1. Prescil Mawar Wanita Dokter Rchmad.docx

  • Uploaded by: Riga Medina II
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 1. Prescil Mawar Wanita Dokter Rchmad.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,647
  • Pages: 28
PRESENTASI KECIL GERIATRIC SYNDROME

Pembimbing: dr. Rachmad Aji, Sp.PD

Disusun oleh: Riga Medina

1710221003

Stella Arzsa S

1820221128

Dhisma P

1820221096

Selly Merlyana

1820221106

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 2019

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KECIL GERIATRIC SYNDROME

Disusun oleh: Riga Medina

1710221003

Stella Arzsa S

1820221128

Dhisma P

1820221096

Selly Merlyana

1820221106

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu PenyakitDalam RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal:

Maret 2019

Purwokerto, Maret 2019 Pembimbing,

dr. Rachmad Aji, Sp.PD

BAB I STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PENDERITA Nama

:

Ny. D

Umur

:

68 tahun

Jenis Kelamin

:

Perempuan

Alamat

:

Lumbir-lumbir

Pekerjaan

:

Ibu Rumah Tangga

Agama

:

Islam

No RM

:

02088685

Tgl. Masuk RS

:

26 Februari 2019

Tgl Periksa

:

26 Februari 2019

Bangsal

:

Mawar Wanita

B. ANAMNESIS (Autoanamnesis) 1. Keluhan utama : Penurunan Kesadaran 2. Keluhan tambahan : Lemas, Demam 3. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien mengeluh mual, muntah dan diare sejak 5 hari SMRS, namun saat di RS pasien sudah dalam keadaan lemas dan mengalami penurunan kesadaran. Menurut anak pasien, pasien dibawa ke mantri dekat rumah saat mulai lemas (2 hari sebelum masuk RS). Setelah dari mantri, pasien lemas, demam, dan tidak sadar di tempat tidur. Pasien juga mengalami pembengkakan pada kaki. Keluarga pasien mengatakan tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien jarang sakit, dan tidak pernah dirawat di RS. Menurut keluarga pasien, sebelum dirawat pasien masih bisa beraktivitas seperti biasa. Pasien pernah ke puskesmas dengan tensi tinggi namun tidak melanjutkan untuk minum obat.

Gejala penyerta: Sistem Gastrointestinal: Mual (+), Muntah (+), Frekuensi BAB cair (+) 2 hari SMRS, BAB hitam (-), BAB darah (-), nyeri perut (-), nyeri uluhati (-) Sistem Saraf: Pusing (-), nyeri kepala (-), terasa kaku pada tengkuk leher belakang (-), bicara tidak nyambung (-), kadang tidak mengenali orang (-), kesemutan(-) Sistem Respirasi: Batuk (-), nyeri dada saat bernapas (-), batuk darah (-), hidung meler (-) Sistem Kardiovaskular: Sesak napas (+) saat lemas, Nyeri dada menjalar ke bahu (-), payah jika bekerja (-) Sistem Ekskresi: BAK tidak lancar hanya sekitar 3 kali dalam sehari berwarna pekat, nyeri BAK (-), kencing berdarah (-). Sistem Endokrin dan Reproduksi: Mudah haus (-), mudah lapar (-), sering kencing di malam hari (-), berat badan turun banyak (-) Sistem Muskuloskeletal: Nyeri sendi (-). Nyeri punggung (-), tinggi badan berkurang (-) Sistem Panca Indera: Kurang pendengaran (+) sejak beberapa bulan yang lalu, bicara tidak nyambung (-), kurang penglihatan (+), hanya bisa mengenali orang dari jarak dekat (+).

4. Riwayat Penyakit Dahulu a. Riwayat DM tipe 2

: disangkal

b. Riwayat hipertensi

: diakui namun tidak terkontrol

c. Riwayat maag

: diakui

d. Riwayat penyakit paru

: disangkal

e. Riwayat penyakit jantung

: disangakl

f. Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

g. Riwayat alergi

`

: disangkal

h. Riwayat operasi

: disangkal

i. Riwayat keluhan serupa

: diakui, selama 1 minggu terakhir

5. Riwayat Penyakit Keluarga a.

Riwayat keluhan yang sama

: disangkal

b.

Riwayat hipertensi

: disangkal

c.

Riwayat penyakit jantung

: disangkal

d.

Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

e.

Riwayat alergi

: disangkal

f.

Riwayat keluhan serupa

`

: disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi a. Community Rumah pasien berada di tempat cukup padat penduduk. Pasien tinggal bersama anak, menantu dan cucuknya yang berjumlah 5 orang. b. Occupational Sehari-hari pasien tidak bekerja dan hanya dirumah. Biaya rumah sakit ditanggung oleh BPJS. c. Personal Habit Pasien menyukai makanan sayuran, lauk pauk (seperti ayam, ikan air tawar), dan gorengan. Sebelum terdapat keluhan pada kaki, pasien suka berjalan di sekitar rumah setiap pagi hari.

C. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum

: Lemah

Kesadaran

: Compos mentis.

