Elevation in compartment pressure following hypovolemic shock and fluid resuscitation: A canine model. Orthopedics 2006;29:443-5. 8. Balogh Z, McKinley BA, Cocanour CS, Kozar RA, Valdivia A, Sailors RM, et al. Supranormal trauma resuscitation causes more cases of abdominal compartment syndrome. Arch Surg 2003;138:637-42. 9. Boldt J, Ince C. The impact of fluid therapy on microcirculation and tissue oxygenation in hypovolemic patients: A review. Intensive Care Med 2010;36:1299-308. 10. Hess JR, Brohi K, Dutton RP, Hauser CJ, Holcomb JB, Kluger Y, et al. The coagulopathy of trauma: A review of mechanisms. J Trauma 2008;65:748-54. 11. Revell M, Greaves I, Porter K. Endpoints for fluid resuscitation in hemorrhagic shock. J Trauma 2003;54:S63-7. 12. Kreimeier U, Prueckner S, Peter K. Permissive hypotension. Schweiz Med Wochenschr 2000;130:1516-24. 13. Cherkas D. Traumatic hemorrhagic shock: Advances in fluid management. Emerg Med Pract 2011;13:1-19. 14. Shah KJ, Chiu WC, Scalea TM, Carlson DE. Detrimental effects of rapid fluid resuscitation on hepatocellular function and survival after hemorrhagic shock. Shock 2002;18:242-7.

15. Bickell WH, Wall MJ Jr, Pepe PE, Martin RR, Ginger VF, Allen MK, et al. Immediate versus delayed fluid resuscitation for hypotensive patients with penetrating torso injuries. N Engl J Med 1994;331:1105-9. 16. Dutton RP, Mackenzie CF, Scalea TM. Hypotensive resuscitation during active hemorrhage: Impact on in-hospital mortality. J Trauma 2002;52:1141-6. 17. Sampalis JS, Tamim H, Denis R, Boukas S, Ruest SA, Nikolis A, et al. Ineffectiveness of onsite intravenous lines: Is prehospital time the culprit? J Trauma 1997;43:608-15. 18. Blair SD, Janvrin SB, McCollum CN, Greenhalgh RM. Effect of early blood transfusion on gastrointestinal haemorrhage. Br J Surg 1986;73:783-5. 19. Kwan I, Bunn F, Roberts I, WHO Pre-Hospital Trauma Care Steering Committee. Timing and volume of fluid administration for patients with bleeding. Cochrane Database Syst Rev 003;3:CD002245. 20. Turner J, Nicholl J, Webber L, Cox H, Dixon S, Yates D. A randomized controlled trial of prehospital intravenous fluid replacement therapy in serious trauma. Health Technol Assess 2000;4:1-57. 21. Morrison CA, Carrick MM, Norman MA, Scott BG, Welsh FJ, Tsai P, et al. Hypotensive resuscitation strategy reduces transfusion requirements and severe postoperative coagulopathy in trauma patients with hemorrhagic shock: Preliminary results of a randomized controlled trial. J Trauma 2011;70:652-63. 22. Beekley AC. Damage control resuscitation: A sensible approach to the exsanguinating surgical patient. Crit Care Med 2008;36:S267-74. 23. Rangarajan K, Subramanian A, Pandey RM. Determinants of mortality in trauma patients following massive blood transfusion. J Emerg Trauma Shock 2011;4:58-63. 24. Hannon T. Trauma blood management: Avoiding the collateral damage of trauma resuscitation protocols. Hematology Am Soc Hematol Educ Program 2010;2010:463-4. 25. Jansen JO, Thomas R, Loudon MA, Brooks A. Damage control resuscitation for patients with major trauma. BMJ 2009;338:b1778. 26. Martin RS, Kilgo PD, Miller PR, Hoth JJ, Meredith JW, Chang MC. Injury-associated hypothermia: An analysis of the 2004 national trauma data bank. Shock 2005;24:114-8.

