Jessica_resusirasi Cairan Pada Syok Septik.docx

  • Uploaded by: Anonymous CKAborxxw
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jessica_resusirasi Cairan Pada Syok Septik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,678
  • Pages: 25
REVIEW ARTIKEL RESUSITASI CAIRAN PADA SYOK SEPTIK

Oleh: Jessica 160070201011051

Pembimbing: dr. Wiwi Jaya, Sp.An-KIC

LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR MALANG 2018

1

DAFTAR ISI

Cover ............................................................................................................. 1 DAFTAR ISI ................................................................................................... 2 DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ 3 DAFTAR TABEL ............................................................................................ 4 BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 7 2.1 Definisi Syok Septik ................................................................................. 7 2.2 Epidemiologi ............................................................................................. 8 2.3 Etiologi ...................................................................................................... 9 2.4 Faktor Risiko ............................................................................................. 11 2.5 Patofisiologi .............................................................................................. 12 2.6 Tatalaksana .............................................................................................. 14 2.6.1 Oksigenasi ...................................................................................... 15 2.6.2 Resusitasi Cairan ........................................................................... 15 2.6.2.1 Kristaloid ............................................................................. 17 2.6.2.2 Koloid .................................................................................. 19 2.6.3 Vasopresor dan Inotropik ................................................................ 21 BAB 3 KESIMPULAN .................................................................................... 22 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 23 LAMPIRAN..................................................................................................... 25

2

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 : Early Goal-Directed Therapy ................................................. 12 Gambar 2.2 : Surviving Sepsis Bundle ....................................................... 12

3

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 : Skor SOFA .................................................................................. 7 Tabel 2.2 : Organisme pada pasien dengan risiko mortalitas di rumah sakit ....................................................................................................................... 11 Tabel 2.3 : Komposisi cairan infus kristaloid ............................................. 17 Tabel 2.4 : Komposisi cairan koloid ............................................................ 20

4

BAB 1 PENDAHULUAN

Sepsis adalah repspon tubuh terhadap infeksi patogen yang melepaskan toksin ke dalam sirkularsi darah sehingga terjadi proses inflamasi. Syok septik sendiri merupakan komplikasi terparah dari sepsis dan menjadi salah satu alasan terbanyak penyebab kematian di intensive care unit

(ICU). Syok septik

merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah (tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 40mmHg) disertai kegagalan sirkulasi, meskipun telah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ. Syok septik merupakan keadaan gawat darurat yang memerlukan penangan segera (Chen dan Pohan, 2009). Meskipun dalam dua dekade terakhir tatalaksana pada penderita sepsis maupun syok sepsis sudah berkembang, tetapi hasil dan tingkat kematian masih buruk. Kebanyakan penderita syok septik memiliki komplikasi seperti multiple organ dysfunction syndrome (MODS) yang dapat memperburuk keadaan dan menyebabkan kematian. Pada tahun 2017, Center for Disease Control and Prevention menyatakan bahwa terdapat lebih dari 1.500.000 orang menderita sepsis setiap tahun nya di Amerika Serikat. Di antaranya terdapat 250.000 penderita yang akhirnya meninggal. Dan 1 dari 3 pasien yang meninggal di rumah sakit, menderita sepsis (CDC, 2017). Tingkat mortalitas 90 hari sebesar 46.7%. Sementara pada pasien dengan syok septik dengan serum laktat >4 mmol/L dengan MODS, memiliki mortalitas 20% dalam 24 jam (Carioni et al, 2014). Penanganan pertama yang harus dilakukan pada syok septik adalah pemberian cairan karena terjadinya vasodilatasi yang diakibatkan oleh mediator inflamasi yang menyababkan tubuh jatuh dalam kondisi hipovolemia. Maka dari

5

itu pemberian cairan yang adekuat menjadi krusial untuk mempertahankan tekanan perfusi dan yang paling aliran darah ke jaringan (Ospina et al, 2010). Onset awal dan resusitasi dapat memperbaiki delivery oksigen, mengembalikan jaringan yang hipoksia, meminimalisir progres disfungsi sel dan mitokondria, mencegah gagal organ multipel akibat inflamasi sistemik dan hipoperfusi jaringan (Correa et al, 2012). Early goal-directed resuscitation menunjukan hasil yang baik dalam mempertahankan kondisi pasien dengan syok septik pada unit gawat darurat. Resusitasi yang dilakukan sesegera mungkin dapat mengurangi tingkat mortalitas 28 hari. Tindakan resusitasi yang cepat dan pemilihan cairan resusitasi yang tepat merupakan kunci dari keberhasilan tatalaksana dari syok sepsis (Bendjelid dan Romand, 2003). Maka dari itu, dibuatnya makalah ini bertujuan untuk membahas syok septik dan langkah resusitasi lebih dalam lagi.