Vital Sign

: TD : 149/73 mmHg N : 109x/menit RR : 24x/menit S : 36,7OC

Status Gizi

: BB: 43 kg TB: 148 cm Normoweight (19.63)

Status Generalis Pemeriksaan Kepala Bentuk Kepala

: Mesochepal, simetris

Rambut

: mudah rontok (-), distribusi merata

Pemeriksaan Mata Palpebra

: Edema (-/-), ptosis (-/-)

Konjunctiva

: Anemis (-/-)

Sklera

: Ikterik (-/-)

Pupil

: Reflek cahaya (+/+), isokor Ø 3 mm

Pemeriksaan Telinga

: Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)

Pemeriksaan Hidung

: Nafas cuping hidung (-/-), discharge (-)

Pemeriksaan Mulut

: Bibir sianosis (-), tepi hiperemis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), tremor (-),ikterik (-), sariawan (-)

Pemeriksaan Leher Trakea

: Deviasi trakea (-)

Kelenjar Tiroid

: Tidak membesar

Kel. Limfonodi

: Tidak membesar, nyeri tekan (+) di seluruh regio abdomen

JVP

: Dalam batas normal, 5+2 cmH2O

Status Lokalis Paru Inspeksi

: Gerak hemithorax simetris, tidak terdapat ketinggalan gerak, retraksi (-)

Palpasi

: Vocal fremitus apex sinistra sama dengan apex dextra Vocal fremitus basal sinistra sama dengan basal dextra

Perkusi

: Sonor pada hemithorax dekstra dan sinistra

Auskultasi

: SD vesikuler +/+, Ronkhi basah kasar +/+, Ronkhi basah halus -/-, Wheezing -/-

Jantung Inspeksi

: Ictus cordis tak tampak

Palpasi

: Ictus cordis teraba di ICS VI linea midclavicula sinistra,kuat angkat (+)

Perkusi

: Kanan atas : SIC II LPSD Kiri atas

: SIC II LPSS

Kanan bawah : SIC VI LAAS Kiri bawah Auskultasi

: SIC VIII LMCS

: S1>S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen Inspeksi

: Datar, striae (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Perkusi

: Pekak sisi (-), pekak alih (-)

Palpasi

: Nyeri tekan (+) di seluruh regio abdomen.

Hepar

: Tidak teraba pembesaran

Lien

: Tidak teraba pembesaran

Ginjal

: Nyeri ketok kostovertebrae (-)

Extremitas Pemeriksaan Edema (nonpitting) Sianosis Akral dingin Reflek fisiologis Reflek patologis Reflek babinsky

Ekstremitas superior Dextra Sinistra + + -

Ekstremitas inferior Dextra Sinistra + + + +

-

-

-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil Lab RSMS 26/02/19 Pemeriksaan

Nilai Rujukan

Satuan

7.7 L

11.7-15.5

g/Dl

Leukosit

111710 H

3600-11000

U/L

Eritrosit

2.8 L

3.8-5.2

Juta

Hematokrit

25 L

35-47

%

MCV

89.1

80-100

Fl

MCH

27.1

26-35

Pg

MCHC

30.4 L

31-36

g/Dl

RDW

16.9 H

10-16

%

374

150-440

Ribu

MPV

9.1 L

9.4-11.3

Mikro m3

Limfosit

15.1 L

25-40

%

Monosit

6.7 L

2-8

%

Batang

0.7 L

3-5

%

Segmen

77.1 H

50-70

%

Basofil

0.2

0-1

%

0.2 L

2-4

%

218.20 H

14.98-38.52

mg/dL

4.75 H

0.55-1.02

mg/dL

Natrium

142

134-146

mEq/L

Kalium

5.2 H

3.4-4.5

mEq/L

Klorida

115 H

96-108

mEq/L

86

<= 200

mg/dL

Hb

Tombosit

Eosinofil Ureum Darah Kreatinin Darah

GDS

Hasil

Hasil EKG RSMS 26/02/19

Hasil Ro Thorax RSMS 26/02/19

3.

DIAGNOSIS KERJA Geriatri Syndrome Pneumonia Febris CKD Hiperkalemia

4.

TERAPI 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

5.

O2 10 lpm NRM IVFD NaCl 0,9% 20 tpm Inj Ceftriaxon 2x1 gr Inj Azytromicin 1x500 mg Inj Ranitidine 2x50 Inj Paracetamol 3x1 gr Transfusi PRC 2 Kolf Premedikasi Lasik 1 amp Pro Rawat HCU

PROGNOSIS Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam Ada sanationam : dubia ad malam

6.

FOLLOW UP

Tanggal 2/01/19

S HP-1 Kaku seluruh tubuh Semalam kejang 4 kali Sesak Nyeri perut berkurang Nafsu makan menurun

29/01/19

HP-2

O TD: 140/100mmhg Nadi : 85 x/menit respirasi : 24 x/menit sifat : suhu : 36,7 °c

TD: 160/80mmhg Nadi : 89 x/menit

A Tetanus

P Inf d5% 20 tpm Inj ceftriaxon 2x1 gr Inj ranitidin 2x50 Inj metronidazol 3x500 mg Inj fenitoin 1 amp drip 1x1 Inj diazepam 2 amp dalam d5 500 cc 20 tpm Drip mgso4 2 gram/ jam (syringe pump) Inj diazepam 1 amp jika kejang

Tetanus

Inf d5% 20 tpm Inj ceftriaxon 2x1 gr

30/01/19

Kejang berkurang (satu kali dalam sehari) Nafsu makan membaik

respirasi : 21 x/menit suhu : 36,4 °c

HP-3

TD: 160/80mmhg Nadi : 89 x/menit respirasi : 20 x/menit suhu : 37 °c

Tetanus

Inf d5% 20 tpm Inj ceftriaxon 2x1 gr Inj ranitidin 2x50 Inj metronidazol 3x500 mg Inj fenitoin 1 amp drip 1x1 Drip mgso4 2 gram/ jam (syringe pump)> STOP Inj diazepam 1 amp jika kejang

TD: 180/90mmhg Nadi : 92 x/menit respirasi : 20 x/menit suhu : 37,6 °c

Tetanus

Inf d5% 20 tpm Inj ceftriaxon 2x1 gr-> STOP Ciprofloxasin 2x500 mg Ranitidin 2x150 mg Metronidazol 3x500 mg Fenitoin 1 x1 Diazepam 3 x5 mg Drip mecobalamin Inj diazepam 1 amp jika kejang Inf paracetamol extra Paracetamol 3x500 mg Amlodipin 1x10 mg