27. Asensio JA, McDuffie L, Petrone P, Roldan G, Forno W, Gambaro E, et al. Reliable variables in the exsanguinated patient which indicate damage control and predict outcome. Am J Surg 2001;182:743-51. 28. Riskin DJ, Tsai TC, Riskin L, Hernandez-Boussard T, Purtill M, Maggio PM, et al. Massive transfusion protocols: The role of aggressive resuscitation versus product ratio in mortality reduction. J Am Coll Surg 2009;209:198-205. 29. CRASH-2 trial collaborators, Shakur H, Roberts I, Bautista R, Caballero J, Coats T, et al. Effects of tranexamic acid on death, vascular occlusive events, and blood transfusion in trauma patients with significant haemorrhage (CRASH-2): A randomised, placebocontrolled trial. Lancet 2010;376:23-32. 30. Hirshberg A, Sheffer N, Barnea O. Computer simulation of hypothermia during “damage control” laparotomy. World J Surg 1999;23:960-5. 31. Sagraves SG, Toschlog EA, Rotondo MF. Damage control surgery — The intensivist’s role. J Intensive Care Med 2006;21:5-16. 32. Hsu JM, Pham TN. Damage control in the injured patient. Int J Crit Illn Inj Sci 2011;1:66-72. 33. Rossaint R, Bouillon B, Cerny V, Coats TJ, Duranteau J, Fernández-Mondéjar E, et al. Management of bleeding following major trauma: An updated European guideline. Crit Care 2010;14:R52. 34. Tremblay LN, Rizoli SB, Brenneman FD. Advances in fluid resuscitation of hemorrhagic shock. Can J Surg 2001;44:172-9. 35. Dutta R, Chaturvedi R. Fluid therapy in trauma. MAJFI 2010;66:312-6. 36. Bouglé A, Harrois A, Duranteau J. Resuscitative strategies in traumatic hemorrhagic shock. Ann Intensive Care 2013;3:1. 37. Boldt J. Volume replacement in the surgical patient — Does the type of solution make a difference? Br J Anaesth 2000;84:783-93. 38. Boldt J. Fluid choice for resuscitation of the trauma patient: A review of the physiological, pharmacological, and clinical evidence. Can J Anaesth 2004;51:500-13. 39. Perel P, Roberts I, Ker K. Colloids versus crystalloids for fluid resuscitation in critically ill patients. Cochrane Database Syst Rev 2013;2:CD000567. 40. Shires GT, Browder LK, Steljes TP, Williams SJ, Browder TD, Barber AE. The effect of shock resuscitation fluids on apoptosis. Am J Surg 2005;189:85-91

CRITICAL APPRAISAL

No.

Judul & Pengarang

+/-

1.

Jumlah kata dalam judul < 12 kata

+

2.

Deskripsi judul

+

3.

Daftar penulis sesuai aturan jurnal

+

4.

Korespodensi penulis

+

5.

Tempat dan waktu penelitian dalam judul

-

No.

Abstrak

+/-

1.

Abstrak 1 paragraf

+

2.

Secara keseluruhan informatif

+

3.

Tanpa singkatan selain yang baku

+

4.

Kurang dari 250 kata

No.

Pendahuluan

+/-

1.

Terdiri dari 2 bagian/2 paragraf

-

2.

Paragraf pertama mengemukakan alasan

+

3.

Paragraf kedua menyatakan hipotesis/tujuan penelitian

-

4.

Didukung oleh penelitian relevan

-

5.

Kurang dari 1 halaman

+

No.

Bahan & Metode Penelitian

+/-

1.

Jenis dan rancangan penelitian

-

2.

Waktu dan tempat penelitian

+

3.

Populasi sumber

+

4.

Teknik sampling

-

5.

Kriteria inklusi

-

6.

Kriteria eksklusi

-

+ (182 kata)

7.

Perkiraan dan perhitungan besar sampel

-

8.

Perincian cara penelitian

+

9.

Uji statistik

-

10.

Program komputer

-

11.

Persetujuan subjektif

+

No.

Hasil

+/-

1.

Jumlah subjek

-

2.

Tabel karakteristik subjek

-

3.

Hasil penelitian

+

4.

Komentar dan pendapat hasil penulis tentang hasil

+

5.

Tabel analisis data dan uji

-

No.

Pembahasan, kesimpulan, daftar pustaka

+/-

1.

Pembahasan dan kesimpulan terpisah

+

2.

Pembahasan dan kesimpulan dipaparkan dengan jelas

+

3.

Pembahasan mengacu pada penelitian sebelumnya

+

4.

Pembahasan sesuai dengan landasan teori

+

5.

Keterbatasan penelitian

-

6.

Simpulan utama

+

7.

Simpulan berdasarkan penelitian

+

8.

Saran penelitian

-

9.

Penulisan daftar pustaka sesuai aturan

+

Related Documents


More Documents from "SatriaDiex"