6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI SYOK SEPTIK Sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi porses inflamasi (Chen dan Pohan, 2009). Menurut Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock 2017 definisi terbaru sepsis tidak lagi menggunakan identifikasi dengan kriteria Inflammatory Response Syndrome(SIRS). Kriteria SIRS yaitu meliputi takikardi (denyut nadi >90 kali/menit), takipneu (laju nafas >20 kali/menit), demam

atau hipotermia 3

(suhu tubuh >38

atau <36

˚

C),

leukositosis

3

(>1.200/mm ), dan leukopeni (<4.000/mm ), (Marik dan Taeb, 2017). Namun untuk mendiagnosa sepsis yang lebih tepat dapat menggunakan Sequential (Sepsis-Related) Organ Failurre Assessment Score (SOFA) dan quick SOFA (qSOFA). Pasien dapat dikatakan mengalami sepsis apabila memenuhi ≥2 skor SOFA dan memenuhi minimal 2 dari 3 komponen qSOFA. Komponen qSOFA adalah laju nafas ≥22 kali/menit, perubahan status mental, dan tekanan darah sistolik ≤100mmHg, bila pasien memenuhi minimal 2 dari 3 kriteria tersebut maka kemungkinan besar pasien mengalami sepsis (Singer et al, 2016).

7

Tabel 2.1 Skor SOFA (Singer et al, 2016)

Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme sel atau jaringan. Terdapat berbagai sebab terjadinya syok seperti perdarahan, infark miokard, anafilaksis, emboli paru dan syok septik (Chen dan Pohan, 2009). Syok septik merupakan salah satu subset dan komplikasi terburuk dari sepsi. Pada syok septik terjadi penurunan tekanan darah (tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 40mmHg) disertai kegagalan sirkulasi, meskipun telah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ. Syok septik merupakan keadaan gawat darurat yang memerlukan penanganan segera oleh karena semakin cepat syok dapat teratasi, akan meningkatkan keberhasilan pengobatan dan menurunkan risiko kegagalan organ dan kematian (Chen dan Pohan, 2009). 2.2 EPIDEMIOLOGI Sepsis merupakan kondisi dimana respon dari tubuh terhadap infeksi menyebabkan berbagai disfungsi organ. Sepsis merupakan salah satu penyakit dengan angka kematian mayor. Pada tahun 2001, tercatat ada 751.000 kasus (3 dari 1000 populasi) setiap tahun nya di Ameriksa Serikat, 200.000 kasus di antaranya berujung pada kematian. Kondisi syok septik memiliki mortalitas tertinggi hingga 50%. Sebuah peneilitian menyatakan bahwa sepsis berkontribusi menyumbang sepertiga atau setengah dari seluruh kematian yang terjadi pada rumah sakit di Amerika Serikat (Angus et al, 2001). Pada tahun 2003, sebuah peneilitian menyatakan bahwa angka insidensi septik dan kematian yang berhubungan dengan septik meningkat. Hal ini diperikarakan karena terjadinya peningkatan kondisi penyakit kronis, peningkatan penggunaan terapi imunosupresan, transplantasi, kemoterapi, dan prosedur invasif. Banyak rumah sakit hanya melihat epidemiologi sepsis dari jumlah pasien sepsis yang dirawat di ICU sehingga banyak menimbulkan bias. Insidensi sepsis

8

yang dirawat di ICU di Inggris adalah sebanyak 27.1% dari ketersediaan 8.6 bed ICU per 100.000 populasi. (Martin et al, 2003) Pada tahun 2017, Center for Disease Control and Prevention menyatakan bahwa terdapat lebih dari 1.500.000 orang menderita sepsis setiap tahun nya di Amerika Serikat. Di antaranya terdapat 250.000 penderita yang akhirnya meninggal. Dan 1 dari 3 pasien yang meninggal di rumah sakit, menderita sepsis. Penyakit infeksi yang sering mengakibatkan sepsis adalah antara lain infeksi paru seperti pneumonia sebanyak 35%, infeksi ginjal dan saluran kemih sebanyak 25%, infeksi pada lambung dan usus sebanyak 11%, dan infeksi kulit sebanyak 11%(CDC, 2017). Sebuah penelitian yang melakukan randomized clinical trial terhadap pasien dengan syok septik, didapatkan tingkat mortalitas 90 hari sebesar 46.7%. Sementara pada pasien dengan syok septik dengan serum laktat >4 mmol/L dengan MODS, memiliki mortalitas 20% dalam 24 jam (Carioni et al, 2014). 2.3 ETIOLOGI Penyebab terjadinya sepsis secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 yaitu bakteri gram positif dan gram negatif yang menjadi penyebab utama 90% dari kasus. Sejak tahun 1980, angka kejadian yang disebabkan oleh gram positif (Staphylococcus aureus, enterococcus, dan streptococcus) lebih banyak daripada

gram

negatif

(Escherichia

coli,

Klebsiella

pneumoniae,

dan

Pseudomonas aeruginosa) (Russel, 2006). Daerah infeksi yang sering menyebabkan sepsis adalah sistem pernafasan, saluran kemih, dan saluran pencernaan. Jenis infeksi yang dapat memicu terjadinya sepsis adalah (Butterworth et al, 2013): 