Keluhan membaik Kejang (-) Pasien mengaku sudah mampu berjalan

31/01/19

HP-4 Demam Lemas Kaki sebelah kanan nyeri

Inj ranitidin 2x50 Inj metronidazol 3x500 mg Inj fenitoin 1 amp drip 1x1 Inj diazepam 2 amp dalam d5 500 cc 20 tpm Drip mgso4 2 gram/ jam (syringe pump) Inj diazepam 1 amp jika kejang

01/02/19

HP-5 Demam Lemas Keluhan nyeri kaki kanan berkurang

02/02/19

HP-6 Demam

TD: 160/100mmhg Nadi : 105 x/menit respirasi : 20 x/menit suhu : 39 °c

Tetanus

Inf d5% 20 tpm Ciprofloxasin 2x500 mg Ranitidin 2x150 mg Metronidazol 3x500 mg Fenitoin 1 x1 Diazepam 3 x5 mg Drip mecobalamin Inj diazepam 1 amp jika kejang Inf paracetamol extra Paracetamol 3x500 mg Amlodipin 1x10 mg

TD: 170/110mmhg Nadi : 107 x/menit respirasi : 20 x/menit suhu : 38 °c

Tetanus

Pasien pulang APS. Obat pulang: Ciprofloxasin 2x500 mg Ranitidin 2x150 mg Metronidazol 3x500 mg Fenitoin 1 x100 mg kaps Diazepam 3x5 mg Paracetamol 3x500 mg Amlodipin 1x10 mg

BAB II TINJAUAN PUSTAKA I.

Definisi Sindrom Geriatri Sindrom geriatri merupakan kumpulan gejala dan atau tanda klinis dari satu

atau lebih dari satu penyakit yang sering dijumpai pada pasien geriatri. Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinensia, ketergantungan fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan angka morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua yang lemah. Sindrom ini biasanya melibatkan beberapa sistem organ. Sindrom geriatrik mungkin memiliki kesamaan patofisiologi meskipun presentasi yang berbeda, dan memerlukan intervensi dan strategi yang fokus terhadap faktor etiologi (Panita et al., 2011). Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering dijumpai, baik mengenai fisik atau psikis pada pasien usia lanjut. Solomon dkk menyebutnya dengan The “13 i”, yang terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability (instabilitas dan jatuh), Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia dan delirium), Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation (depresi), Impotence (impotensi), Immunodeficiency (penurunan imunitas), Infection (infeksi), Inanition (malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan tidur), Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenic) dan Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman) (Setiati dkk., 2006 dalam AA Dini, 2013).

II.

Epidemiologi

Prevalensi usia lanjut lebih dari 60 tahun meningkat lebih cepat dibandingkan populasi kelompok umur lainnya karena peningkatan angka harapan hidup dan penurunan angka kelahiran. Data demografi dunia menunjukkan bahwa peningkatan populasi pada usia 60 tahun atau lebih meningkat tiga kali lipat dalam waktu 50 tahun; dari 600 juta pada tahun 2000 menjadi lebih dari 2 miliar pada tahun 2050 (Setiati, Siti 2013). Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia mencapai peringkat lima besar terbanyak di dunia, yakni 18,1 juta pada tahun 2010 dan akan meningkat dua kali lipat menjadi 36 juta pada tahun 2025. Angka harapan hidup penduduk Indonesia

mencapai 67,8 tahun pada tahun 2000-2005 dan menjadi 73,6 tahun pada tahun 2020-2025. Proporsi usia lanjut meningkat 6% pada tahun 1950-1990 dan menjadi 8% saat ini. Proporsi tersebut diperkirakan naik menjadi 13% pada tahun 2025 dan menjadi 25% pada tahun 2050. Pada tahun 2050 seperempat penduduk Indonesia merupakan penduduk usia lanjut, dibandingkan seperduabelas penduduk Indonesia saat ini (Abikusno N. 2007 dalam Setiati, Siti 2013).

III. a.

Klasifikasi Imobilisasi

Imobiliasasi didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerak anatomi tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis. Berbagai faktor seperti factor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut, tetapi penyebab utama

imobilisasi

adalah

adanya

rasa

nyeri,

lemah,

kekakuan

otot,

ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Beberapa informasi penting seperti lamanya menderita disabilitas yang menyebabkan imobilisasi, penyakit yang mempengaruhi kemampuan mobilisasi, dan pemakaian obat-obatan dapat ditanyakan untuk mengeliminasi masalah iatrogenesis yang menyebabkan imobilisasi. b.

Instabilitas dan Jatuh Terdapat berbagai faktor yang berperan untuk terjadinya instabilitas dan

jatuh pada orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut dapat diklasifikasikan sebagai faktor intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik (faktor yang terdapat di lingkungan). Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah dengan mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai, serta mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup, pegangan, dan lantai yang tidak licin (Kane et al., 2008; Cigolle et al., 2007). c.

Inkontinensia Urin dan Alvi Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak

dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu sehingga menimbulkan masalah sosial dan atau kesehatan. Inkontinensia urin merupakan salah satu sindroma geriatrik yang sering dijumpai pada usia lanjut. Diperkirakan satu dari tiga wanita dan 15-20% pria di atas 65 tahun mengalami inkontinensia urin (Kane et al., 2008; Cigolle et al., 2007). International Consultation on Incontinence, WHO mendefinisikan Faecal Incontinence sebagai hilangnya feses cair atau padat secara tidak sadar yang merupakan masalah sosial atau higienis. Definisi lain menyatakan inkontinensia alvi/fekal sebagai perjalanan spontan atau ketidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan feses melalui anus. Kejadian inkontinensia alvi/fekal lebih jarang ditemukan dibandingkan inkontinensia urin (Kane et al., 2008). d.

Gangguan Intelektual Keadaan utama yang menyebabkan gangguan intelektual pada pasien lanjut

usia adalah delirium dan demensia. Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit pada otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Demensia tidak hanya berhubungan dengan masalah pada memori, tetapi mencakup berkurangnya kemampuan untuk mengenal, berpikir, menyimpan atau mengingat pengalaman yang lalu dan juga kehilangan pola sentuh, pasien menjadi perasa, dan terganggunya aktivitas (Geddes et al.,2005; Blazer et al., 2009). e.

Infeksi Infeksi pada usia lanjut merupakan penyebab kesakitan dan kematian kedua

setelah penyakit kardiovaskular di dunia. Hal ini dapat disebabkan karena adanya penyakit komorbid kronik yang cukup banyak, menurunnya daya tahan/imunitas terhadap infeksi, menurunnya daya komunikasi akibat factor usia sehingga pasien menjadi sulit/jarang mengeluh, dan sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini. Penyakit infeksi biasanya ditandai dengan meningkatnya suhu tubuh, dan hal ini sering tidak dijumpai pada usia lanjut. Sekitar 30-65% usia lanjut yang terinfeksi sering tidak disertai peningkatan suhu tubuh. Selain itu, penyakit infeksi ditandai dengan adanya konfusi/delirium sampai koma, adanya penurunan napsu makan secara tiba-tiba, badan terasa lemas, dan adanya perubahan tingkah laku (Kane et al., 2008).

f.

Gangguan Pendengaran, Penglihatan dan Penciuman Gangguan pendengaran sangat umum ditemui pada pasien geriatri.

Prevalensi gangguan pendengaran derajat sedang atau berat meningkat dari 21% pada kelompok usia 70 tahun sampai 39% pada kelompok usia 85 tahun. Pada dasarnya, etiologi gangguan pendengaran sama pada semua umur, kecuali dengan adanya presbikusis untuk kelompok geriatri. Presbikusis sensorik yang sering sekali ditemukan pada geriatri disebabkan oleh adanya proses degenerasi dari organ korti, dan ditandai dengan gangguan pendengaran frekuensi tinggi. Pada pasien juga dapat ditemui adanya gangguan pendengaran sehingga sulit untuk diajak berkomunikasi. Penatalaksanaan untuk gangguan pendengaran pada geriatri adalah dengan cara memasangkan alat bantu dengar atau dengan tindakan bedah berupa implantasi koklea (Salonen, 2013). Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut berbeda dari pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan sebelumnya. Masalah polifarmasi pada pasien geriatri sulit dihindari dikarenakan berbagai hal seperti banyaknya penyakit yang diderita dan biasanya bersifat kronis, obat yang diresepkan oleh beberapa dokter, kurang koordinasi dalam pengelolaan, dan gejala yang dirasakan pasien tidak jelas. Oleh karena itu, prinsip pemberian obat yang benar pada pasien geriatric harus dipatuhi, yaitu dengan cara mengetahui riwayat pengobatan lengkap, tidak memberikan obat dalam jangka lama, mengenali obat yang digunakan, mulai pengobatan dengan dosis rendah kemudian dinaikkan perlahan-lahan, obati sesuai patokan, dan memberi dorongan agar pasien patuh berobat serta berhati-hati dalam mengguakan obat baru (Setiati dkk.,2006). g.

Isolasi Perasaan terisolasi merupakan penyebab utama depresi pada usia lanjut. Hal

ini dapat disebabkan karena kehilangan seseorang yang disayangi, pasangan hidup, anak, bahkan binatang peliharaan. Selain itu, kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan dapat menyebabkan pasien geriatri terisolasi dan menjadi depresi. Keluarga yang mulai mengacuhkan karena merasa direpotkan juga dapat menyebabkan pasien akan merasa hidup sendiri dan menjadi depresi. Beberapa pasien dapat melakukan usaha bunuh diri akibat depresi yang

berkepajangan. h.

Malnutrisi (Inanition) Anoreksia pada usia lanjut merupakan penurunan fisiologis napsu makan

dan asupan makan yang menyebabkan kehilangan berat badan yang tidak diinginkan. Selain itu, ekurangan nutrisi juga dapat disebabkan oleh keadaan pasien dengan gangguan menelan, sehingga menurunkan napsu makan pasien (Kane et al., 2008). i.

Kemiskinan (Impecunity) Impecunity atau kemiskinan merupakan kondisi usia lansia dimana

seseorang menjadi kurang produktif (bukan tidak produktif) akibat penurunan kemampuan fisik untuk beraktivitas. Hal ini dapat disebabkan oleh usia pensiun, dimana sebagian dari lansia hanya mengandalkan hidup dari tunjangan hari tuanya. Pensiun juga berarti kehilangan teman sejawat, yang menyebabkan kurangnya interaksi sosial sehingga memudahkan seorang lansia untuk mengalami depresi. Pada dasarnya seorang lansia masih dapat bekerja, hanya saja intensitas dan beban kerjanya yang harus dikurangi sesuai dengan kemampuannya. Beberapa penelitian membuktikan bahwa seseorang yang tetap menggunakan otaknya hingga usia lanjut dengan bekerja atau membaca tidak mudah menjadi pikun. j.

Iatrogenic

Iatrogenesis merupakan karakteristik yang khas dari pasien geriatric, yaitu kondisi multipatologik yang seringkali menyebabkan pasien tersebut perlu mengkonsumsi obat yang tidak sedikit jumlahnya. Akibat yang ditimbulkan antara lain efek samping dan efek dari interaksi obat-obat tersebut yang dapat mengancam jiwa. Oleh karena itu, pemberian obat pada lansia harus sangat hati-hati dan rasional karena obat akan dimetabolisme di hati, sedangkan pada lansia sudah terjadi penurunan fungsi hati sehingga terkadang dapat menyebabkan ikterus (kuning) akibat obat. Selain penurunan faal hati, pada lansia juga terjadi penurunan faal ginjal, sisa metabolisme obat tidak dapat dikeluarkan dengan baik dan dapat menyebabkan efek toksik bagi tubuh. k.