Infeksi paru seperti pneumonia



Apendisitis



Peritonitis



Infeksi saluran kemih



Infeksi kulit seperti selulitis



Infeksi pasca operasi

9



Infeksi sistem sarafh seperti meningitis Pada tahun 2015, National Confidential Enquiry into Patient Outcime and

Death (NCEPOD) menyatakan bahwa 75% kasus sepsis terjadi dari infeksi yang didapatkan dari komunitas. Misalnya, pada sebuah studi di Eropa, lebih dari 50% pasien isolasi di ICU adalah methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Angka kejadian MRSA pada komunitas semakin meningkat dan sering mengakibatkan pneumonia severe. Di Inggris, sepsis juga merupakan penyebab utama dari kematian maternal dengan Streptococcus grup A sebagai penyebab utama terbanyak (Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, 2012). Penyebab jamur yang banyak menyebabkan sepsis adalah Candida. Dari studi prevalensi di Eropa, sebanyak 17% pasien ICU terkena infeksi jamur. Jamur sering menginfeksi pasien dengan peritonitis sekunder, dengan Candida ditemukan pada 20% pasien dengan perforasi saluran pencernaan. Faktor risiko nya dapat dari feses yang tertumpuk di peritoneum, perforasi rekuren saluran pencernaan, terapi imunosupresif pada pasien dengan keganasan dan transplantasi, dan penyakit inflamasi (Montavers et al, 2006).

10

Tabel 2.2 Organisme pada pasien dengan risiko mortalitas di rumah sakit, (Russel, 2006)

2.4 FAKTOR RISIKO Terdapat beberapa faktor risiko yang menjadi penyebab munculnya sepsis secara umum yaitu (NICE guideline, 2016): 

Usia dibawah 1 tahun dan usia diatas 75 tahun.



Pasien dengan gangguan sistem imun: o

Pasien kanker yang mendapat kemoterapi.

o

Pasien dengan gangguan imun seperti diabetes, splenektomi, sickle cell disease

11

o

Pasien yang menggunakan terapi steroid jangka panjang

o

Pasien yang menggunakan obat imunosupresan untuk terapi penyakit non-malignan seperti rheumatoid artritis



Pasien yang habis menjalankan operasi atau prosedur invasif dalam waktu kurang dari 6 minggu.



Pasien dengan gangguan kulit seperti luka bakar dan infeksi kulit.



Pasien yang menyalahgunakan obat intravena.



Pasien yang menggunakan kateter. Pada ibu hamil faktor risiko yang dapat menjadi penyebab munculnya

sepsis yaitu (NICE guideline, 2016): 

Gangguan sistem imun.



Diabetes gestasional.



Membutuhkan prosedur invasif seperti sectio cesaria.



Pecah ketuban yang prolong.



Kontak erat dengan orang yang memiliki infeksi streptokokus grup A



Mengalami perdarahan vagina. Pada bayi baru lahir faktor risiko yanng dapat menjadi penyebab

munculnya sepsis yaitu (NICE guideline, 2016): 

Infeksi streptokokus grup B secara maternal.



Pecah ketuban dini.



Kelahiran preterm kurang dari 37 minggu.



Demam intrapartum lebih dari 38˚C atau dengan korioamniontis

2.5 PATOFISIOLOGI Reaksi tubuh terhadap infeksi begantung pada imunitas bawaan dan imunitas adaptif. Imunitas adaptif bergantung pada sebagian besar reseptor antigen spesifik yang ada pada memoripatogen yang sebelumnya ditemui, sedangnkan imunitas bawaan menggambarkan respon host terhadap molekul untuk menyerang patogen, hal ini termasuk lipopolisakarida (LPS) dan peptidoglikan bakteri, dan glikolipid RNA mikrobakteri (Taeb et al, 2017).