Insomnia

Insomnia dapat terjadi karena beberapa masalah dalam hidup yang menyebabkan

seorang lansia menjadi depresi. Selain itu, terdapat beberapa penyakit yang dapat menyebabkan insomnia seperti diabetes melitus (DM), hiperaktivitas dari kelenjar thyroid, dan gangguan neurotransmitter di otak. l.

Immuno-defficiency

Penurunan sistem kekebalan tubuh pada usia lanjut dapat disebabkan oleh adanya atrofi pada thymus (kelenjar yang memproduksi sel-sel limfosit T), barrier pertama terhadap infeksi seperti kulit dan mukosa yang sudah menipis, serta karena refleks batuk dan bersin yang melemah. Hal yang sama juga terjadi pada respon imun terhadap antigen dan penurunan jumlah antibodi. Segala mekanisme tersebut berakibat terhadap rentannya seseorang terhadap agen-agen penyebab infeksi, sehingga penyakit infeksi menempati porsi besar pada pasien lansia. m.

Impotensi

Impotency (Impotensi) adalah kondisi dimana terdapat ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas seksual. Pada usia lanjut, impotensi terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti gangguan hormon, saraf, dan pembuluh darah. Ereksi terjadi karena terisinya penis dengan darah sehingga penis menjadi membesar, sedangkan pada gangguan vaskular seperti sumbatan plak aterosklerosis dapat menyumbat aliran darah sehingga penis tidak dapat ereksi. Selain itu, impotensi juga dapat disebabkan oleh kondisi depresi. n.

Irritable Bowel Irritable bowel adalah kondisi dimana usus besar menjadi sensitif dan

mudah terangsang sehingga menyebabkan diare atau konstipasi/impaksi (sembelit). Penyebab dari irritable bowel masih tidak jelas, tetapi pada beberapa kasus ditemukan adanya gangguan pada otot polos di usus besar, gangguan persarafan sensorik usus, gangguan sistem saraf pusat, gangguan psikologis, stress, fermentasi gas yang dapat merangsang saraf, serta colitis.

IV.

Manifestasi Klinis Semakin bertambahnya usia seseorang, maka semakin banyak terjadi

perubahan pada berbagai sistem dalam tubuh. Perubahan yang terjadi cenderung mengarah pada penurunan berbagai fungsi tersebut. Pada sistem saraf pusat terjadi pengurangan massa otak, aliran darah otak, densitas koneksi dendritik, reseptor

glukokortikoid hipokampal, dan terganggunya autoregulasi perfusi. Timbul proliferasi astrosit dan berubahnya neurotransmiter, termasuk dopamin dan serotonin. Terjadi peningkatan aktivitas monoamin oksidase dan melambatnya proses sentral dan waktu reaksi. Pada fungsi kognitif terjadi penurunan kemampuan meningkatkan fungsi intelektual; berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak yang menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi; berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi dari memori. Kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Pada fungsi penglihatan terjadi gangguan adaptasi gelap; pengeruhan pada lensa; ketidakmampuan untuk fokus pada benda-benda jarak dekat (presbiopia); berkurangnya sensitivitas terhadap kontras dan lakrimasi. Hilangnya nada berfrekuensi tinggi secara bilateral timbul pada funsgsi pendengaran. Di samping itu pada usia lanjut terjadi kesulitan untuk membedakan sumber bunyi dan terganggunya kemampuan membedakan target dari noise. Pada sistem kardiovaskular, pengisian ventrikel kiri dan sel pacu jantung (pacemaker) di nodus SA berkurang; terjadi hipertrofi atrium kiri; kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri bertambah lama; respons inotropik, kronotropik, terhadap stimulasi beta-adrenergik berkurang; menurunnya curah jantung maksimal; peningkatan atrial natriuretic peptide (ANP) serum dan resistensi vaskular perifer. Pada fungsi paru-paru terjadi penurunan forced expiration volume 1 second (FEVI) dan forced volume capacity (FVC); berkurangnya efektivitas batuk dan fungsi silia dan meningkatnya volume residual. Adanya ventilation-perfusion mismatching yang menyebabkan PaO2 menurun seiring bertambahnya usia. Pada fungsi gastrointestinal terjadi penururan ukuran dan aliran darah ke hati, terganggunya bersihan (clearance) obat oleh hepar sehingga membutuhkan metabolisme fase I yang lebih ekstensif. Terganggunya respons terhadap cedera pada mukosa lambung, berkurangnya massa pankreas dan cadangan enzimatik, berkurangnya kontraksi kolon yang efektif dan absorpsi kalsium. Menurunnya bersihan kreatinin (creatinin clearance) dan laju filtrasi glomerulus (GFR) terjadi

seiring bertambahnya usia seseorang. Penurunan massa ginjal sebanyak 25%, terutama dari korteks dengan peningkatan relatif perfusi nefron jukstamedular. Aksentuasi pelepasan anti diuretic hormone (ADH) sebagai respons terhadap dehidrasi berkurang dan meningkatnya ketergantungan prostaglandin ginjal untuk mempertahankan perfusi. Pada saluran kemih dan kelamin timbul perpanjangan waktu refrakter untuk ereksi pada pria, berkurangnya intensitas orgasme pada pria maupun wanita, berkurangnya sekresi prostat di urin dan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna serta peningkatan volume residual urin. Toleransi glukosa terganggu (gula darah puasa meningkat 1 mg/dl/dekade; gula darah postprandial meningkat 10 mg/dl/dekade). Insulin serum meningkat, HbA1C meningkat, IGF-1 berkurang. Penurunan yang bermakna pada dehidroepiandrosteron (DHEA), hormon T3, testosteron bebas maupun yang bioavailable, dan produksi vitamin D oleh kulit serta peningkatan hormon paratiroid (PTH). Ovarian failure disertai menurunnya hormon ovarium. Sistem saraf perifer pada lanjut usia mengalami hilangnya neuron motor spinal, berkurangnya sensasi getar, terutama di kaki, berkurangnya sensitivitas termal (hangatdingin), berkurangnya amplitudo aksi potensial yang termielinasi dan meningkatnya heterogenitas selaput akson myelin. Massa otot berkurang secara bermakna (sarkopenia) karena berkurangnya serat otot. Efek penuaan paling kecil pada otot diafragma; berkurangnya sintesis rantai berat miosin, inervasi, meningkatnya jumlah miofibril per unit otot dan berkurangnya laju basal metabolik (berkurang 4%/dekade setelah usia 50). Pada sistem imun terjadi penurunan imunitas yang dimediasi sel, rendahnya produksi antibodi, meningkatnya autoantibodi, berkurangnya hipersensitivitas tipe lambat, berkurangnya produksi sel B oleh sumsum tulang; dan meningkatnya IL-6 dalam sirkulasi. Pada umumnya lansia mengalami depresi ditandai oleh mood depresi menetap yang tidak naik, gangguan nyata fungsi atau aktivitas sehari-hari, dan dapat berpikiran atau melakukan percobaan bunuh diri. Pada lansia gejala depresi lebih banyak terjadi pada orang dengan penyakit kronik, gangguan kognitif, dan disabilitas. Kesulitan konsentrasi dan fungsi eksekutif lansia depresi akan

membaik setelah depresi teratasi. Gangguan depresi lansia dapat menyerupai gangguan kognitif seperti demensia, sehingga dua hal tersebut perlu dibedakan. Para lansia depresi sering menunjukkan keluhan nyeri fi sik tersamar yang bervariasi, kecemasan, dan perlambatan berpikir. Perubahan pada lansia depresi dapat dikategorikan menjadi perubahan fisik, perubahan dalam pemikiran, perubahan dalam perasaan, dan perubahan perilaku.

V. a)

Diagnosis Anamnesis Assessmen Geriatri komprehensif mencakup: kesehatan fisik, mental, status

fungsional, kegiatan sosial, dan lingkungan. Tujuan asesmen ini adalah untuk mengetahui kesehatan penderita secara holistic agar dapat memberdayakan kemandirian penderita selama mungkin dan mencegah disabilitas-handicap diwaktu mendatang. Asesmen ini bersifat tidak sekedar multi-disiplin tetapi interdisiplin dengan koordinasi serasi antar disiplin dan lintas pelayanan kesehatan (Forciea MA. 2004, Darmojo BR, 2010). Anamnesis dilengkapi dengan berbagai gangguan yang terdapat, seperti gangguan menelan, masalah gigi, gigi palsu, gangguan komunikasi atau bicara, nyeri atau gerak yang terbatas pada anggota badan dan sebagainya. a.

Penilaian sistem : Penilaian system dilaksanakan secara urut, mulai dari

system syaraf b.

Saluran napas atas dan bawah, kardiovaskular, gastrointestinal (seperti

inkontinensia alvi, konstipasi), urogenital (seperti inkontinensia urin). c.

Anamnesis tentang kebiasaan yang merugikan kesehatan (merokok,

minum alkohol). d.

Anamnesis lingkungan meliputi keadaan rumah tempat tinggal, kepadatan,

serta hubungan social. e.

Riwayat obat-obatan yang telah dan sedang digunakan

f.

Ada tidaknya perubahan perilaku.

b)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik terdiri dari : a.

Pemeriksaan tekanan darah, dilaksanakan dalam keadaan tidur, duduk dan

berdiri, masing-masing dengan selang 1-2 menit, untuk melihat kemungkinan terdapatnya hipotensi ortostatik b.

Pemeriksaan fisik untuk menilai sistem. Pemeriksaan organ dan sistem ini

disesuaikan dengan tingkat kemampuan pemeriksa yang bertujuan untuk menilai ada atau tidaknya gangguan pada organ atau sistem. c.

Pemeriksaan fisik dengan urutan seperti pada anamnesis penilaian sistem,

yaitu : a)

Pemeriksaan susunan saraf pusat (Central Nervous System).

b)

Pemeriksaan panca indera, saluran napas atas, gigi dan mulut.

c)

Pemeriksaan leher, kelenjar tiroid, bising arteri karotis.

d)

Pemeriksaan dada, paru, jantung dan abdomen perlu dilakukan dengan

cermat. e)

Pemeriksaan ekstremitas, refleks-refleks, gerakan dan kelainan pada sendi.

f)

Pemeriksaan kulit-integumen

Pemeriksaan fisik juga perlu dilengkapi dengan beberapa uji fisik seperti get up and go (jarak 3 meter dalam waktu kira-kira 20 detik), mengambil benda di lantai, beberapa tes keseimbangan, kekuatan, ketahanan, kelenturan, dan koordinasi gerakan (Kuswardhani, RAT. 2011).

VI.

Tatalaksana

Kondisi multipatologi mengakibatkan seorang usia lanjut mendapatkan berbagai jenis obat dalam jumlah banyak. Terapi non-farmakologi dapat menjadi pilihan untuk mengatasi masalah pada pasien usia lanjut, namun obat tetap menjadi pilihan utama sehingga polifarmasi sangat sulit dihindari. Prinsip penggunaan obat yang benar dan tepat pada usia lanjut harus menjadi kajian multi/interdisiplin yang mengedepankan pendekatan secara holistik (Setiati, Siti 2013). a.