12

Imunitas bawaan memiliki peran penting dalam menandakan adanya inisiasi reaski imuno-inflamasi serta infeksi gram negatif yang dipicu oleh endotoksin (LPS) dan infeksi gram positif baik akibat produksi eksotoksin atau karena fragmen membran LPS yang dikomplekskan dengan protein plasma tertentu selanjutnya berikatan dengan resepor membran (CD14) pada sel efektor seperti makrofag dan sel endotel. Hal ini merupakan tanda dimulainya transduksi sinyal intraseluler melalui reseptor spesifik (TLR) (Taeb et al, 2017). Setelah respon inflamasi dipicu, elemen seluler terutaam leukosit akan diarahkan menuju ke lokasi infeksi. Kompleks interaksi endotel-leukosit merupakan prekursor

penting

untuk

mempertahankan respon inflamasi.

Marginasi leukosit awal dan yang berjalan sepanjang dinding endotel diatur oleh kelompok glikoprotein yang dikenal sebagai selectins pada permukaan kedua sel endotel dan leukosit. Proses ini dipicu oleh berbagai mediator proinflamasi termasuk tumor necrosis factorr (TNF-α), interleukin 1 (IL-1), histamin, komplemen, leukotrien, dan radikal bebas. Kekuatan adhesi leukosit-endotel diikuti dengan transmigrasi leukosit keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan di bawahnya, meskipun dapat terjadi pada kapiler paru. Migrasi tersebut juga didukung oleh karena permeabilitas pembuluh darahyang meningkat dan edema lokal. Sitokin pro-inflamasi dan neutrofil disekresikan ke dalam endotel pembuluh darah dan akan menginduksi apoptosis, dimana aktivasi neutrofil akan menyebabkan kerusakan kaskade yang mengarah pada pembentukan radikal bebas dalam sel endotel (Taeb et al, 2017). Proses inflamasi pada syok sepstik merupakan proses homeostasis dimana terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi melebihi kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang malaptif, dan mengakibatkan proses inflamasi destruktif dan menyebabkan gangguan pada tingal seluler berbagai organ. Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung. Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel),

13

gangguan perfusi jaringan, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus). Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Taeb, 2017). 2.6 TATALAKSANA Tatalaksana syok septik merupakan bagian dari tatalaksana sepsis yang komprehensif, mencakup eliminasi sumber infeksi, resusitasi cairan, vasopresor dan inotropik, dan terapi suportif. Tatalaksana syok septik merupakan tindakan resusitasi yang harus dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dimulai dengan airway, breathing, circulation. Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai CVP 8-12 mmHg, MAP 65 mmHg, dan produksi urin >0,5 cc/kg/jam (Chen dan Pohan, 2009).

Gambar 2.1 Early Goal-Directed Therapy (Prism Investigator NEJM, 2017)

14

Gambar 2.2 Survivng Sepsis Bundles 2016

2.6.1 Oksigenasi Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena ganguan ventilasi maupun perfusi. Transpor oksigen ke jaringan dapat pula terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oksigen oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskular, mikrotrombus, dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia (Chen dan Pohan, 2009). Dalam tatalaksana hipoksemia dan hipoksia semua faktor yang mempengaruhi baik ventilasi, perfusi, transpor, dan penggunaan oksigen oleh jaringan harus mendapat perhatian dan koreksi. Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertau penurunan kesadaran atau kerja ventikasi yang berat, ventilasi mekanik harus segera dilakukan. Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dalam upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah dan meningkatkan transpor oksigen di jaringan (Chen dan Pohan, 2009). 2.6.2 Resusitasi Cairan Pada pasien dengan syok septik, penanganan pertama yang harus dilakukan adalah pemberian cairan karena terjadinya vasodilatasi yang

15

diakibatkan oleh mediator inflamasi yang menyababkan tubuh jatuh dalam kondisi hipovolemia. Maka dari itu pemberian cairan yang adekuat menjadi krusial untuk mempertahankan tekanan perfusi dan yang paling aliran darah ke jaringan. Perfusi jaringan, aliran darah sistemik, dan oksigenasi dapat dicapai dengan mengembalikan kompartemen intravaskular dengan resusitasi cairan (Ospina et al, 2010). Cairan harus dimasukkan dengan dua asumsi yaitu terganggunya perfusi jaringan (hipoksia stagnan) yang memerlukan augmentasi aliran darah dan adanya respon terhadap cairan yang akan memacu curah jantung. Keadaan hipovolemi maupun overload cairan dapat berbahaya bagi pasien kritis. Maka dari itu, sebelum pemberian terapi cairan maka perlu dipastikan terlebih dulu tubuh pasien memiliki respon yang baik terhadap cairan. Selain itu, agen inotropik juga perlu dipertimbangkan untuk membantu memperbaiki oksigenasi jaringan pada pasien yang tidak dapat respon terhadap terapi cairan (Delinger et al, 2012). Onset awal dan resusitasi dapat memperbaiki delivery oksigen, mengembalikan jaringan yang hipoksia, meminimalisir progres disfungsi sel dan mitokondria, mencegah gagal organ multipel akibat inflamasi sistemik dan hipoperfusi jaringan. Selain terapi cairan, kontrol infeksi dengan pemberian antibiotik yang adekuat secara cepat sangat diperlukan untuk mencegah repson inflamasi sekunder (Correa et al, 2012). Pasien yang jatuh ke dalam kondisi syok septik harus dipantau tandatanda overload cairan seperti dyspnea, peningkatan jugular venous pressure (JVP), rhonki pada auskultasi, dan edema paru pada foto radiologi. Perkembangan status mental, perbaikan denyut jantung, MAP, capillary refill time (CRT), dan urin ouptut mengindikasikan volume resusitasi sudah adekuat (Delaney et al, 2011) Pada Surviving Sepsis Campaign guidelines 2016, resusitasi cairan pertama yang harus dilakukan adalah fluid challenge dengan cairan kristaloid sebanyak 30 mL/kg pada pasien dengan suspek hipovolemia dan serum laktat lebih dari 4 mmol/L (36 mg/dL). Albumin hanya digunakan untuk pasien yang memerlukan cairan substansi, dan hydroxyethyl tidak direkomendasikan. Selain 16