Pengelolaan inkontinensia urin

Pengelolaan inkontinensia urin pada penderita usia lanjut, secara garis besar dapat

dikerjakan sebagai berikut : a)

Program rehabilitasi, antara lain :

-

Melatih perilaku berkemih

-

Modifikasi tempat berkemih

-

Melatih respons kandung kemih

-

Latihan otot-otot dasar panggul.

b)

Katerisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indweling).

c)

Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi kandung kemih, estrogen.

d)

Pembedahan, misalnya: untuk mengangkat penyebab sumbatan atau

keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain. e)

Lain-lain, seperti penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk

kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia. b.

Jatuh Penatalaksanaan penderita jatuh antara lain dengan mengatasi atau

mengeliminasi faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik dan lain-lain), sosiomedik dan ahli lain yang terkait serta keluarga penderita. Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena perbedaan faktor-faktor yang mengakibatkan jatuh. Lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktoralsehingga diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi dan perbaikan lingkungan. Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh berulang, misalnya pembatasan bepergian, penggunaan alat bantu gerak dan sebagainya. c.

Sleep Disturbance

Pengobatan terdiri dari : a) Perawatan Non-farmakologis -

Hilangkan faktor yang dicurigai: mengobati penyakit yang mendasari, menghentikan atau mengubah obat, menghentikan alkohol, kafein atau penggunaan nikotin.

-

Perubahan Kebiasaan: mengembangkan rutinitas persiapan tidur, gunakan kamar tidur untuk tidur saja, mengembangkan cerita tidur untuk mempromosikan keadaan pikiran, mengurangi tidur siang hari, dan mengembangkan latihan rutin sehari-hari.

b)

Pengobatan farmakologis

-

Hanya direkomendasikan untuk penggunaan jangka pendek pada pasien

yang lebih tua. -

Benzodiazepin dengan aksi pendek atau menengah seperti Temazepam (7,515 mg), dengan jangka waktu maksimum dua minggu untuk menghindari ketergantungan.

-

Antihistamin.

-

Anti-depresan seperti Trazadone, adalah untuk insomnia kronis.

d. Pencegahan Komplikasi Imobilisasi Penatalaksanaan

yang

dapat

dilakukan

meliputi

penatalaksanaan

farmakologik dan non farmakologik. Upaya non farmakologis yang dapat dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara teratur dan latihan di tempat tidur. Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara bertahap. Pencegahan terhadap terjadinya decubitus dapat dilakukan dengan menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral, penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien dengan kursi roda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk. Melatih pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus. Pemberian minyak setelah mandi atau setelah mengompol dapat dilakukan untuk mencegah maserasi. Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat‐obatan yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap

kebiasaan buang air besar pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi. Tata laksana farmakologis yang dapat diberikan terutama pencegahan terhadap terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan yaitu low dose heparin (LDH) dan low molecular weight heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien geriatri dengan imobilisasi namun harus mempertimbangkan fungsi hati, ginjal dan interaksi dengan obat lain (Rizka, 2015). e.

Delirium Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila sumber

deliriumnya adalah reaksi putus zat alkohol atau sedatif atau ketika agitasi yang berat tidak dapat dikontrol oleh obat neuroleptik. Hal ini disebabkan karena benzodiazepin dapat menyebabkan reaksi berkebalikan yang dapat memperburuk delirium. Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh benzodiazepin adalah sedasi yang berlebihan yang dapat menyulitkan penilaian status kesadaran pasien itu sendiri (Andri, Charles E. Damping, 2007). Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat yang sering dipakai pada kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol digunakan karena profil efek sampingnya yang lebih disukai dan dapat diberikan secara aman melalu jalur oral maupun parenteral. Dosis yang biasa diberikan adalah 0,5 - 1,0 mg per oral (PO) atau intra muscular maupun intra vena (IM/IV); titrasi dapat dilakukan 2 sampai 5 mg tiap satu jam sampai total kebutuhan sehari sebesar 10 mg terpenuhi. Setelah pasien lebih baik kesadarannya atau sudah mampu menelan obat oral maka haloperidol dapat diberikan per oral dengan dosis terbagi 2-3 kali perhari sampai kondisi deliriumnya teratasi. Haloperidol intravena lebih sedikit menyebabkan gejala ekstrapiramidal daripada penggunaan oral (Andri, Charles E. Damping, 2007). f.

Infeksi Pengobatan infeksi

pada lansia juga merupakan masalah karena

meningkatkan bahaya toksisitas obat antimikroba pada lansia. Terapi antibiotik tergantung pada kuman patogen yang didapati. g.

Gangguan Pendengaran

Rehabilitasi sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi pendengaran dilakukan dengan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Pemasangan alat bantu dengar hasilnya akan lebih memuaskan bila dikombinasikan dengan latihan membaca ujaran (speech reading), dan latihan mendengar (auditory training), prosedur pelatihan tersebut dilakukan bersama ahli terapi wicara (speech therapist). Tujuan rehabilitasi pendengaran adalah memperbaiki efektifitas pasien dalam komunikasi sehari-hari. Pembentukan suatu program rehabilitasi untuk mencapai tujuan ini tergantung pada penilaian menyeluruh terhadap gangguan komunikasi pasien secara individual serta kebutuhan komunikasi sosial dan pekerjaan. Partisipasi pasien ditentukan oleh motivasinya. Oleh karena komunikasi adalah suatu proses yang melibatkan dua orang atau lebih, maka keikutsertaan keluarga atau teman dekat dalam bagian-bagian tertentu dari terapi terbukti bermanfaat. Membaca gerak bibir dan latihan pendengaran merupakan komponen tradisional

dari

rehabilitasi

pendengaran.

Pasien

harus

dibantu

untuk

memanfaatkan secara maksimal isyarat-isyarat visual sambil mengenali beberapa keterbatasan dalam membaca gerak bibir. Selama latihan pendengaran, pasien dapat melatih diskriminasi bicara dengan cara mendengarkan kata-kata bersuku satu dalam lingkungan yang sunyi dan yang bising. Latihan tambahan dapat dipusatkan pada lokalisasi, pemakaian telepon, cara-cara untuk memperbaiki rasio sinyal-bising dan perawatan serta pemeliharaan alat bantu dengar. Program rehabilitasi dapat bersifat perorangan ataupun dalam kelompok. Penyuluhan dan tugas-tugas khusus paling efektif bila dilakukan secara perorangan, sedangkan program kelompok memberi kesempatan untuk menyusun berbagai tipe situasi komunikasi yang dapat dianggap sebagai situasi harian normal untuk tujuan peragaan ataupun pengajaran. Pasien harus dibantu dalam mengembangkan kesadaran terhadap isyarat-isyarat lingkungan dan bagaimana isyarat-isyarat tersebut dapat membantu kekurangan informasi dengarnya. Perlu diperagakan bagaimana struktur bahasa menimbulkan hambatan-hambatan tertentu pada pembicara. Petunjuk lingkungan, ekspresi wajah, gerakan tubuh dan sikap alami cenderung melengkapi pesan yang

diucapkan. Bila informasi dengar yang diperlukan untuk memahami masih belum mencukupi, maka petunjuk-petunjuk lingkungan dapat mengisi kekurangan ini. Seluruh aspek rehabilitasi pendengaran harus membantu pasien untuk dapat berinteraksi lebih efektif dengan lingkungannya. (George L Adams,et al.,1997) h.

Depresi Tata laksana depresi pada lansia dipengaruhi oleh tingkat keparahan dan

kepribadian masing masing. Pada depresi ringan dan sedang, psikoterapi merupakan tata laksana yang sering dilakukan dan berhasil. Akan tetapi, pada kasus tertentu atau pada depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup, tetapi diperlukan farmakoterapi. Banyak orang membutuhkan dukungan dari orangorang terdekat terutama keluarga dan teman, keikutsertaan dalam kegiatan kelompok, atau berkonsultasi dengan tenaga profesional untuk mengatasi depresi. Selain itu, mengatasi masalah terisolasi ketika memasuki usia lanjut merupakan salah satu bagian penting dalam penyembuhan dan dapat mencegah episode kekambuhan penyakit. Banyak penelitian menunjukkan bahwa aktif dalam kegiatan kelompok di lingkungan merupakan bagian penting dalam kesehatan dan dapat meningkatkan kualitas hidup. Pada umumnya, tata laksana terapi hanya menggunakan obat antidepresan, tanpa merujuk pasien untuk psikoterapi, tetapi obat hanya mengurangi gejala, dan tidak

menyembuhkan.

Antidepresan

bekerja

dengan

cara

menormalkan

neurotransmiter di otak yang memengaruhi mood, seperti serotonin, norepinefrin, dan dopamin. Antidepresan harus digunakan pada lansia dengan depresi mayor dan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) merupakan obat pilihan pertama. Beberapa obat antidepresan yang dapat digunakan pada lansia dengan kelebihan dan kekurangan tiap golongan ada pada tabel 6. Pemilihan obat tersebut per individu dengan pertimbangan efek samping dari tiap golongan. Pengobatan monoterapi dengan dosis minimal digunakan pada awal terapi, dievaluasi apabila tidak ada perubahan bermakna dalam 6-12 minggu. Lansia yang tidak berespons pada pengobatan awal perlu mendapatkan obat antidepresan golongan lain dan dapat dipertimbangkan penggunaan dua golongan antidepresan. Pada lansia yang responsif dengan obat antidepresan, obat harus digunakan dengan dosis penuh (full dose maintenance therapy) selama 6-9 bulan sejak

pertama kali hilangnya gejala depresi. Apabila kambuh, pengobatan dilanjutkan sampai satu tahun. Strategi pengobatan tersebut telah berhasil menurunkan risiko kekambuhan hingga 80%. Penghentian antidepresan harus dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan gejala withdrawal seperti ansietas, nyeri kepala, mialgia, dan gejala mirip flu (flu-like symptoms). Lansia yang sering kambuh memerlukan terapi perawatan dosis penuh terapi selama hidupnya. Selain farmakoterapi dengan obat antidepresan, psikoterapi (talk therapy) memiliki peranan penting dalam mengobati berbagai jenis depresi. Psikoterapi dilakukan oleh psikiater, psikolog terlatih, pekerja sosial, atau konselor. Pendekatan psikoterapi

dibagi

dua,

yaitu

cognitive-behavioral

therapy (CBT)

dan

interpersonal therapy. CBT terfokus pada cara baru berpikir untuk mengubah perilaku, terapis membantu penderita mengubah pola negatif atau pola tidak produktif yang mungkin berperan dalam terjadinya depresi. Interpersonal therapy membantu penderita mengerti dan dapat menghadapi keadaan dan hubungan sulit yang mungkin berperan menyebabkan depresi. Banyak penderita mendapat manfaat psikoterapi untuk membantu mengerti dan memahami cara menangani faktor penyebab depresi, terutama pada depresi ringan; jika depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup, karena akan menimbulkan depresi berulang.

Related Documents

Ba 1 Mawar
December 2019 32
Laporan Mawar 1.docx
July 2020 18
Mawar,paradigma
June 2020 11
Dokter Perawat 1.docx
November 2019 18
Wanita
November 2019 63

More Documents from ""