itu dapat dilakukan resusitasi dinamis dengan meninggikan kedua kaki pasien dan mengevaluasi status hemodinamik untuk menentukan resusitasi selanjutnya, dan menormalisasi laktat. Target yang diharapkan dari resusitasi cairan adalah MAP terjaga 65 mmHg, central venous pressure (CVP) ≥8 mmHg, central venous oxygen saturation (ScvO2) ≥70%, dan normalisasi kadar laktat. Fluid challenge memiliki 4 komponen yaitu; jenis cairan yang akan diberikan, kecepatan cairan infus (misal 500 mL sampai 1000 mL dalam 30 menit), end point (MAP >65 mmHg, denyut nadi <100 kali/menit), dan batas aman (misal komplikasi edem paru). Cairan resusitasi dapat dibagi menjadi 2 tipe secara umum yaitu kristaloid dan koloid. Masing-masing cairang memilik kapasitas ekspansi cairan, efek durasi, efek terhadap integritas pembuluh darah, keseimbangan asam basa, respon inflamasi, dan hemostasis yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan ini dapat menjadi keuntungan dan kerugian tergantung pada kriteria pasien dan cairan itu sendiri (Myburgh dan Mythen, 2013). 2.6.2.1 Kristaloid Cairan kristaloid direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk resusitasi pada pasien dengan syok septik dan merupakan cairan yang paling banyak digunakan di Amerika Serikat. Kristaloid memiliki arti sebuah cairan yang mengandung

air,

ion

anorganik,

dan molekul

organik

kecil.

Kristaloid

mengandung glukosa atau natrium klorida, dapat bersifat hipotonik, isotonik, atau hipertonik. Beberapa jenis di antaranya memiliki kandungan lain seperti kalium, kalsium, dan terkadangan mengandung larutan buffer seperti laktat atau asetat (Delinger et al, 2013).

Tabel 2.3 Komposisi cairan infus kristaloid (Correa et al, 2015)

17

Normal Salin (NaCL 0,9%) merupakan salah satu cairan isotonik, dengan osmolaritas mendekati osmolaritas plasma yaitu 287 mOsm/kg dan mengandung natrum sebanyak 154 mEq/L dan konsetrasi klorida sebanyak 154 mEq/L (lebih banyak 1,5 kali dari serum konsentrasi fisiologis). Maka dari itu normal salin dianggap sebagai cairan non-balanced. Karena kandungan klorida yang tinggi, pemberian normal salin dalam jumlah besar dapat menyebabkan asidosis hiperkloremik yang dapat dijelaskan pada strong ion difference (SID) (Seiffer, 2014). SID didefinisikan sebagai perbedaan kation dan anion di dalam plasma (Seifer, 2014). Pada seorang laki-laki sehat dengan berat badan 70kg, konsetrasi natrium dan klorida sekitar 140 mEq/L dan 100 mEq/L, dan diperikan jumlah total cairan tubuh sekitar 42 L. Maka dari itu, pada individu yang sehat, jumat kation lebih tinggi dari anion dengan perbedaan 40 mEq/L (SID=40mEq/L). Maka total konsentrasi natrium dan klorida adalah 5880 mEq dan 4200 mEq. Apabila pasien diberi 10 L normal salin, makan akan terjadi penambahan 1540 mEq natrium plasma dan 1000 mEq klorida plasma, dan total natrium dan klorida plasma akan menjadi 7420 mEq dan 5200 mEq. Total cairan tubuh akan menjadi 52 L. Akan terjadi penurunan SID menjadi 32 mEq/L karena konsentrasi natrium dan klorida menjadi 142,7 mEq/L dan 110 mEq/L (Kellum, 2005). Ini terjadi karena normal salin mengandung kation kuat dan anion kuat dalam jumlah yang sama, SID pada normal salin adalah nol. Pemberian infus normal salin akan mengurangi SID dari plasma dan menyebabkan penurunan pH plasma. Secara umum, akan terjadi asidosis ringan hingga sedang. Apabila infus normal salin dihentikan, maka efek asidosis yang terjadi dapat menghilang setelah 48 jam (Morgan, 2005). Asidosis hiperkloremik, yang dapat disebabkan normal salin dapat berpengaruh terhadap koagulasi, fungsi ginjal dan respon imunologi. Koagulopati dilusi terjadi karena faktor koagulasi akan terdilusi oleh infus normal salin dan akan meningkatkan risiko perdarahan. Pada penelitian yang dilakukan dengan model percobaan binatang, hiperkloremia yang disebabkan oleh normal salin memperlihatkan perubahan aliran darah ginal dan menginduksi vasokonstriksi ginjal (Smorenberg, 2014).

18

Cairan dengan kandungan seimbang dapat dipertimbangkan sebagai pengganti normal salin. Cairan dapat disebut semibang saat caira terssbut memiliki sifat normotonik dengan SID 24 mEq/L. Target ini dapat dicapai dengan membuat 24 mEq/L klorida dari natrium klorida 0,9% dan menggantinya dengan bikarbonat atau anion organik yang dapat menghilang dengan cepat setelah pemberian infus seperti laktat atau asetat (Morgan, 2013). Cairan seimbang yang paling sering diguakan adalah ringer laktat, ringer asetat, dan plasma-lyte. Ringer laktat dikembangkan pada awal tahun 1930 dengan menambahkan natrium laktat pada cairan ringer sebagai buffer, sehingga terjadi pengurangan konsentrasi klorida sebanyak 109 mEq/L. Ringer laktat adalah cairan hipotonik ringan dengan osmolaritas 273 mOsm/kg yang memiliki kandungan kalium dan kalsium. Kekhawatiran muncul karena pemberian ringer laktat akan meningkatkan kadar laktat plasma pada pasien critically ill, maka muncul penggantian laktat dengan asetat menjadi ringer asetat. Komposisi ringer laktat dan ringer asetat secara garis besar sama hanya larutan buffer yang digunakan berbeda (Yunos, 2012). Strategi pengurangan kandungan klorida secara signifikan menurunkan angka kejadian gagal ginjal akut. Selain itu penelitian terhadap 53.338 pasien sepsis menunjukkan bahwa penggunaan cairan seimbang seperti ringer laktat menurunan risiko kematian di rumah sakit apabila dibandingkan dengan penggunaan

cairan

seperti

normal

salin.

Namun

penelitian

tentang

membandingkan keefektifan penggunaan cairan ringer laktat dan normal salin sebagai resusitasi cairan pada pasien dengan syok sepsis masih diperlukan (Yunos,2012). 2.6.2.1 Koloid Koloid didefinisikan sebagai substansi non kristaloid yang bersifat homogen yang mengandung molekul besar atau partikel ultramikroskopik. Cairan ini memiliki durasi yang lebih lama untuk berdarah dalam pembuluh darah dan memiliki kapasitas ekspansi intravaskular dengan volume yang lebih rendah. Koloid tidak dapat melewati membran vaskular karena berat molekul yang tinggi (Niemi et al, 2010).

19

Terdapat 2 jenis cairan koloid yaitu cairan natural dan koloid semisintetis. Human albumin dalam normal salin adalah salah 1 contoh cairan koloid natural yang mirip dengan koloid natural dari plasma manusia. Koloid semisintetis mengandung derivat dari 3 molekul utama yaitu gelatin, dekstran, dan starch. Untuk memproduksi koloid, molekul tersebut harus disuspensi dengan pelaur seperti normal salin, glukosa hipertonik, atau cairan elektronik isotonik. Normal salin isontonik adalah pelarut yang paling sering digunakan (Correa et al, 2015).

Tabel 2.3 Komposisi cairan koloid (Correa et al, 2015)

Hydroxyethyl Starch (HES) Hydroxyethyl starch (HES) adalah cairan sintetis yang dibuat dengan memanipulasi amilopektin kentang (multibranched glucose), dan menjadi cairan koloid yang paling sering digunakan di seluruh dunia karena harga yang murah dibandingkan dengan albumin. Akhir-akhir ini, HES dihindari menjadi terapi untuk pasien critically ill, terutama pada pasien dengan sepsis. Penelitian menyatakan bahwa koloid tidak memperbaiki kondisi pasien dan dapat membahayakan pasien (Serpa et al, 2014). Berat molekuler HES menyebabkan HES membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cairan kristaloid untuk didegradasi. Secara umum, HES digunakan untuk strategi restriktif cairan yang disebabkan oleh kapasitas ekspansi plasma dengan pemberian cairan yang sedikit (Westphal et al, 2009). Sebuah penelitian menyatakan bahwa pemberian HES 6% menyebabkan gagal ginjal akut, oliguria, dan meningkatan serum kreatinin. Pemberian HES menjadi faktor risiko independent gagal ginjal akut pada syok septik. Penelitian lain menyatakan bahwa starch yang memiliki berat molekuler yang tinggi (200450 kDa) dan molaritas yang tinggi memperlihatkan insidensi gagal ginjal dan

20

komplikasi perdarahan. Maka dari itu HES tidak direkomendasikan untuk menjadi cairan resusitasi pada pasien dengan syok septik (Westphal et al, 2009). Albumin Albumin merupakan salah satu cairan koloid yang sering digunakan untuk resusitasi pada pasien critically ill. Penggunaan albumin sebagai cairan resusitasi tidak memiliki perbedaan mortalitas bila dibandingkan dengan pemberian cairan kristaloid (Finfer et al, 2004). Albumin

diberikan

sebagai

cairan

resusitasi

atas

pertimbangan

kemampuan fisiologisnya seperti transpor substansi (seperti obat dan hormon) dalam darah, antioksidan, modulasi nitrat, kapasitas buffer, dan regulasi tekanan onkotik. Selain itu, kadar albumin yang rendah sering ditemukan pada pasien critically ill yang dapat memperburuk keadaan pasien. Dari sisi lain, pemberian albumin dibatasi karena harga yang mahal,

risiko potensial transmisi

mikroorganisme, dan efek alergi, selain itu pemberian albumin pada pasien trauma otak dapat meningkatkan risiko kematian. Surviving Sepsis Campaign 2012 menyatakan bahwa albumin adalah satu-satunya cairan koloid yang dapat digunakan sebagai cairan resusitasi pada pasien yang tidak respon pada pemberian cairan kristaloid (Vincent et al, 2014). 2.6.3 Vasopresor dan Inotropik Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan secara adekuat, akan tetapi masih terjadi hipotensi. Hipotensi terjadi akibat vasodilatasi atau disfungsi miokardial sehingga terjadi penurunan curah jantung. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis terendah secara titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Pemantauan terhadap tingkat kesadaran dan produksi urin dapat menggambarkan adanya perbaikan perfusi dan fungsi organ. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit. Sebagai inotropik yang dapat digunakan dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mcg/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit (Chen dan Pohan, 2009).

21

BAB 3 KESIMPULAN

Syok septik merupakan suatu subset dan komplikasi terburuk dari sepsis yang memiliki angka mortalitas hingga 50%. Syok septik juga menjadi penyebab utama kematian pasien yang dirawat di ICU. Tatalaksana syok septik merupakan tindakan resusitasi yang harus dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dimulai dengan airway, breathing, circulation. Pemberian cairan harus segera dilakukan karena terjadinya vasodilatasi yang diakibatkan oleh mediator inflamasi yang menyababkan tubuh jatuh dalam kondisi hipovolemia. Maka dari itu pemberian cairan yang adekuat menjadi krusial untuk mempertahankan tekanan perfusi dan yang paling aliran darah ke jaringan. Perfusi jaringan, aliran darah sistemik, dan oksigenasi dapat dicapai dengan mengembalikan kompartemen intravaskular dengan resusitasi cairan. Fluid challenge dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid sebanyak 30 mL/kg pada pasien dengan suspek hipovolemia dan serum laktat lebih dari 4 mmol/L (36 mg/dL). Pemberian kristaloid yang memiliki komposisi seimbang seperti ringer laktat lebih dianjurkan bilang dibandingkan dengan normal salin meskipun tidak ada studi yang menyatakan pemberian ringer laktat lebih efektif. Didapatkan insidensi komplikasi gagal ginjal danc risiko kematian yang lebih sedikit pada pasien yang mendapat terapi ringer laktat, namun masih diperlukan studi menggunakan populasi yang lebih luas untuk mendapatkan hasil yang optimal. Sementara itu, pemberian HES tidak dianjurkan untuk resusitasi syok septik. Cairan koloid yang dapat dijadikan sebagai cairan resusitasi adalah albumin dengan syarat pasien tidak respon terhadap cairan kristaloid.

22

DAFTAR PUSTAKA

Angus DC, Linde Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J, Pinsky MR. 2001. Epidemiology of Severe Sepsis in United States: Analysis of Incidence, Outcome, and Associated Costs of Care. Critical Care Medicine, 29:1303-1310. Bendjelid K, Romand JA. 2003. Fluid Responsiveness in Mechanically Ventilated Patients: A Review of Infices Used in Intensive Care. Intensive Care Medicine. 29:352-360. Carioni, P, et al. Albumin Replacement in Patients with Severe Sepsis or Septic Shock. 2014. N Engl J Med. 370, 1412-21. Chen K, dan Pohan H. 2009. Penatalaksanaan Syok Septik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke lima. Jakarta: Interna Publishing. Hal 252-256. Correa TD, Vuda M, Blaser AR, Takala J, Djafarzadeh S, Dunser MW, et al. Effect of Treatment Delay on Disease Severity and Need for Resuscitation in Porcine Fecal Peritonitis. Critical Care Medicine. 40(10):2481-9. Delaney AP, Dan A, McCaffrey J, Finfer S. 2011. The Role of Albumin as a Resuscitation Fluid for Patients with Sepsis: a Systematic Review and Meta-analysis. Critical Care Medicine. 39(2):386-91. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, Sevransky JE, et al. 2012. Surviving Sepsis Campaign Guidelines Committe Including The Pediatric Subgroup. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Intensive Care Medicine. 39(2):165-228. Finfer S, Bellomo R, Boyce N, French J, Myburgh J, Norton R. 2004. A Comparison of Albumin and Saline for Fluid Resuscitation in The Intensive Care Unit. N Engl J Med. 350(22):2247-56. Kellum JA. 2005. Determinants of Plasma Acid-Base Balance. Crit Care Clin. 21(2):329-46. Martin GS, Mannino DM, Eaton S, Moss M. 2003. The Epidemiology of Sepsis in The United States from 1979 through 2000. N Engl J Med. 348:1546-54. DOI: 10.1056/NEJMoa022139. Montavers P, Dupont H, Gauzit R, et al. 2006. Candida as a Risk Factor for Mortality in Peritonitis. Critical Care Medicine.24:646-652. Morgan TJ. 2005. The Meaning of Acid-Base Abnormalities in The Intensive Care Unit:Part III – Effects of Fluid Administration. Crit Care. 9(2):204-11.

23

Morgan TJ. 2013. The Ideal Crystalloid-What is ‘Balanced’?. Curr Opin Crit Care. 19(4):299-307. Niemi TT, Miyashita R, Yamakage M. 2010. Colloid Solutions: a Clinical Update. J Anesth. 24(6):913-25. Myburg JA, Mythen MG. 2013. Resusciation Fluids. N Engl J Med. 369(13): 1243-51. Ospina-Tascon G, Neves AP, Occhipinti G, Donadello K, Buchele G, Simion D, et al. 2010. Effects of Fluid on Microvascular Perfusion in Patients with Severe Sepsis. Intensive Care Medicine. 36(6):949-55. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. 2012. Bacterial Sepsis Following Pregnancy. Green-top Guideline no 64b. Russel JA. 2006. Management of Sepsis. N Engl J Med. 355:1699-1713. Seiffer JL.2014. Integration of Acid-Base and Electrolyte Disorders. N Engl J Med. 371(19):1821-31. Serpa Neto A, Veelo DP, Peireira VG, de Assuncao MS, Manetta JA, Esposito DC, et al. 2014. Fluid Resuscitation with Hydroxyethyl Starches in Patients with Sepsis is Associated with an Increased Incidence of Acute Kidney Injury and Use of Renal Replacement Therapy. J Crit Care. 29(1):185.e1-7 Smorenberg A, Ince C, Groeneveld AJ. 2014. Dose and Type of Crystalloid Fluid Therapy in Adult Hospitalized Patients. Perioper Med. 3:3. Taeb

AM, Hooper MH, Marik PE. 2017. Sepsis: Current Definition, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Nutr Clin Pract. 32(3):296-308. DOI: 10.1177/0884533617695243.

The PRISM Investigators. 2017. Early Goal-Directed Therapy for Septic Shock: A Patient-Level Meta-Analysis. N Engl J Med. 362:2223-2234. DOI: 10.1056/NeJMoa1701380. Vincent JL, Russell JA, Jacob M, Martin G, Guidet B, Wernerman J, et al. 2014. Albumin Administration in The Acutely Ill. Crit Care. 18(6):630. Westphal M, James MF, Kozek-Langenecker S, Stocker R, Guidet B, Van Aken H. 2009. Hydroxyethyl Starches: Different Products—Different Effects. Anethesiology. 111(1):187-202. Yunos NM, Bellomo R, Hegarty C, Story D, Ho L, Bailey M. 2012. Association Between a Chloride-liberal vs Chloride-restrictive Intravenous Fluid Administration Startegy and Kidney Injury in Critically Ill Adults. JAMA. 308(15):1566-72.

24

25

Related Documents


More Documents from "Fir Furqani"